Follow Us @agnes_bemoe

Saturday 23 May 2020

Sehatkah Rumah Kita Secara Psikologis? - Kesehatan Mental di Masa PSBB

May 23, 2020 0 Comments



Sejak pertama kali usulan lockdown dilemparkan saya sudah terpikir tentang sehat tidaknya rumah kita secara psikologis. Anggota keluarga mau tak mau harus tinggal bersama selama sekian hari (bulan) kali 24 jam. Kalau keluarga itu adalah keluarga yang sehat, masa-masa ini akan menjadi masa yang tidak terlalu berat. Sebaliknya, bila keluarga adalah keluarga yang kurang sehat (toxic), masa-masa ini akan menjadi saat yang sangat berat dengan dampak lanjutan yang luar biasa merusak.

Sebelumnya, saya bukan psikolog. Saya awam tentang psikologi. Ada kemungkinan saya salah. Itu juga yang membuat saya awalnya ragu-ragu menuliskan opini saya ini. Namun, saya lalu mengambil risiko itu dengan harapan ada yang bermurah hati berdiskusi dengan saya.

Kedua, saya tidak anti lockdown (atau kemudian yang disesuaikan menjadi PSBB). Saya mendukung 100% demi keselamatan jiwa banyak orang. Tapi bahwa saya lalu punya kecemasan tersendiri tentang dampak psikologis lockdown, ya benar,  saya cemas.



Rumah jelas tempat yang paling aman untuk memutus persebaran Covid 19. Namun, harus diakui, tidak semua rumah adalah rumah yang sehat secara psikis.
Ada saja kasus dimana anggota keluarga lebih senang berada di luar rumah; ayah yang lebih suka sibuk di luar kota, ibu yang lebih suka tenggelam dengan organisasi yang dikelolanya, atau anak-anak yang lebih suka nongkrong sampai pagi dengan teman-temannya misalnya, merupakan indikator kecil bahwa belum tentu rumah adalah sarang yang nyaman. Anggota keluarga menghindari bertemu dan berkumpul dengan anggota keluarga yang lain karena pertemuan itu biasanya tidak menyenangkan; entah berakhir dengan pertengkaran fisik ataupun verbal, entah perundungan, atau atmosfer negatif lainnya (ejekan, cercaan, sindiran, dll).

Lalu sekarang, di masa PSBB ini anggotan keluarga mau tak mau harus menerima dan menelan semua ketidaknyamanan itu. Hal ini pasti berat dan sangat merusak secara psikis. Saya langsung teringat pada elemen paling lemah dalam keluarga: anak. Bagaimana anak-anak yang kebetulan berada pada keluarga toxic seperti ini.

Dalam tulisan ini saya tidak akan mencari solusinya karena jujur, saya juga belum tahu apa solusinya. Namun, dalam pemikiran saya, biasanya kita sendiri tidak sadar kalau kita ada dalam keluarga yang toxic. Kita tidak sadar karena dari kecil kita hidup dalam situasi itu sehingga kita menganggap itu hal yang normal. Kedua, karena menganggap toxicity adalah sesuatu yang normal, biasanya kita tak mau memperbesar masalah (dengan kata lain, tak mau serius menanganinya). Biasanya, kita lari pada penyangkalan: bukan keluargaku. Keluargaku “baik-baik saja”.

Atas asumsi kita sendiri tidak menyadarinya itu saya mengajukan beberapa indikator tentang rumah yang toxic di tulisan ini. Semoga tulisan ini membantu siapa saja yang membutuhkan untuk men-scan kondisi kesehatan psikis keluarganya.

Lalu, apa tanda-tandanya kita berada dalam keluarga yang toxic. Berikut ini ada tujuh tanda yang menunjukkan kemungkinan besar kita berada dalam keluarga yang kurang sehat secara emosional:



1.       Kita merasa diabaikan. Perasaan, perkataan, apalagi opini kita dianggap tidak penting. Pernyataan semacam: ‘ah, kamu tau apa’ atau sejenisnya biasanya digunakan untuk membungkam perkataan kita. Atau versi yang lebih lunaknya, yang mau kita katakan langsung dipotong/disela dengan hal lain. Hal ini membuat harga diri kita terluka. Kita merasa diabaikan dan tak penting. Jarang ada pembicaraan timbal balik yang sehat dalam keluarga.

2.       Kita merasa dibebani dengan tuntutan yang tinggi. Apa-apa harus perfect. Kita merasa kita hanya layak dicintai kalau yang kita lakukan sudah sesuai dengan harapan orangtua. Orangtua biasanya beralasan: ini untuk kebaikan anak. Mereka tidak pernah puas atas capaian anaknya. Mereka jarang sekali memberikan pujian untuk hal kecil yang dilakukan anaknya. Sebaliknya orangtua terus menerus menaikkan tuntutan sampai menjadi sesuatu yang tidak realistis.



3.       Kita merasa terbuang dan tidak ada yang memahami kita. Perasaan kita disepelekan dan apapun yang kita alami dianggap tidak penting. Biarpun kita minta tolong, anggota keluarga lain tidak bersikap suportif. Biarpun kita mati-matian berjuang dengan kondisi emosi kita, anggota keluarga lain tetap tidak mau menunjukkan simpatinya.

4.       Kita merasa hanya terlihat ketika dibutuhkan. Anggota keluarga hanya akan bersikap baik bila mereka butuh sesuatu dari kita. Kalau mereka bersikap baik, biasanya akan ada sesuatu yang mereka butuhkan setelahnya. Anggota keluarga bersikap manipulatif dan menganggap kita adalah permainan untuk kebutuhan mereka saja. Mereka terus menerus mengambil dari kita tanpa pernah memberi.



5.       Kita merasa tak nyaman bila berkumpul dengan keluarga. Rasanya terpaksa sekali karena tak ada pilihan lain. Kita merasa tak betah terperangkap dalam lingkaran kenegatifan. Termasuk ke dalam ketaknyamanan ini adalah kita secara terus menerus mengalami kekerasa fisik di samping kekerasan verbal. Ini membuat kita tidak hanya tak nyaman tapi juga ketakutan dan trauma. Orangtua sering beralasan: mereka memukul demi kebaikan anak. Faktanya, jiwa anak terluka dengan pemukulan itu, yang kemudian membuat mereka sulit berkembang menjadi pribadi yang sehat. Kekerasan fisik juga menyebabkan anak yang lebih besar merasa berhak memukuli adiknya (atau pihak yang merasa berkuasa terhadap anak/pihak lain yang lemah).

6.       Ada permainan raja-pion seperti dalam catur. Biasanya ini ada dalam keluarga yang orangtua bercerai (atau tak henti-hentinya bertengkar). Orangtua memperalat anak-anaknya untuk saling melawan pasangannya. Hal ini bisa membuat anak-anak trauma.

7.       Terakhir, kita tidak merasa bahagia berada di sekitar keluarga kita. Keluarga menarik kita dalam lingkaran gelap kenegatifan. Bahkan ketika ada hal baik yang terjadi, mereka bisa mengubahnya menjadi sesuatu yang buruk.

Tinggal dalam keluarga yang toxic bisa mempengaruhi kesehatan mental. Dampaknya bisa menghantui kita selama sisa hidup kita. Luka fisik bisa diobati namun luka secara psikologis agak sulit sembuh tanpa penanganan yang tepat.

Kata para ahli, menjauhi keluarga yang seperti ini bukanlah perbuatan buruk. Sebaliknya, inilah yang paling