Follow Us @agnes_bemoe

Tuesday 30 December 2014

End Year's Note

December 30, 2014 0 Comments
Just when you think it can't get worse, it gets even worse!

I thought that my roughest year was 2010. Obviously I was wrong. 2014 has been tougher. HNP (Herniated Nucleus Pulposus) followed by depression and anxiety attack has driven me into sort of Freddy Kruger's world.

This year has made me step the brake-pedal longer than I wanted to. It's even forced me to back off. Okay, I don't want to be a whiny baby. I hope you've got the picture.

Today, as I am lying on my bed, thinking of days, weeks, and months I walked through this year, somehow I found that it's not all horrible dark colours inside. There came things that has made many differences to the painting.

I have two books published this year: "Hujan! Hujan! Hujaaan!" and "Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars". Along with my other book "Aubrey dan The Three Musketeers", "Hujan! Hujan! Hujaaan!" will take a part in the 2015 Frankfurt Book Fair.

This year, for the very first time I felt excited about general election since I had a diamond class candidate. Mr. Joko Widodo (Governor of DKI) decided to run for president. And this down to earth and high integrated gentleman won.

Talking about Indonesian leaders, this year has given us several extra ordinary leaders who make a citizen like me proud. Basuki Tjahaja Purnama, Bu Risma (oh my! I forget her full name), Ganjar Pranowo, Anis Baswedan, Bu Susi (again, I forget the name of this Super Woman) are names that have brought back fresh air into Indonesian's government. May The Lord bless our President and his administration.

As for me myself, despite of her being tough, this year has provided me with several gifts (I can't believe I deserve).

The first is of course my baby sister. I know that she is a super kind-hearted person. Still, I am so amazed by her persistence in taking care of me. Her sacrifices have broken my heart but at the same time become my daily life-booster. Honestly, I have no idea what would I be if didn't have her by my side.

I am also so blessed with many good friends (mostly virtual world's friend since I am not able to meet those from real world) who constantly give me their support and companion. Their being there for me in my darkest time (when they didn't have to)has touched my heart so deeply. Once again, I thank God that He sent the right persons in the right time. I mention their name every time I pray my Rosary.

Best friend seems to be my gift this year.

Early this year I found a friend who then becomes the best I ever have, the one in a million. By the end of this year I feel that I become a little bit mild-tempered, less judgemental, and more forgiving. My best friend has brought the good-side out of me. In my daily struggle this angel won't let me feed my ugly negative mind. On the contrary, this saint-like person reflects tons of comfort that have put both hope and strength into my life. Buddy, I pray that God grant you your happiness!

Well, those beautiful persons I mentioned before has driven me to one powerful word: HOPE. This year has been tough. But, along with the toughness, there came HOPE. Therefore, I thank God for His 2014: for the good and bad, for happiness and sad, and all those wonderful things I have never had.

MERRY CHRISTMAS 2014 and HAPPY NEW YEAR 2015!

***

Pembatuan, December 31, 2014
@agnes_bemoe




Thursday 25 December 2014

With You, Everyday is Christmas

December 25, 2014 0 Comments
With you everyday is Christmas
Joy, laughter, and warmth you bring from distance
I take them without resistance

I love the way you make me feel
In my daily time wheel
Happy, loved, and blessed the feelings I can't conceal
Just can't believe those are real

Honey, with you everyday is Christmas
Yet in this most blissful eve
Let me whisper softly in you ears
May the magic of Christmas be with you, and never leave

***

Pembatuan, Natal 2014
@agnes_bemoe



Wednesday 24 December 2014

Beautiful Blue Christmas

December 24, 2014 0 Comments
BEAUTIFUL BLUE CHRISTMAS

Saya jarang sakit di Hari Natal. Saking jarangnya, saya masih bisa menghitungnya.

Pertama waktu saya SMA. Saya tinggal di asrama sekolah, Asrama Cor Jesu, di Malang. Persis setelah ujian semester, saya sakit. Saya memang tidak berencana untuk pulang ke Waikabubak (Sumba Barat) tempat orang tua saya tinggal. Tapi, merencanakan Natal di asrama dalam keadaan sakit jelas jauh dari rencana saya.

Yang paling saya sesalkan adalah hilangnya kesempatan untuk makan enak. Biasanya kalau libur Natal menu di asrama bisa naik menjadi setara dengan menu restoran pemegang Michelin Star. Jumlahnya juga tidak dijatah seperti biasanya. Bisa dibayangkan betapa merananya saya melihat makanan enak yang tidak lewat begitu saja karena lesapnya nafsu makan. Melengkapi kenelangsaan saya, begitu libur berakhir, saya sembuh. Kembali juga nafsu makan saya. Tapi, menu makanan juga sudah kembali pada menu penjara :(

Sakit yang kedua adalah waktu saya sudah jadi guru di Pekanbaru. Kejadiannya sekitar sepuluh tahunan yang lalu. Kali ini saya sakit karena terlalu rakus berbisnis kue. Ceritanya, ada teman yang pesan blackforrest bikinan saya. Blackforrest kan tidak bisa disimpan di toples. Jadi hari itu, saya berjuang di dapur untuk membuat kue.

Waktu itu saya belum punya mobil. Jadi kue-kue itu kemudian saya antar dengan sepeda motor berdua dengan anak saya. Hari itu saya membuat kue sekaligus bolak-balik naik sepeda motor mengantar kue. Rumah saya di sudut kota. Jadi bisa dibayangkan pulang perginya. Tidak terlalu heran kalau malamnya saya langsung tewas. Saya dapat uang, tapi tidak bisa ikut Misa Natal. Rupanya Bayi Yesus tidak merestui bisnis blackforrest saya :( Itulah tahun pertama dan terakhir saya berbisnis kue.

Selanjutnya, tahun kemarin, 2013, saya juga sakit. HNP (syaraf terjepit) membuat saya tidak bisa bergerak. Tidak itu saja, sejak tanggal 23 Desember 2013 asam lambung saya naik. Saya muntah-muntah seperti orang kena maag. Asal mencium bau makanan, perut saya mual. Akibatnya, Natal itu, tidak hanya saya saja yang tidak bisa makan enak. Satu rumah tidak makan karena saya tidak tahan mencium bau makanan. Itulah Natal pertama dimana hidangan Natalnya adalah nasi padang (yang dimakan jauh-jauh dari hidung saya).

Tahun ini tidak separah tahun kemarin biarpun saya tetap belum bisa ke gereja. Dari kemarin saya sudah ngemil nastar dan kue bawang. Tadi pagi saya sarapan kestengels dan white coffee sambil menikmati album Natal Michael Bublé. Menu Natal kami adalah lontong opor yang dimasak oleh adik saya. P.S. biasanya saya adalah juru masak keluarga. Biasanya saya masak mie goreng babi untuk malam Natal yang dimakan setelah Misa Natal. Lalu sea food untuk paginya (udang asam/ikan manis atau kepiting saus padang). Saya penggila sea food soalnya. Untuk penutupnya, saya nyontek tradisi ibu saya: puding coklat dengan vla. Eh, saya kok malah ngomongin makanan ya... :D

Kembali lagi ke masalah sakit di hari Natal.

Sangat tidak enak sakit di hari Natal. Andai bisa, saya tidak ingin sakit di saat seindah ini. It is literally kind of a blue Christmas. Sedih rasanya melihat adik saya bersih-bersih rumah sendirian, masak sendirian, ke gereja sendirian dalam keadaan gerimis pula (sejak semalam hujan membasahi Pekanbaru).

Lalu, saya teringat perkataan seorang suster (nun) yang rutin mengunjungi saya waktu masih di rumah sakit. Namanya Suster Maristella JMJ. Saya pernah mengatakan kesedihan saya tidak bisa ke gereja. Kata beliau: inilah saatnya Yesus sendiri yang mendatangi Agnes. Oh my!

Saya percaya, saya, dan semua yang sedang tidak bisa ke gereja di  Malam Natal adalah orang-orang yang istimewa: Bayi Yesus mendatangi kami di malam yang kudus ini.

Tadi malam saya berdoa Rosario. Selain berdoa untuk orang-orang yang saya sayangi, saya berdoa juga untuk siapa saja yang tidak bisa ke gereja baik karena sakit, perang, bencana, atau situasi apapun yang sedang terjadi.

It is not a blue Christmas. It is a beautiful blue Christmas, since The King Himself has come to us! MERRY CHRISTMAS everybody!

***

Pembatuan, Natal 2014
@agnes_bemoe

Gambar oleh InnerChild Studio. Ada di buku Bo dkk di Peternakan Kakek
Ars


Friday 19 December 2014

He was Lying Down Beside Me

December 19, 2014 0 Comments
He was lying down beside me

Hari Rabu lalu, pagi-pagi, saya keluar membeli pulsa. Biasanya saya titip dibelikan. Tapi, hari itu saya lupa titip padahal pulsa sudah nol. Padahal lagi, saya sedang butuh banyak menelpon hari itu.  Entah kenapa, sehabis membeli pulsa saya merasa nyeri. Padahal jarak rumah saya dengan tempat jual pulsa tidak jauh, hanya tujuh atau delapan rumah mungil BTN.

Seharusnya saya bisa langsung baring untuk meredakan kemarahan HNP saya. Namun, hari itu saya ada urusan yang harus saya kerjakan sendiri. Urusan kunci kendaraan saya yang hilamg.

Sebenarnya saya bisa menyuruh anak saya yang mengurusnya. Tapi, waktu urusan terakhir tentang spion, anak saya mengeluh. Kedatangannya tidak dipedulikan oleh petugas di dealer. Tidak mau anak saya dicuekin lagi, saya memutuskan untuk mengurus sendiri. Kalau mereka mengacuhkan saya juga, biar saya bikin "rame" sekalian... hihihi....

Akhirnya saya berangkat dengan disopiri anak saya. Di mobil saya sudah mringis-mringis kesakitan. Urusan di dealer pun selesai, biarpun memakan waktu lumayan lama. Sempat juga judes saya kambuh karena antrian saya diserobot. Dan tentu saja nyeri saya bertambah karena saya harus bolak-balik jalan ke parkiran lalu masuk lagi, lalu jalan lagi. Hwedeww.... Okelah, yang penting selesai dan saya pun pulang.

Di taxi yang kami tumpangi (mobil harus ditinggal) dengan menahan malu saya minta izin untuk berbaring pada pak sopir. Sumpah, sudah nggak kuat lagi!

Bisa diduga, sampai di rumah saya langsung tewas. Hari masih jam 4 sore tapi saya sudah menggeletak di tempat tidur. Untunglah rasa sakit tidak menghalangi saya untuk terlelap. Saya pun tertidur (atau pingsan, saya juga kurang tahu).

Saya melewatkan makan malam, Master Chef Junior Finale, dan Mata Najwa.

Sebelum subuh keesokan harinya saya terbangun. Puji Tuhan, nyeri di pinggang dan tungkai mereda. Hal pertama yang saya lihat ketika bangun adalah segulungan benda hitam di kaki saya. Gabriel Oscar.

Walah, ni anak, numben-numbennya tidur sama maminya, pikir saya. Biasanya dia lebih suka di lantai. Saya menyampaikan ini pada adik saya.

- "Numben si Oscar bobok di sini," kata saya.

Jawaban adik saya membuat saya mencelos.

- "Sejak sore kemarin, sepanjang malam, Oscar nggak beranjak dari sisi Mami."

Saya terdiam. Sering saya baca, anjing bisa merasakan kesakitan tuannya.
Oscar bukan tipe penempel seperti Titil almarhum. Dia juga bukan tipe perhatian seperti Nino. Biasanya dia super cuek. Tapi malam itu, malam waktu saya merasa kesakitan luar biasa, Oscar berbaring di sisi saya. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya berbaring. Tapi, saya sungguh terharu dibuatnya. Saya merasa ditemani.

Baru kemarin saya mendapat berita tentang perlakuan biadab terhadap anjing. Saya prihatin terhadap pelakunya. Jelas ia mendapat informasi yang keliru tentang anjing. Jelas sekali ia belum pernah merasakan kehalusan budi dari makhluk yang terlanjur dibencinya dan dicapnya hina dan najis itu. Saya prihatin atas hatinya yang begitu dingin dan kejam. Saya tidak yakin manusia bisa bahagia kalau hatinya sedingin dan sekejam itu. Mudah-mudahan ada sesuatu yang bisa menyentuh hatinya dan mengembalikan kehangatannya.

Balik lagi ke Oscar. Malam berikutnya dia sudah kembali lagi ke ritual lamanya. Tidur di lantai. Tak sedetikpun dia pedulikan saya. Mentang-mentang Mami nggak sakit ya? Pikir saya jengkel. Saya pingin dia tidur dengan saya lagi.  Soalnya kalau diingat-ingat, enak juga merasakan gulungan bulu yang halus dan hangat di kaki.

***

Pembatuan, 20 Desember 2014
@agnes_bemoe





Not Quite a Prayer

December 19, 2014 1 Comments
I do not consider myself as a person who sticks to prayers although I have a tight prayer schedule. I pray 5 times a day: 6 a.m, 12 p.m, 3 p.m, 6 p.m, and 12 a.m. sometimes I add 3 a.m in my schedule. I pray Angelus, Rossary, Divine Mercy, and Novena. Telling you this, I don't mean to show off. On the contrary, I want to share my struggle in keeping the candle light.

My toughest one was when I was facing some sort of life-twist couple months ago. At that particular moment I found it was hard to pray. Instead of praying, I found myself drawning in such unpleasant silence that instantly drove me to an ugly sobbing.

At that moment, I chose not to pray. Yes, I ignored the schedule since I couldn't stand the horrible feeling that came everytime I closed my eyes. The time when my mind sank into a land of nowhere which was spookily dark and chilly.

I then usually spent my morning doing a simple meditation. Not quite a meditation, actually,  since all I do was inhaling, holding the breath for couple seconds, and then exhaling. I repeteadly did that for about 30 minutes.

I thought it was okay not to pray.

Until one day I got my wake-up call. The first was from my baby sister:
- "You still pray for me, don't you?"
- "Of course," I lied. "Why?"
- "Nothing. I need your prayer."

My heart sank down. Her words "I need your prayer" was like a bomb to  my ears.

No longer after that, my dearest friend asked me the same thing.
- "Pray for me, please."
- "I always pray for you." Again, I lied. I used to pray for him, twice a day, in my Rosary and Novena.

Oh my! I lied to persons I love the most, in one day, about the sacret thing named prayer!

Then, something came into my mind: I have to pray then, not for me, but for those beautiful people I love so dearly. They literally asked me for my prayer. And, as the matter of fact, the only thing I can offer them is my prayer. They have been spending their times to accompany and comfort me. It is my part to negotiate with the universe with my prayer to make sure of their happiness.

So, couple days ago I started praying: Angelus, Rosary, Divine Mercy, and Novena. It was hard, of course. But my sister and my best friend had become my fuel to this ritual.

Well, I know, it's not the end. I know I will face another battle due to my prayer habit. But, at least, I won this one. I won because I have beautiful angelic people beside me.

I may not a prayer, but when I do it, I hope I do it happily thinking of my beloved ones.

***

Pembatuan, December 19th, 2014
@agnes_bemoe





Thursday 11 December 2014

Angin kepada Malam

December 11, 2014 0 Comments
Aku terjaga dengan perasaan aneh di dadaku.
Kuintip keluar jendela kamar. Kudapati malam sedang membaringkan dirinya
...

Malam memejamkan mata, menikmati menit-menit terakhirnya, sebelum subuh membuka hari. Persis saat itu angin menghampiri, menari lembut, mengusap malam yang sangat dirinduinya.

Aku tahu, cinta telah jadi sesuatu yang aneh di antara kita, karena engkau tidak mencintaiku
Aku tahu, sia-sia kukemas hati ini dan kupersembahkan buatmu
Bukan aku yang kau rindu
Untuk jadi rembulanmu

Aku tahu, tak pernah cukup aku bagimu
Seperti aku tahu, tak pernah bisa kuberhenti mencintaimu
Tak sanggup menahan lukanya, tapi lebih tak sanggup aku beranjak darinya.

Malam,
Izinkan aku membelaimu diam-diam,
Menitipkan rindu terdalam di bintang-bintangmu
Membisikkan mimpi terindah di gulitamu

Dan, sebelum kau memintaku untuk berlalu,
Izinkan aku membawa sekeping senyummu
Supaya aku tak benar-benar sendirian, tanpa dirimu

...


Kupegang dadaku, sebab tiba-tiba terasa nyeri di situ.


***

Pembatuan, 12 Desember 2014
@agnes_bemoe



Monday 8 December 2014

Things Happened

December 08, 2014 0 Comments
Tanggal 25 November lalu saya disuntik pereda nyeri. Lumayan menghilangkan rasa nyeri yang menggigit tungkai kanan.

Dokter menjelaskan, suntikan ini tidak menyembuhkan syaraf yang terjepit. Suntikan ini hanya meredakan nyeri yang ditimbulkan akibat radang di daerah sekitar syaraf. Okelah, I can live with that. Saya tidak perlu lagi akupunktur setelah disuntik tapi saya tetap harus rutin berenang.

Lalu, Sabtu minggu yang lalu anak saya kena jambret. Ikut lesap juga kunci mobil. Sekarang sedang ribet mengurusi surat-surat dan ganti kunci. Selama itu belum beres, saya tidak berani keluar rumah, termasuk tidak berenang. Padahal seperti yang saya kemukakan di atas, berenang adalah obat buat saya.

Things happened.
Ada kelempangan, menyusul pula kesempitan. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih.
Suwer, peristiwa kejambretan, keribetan urusan polisi, ganti kunci, tidak bisa berenang membuat saya diserang rasa kecewa yang luar biasa. Seperti ditinju berkali-kali. Belum sempat pulih dari satu hook, sudah masuk jab.

Saya sedang membuang waktu dan kekesalan dengan berselancar di facebook ketika seorang teman menelpon. Kami bicara panjang lebar, tepatnya, dia bicara saya mendengarkan (she's quite a talker).

Dia bicara tentang kesulitan yang baru-baru ini menimpa dirinya (dia juga sedang berjuang melawan suatu penyakit). Lalu, dia mengatakan ini:

"Begitulah, Nyes, banyak kesusahan, banyak banget yang mengecewakan, yang penting aku tetap berbuat sesuatu yang baik buat buat orang lain. Bikin orang lain gembira dan seneng akan kehadiran kita."

Entah kenapa, saya tertarik dengan kata-katanya ini. Kata-kata "berbuat sesuatu untuk orang lain" mengiang di telinga saya.

Saya lalu membongkar tab. Ada naskah milik teman yang pernah saya janjikan hendak saya susun ulang. Selama ini saya tinggal karena belum mood. Entah kenapa, perkataan teman memicu mood saya.

Seharian saya menyusun ulang naskah itu: meng-copas dari naskah asli ke file baru, memperbaiki penulisan, menyusun urutan naskah, dan membaca ulang. Tidak terasa satu hari saya lalui. Yang menggembirakan adalah saya melaluinya dengan semangat, karena sebuah kegiatan yang membuat saya bergairah.

Lebih excited lagi saya ketika saya menelpon teman saya ini, menyampaikan tentang perkembangan naskahnya, dia kelihatan ikut bersemangat. Dia bilang sudah tak sabar ingin melihat bentuk jadi naskahnya. Yippie!

Well, jalan ke sana masih panjang.

Yang jelas, jalan pendek saya, a k a hari ini, sudah saya lewati dengan senang dan bergairah.

***

Pembatuan, 8 Desember 2014
@agnes_bemoe


Friday 5 December 2014

Rain, I Love You

December 05, 2014 0 Comments
Hujan masih saja turun. Butirannya membasahi ranting-ranting pohon dan jalanan. Angin dingin menyelusup pelan, membuatku mau tak mau merapatkan jaketku.
"Dingin?" Tanyamu.
Aku mengangguk. "Sedikit."
Tanpa kuduga, engkau merengkuhku. Menarik rapat diriku. Aku tergagap. Apa-apaan ini! Ini kaffee! Aku melemparkan lirikan protes.
Engkau tersenyum manis, tanpa memperdulikan protesku.

Aku menyerah. Dalam pelukmu, aku merasa hangat. Kalau bisa, aku ingin selamanya berada di sana.
"Rain," bisikku, sambil mendongakkan sedikit kepalaku, mendekatkan mulutku ke telingamu. "I love you...."
Hening memeluk kami berdua. Hanya denting air hujan yang terdengar.
Engkau mengulurkan tanganmu yang satu lagi. Memelukku lebih erat. Tak ada kata. Tak ada balasan apapun. Seperti biasa.

Ah....
Aku menyurukkan kepalaku ke dadamu.

Tak pernah ada kata cinta darimu. Tak pernah ada ucapan sayang buatku.
Hujan masih menetes satu-satu. Desauan angin dingin makin menggigit.

Rain, I love you.
Kali ini kubisikkan dalam hati, sambil membenamkan kepalaku di dadamu, menikmati kehangatan di situ.

Aku mengerti. Aku sangat mengerti.
Aku mencintaimu. Itu cukup buatku.
Engkau baik dan sayang padaku. Itu lebih dari cukup buatku. Seperti hujan, perhatian dan kasih sayangmu membasahi dan menyejukkan hatiku. Seperti menunggu hujan, aku akan menunggumu, dari tempatku. Sambil melagukan kidung terindah: serenade doa buatmu. Apa yang lebih indah selain yang diikat dengan doa, bukan?

Rain, I love you.

Demi hujan dan angin yang terus mendesau di telingaku, aku menyayangimu. Entah bagaimana nantinya butiran nasib membawa kita, di setiap lorongnya aku menyayangimu. Itu cukup buatku. Dan, merasakan kehangatan pelukmu, di sini, saat ini, itu lebih dari cukup buatku.

Rain, I love you....

"Kamu bilang apa?"
Bisikanmu di telingaku mengejutkanku. Astaga, apakah aku tadi tak sengaja menceploskan apa yang kupikirkan?
"Enggak ada..." Lagi-lagi aku membenamkan kepalaku di dadamu.
Aku sedang membisikkan dalam hati betapa aku menyayangimu ketika kurasakan sebuah kecupan hangat di rambutku.

Hujan masih saja turun. Angin membawa desauannya yang paling indah, masuk ke relung hatiku. Hatiku terasa hangat.

***

Pembatuan, 6 Desember 2014
@agnes_bemoe

Sunday 30 November 2014

2014

November 30, 2014 0 Comments
Kalau hanya melihat kondisi kesehatan saja, maka 2014 pastilah Auschwitz buat saya. Dari awal tahun -dari akhir 2013 bahkan- saya 'invalid' dihajar HNP (dengan bonus depresi dan anxiety).

Bila melihat ke belakang, saya memandang 2014 sebagai tahun yang luar biasa:

Saya punya presiden baru yang memiliki sikap mental, integritas, etos kerja, dll, baru. Belum pernah saya sesemangat ini menyambut seorang presiden baru. Tugas beliau pastilah sangat berat, terutama menghadapi rakyatnya yang bebal seperti saya. Saya berharap Tuhan memberikan beliau segala rahmat yang beliau butuhkan untuk memimpin Indonesia.

Saya juga punya beberapa menteri baru yang kualitasnya tidak jauh dengan Bapak Presiden.

Beberapa daerah punya kepala daerah baru. Sekali lagi dengan kualitas diamond.
Untuk saya pribadi: saya jauh lebih merasa bahagia dengan profesi saya yang sekarang dibandingkan dengan profesi lama saya. Lucunya, baru tahun inilah saya benar-benar menyadari hal itu. Saya sering mengucapkannya, namun jujur, baru tahun ini saya merasakan maknanya.

Yang sangat saya syukuri adalah hadirnya orang-orang baik di sekeliling saya. Tahun ini saya (lagi-lagi) baru menyadari bahwa saya diberi Tuhan teman yang sangat baik. Saya juga bertemu dengan orang-orang baru yang luar biasa. Mereka mensuplai energi positif ke dalam hidup saya. Itu membantu saya melewati hari-hari di tahun 2014 dengan lebih ringan.

Tahun ini dua buku saya terbit. Salah satunya, "Hujan! Hujan! Hujaaan!" ternyata akan diikutkan di ajang Frankfurter Buchmesse 2015. Wow! Terbit saja sudah bangga. Bisa tembus Gramedia Pustaka Utama membuat saya lebih bangga lagi. Lalu diikutkan di Frankfurter Buchmesse 2015, terus terang, saya tidak bisa menahan kembangnya kepala saya.

Tidak semua harapan saya di awal tahun terkabul. Bahkan hampir semua rsolusi awal tahun saya gatot... hahaha! Biarlah. Kalau terkabul terus, saya mungkin tidak akan belajar. Selain itu, yang diberikan Tuhan sebagai gantinya pun luar biasa kok.

Okelah, ini bab terakhir tahun 2014. Saya inginkan sebuah happy-ending. Saya akan berusaha menuliskannya, hari demi hari. Sampai saya bertemu sebuah awal baru: 2015.

***

Pembatuan, 1 Desember 2014
@agnes_bemoe


Saturday 29 November 2014

Aku Bersyukur Mengenalmu

November 29, 2014 0 Comments




Sayangku, malam ini aku terbangun, dan ingatanku langsung melayang kepadamu. Kepada satu tahun yang perlahan lesap di belakang kita. Aku ingin memanfaatkan waktu ini untuk mengatakan padamu:

Aku bersyukur mengenalmu.

Engkau menumbuhkan banyak hal baik dalam diriku.
Engkau mengubahku, untuk jadi lebih baik. Dengan kata-katamu yang lembut engkau mengajakku untuk selalu berserah dan percaya pada rencanaNya. Engkau mengingatkanku - perkataanku, perilakuku- menjadi lebih menenggang orang lain. Engkau juga yang tak henti-hentinya mengingatkanku untuk pertama-tama menyayangi diriku sendiri. Engkau menjagaku, dari yang kemungkinan menyakitiku. Sifatmu yang periang serta cara pandangmu yang selalu positif menularkan perasaan mudah menjalani hidup ini. Engkau tak lelah meniupkan semangat setiap kali aku merasa kecil dan jatuh. Engkau tahu, kapan aku sedih atau senang. Dan engkau selalu hadir dengan respons terbaikmu. Terkadang aku heran, darimana kemampuan membaca getaran hati orang itu engkau dapatkan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa yakin melakukan suatu hal -sekiranya itu berkatku- asal bersamamu. Untuk pertama kalinya aku merasa yakin akan kekuatan relationship; love and respect over anything. Sesuatu yang dulunya kuhadapi dengan perasaan skeptis, cenderung takut.

Aku tidak punya kata-kata indah (seandainya aku semahir dirimu dalam berkata-kata). Aku ingin engkau tahu, aku sangat bersyukur mengenalmu.
Bila menghitung berkatku, engkau ada di urutan atas daftarnya.

Persis sebulan lagi tahun ini akan berganti. Aku ingin memanfaatkan waktuku sebaik mungkin untuk menunjukkan padamu. Aku bersyukur atas tahun 2014. Tahun ini aku menemukanmu. Engkau menemukanku.
Ini adalah tahun terbaik dalam hidupku sebab aku menjalaninya bersamamu.

Aku bersyukur dari tempatku di sini. Memandangi senyummu dari kejauhan sambil membisikkan doa tak kunjung putus. Buatmu.

Aku tahu batasku.

Aku ingin mengikat hatimu, dalam doaku....
(Tuhanku jagalah dia, selamanya)

...

Pembatuan, 30 November 2014
@agnes_bemoe
03:33



Friday 21 November 2014

Teknik Pernapasan a la Saya

November 21, 2014 0 Comments
Awalnya saya membaca di Majalah Tempo tentang latihan pernapasan sebagai salah satu cara pengobatan. Di situ dikatakan teknik ini berhasil membantu penderita diabetes lepas dari obat. Lalu, saya mendapati tulisan tentang "Mindfulness" di wall seorang teman. Isinya menyinggung tentang teknik pernapasan seperti yang diulas oleh Tempo.

Ingin tahu lebih jauh, saya browsing tentang "Mindfulness". Jujur, saya lebih banyak bingung daripada ngerti... hihihi... Saya terbantu memahami tentang "kesadaran budi" ini setelah membongkar lagi buku Anthony de Mello, SJ. Contohnya tentang seekor anak anjing yang perhatiannya terpusat pada mainannya membantu saya memahami apa itu meditasi (bagian dari Mindfulness).

Biarpun tidak terlalu mengerti tentang teknik pernapasan "Mindfulness" ini, saya memutuskan untuk mencoba. Kalau dirunut ke belakang, waktu saya mengalami serangan panik di RS, dr. Elly -psikiater saya- menuntun saya bernapas (lewat BB) sampai saya tenang. Lalu, ketika bertemu dengan psikolog, saya juga diajak bermeditasi dengan jalan mengatur pernapasan. Waktu itu saya memang merasa lebih tenang dan lega. Psikolog menyarankan untuk secara rutin melakukannya. Tapi saya, hihihi..., masih malas.

Membaca Tempo dan postingan teman membuat saya mencoba latihan pernapasan seperti yang disarankan.

Saya menggabung-gabungkan sendiri teknik yang dipakai baik oleh psikiater, psikolog, Tempo, maupun artikel Mindfulness. Ini karena menurut saya prinsipnya sama. Yang saya lakukan adalah sebagai berikut:

Berbaring (karena saya belum bisa duduk) dengan santai. Pejamkan mata.
Putar musik instrumental. Favorit saya adalah Kenny G (Ave Maria, Havana) dan Khitaro.
Hirup napas dalam-dalam, hembuskan pelan-pelan.

Sambil bernapas, dirasakan napas yang dihirup dan dihembuskan.
Kendurkan beberapa bagian tubuh: leher, pundak, lengan, tangan, tungkai, lalu kaki.
Sambil memusatkan pikiran pada pernapasan, saya mulai "menjelajahi" sekeliling saya lewat pendengaran.

Saya mendengarkan bunyi-bunyian di lingkaran yang terdekat dengan saya: suara musik, detik jarum jam, tetes air, suara cicak, dll. Lingkaran itu tambah lama tambah besar: deru motor di luar, pesawat, suara tetangga. Semua didengarkan saja.

Lalu saya kembali memusatkan diri pada pernapasan: menghirup dan menghembuskan napas dalam-dalam.

Selanjutnya, tarik napas dalam-dalam dalam 5 hitungan. Tahan dalam 5 hitungan. Lalu, hembuskan lagi dalam 5 hitungan. Ini saya lakukan 5 kali (atau sampai saya merasa benar-benar nyaman)

Terakhir, saya tutup dengan doa. Saya berdoa Rosario lambat-lambat. Sambil berdoa, saya bisikkan ke diri saya sendiri beberapa hal yang saya butuhkan: misalnya, tenang, damai, percaya, dll. Saya ulangi juga perkataan-perkataan positif yang menyejukkan dan menguatkan. Tidak lupa, saya membayangkan diri saya duduk dekat Yesus, seolah-olah ngobrol dengan Yesus (cara ini saya dapatkan dari Sr. Maristella, JMJ, suster yang rutin mengunjungi saya di rumah sakit. Menurut Suster, kita bisa mengundang Yesus untuk datang dan melakukan mukjizat. Kita bisa membuat mukjizat untuk diri kita sendiri.

Itulah yang saya lakukan setiap pagi.

Kendalanya? Yang paling sering terjadi adalah pikiran yang melantur kemana-mana. Tiba-tiba menelusup aja komen teman fb, atau kegiatan yang ingin dilakukan, dan banyak hal lagi. Kalau sudah begini, saya lalu buru-buru balik lagi, konsentrasi ke pernapasan.

Manfaatnya? Yang saya rasakan sih, saya jadi lebih lempeng, lebih tenang, apalagi kalau berhasil "ngobrol" dengan Tuhan Yesus. Rasanya tenaaang banget... hehehe...

Memang pemgaruhmya ke fisik belum saya ketahui karena belum ada perubahan drastis. Harapan saya sih, kalau saya tenang dan positif, saya tidak mudah stress (catatan: akhir-akhir ini saya mudah stress). Kalau tidak mudah stress, saya lebih bersemangat untuk berobat/minum obat. Hasil akhirnya tentu saya harapkan kesembuhan. Eh, hasil paling akhir tentu terserah Yang Di Atas :D

***

Pembatuan, 22 November 2014
@agnes_bemoe



Thursday 13 November 2014

Salamat, Ginoong Bautista!

November 13, 2014 0 Comments
Berpikir positif adalah hal yang harus saya usahakan setiap hari. Saya mau membagikan pengalaman unik saya menemukan Si Positif.

Kemarin pagi, hujan turun sejak menjelang subuh. Saya mencemaskan adik saya yang harus berjalan kaki cukup jauh sebelum naik angkot. Angkot itu pun tidak berhenti persis di depan sekolah adik saya. Dia masih harus jalan kaki lagi sekitar 2 km.

Saya juga resah karena ada SMS saya yang tidak terbalas oleh teman. Berbagai skenario buruk bermain di kepala saya.

Saya lalu berdoa Angelus dilanjutkan Rosario. Jujur, setelah berdoa pun saya masih resah. Mungkin karena hujan tak juga kunjung berhenti. Saya buka note di tab. Saya merasa ingin menulis puisi. Dan memang saya lalu menulis puisi. Isinya? Gitu deh, melow goeslow gimana gitu....

Sambil mengetik saya mendengarkan lagu Christian Bautista. Harapannya, puisi saya bisa seromantis lirik lagu Mr. Bautista. Satu, dua, tiga, lagu Christian Bautista menelusup ke telinga saya. Lalu, saya merasa ada sesuatu yang lain.

Lagu-lagu Christian Bautista semuanya bercerita tentang cinta. Namun ada yang spesial yang saya dengarkan pagi itu. Cinta yang dilagukan oleh Christian Bautista adalah cinta yang penuh pengharapan biarpun jauh (Away from You), pengakuan cinta yang setulus hati (Since I Found You), cinta yang penuh kepercayaan (Colour Everywhere), dan seterusnya.

Tulus, berharap, percaya. Semua itu bermain di kepala saya. Lalu entah bagaimana, saya merasa perasaan saya berubah. Yang tadinya melow cenderung gloomy saya lalu merasa hangat dan bersemangat. Hujan masih turun tapi hati saya berubah hangat.

Saya melirik puisi saya. Spontan puisi itu saya delete. Saya buat yang baru. Sebuah puisi yang menurut saya lebih positif, penuh kepercayaan, dan riang (menurut saya lho yaa...). Btw, saya tidak peduli puisi saya bagus atau jelek (bo'ong, saya peduli ding... hihihi...), yang jelas puisi yang saya buat atas dorongan syair lagu Christian Bautista itu telah menyelamatkan pagi saya. Saya berpikir dengan lebih lempang dan enteng. Saya yakin, saya percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. "I don't wanna see you cry once more," kata Christian Bautista dalam "I don't want to See", salah satu lagu yang sukses bikin saya ge-er setengah mati, seolah the beautiful Mr. Bautista sedang duduk di samping saya dan mempuk-puk saya!

So, I do have an obligation to say "Thank You, Mr. Bautista!" (sambil mbayangin meluk Christian Bautista... hihihi...)

***

Pembatuan, 14 November 2014
@agnes_bemoe


Monday 10 November 2014

Manut dan Jadi Penyintas

November 10, 2014 0 Comments
Setelah beberapa kali bolak-balik ke tempat akupunktur, baru kemarin saya ngeh bahwa teman-teman saya sesama pasien semuanya lansia. Mereka umumnya pasien jantung karena dokter ahli akupunktur yang merawat saya adalah dokter spesialis jantung.

Sambil diuyel-uyel oleh mas petugas refleksi (saya menjalani akupunktur dan refleksi) saya nguping pembicaraan mereka dengan dokter. Rata-rata mengeluh sesak napas dan tidak bisa tidur. Ada juga yang mengalami semacam stroke ringan di wajah. Ada lagi yang kesakitan karena asam urat.

Dokter dengan sabar mendengar keluhan mereka satu persatu. Lalu dengan lemah lembut namun ceria dokter menyuruh mereka untuk ini dan itu. Para pasien itu pun jarang ada yang ngeyel. Semuanya nurut sama petunjuk dokter. Faktor usia membuat mereka lebih pasrah, atau bagaimana ya? Padahal, saya bisa membayangkan ketidakenakan yang mereka alami. Kesakitan, tidak bisa tidur, aaarrghh... hell!

Mungkin karena pikiran saya lagi mellow apa gimana, adegan ini kok nancep di benak saya. Saya membayangkan, begitu juga, kali ya, saya dengan The Big Boss over there. Harusnya saya manut pada petunjukNya. Mendengarkan dengan seksama arahanNya lalu melaksanakan sebaik mungkin. Bayangkan, kalau sebagai pasien saya marah-marah sama dokter: "Sembuhkan sekarang! SEKARANG JUGA!!!" Bukannya sembuh, bisa-bisa saya malah di-euthanasia sama dokternya! Hihihi....

Btw, urusan ngamuk-ngamuk sama The Big Boss, sayalah ahlinya :p

Saya merasa bosan, sebel, diperlakukan dengan nggak adil olehNya. Lalu, saya ngamuk. "You said You are good! Why can't I find any of Your Goodness?! What the hell all these are for?!" blah... blah... blah... *cencored*

Adegan yang barusan saya saksikan di ruang praktek itu melengkapi serangkaian sentilan Tuhan pada saya. Dia bilang: Aku ini Dokter yang Maha Penyembuh. Take you medicine, shut your mouth up, and start believing in My Work. How hard it could be?

Sambil nyengir-nyengir karena sakit (akibat pijatan refleksi) saya mengunyah kembali adegan itu. Lalu, saya teringat sepenggal kalimat indah yang ditulis teman saya, seorang penyair muda, bernama Fidelis R. Situmorang.

"Jiwa ini bukan milik diri semata. Ada pemilik sesungguhnya yang benar-benar mengasihinya."

Kalimat yang saya temukan dalam buku "Butir-Butir Hujan", buku paling baru Fidelis R. Situmorang itu, benar-benar menancap di benak saya.

Kenapa saya tak henti-hentinya mencemaskan diri saya? Padahal ada Dia yang menggenggam erat jiwa saya? Dia yang sabar banget dengan semua kemarahan dan sikap kekanak-kanakan saya. In short, Dia yang menyayangi saya sebagai saya. Harusnya saya mempercayainya, seperti pasien percaya pada dokter ahli yang menanganinya.

Haduuh, menuliskan kata "percaya" tuh begitu gampangnya, menghayati dan menghidupinya butuh perjuangan tersendiri. *narik napas panjaaaaaaang banget*

Tapi eh, toh saya nggak sendirian. Dia pasti bantu saya dan saya pasti survived! Kalaupun saya "tidak survived" saya tetap "survived". Yeay!

***

Pembatuan, 11 November 2014
@agnes_bemoe



Sunday 9 November 2014

Lingkaran Pahlawan

November 09, 2014 0 Comments
Ini hari Pahlawan.
Karena dilahirkan di Kota Pahlawan, saya mau bagikan tentang "pahlawan" yang baru-baru ini lewat dalam hidup saya.

Saya sedang dalam proses pemulihan dari sakit HNP dan depresi. "Lumayan," itu jawaban saya kalau ada teman yang tanya. Sekarang, waktu nulis catatan ini, saya sudah bisa duduk dan berjalan kurang lebih sepuluh menit; sudah bisa mandi sendiri; ambil makanan dan minuman sendiri. Seminggu terakhir ini saya merasakan nyeri di sepanjang kaki kanan berkurang. Kelihatannya sepele ya, but this is huge for me.

Sebulan lalu, sekeluar dari rumah sakit, saya harus bed-rest total. Mandi, makan, minum, semua diladeni, termasuk buang air. Saya menghabiskan sebagian besar waktu sehari itu dengan tidur karena obat-obatan yang saya minum membuat ngantuk. Lalu saya pelan-pelan mencoba duduk atau berjalan. Ketika masih di rumah sakit saya hanya kuat duduk atau berdiri selama kurang lebih dua menit.

Di rumah, ketika pertama kali mencoba berjalan, saya kuat selama tiga sampai lima menit. "Rekor" ini terus menerus terkoreksi sampai hari ini seperti yang  saya ceritakan di awal tulisan. Dan suwer, saya senang banget, biarpun pergerakannnya lambat seperti kura-kura, yang penting ada kemajuan.

Buat saya, kemajuan sekecil apapun adalah prestasi yang patut dirayakan. Saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak berpikir bahwa "saya ambruk", "saya tak berdaya", "semua ini ga berguna", dll, yang intinya negatif melulu (psst, FYI, I am pretty capable of thinking negatively :p).

Sebaliknya, saya terus menerus menyuntikkan pemikiran bahwa "saya sehat", "this is great", "saya hebat", "you can do your best", dll. Saya bersyukur, punya teman -di dunia nyata dan maya- yang tidak henti-hentinya mensupport dengan aura positif mereka. Suwer, kalau nggak ada mereka, saya mungkin sudah memilih cara paling jelek buat mengakhiri hidup (I meant it!).

Ada (banyak) saat-saat dimana saya merasa: "hadiih, kok cuman baring doang yah, ga berguna banget!". Apalagi kalau lihat teman-teman penulis lain menunjukkan buku baru mereka atau melihat teman posting foto travelling mereka. Pada saat-saat seperti itu selalu ada saja yang datang kemudian menyuntikkan kata-kata yang mak nyuss di telinga. Padahal saya nggak curhat lho. Jadi, mereka berbicara tanpa menyadari bahwa perkataan mereka sangat berarti.

Salah satu yang  saya ingat adalah perkataan seorang teman tentang "kemunduran". Tidak ada yang keliru dengan "kemunduran", katanya. Tari "Cha-Cha" yang asyik dan dinamis tidak akan terbentuk tanpa adanya sebuah langkah mundur. Yeay! Kata-kata ini nendang banget!

Ini diperkuat dengan tulisan seorang teman penulis, Femi Khirana, di buku "Biji Sesawi di Rerumputan". Di situ Femi menukiskan antara lain tentang hikmah "kemunduran". Analoginya tentang kisah Thomas yang sedang diperbaiki dalam "Thomas and Friends" benar-benar membuat saya seperti habis dicubit (atau, dikeplak mungkin lebih tepat! :p)

Saya sedang "rusak" dan perlu "perbaikan". Saya perlu "mundur" supaya suatu saat saya bisa "beroperasi" lagi dengan lebih mulus. Saya perlu mengambil suatu langkah mundur supaya bisa menampilkan tarian Cha-Cha yang paling asyik. Oke, sip!

Btw, saya juga nggak tergeletak-tergeletak amat kok. Dalam keadaan "tak berdaya" saya tetap bisa berbuat hal-hal "hebat" (syombyongnya kumat! :p). Saya jadi rajin menulis status. Dan, ada saja yang mengirim inbox, mengatakan bahwa ia suka membaca status-status saya yang lucu (katanya) dan membuat dia tidak merasa sendirian. Saya menulis beberapa puisi galau dan ada saja yang mengatakan diwakili perasaannya oleh puisi saya. Nah, nah, saya tidak setakberguna itu kan? :)

Oke deh, sebelum leher saya patah tak kuat menahan kepala yang membesar, saya mau bilang terima kasih buat orang-orang baik yang Tuhan kirimkan jadi teman saya. Mereka membuat kondisi saya membaik setiap harinya. Yaps, saya tidak (belum) hebat tapi saya membaik di setiap harinya. Saya terbantu karena beberapa "pahlawan" di sekitar saya. Dalam porsi tertentu saya pun jadi semacam "pahlawan" buat orang lain. Saya rasa, lingkaran yang paling indah adalah "lingkaran pahlawan" semacam ini.

Selamat Hari Pahlawan!

***

Pembatuan, 10 November 2014
@agnes_bemoe




Tuesday 4 November 2014

Tuhan dan Senyum Doggieku

November 04, 2014 0 Comments
Kata teman baik saya: mudah bersyukur/bersaksi kalau kita sedang senang. Teman saya ini mengutip Andar Ismail, seorang pendeta dan penulis "Seri Selamat" (buku ini isinya keren banget! Saya baca beberapa contoh kisahnya, sumpah langsung ingin mengkoleksinya!).

Kembali ke perkataan teman baik saya (persisnya perkataan Pdt. Andar Ismail). Saya tidak sedang ingin berkotbah tentang makna "bersyukur". Saya hanya mau curcol soal "bersyukur". Bagi saya, bener banget yang dikatakan oleh Pdt. Andar Ismail. Saya teringat betapa gampangnya saya bilang "Tuhan itu baik!" ketika, misalnya, naskah saya lolos ke penerbit; saya sembuh dari sakit; atau dapat voucher belanja. Dalam suasana hati riang, doa saya makin kenceng. Pokoknya gas puol berterima kasih pada Tuhan.

Lalu, saya sakit. Lumayan berat. Lalu saya mengomel-ngomel pada teman baik saya itu. Lalu, ia menceritakan kisah Pdt. Andar Ismail yang di usia mudanya berjuang dengan kebutaan. Lalu, sampailah pada kalimat "mudah bagi kita untuk bersyukur/bersaksi kalau sedang senang".

Ketika sakit, jangankan bilang "Tuhan, Engkau sungguh baik!", berdoa pun saya tak sanggup. Saya berjuang, jatuh bangun (kebanyakan jatuh) untuk mencari dimana kebaikan Tuhan: secara fisik, badan saya sakit semua; saya hanya bisa tergeletak tak bisa berbuat apa-apa; tabungan saya terkuras, sakitnya saya juga menguras energi mereka yang mengurusi saya. Ini bisa jadi litani maha panjang!

Setengah mati saya berusaha merasakan kehadiran Tuhan. Tuhan, Kamu dimana sih? Kok aku kesakitan, ketakutan kayak gini Kamu nggak juga bertindak? Itu yang saya sampaikan di doa saya, secara harafiah. Saya tulis lagi, tanpa edit.

Yaps, sudah saya bilang, ini bukan tulisan tentang heroine iman. Ini curcol iman saya.

Tentu saja ada saat-saat saya merasa kuat. Harus saya akui, saya kuat ketika BERTEMU dan BERBINCANG dengan orang lain. Teman-teman fb, dokter, psikolog, psikiater, suster (nun), suster (nurse), anak saya, dan termasuk teman baik saya tadi. Catatan: tidak semua orang yang saya temui tersebut seiman dengan saya lho. Di situ saya merasakan PENYERTAAN TUHAN. Tuhan hadir melalui orang-orang yang saya temui.

Apa lalu masalah saya selesai? Buat saya, yang imannya seperseribu biji sesawi ini, masih belum.

Apakah berarti saya tidak boleh bersyukur? Kenapa saya, yang sudah bersyukur, masih juga dihajar dengan kesusahan yang tiada akhir?

Lagi-lagi, saya menemukan tulisan tentang Pdt. Andar Ismail di wall teman saya. Tulisan yang isinya menceritakan tentang pergulatan bathin Pdt. Andar Ismail, seperti yang dulu pernah secara lisan diceritakannya pada saya.  Tulisan ini memancing saya untuk berpikir. Saya mungkin harus mendefinisikan ulang konsep "Tuhan Baik" sebagai pemicu ucapan syukur saya. "Tuhan Baik" kalau saya menerima sesuatu yang enak (secara fisik dan psikis). Tidak heran saya gampang bersyukur kalau menerima rezeki nomplok, misalnya.
Mungkin, mungkin nih, Tuhan juga baik ketika saya "diberi" sakit (lengkap dengan seluruh perasaan tidak enaknya dan krisis ekonomi yang menyertainya). Baiknya dimana? Enaknya dimana?

Waktu kecil jari jemari saya susah sekali menuliskan angka 1. Sekarang, saya bisa menulis sampai pegel. Kalau terbiasa dengan sesuatu yang lebih besar, lebih hebat, lebih luar biasa, yang sederhana jadi terlihat sepele dan tak bermakna (dan karenanya, tak perlu disyukuri).

Saya terbiasa "melesat", punya target lalu dhass dhess... tercapai! Bersyukur. Bikin target baru!
Saya lupa pada hal remeh-temeh yang bisa saya syukuri: pagi-pagi bisa senyum sendiri baca status teman yang lucu; bisa bersin (tanpa meringis), bisa ambil minum sendiri, ngeliat wajah Oscar dan Ocha yang lucu (mereka doggies). Ya, jangankan anda, saya aja heran dengan daftar saya itu. Kalo yang seperti itu sih, semua orang juga punya. Apa hebatnya?

Gak ada hebatnya, buat saya setahun lalu. Sekarang, bisa senyum sendiri dengan perasaan geli, itu mukjizat (banyak hal yang tidak bisa saya ceritakan secara detail tapi percayalah saya tidak sedang lebay).

Intinya, saya sedang belajar mendefinisikan ulang makna "Tuhan Baik" buat saya. Bisa jadi saya keliru berat dengan persepsi ini. Bisa jadi, kalaupun benar, saya akan menghadapi roller-coaster yang lain lagi. Ya, saya butuh banyak belajar lagi.


***

Pembatuan, 5 November 2014
@agnes_bemoe


Monday 3 November 2014

Masih Bolehkah Aku Memanggilmu dengan Kata "Sayang"?

November 03, 2014 0 Comments


Sayang,
(Masih bolehkah aku memanggilmu dengan kata "sayang"?)

Sungguh, aku tak mengira lelaki sepertimu akan pernah ada. Engkau tidak hanya tampan, tapi juga cerdas, periang, dan lucu. Dan di atas segalanya engkau sangat baik. Engkau mengajariku untuk selalu berpikir positif. Engkau selalu punya cara unik untuk melihat permasalahan dari sudut yang paling baik. Engkau mengajariku untuk tidak buru-buru menghakimi orang. Engkau selalu punya kata-kata paling lembut untuk menguatkanku ataupun meredakan gusarku.

Dapat diduga, sangat mudah bagiku untuk jatuh cinta padamu. 

Lalu, aku mengetahui bahwa engkau sudah tidak sendiri lagi. Ah, aku sungguh kecewa dan ingin segera menarik diri. Namun, tak kusangka akan sesulit itu. Berkali-kali mencoba, selalu berakhir dengan jatuhnya aku kembali ke pelukanmu. 

Pelukanmu. Tempat terhangat yang pernah aku rasakan. Tempat paling indah yang membuatku sejenak lupa bahwa suatu saat aku akan kehilanganmu. 

Berkali-kali aku memikirkan saat ini, saat paling mengerikan ini: saat aku harus mengembalikanmu pada dia yang lebih dahulu memilikimu.

Aku tersentak ketika  saat itu datang juga. Datang bersama rajaman yang membuat ngilu setiap kali aku bernapas. 

Awalnya engkau tak mau lagi menemuiku pada akhir pekan. Waktu biasanya kita menghabiskan malam dalam kehangatan yang paling memabukkan.

Lalu, engkau tak lagi menyapaku lewat surat-suratmu. Surat yang isinya sanggup merontokkan hatiku, membuatku tambah merinduimu. Engkau mulai enggan diajak bicara soal harimu ataupun mendengar apa yang kulakukan seharian.

Aku tahu, hari ini akan datang. Aku tak pernah tahu ternyata sebegini menyakitkan.

Ketika engkau tak lagi membalas surat-suratku dan tak lagi mengangkat teleponku, aku mengerti. 

Biar bagaimanapun juga, aku berterima kasih pernah mengenalmu. Engkau adalah pria termanis yang pernah kutahu. Bila harus mengulang kembali semuanya, aku tidak akan mengubah sedikitpun apa yang sudah kulakukan bersamamu. Sedetikpun tak kusesali pertemuan denganmu. 

Bersama surat ini kukirimkan buku ini. Ingat pembicaraan kita tentang kesukaanmu akan sejarah? Aku ingat engkau sangat ingin memiliki buku ini. Setelah menabung beberapa saat akhirnya terbeli juga olehku.  Kuharap engkau senang. 

Sungguh, aku ingin menukar nyawaku dengan kesempatan untuk melihat sendiri binar matamu saat memegang buku ini. Tolong simpan, demi secuil masa lalu yang pernah kita lalui bersama. 

Kutitipkan rinduku, sayangku, doaku di setiap lembaran yang kaubuka dan kaubaca. Kuharap jemarimu merasakan uluran tanganku, mencoba menggapaimu lewat buku kesukaanmu ini.

"Cintaku tak pernah mati, sayang, ia berubah jadi puisi." Itu yang pernah kau katakan padaku. Sayang, bila aku bisa menulis puisi sepertimu, engkau adalah puisi terindah yang pernah kutulis. Dan puisi itu, tak akan pernah selesai....

Salamku,
Riri


Tanganku bergetar hebat. Pasti bukan hanya karena Parkinson yang kuderita. Tigapuluh tahun aku tak pernah punya keberanian untuk membuka paket ini. Aku terlalu pengecut untuk menghadapi kerumitan yang ada di depanku. Keberanian kudapatkan setelah istriku meninggal sebulan yang lalu.

Kembali tanganku bergetar hebat. Kucoba membuka buku itu. "Untuk Fito", hanya itu tulisan di lembar pertamanya. Tulisan yang sangat rapi dan halus. Dengan tangan yang makin bergetar kucoba mengusap tulisan itu selembut mungkin. 

"Tell me, tell me that your sweet love hasn't died,
 Give me, give me one more chance
To keep you satisfied, satisfied..."
Suara Michael Bublé dari CD-Player menelusup pelan.

Di luar, hujan bulan November berjatuhan menerpa kaca jendela. 

Derunya membawa sebentuk puisi paling indah yang pernah kutulis, keluar dari relung hatiku yang paling dalam.

***

Pembatuan, 3 November 2014
@agnes_bemoe

Cat: Lagu dicuplik dari lagu "You Were Always on My Mind", dipopulerkan pertama kali oleh Elvis Presley.





Monday 27 October 2014

Mimpi

October 27, 2014 0 Comments
Aku tak mau bermimpi sendirian maka kuajak kunang-kunang untuk bermimpi bersamaku.
"Apa mimpimu?" Tanyaku pada kunang-kunang.
"Ah, kamu akan bosan mendengarnya."
"Try me."

Kunang-kunang menghela napas sejenak.
"Aku mimpi bertemu dengan pemuda, eh, kunang-kunang jantan yang tampan. Sepasang mata cokelatnya sangat hangat. Lesung pipinya menambah ketampanannya..."
"Eh, kunang-kunang juga punya lesung pipi dan mata cokelat?"
"Kamu mau ndengerin mimpiku, nggak?" Kunang-kunang merengut.
"Ups, iya deh, maaf..."
Kunang-kunang menghela napas lagi.

"Kami jalan bersama. Dia ternyata teman yang sangat menyenangkan. Dia periang, lucu, dan hangat. Hatinya sangat lembut. Dia juga teman ngobrol yang sangat menyenangkan."
Kulihat mata Kunang-kunang berbinar ketika menceritakan pria, eh, kunang-kunang jantan yang jadi temannya itu. Aku bahkan bisa merasakan deburan jantungnya.

"Kamu jatuh cinta padanya ya?"
Alih-alih menjawab, Kunang-kunang melanjutkan ceritanya.

"Perjalanan kami sangat menyenangkan. Aku belajar banyak hal baik dari dia, si Kunang-kunang bermata cokelat. Aku merasa sangat nyaman bersamanya. Banyak kecocokan kami. Kurasa kami ini soul mate...."

Hah? Kunang-kunang juga mengenal istilah "soul mate". Namun aku tak berani membantah. Kulihat Kunang-kunang sangat serius dengan ceritanya.

"Sampai suatu saat dalam perjalanan kami aku akhirnya mengetahui. Dia sedang mencari kekasihnya. Hatiku hancur mendengarnya. Namun, aku memutuskan untuk tetap menemaninya. Dia sedang butuh kawan dalam pencarian kekasihnya itu."

Kudengar suara Kunang-kunang mulai memelan. Matanya mengerjab-ngerjab, berusaha menyembunyikan titik-titik air mata.

"Lalu, pelan-pelan ia mulai menjauh. Dan kemudian, hilang sama sekali. Kurasa, ia sudah menemukan kekasihnya...."

Kami sama-sama terdiam.

"Engkau tidak sedih?"
Kunang-kunang menatapku. Ada kilau muram di situ.

"Tanyakan bagaimana perasaan senja bila malam tak menyambutnya. Bagaimana perasaan sabana bila kuda-kuda tak lagi bergemuruh di atasnya. Perasaan burung bila pagi tak lagi menunggu kicaunya. Perasaan bunga bila semesta tak lagi mengenali wanginya. Perasaan samudra bila ikan tak lagi ingin menjelajahinya. Perasaan..."

"Iya, iya, aku mengerti. Aku mengerti." Tenggorokanku tercekat. Kunang-kunang menukas cepat.
"Tidak, engkau tak mungkin mengerti. Hanya angin yang mengerti rapuhnya dedaunan yang jatuh..."

Aku terbangun. Astaga, kenapa mataku basah? Kenapa hatiku seperti mau pecah? Hanya Kunang-kunang yang akan mengerti perasaanku.

"Tidak. Engkau tak mungkin mengerti. Hanya angin yang mengerti rapuhnya dedaunan yang jatuh...." Terngiang kembali kata-kata Kunang-kunang di mimpiku. Mataku makin basah.

***

Pembatuan, 28 Oktober 2014
@agnes_bemoe


Sunday 26 October 2014

Pertengkaran

October 26, 2014 0 Comments

Tidak ada pertengkaran yang menyenangkan. Ketegangannya terasa sangat menyesakkan.

"Kenapa kamu nyuekin aku,"
"Udah aku bilang berkali-kali, aku nggak nyuekin kok. Kamu aja yang ngerasa,"
"Kenapa sih kamu gak mau ngakuin? Bilang aja, kamu udah nggak sayang sama aku..."
Isak tertahan, suara tersendat, dan genangan air mata. Tak tertahankan lagi. 
"Kenapa sih kamu suka banget ngambil kesimpulan sendiri? Kenapa kita mesti selalu mempermasalahkan hal sepele seperti ini?"
"Oh, jadi kamu nganggap aku ini sepele?!"
"Bukaaan. Maksudku bukan begitu. Aduh, aku salah ngomong ya...."
"Bilang aja terus terang kalo kamu udah nggak sayang lagi sama aku. Aku akan coba belajar hidup tanpa kamu...." Tangis pecah sudah. 

Kali ini sebuah pelukan menyambut.
"Sayang, aku nggak seperti itu..." Suaranya melembut. "Maaf kalo kamu ngerasa seperti itu. Aku nggak mungkin tega nyuekin kamu.... Aku minta maaf...."
Pelukan bertambah erat merengkuh isak tangis. Pelan, namun pasti, menularkan kehangatan.

Sejenak semesta terdiam. Dedaunan Oktober pun berguguran dengan senyap. Seolah mereka enggan mengusik.

Entah berapa lama keheningan itu menyelusup di antara dua kepala yang semakin mendekat.

"Maafkan aku juga ya.... Aku suka mikir yang macem-macem ya...." Mata yang saling menatap membuat iri sepasang burung yang hinggap di bangku taman. 
"Enak aja, maaf doang, ganti rugi dong...." Ia menyodorkan pipinya.
Sebuah cubitan membuat tawa pecah, mengiringi angin yang membelai lembut. 

Aku tak tahan lagi mendengar percakapan mereka. Buru-buru kurapikan "Semua untuk Hindia" yang dari tadi pura-pura kubaca. 

Tidak ada pertengkaran yang menyenangkan. Hanya meninggalkan malam-malam yang membuat ngilu, menyobek-nyobek hati tanpa belas kasihan.
Namun, aku tahu apa yang akan aku lakukan. Aku tahu apa yang harus kuucapkan padamu. 

Ya, padamu, pria lembut yang lagi-lagi kusakiti hatinya, terakhir kita bertemu. Pria yang selalu punya sejuta maaf dan pelukan paling hangat.

Sayang, aku ingin segera menghambur ke pelukanmu....

***

Pembatuan, 27 Oktober 2014
@agnes_bemoe




Friday 24 October 2014

Nama

October 24, 2014 0 Comments
Adakah yang lebih pahit daripada mendengarmu memanggilku, dengan namanya....

"Maafkan aku, sayang. Maafkan aku...." Engkau cepat-cepat merengkuhku erat dalam pelukmu. Sejenak senyap membuatku ngilu.
"Iya. Aku mengerti...." Bisikku, kelu.

Kusembunyikan luka dalam-dalam. Menyimpan tiap sayatan yang makin menusuk, setiap kali terngiang nama itu....

Maafkan aku, sayang. Maafkan aku, rintihku dalam hati. Andaikan namakulah yang tertera di cincinmu, engkau tak perlu keliru memanggilku....

***

Pembatuan, 24 Oktober 2014
@agnes_bemoe



Monday 20 October 2014

Bunga Mangga

October 20, 2014 0 Comments
Memandangi pohon mangga yang mulai berbunga dan  angin Oktober yang membuatnya rapuh melambai. Entah mengapa kurasakan gemulainya membisu. Lalu dingin yang aneh menyesapku pelan-pelan.

Mungkinkah kita sama?

Sama-sama menyembunyikan pahit dalam-dalam. Pahit, yang hanya deru angin yang mengerti: kehilangan adalah gemuruh yang merontokkan putik jiwa.

Angin membuat beberapa bunga mangga berguguran. Ada yang jatuh di pipiku, persis di titik air mataku.

***



Pembatuan, 21 Oktober 2014
@agnes_bemoe



Sunday 19 October 2014

Luka

October 19, 2014 0 Comments
Tak ada yang selembut malam, merengkuh titik tangis tertahan dalam dekapnya, jadi embun yang kilaukan dedaunan, di pagi berikutnya.

Tak ada yang sehangat malam, membisikkan kebisuan paling mesra, untuk jadi sinar pertama keesokan paginya.

***
Pantai Kuta. 2008. Agnes Bemoe

Pembatuan, 20 Oktober 2014
@agnes_bemoe

Saturday 11 October 2014

Antisipasi Konstipasi

October 11, 2014 0 Comments
Mau ngomongin masalah ga keren nih: konstipasi.
Saya tidak punya masalah pencernakan serius. Paling mules setelah ngembat rujak satu panci... hehehe....
Makanya saya tidak menyadari kalau terkena konstipasi (sembelit). Ketika masuk RS pertama kali di minggu terakhir Agustus, saya sama sekali tidak sadar bahwa sudah beberapa hari saya tidak BAB. Saya juga masih merasa tidak akan ada hal serius waktu perut saya dikuras sampai tiga kali karena konstipasi (tidak BAB menyulitkan tindakan suntik SNRB yang saya jalani).

Psst... ada yang pernah dikuras perutnya ga? Hell, isn't it?

Jadi, ketika kembali dari rumah sakit setelah suntik SNRB saya merasa baik-baik saja dan hanya perlu memulihkan HNP saja. Hari ke-8 saya di rumah, pagi-pagi saya merasa aneh. Kedinginan. Dingiiiin banget, sampai saya butuh selimut beberapa lapis.

Dingin berlalu, diganti dengan perasaan gerah. Sambil itu saya berkeringat sampai kuyub badan saya. Beberapa saat setelahnya saya merasa mules. Saya coba ke kamar mandi tapu tidak berhasil. Berikutnya, saya hanya berputar pada panas-dingin, keringat dingin, mules. Begitu yang saya rasakan sepanjang hari. Besoknya saya coba minum obat pencahar. Hasilnya, setiap dua jam saya malah mules dan kesakitan hebat, dari pagi sampai pagi keesokan harinya! Bahkan obat tidur dan obat penenang dari dokter tidak mampu menahan badan saya dari terbangun karena kesakitan.

Saya sudah nggak tahan lagi! Jumat pagi, 19 September 2014, saya ke RS dengan ambulance. Hwuih, kedengarannya ngeri ya? Saya tidak bisa jalan, perut super sakit dan super mules, dan badan panas dingin tak menentu. Saya bukan orang yang gampang menangis. Tapi pagi itu saya menangis, mohon sama Tuhan untuk berhenti menyiksa saya. Saya juga ketakutan karena teringat penyakit yang diderita almarhum ayah saya. Ayah saya meninggal karena kanker usus besar. Penyakit itu diawali dengan sangat sepele: sakit pencernakan.

Oke deh, akhirnya saya ditangani oleh RS. Enam hari dirawat, saya dinyatakan sembuh. Dokter bilang pencernakan saya bagus. Beliau menengarai kasus saya karena pengaruh obat penenang dan obat pereda nyeri. Obat-obatan tersebut kadang-kadang membuat pencernakan ikut "malas" beraktivitas. Beliau juga menduga ada faktor stress (dan dugaan ini kemudian dibenarkan oleh psikolog saya)

O'oi! Itu lagi! Selalu berawal dari stress.

Akhirnya, untuk sementara pengobatan HNP dikurangi sampai konstipasi saya tertangani. Catatan: pengurangan obat HNP berarti tidak ada yang membantu saya mengurangi rasa nyeri di sepanjang tungkai kanan. Namun, saya harus memilih. Dan saya memilih untuk memerangi dulu konstipasi sialan ini! Saya menurunkan tulisan ini untuk membagi pengalaman saya melawan konstipasi (atau dalam kasus saya sudah masuk tahap obstipasi).

Sejak pulang dari RS menu makan saya berubah: lebih banyak serat dan air. Ini yang saya asup setiap hari:
Beras merah dan ubi cilembu untuk karbohidrat
Tahu kukus, atau goreng setengah matang. Ikan, juga dikukus.
Sayuran hijau: bayam, sawi, brokoli, dll. Semuanya hanya direbus sebentar dengan sedikit garam.
Minum banyak air putih (8 gelas sehari)
Buah: pepaya, mangga, nanas, buah naga, dll. Saya juga makan agar-agar untuk camilan.
Nah, dua yang berikut ini yang saya rasa sangat membantu. Ini info dari teman saya: malam sebelum tidur minum jus lidah buaya. Cara membuatnya: ambil lidah buaya seukuran telapak tangan (catatan: lidah buaya ini saya dapatkan yang berbentuk sudah dibudidayakan dan dijual di pasar swalayan). Cuci bersih lalu potong kecil-kecil. Campurkan dengan buah yang disukai, tambahkan madu atau sirup (karena lidah buaya pahit rasanya). Bisa juga dikucuri perasan lemon. Sudah. Jadilah jus yang segar. Jus ini diminum malam sebelum tidur.
Bergantian dengan jus lidah buaya, saya minum yogurt. Harus yogurt asli. Puji Tuhan, teman saya itu juga sering membuat yogurt sendiri. Jadi dari dialah saya memperoleh yogurt asli. Sama juga dengan lidah buaya, campur saja yogurt dengan buah-buahan yang disukai (untuk saya harus buah-buahan yang tajam, seperti mangga, untuk "mengalahkan" rasa yogurt. Saya bukan penyuka susu dan segala produk turunannya.)

Waktu pulang dari RS, saya dibekali dengan obat pencahar. Obat itu diminum hanya kalau setelah empat hari saya belum juga BAB. Jadi, pembaca, empat hari pertama di rumah adalah empat hari menengangkan buat saya. Bagaimana kalau sayur dan buah alami yang saya konsumsi tidak mampu membantu saya? Masak harus bergantung pada obat?

Saya lupa hari keberapa, jelas bukan hari pertama, setelah seharian makan makanan berserat tinggi, banyak minum, dan menutup hari dengan segelas jus lidah buaya, keesokan paginya... horeee!!! Sumpah, seumur hidup belum pernah saya sebersyukur itu bisa BAB!

Awalnya dua-tiga hari sekali, sekarang setiap pagi saya BAB. Yeay! Obat dokter tidak tersentuh sama sekali. Yess! Seperti yang saya katakan di awal tulisan, saya tidak punya masalah pencernakan. Namun kalau toh saya harus menghadapi, saya sudah punya informasi bagaimana menghadapinya. Saya bagikan, mudah-mudahan ada yang membutuhkan.

***

Pembatuan, 12 Oktober 2014
@agnes_bemoe

Wednesday 8 October 2014

Painful, but Fun (and Healthy)

October 08, 2014 0 Comments
Kemarin saya berenang.
Apa istimewanya? Hehehe... nggak ada.
Saya berenang, selain untuk having fun, juga untuk terapi penyakit HNP saya. Saya baca testimmoni penderita HNP di internet: berenang harus menjadi sesuatu yang wajib (biarpun sudah dinyatakan sembuh).

Oke deh, mungkin itulah letak kesalahan saya kemarin. Sejak bulan puasa saya tidak berenang karena kolam renang tutup. Saya pun tidak mencari alternatif tempat berenang lain karena menganggap tidak akan merugikan. Terbukti saya salah. Akumulasi dari tidak berenang, tidak akupunktur (juga karena bulan puasa), terlalu banyak menyetir, terlalu banyak duduk, angkat berat dan kena batuk menyebabkan HNP saya kambuh.

Saya belum bisa duduk dan berdiri atau berjalan lama, sebenarnya. Paling kuat lima menitan. Namun, saya mau mencoba. Daripada berbaring saja nggak ada hasilnya mending saya berenang. Maka, perjalanan pulang pergi dari rumah ke tempat berenang jadi perjuangan tersendiri.


Dari rumah ke Hotel Premier tidak ada masalah. Ayu, anak saya yang menyupiri saya mengatakan nanti saya akan diturunkan di lantai lima (tempat pool) jadi saya tidak perlu jalan atau berdiri lama. Sip!

Nyatanya, parkiran hanya sampai di lantai tiga (lobby hotel). Berarti harus jalan lagi ke lantai lima. Buat yang sehat itu tidak masalah. Perjalanan terasa pendek dan mudah. Anak saya, waktu saya tanya "Jauh, Kak?", dengan mantap ia menjawab "Enggak, Mi!".

Nah, itu tadi, jelas enggak buat yang sehat. Buat saya, sebelum sampai ke lift saja saya sudah meringis-meringis. Sampai di depan pool, penjaga pool yang cantik malah menahan saya untuk menawari beberapa paket keanggotaan. Aduh, adik cantik, saya sudah nggak tahan! Saya minta diperbolehkan langsung nyemplung dan biar masalah paket keanggotaan diselesaikan Ayu, anak saya.

Syukurlah si adik cantik memperbolehkan.

Saya pun nyemplunglah dengan leganya. Air kolam yang hangat terasa enak di badan saya. Wow! Saya memang pilih berenang di sana karena airnya hangat. Ada seorang penderita HNP yang menyarankan untuk berenang di kolam air hangat. Selain itu, badan saya memang tidak tahan air dingin. Terasa nyuuuut kalau terkena air dingin.

Selesai berenang, saya harus berjuang lagi untuk membilas diri, ganti baju, dll. Ternyata, shower di kamar mandi hanya air dingin. Astaga! Sama juga bunuh diri nih! Saya tidak jadi membilas badan, hanya melap badan dengan handuk. Selain karena airnya dingin juga karena saya sudah kesakitan. Untung sedang sepi. Hanya ada saya dan Ayu. Maka, tanpa berpikir panjang, saya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan pakaian dalam. Saya lalu langsung merebahkan diri di kursi kayu di sebelah kamar mandi. Sumpah, sudah nggak kuat nahan sakitnya!

Sambil berbaring saya memakai kaos dan celana. Selagi berjuang memakai kaos, baru kelihatan oleh saya semacam alat tertempel di langit-langit. Astaga! CCTV-kah itu? Matik saya! Gak tau deh, mereka mikir apa tentang saya....

Sukses memakai baju, saya masih membutuhkan waktu sekitar 20 menitan untuk menenangkan HNP saya. Setelah itu barulah saya beranjak. Sebenarnya masih terasa nyeri, tapi ya sudahlah, saya coba lagi untuk perjalanan pool ke mobil. Bisa dibayangkan, perjalanan itu adalah perjalanan yang menyakitkan. Rasanya sudah pingin nggeblak di lantai saat itu juga (mumpung lantainya berkarpet tebal... hihihi...).

Dengan menahan nyeri, sampai juga saya di mobil. Fiuh, di kolamnya sih fun banget. Perjalanan pulang perginya yang painful... hehehe....

Tapi saya tidak kapok kok. Buktinya hari ini saya mau berenang lagi... hehehe.... Minta doanya supaya saya cepat sehat ya. Makasih....

***

Pembatuan, 9 Oktober 2014
@agnes_bemoe

Tuesday 7 October 2014

"Sleeping with Enemy"

October 07, 2014 2 Comments
Bisakah anda bayangkan bahwa hal yang anda sukai malah jadi musuh besar anda? Hiiy... kok kayak "sleeping with enemy" ya?

Saya suka nulis. Saya suka baca.

Sangat sering saya menemukan oase dari kegiatan nulis atau baca. Waktu di rumah sakit saya sangu buku bacaan setumpuk. Kebanyakan buku-buku A. de Mello dan buku teman saya seorang penulis, Fidelis R. Situmorang. Saya suka buku-buku mereka karena menenangkan.

Dulu waktu masih jadi guru, saya meluahkan kemarahan dan frustrasi lewat tulisan. Waktu sudah jadi penulis, saya menulis dengan enjoy terutama karena saya bisa memuaskan fantasi kekanak-kanakan saya (saya penulis buku anak-anak).

Intinya, dua kegiatan itu, baca dan tulis, means a world to me.

Nah, makanya saya bagaikan disambar petir (idiih, suka banget lebay ya...) waktu saya saat-saat ini disarankan untuk tidak membaca dan menulis, khususnya fiksi. Lebih khusus lagi fiksi mellow. Kondisi saya sekarang sedang sangat peka. Impuls sekecil apapun bisa memicu reaksi berlebihan dalam diri saya. Dan itu tidak baik buat diri saya.

Saya pikir-pikir, ada benarnya juga perkataan psikolog saya itu. Saya suka buku-buku Fidelis R. Situmorang salah satunya karena tulisannya yang mellow walaupun tidak lebay. Anehnya, akhir-akhir ini, ketika sakit, setiap kali membaca tulisan Fidelis, saya langsung mewek. Tambah jelek meweknya kalau kebetulan membaca kalimat yang syahdu banget.

Saya sudah baca buku Fidelis ratusan kali. Harusnya saya sudah kebal dengan isinya. Bukannya kebal, saya malah seperti nonton telenovela paling memeras air mata. Herannya, baru akhir-akhir ini saja saya jatuh termehek-mehek. Dulu-dulunya sih merasakan sesuatu tapi tidak sampai mewek jelek begitu. Saya sampai tidak merasa nyaman lagi membaca buku-buku favorit saya itu.

Saya menemukan penjelasanannya dari psikolog saya. Kalau mau baca (atau menulis) lebih baik non-fiksi. Maka, kini, bacaan saya adalah majalah Tempo atau ke internet mencari biografi tokoh yang saya sukai.

Untuk menulis, ini yang agak susah. Dorongan untuk menulis puisi sedang besar-besarnya. Seminggu yang lalu saya kehilangan seorang teman yang sangat baik. Rasa kehilangan itu seperti terus mendesak saya menulis puisi. Padahal, kalau sudah menulis puisi, bukannya lega, tapi malah tambah mewek ga karuan, lalu mikir yang enggak-enggak.

Saya memeranginya dengan jalan menuliskan jurnal-jurnal seperti ini. Harapan saya tulisan-tulisan seperti ini bisa tetap meluahkan perasaan saya tanpa saya kemudian terseret terlalu dalam ke dalam perasaan saya sendiri (untuk kemudian susah keluar).

Iya, bener, kalau anda membaca tulisan ini anda pasti paham: saya tidak sedang menulis buat orang lain, saya menulis untuk diri saya sendiri. Saya sedang berusaha menyeimbangkan radar mellow saya yang sedang berat sebelah.

Tidak heran kalau anda tidak menemukan informasi atau apapun yang berguna di tulisan ini... hehehe.... Maaf ya, mudah-mudahan tidak lama lagi saya bisa menulis buat orang lain. Amin.

***

Pembatuan, 8 Oktober 2014
@agnes_bemoe

Monday 6 October 2014

Berkata Benar Harus Dipelajari

October 06, 2014 0 Comments
Beberapa waktu yang lalu saya ditegur oleh seorang teman baik atas kata yang saya tuliskan di sebuah status. Saya menggunanakan kata "sakaw" untuk menggambarkan betapa sukanya saya akan sebuah buku (yang mana buku tersebut ditulis oleh kawan baik saya itu). Menurut teman saya, kita harus mempertimbangkan siapa tahu di antara pembaca status ada yang punya saudara, kerabat, sanak, famili yang kecanduan. Kata "sakaw" tentu menjadi hal sensitif buat mereka. Karena dia kawan yang sangat baik, saya langsung nurut. Sebenarnya saya bertanya-tanya juga (dalam hati) apa salahnya sesekali ber-lebay-ria dengan menggunakan istilah tertentu.

Tadi pagi, ketika ngelayap di fb, saya menemukan foto orang yang didandani lucu-lucuan (cenderung norak) dan pengunggah memberi komentar "orang stress" untuk foto itu. Entah kenapa, saya langsung tersentak. Wah, beginikah masyarakat menilai penderita stress? Stress jadi bahan olokan. Dan saya merasa diri saya sedang diolok-olok. Saat itulah saya bisa memahami sudut pandang teman baik saya itu.

Saya mengalami stress. Tidak hanya itu, saya mengalami depresi, anxiety-affect, dan panic attact (ini dianogsa psikiaater dan psikolog saya). Tidak ada penyakit, fisik dan psikis, yang mengenakkan. Saya tidak perlu memerinci betapa tidak enaknya terkena penyakit itu. Okelah, secara pribadi saya harus menguatkan diri menghadapi masyarakat yang belum paham (seperti saya dulu). Namun di sisi lain saya rasa yang saya rasakan dirasakan juga oleh semua penderita lain. Mereka mungkin tidak bisa menyampaikan keberatan dan dasar keberatan. Saya rasa, melalui tulisan ini saya bisa menyampaikannya, mewakili teman-teman yang lain. Tidak spesifik untuk penderita stress saja tapi juga untuk penderita lain, seperti autis, misalnya, yang juga kerap dijadikan bahan olok-olok.

Alangkah baiknya kalau kita menjadi masyarakat yang lebih peka. Menjadi masyarakat yang lebih supportif serta menjadi masyarakat yang lebih peduli. Kepekaan kita mungkin kecil namun itu berdampak besar bagi penderitanya, siapapun itu. Syukur-syukur kalau bisa kita tularkan pada orang lain, seperti yang dilakukan oleh teman baik saya.

Kembali ke saya pribadi sebagai penulis, keinginan saya untuk menghiperbola kata harus saya seimbangkan dengan kebutuhan orang lain untuk merasa nyaman membaca tulisan saya. Jangan sampai pesan yang saya sampaikan salah diterima. Dietrich Bonhöffer, seorang theolog dan pendeta Lutheran, penulis puisi dan novel, dan juga musisi mengatakan bahwa: Berkata benar harus dipelajari. Maknanya, seperti yang saya tuliskan di atas. Jangan sampai menimbulkan distorsi.

Satu dua kata seolah sepele. Namun bisa punya efek yang sangat besar bagi orang-orang yang kebetulan terhubung dengan itu. Saya merasakan dalam kasus kata "stress". Betapa tidak nyamannya membaca bahan olokan seperti itu.

Ini menjadi refleksi saya pagi ini. Dalam menulis pun hendaknya saya memilih dengan cermat kata-kata yang hendak saya tulis. Besar kemungkinan saya akan mengulangi kesalahan yang sama. Untuk itulah saya membutuhkan teman baik, seperti teman yang saya ceritakan di atas, sebagai "editor" yang tidak segan-segan menyampaikan pendapatnya. Bila kita terus menerus melatih hal ini, kita akan mejadi masyarakat yang supportif dan bukan judgmental. Kita menjadi masyarakat yang sehat, bukan sakit.

***



Pembatuan, 7 Oktober 2014
@agnes_bemoe

Today's Conversation

October 06, 2014 0 Comments
Today's Conversation

 This morning
Someone broken hearted: I am the worst version of Your creature. I am the worst mommy, the worst sister ever, was and am the worst co-worker, the worst, most egoistic self-centered and stubborn friend. What am I thinking?!

Someone Very Gentle and Handsome As Well: A****, A*****, (He was mentioning the name twice, as He once did to Martha), don't be so hard to yourself. You are beautiful the way you are. I love you. (Smiling, He held my hand).





Pembatuan, October 7th, 2014

Sunday 5 October 2014

Rumah Sakit (Lagi)_Bagian 3

October 05, 2014 0 Comments
Saya menjalani tindakan SNRB dua kali. Suntikan pertama tanggal 29 Agustus 2014 kurang berhasil karena masalah di pencernakan. Suntikan kedua dilakukan seminggu setelahnyaa, 5 September 2014 setelah masalah pencernakan dibereskan.

Setelah suntikan kedua, nyeri agak hilang. Namun saya belum bisa duduk dan berdiri. Paling kuat hanya sekitar 3 - 4 menit. Dokter menyarankan untuk tetap tekun latihan duduk dan jalan. Pengobatan pasti perlu waktu, begitu kata dokter.

Tanggal 9 September 2014 saya diperbolehkan pulang. Saya belum bisa duduk, berdiri, dan jalan. Namun, secara umum kondisi saya sudah jauh lebih baik daripada ketika datang.


LALU DATANGLAH MONSTER LAIN
Sepuluh hari di rumah, saya pikir badai sudah berlalu dan saya tinggal menunggu garis pantai kelihatan. Nyatanya....

Pencernakan saya bermasalah lagi. Dua hari saya kesakitan (tapi ngeyel nggak mau ke rumah sakit). Hari ketiga saya nyerah. Soalnya hampir sepanjang malam saya nggak tidur. Kesakitan.

Jumat pagi, 19 September 2014, dijemput ambulance, saya ke rumah sakit.

Here we go... ke RS untuk ketiga kalinya....

Di RS saya pesan kamar VIP dengan pertimbangan tidak lagi tertular penyakit pasien lain. Pertimbangan lain, tidak ada yang bisa menjaga saya, jadi saya butuh perawat full. Sayangnya, kamar VIP penuh. Saya ditempatkan di kamar nifas (kelas 3).

Di kamar kelas 3 ternyata saya tidak bisa tidur. Ribut suara pengunjung, bergantian dengan keributan suara pasien yang mengobrol tiada henti. Kebetulan di dekat saya ada pasien ibu-ibu muda. Sepanjang hari ia ngobrol dengan suaminya. Awalnya cute sih, ngeliat suami istri ngobrol berdua gitu. Tapi kalau sepanjang hari, malam pun sampai jam 2-an pagi, maka it was horribly annoying. Setelah jam 2 suasana sunyi dan baru bisa merem sedikit, tiba-tiba... tzzinggg tzinggg....! Ada alarm bunyi. Jam 3 pagi. Yang punya alarm tidak juga terbangun, sementara kuping saya sudah kesakitan. Dan saya pun kembali nggak bisa tidur.

Lalu, kadang-kadang pengunjung pun tak tahu etika. Antar pasien hanya dipisahkan dengan tirai. Nah, mereka ini tanpa rasa hormat, malah mengintip-intip. Aduh, saya merasa sangat tidak nyaman karena ada bapak-bapak yang sempat-sempatnya menjulurkan kepala ke bagian saya. Biarpun lemes, saya bentak juga bapak itu.

Yang berikutnya mungkin tidak layak saya keluhkan tapi saya memang tidak tahan mendengarnya, yaitu keluhan sampai jerit kesakitan pasien lain. Pada malam kedua ada pasien masuk sekitar jam duabelas. Rupanya ia sangat kesakitan karena ia tak berhenti menangis dan menjerit-jerit. Suwer, saya meras sangat prihatin padanya. Sepertinya ia sudah menahan sakit sejak jam 9. Sudah beberapa kali disuntik sakitnya tidak reda juga. Sambil menangis ia minta dipulangkan. Suaminya pun bingung menenangkannya.

Saya bisa merasakan tidak enaknya. Saya juga pernah kesakitan sampai menangis seperti itu.

Suara pasien ini ditingkahi dengan suara seorang oma yang juga sedang merasa kesakitan dan terus menerus muntah.

Sekali lagi, perlu saya tegaskan, garisbawahi, pertebal SAYA TIDAK MENYALAHKAN SESAMA PASIEN YANG MEMANG SEDANG KESAKITAN. Namun, akumulasi itu semua ternyata berdampak buat saya.

Monster lain sedang mengintip saya....

(lagi-lagi, bersambung)

***

Pembatuan, 6 Oktober 2014
@agnes_bemoe





Merindu

October 05, 2014 0 Comments
Sayang,
Datanglah dalam mimpiku
Sekali lagi

Dengan senyummu
Dengan tawamu
Dan yang terutama
Dengan pelukmu

Sayang,
Di sini aku terjaga
Dan butir-butir hujan di luar sana
Menyergapku

Membawaku pada satu-satunya bayangan yang kurindu,
Kamu, sayang...

Makanya,
Datanglah sekali saja lagi,

Dengan senyummu
Dengan tawamu
Dan yang terutama
Dengan pelukmu

Sayang...

***



Pembatuan, 5 Oktober 2014
23.03
Dalam dingin malam berhujan
@agnes_bemoe

Tuesday 30 September 2014

Rumah Sakit (Lagi)_Bagian 2

September 30, 2014 0 Comments
Melihat kondisi nyeri yang seolah melumpuhkan saya, dr. Icap memutuskan untuk memberikan suntikan SNRB (Selevtive Nerve Root Block) seperti yang pernah saya jalani Januari lalu.

Kamar 600D RS Santa Maria Pekanbaru


HORROR BERNAMA MRI
Seperti kali lalu, sebelum suntik saya harus menjalani pemeriksaan MRI.

Yang banyak orang tidak tahu, saya sebenarnya sangat takut berada di ruang yang sangat sempit. Lift, pesawat, atau kamar mandi masih bisa saya tolerir. Tapi, masuk ke kapsul seperti MRI benar-benar tantangan buat saya.

Pada pemeriksaan MRI yang pertama sebenarnya saya sudah merasa enggan. Syukurlah tidak terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan. Berdasarkan hal itu saya memberanikan diri mengikuti MRI untuk kedua kalinya biarpun saya merasa sangat tidak nyaman.

Berbeda dengan MRI pertama, kali ini kaki duluan yang masuk. Jadi kepala masih bisa menyembul sedikit keluar kapsul.

Saya tidak tahu di menit ke berapa saya mulai merasakan teror itu. Rasanya tidak nyaman sekali! Rasanya ingin melepaskan semua ikatan di tangan lalu lari keluar mencari udara segar. Saya mencoba menghibur diri dengan membisikkan "sebentar lagi selesai", "sabar, tinggal sebentar lagi". Namun, usaha menipu diri sendiri itu tidak berlangsung mulus. Saya merasa sangat tidak betah di dalam kapsul itu. Rasanya sudah berabad-abad, dan siksaan itu belum kunjung reda.

Saya mencoba merilik ke atas, mencari udara segar sambil memastikan saya tidak terhimpit. Terus terang, saya sudah dalam keadaan super tidak nyaman.

Rupanya operator MRI menyadari hal ini. Ia langsung menghentikan proses pemeriksaan. Dengan penuh kesabaran dan kelemahlembutan dia menanyakan permasalahan saya.
"Nggak papa Bu, Ibu tenangkan diri. Ditunggu kok Bu. Tenang, Bu. Tarik napas dalam-dalam."

Saya tanya, berapa lama lagi MRI ini berlangsung.
"Empat menit lagi, Bu." Lalu ia kembali menenangkan saya.
Saya pikir, empat menit sama dengan satu buah lagu (selama proses MRI kita dipasangi headphone untuk mendengarkan lagu). Saya menarik napas dalam-dalam. Satu lagu kayaknya tidak masalah buat saya. Maka saya menguatkan hati.
"Bener, Bu, sudah siap?" Tanya operator. Saya mengangguk.
Maka, empat menit terakhir saya jalani dengan sukses.

Waktu digendong keluar dari MRI ke bed, suster yang mendampingi saya heran karena badan saya basah kuyub. Dari kepala sampai kaki. Benar-benar kuyub dengan keringat dingin.

Sejak detik itu saya bersumpah tidak akan mau lagi masuk ke tabung MRI.

***

Pembatuan, 1 Oktober 2014
@agnes_bemoe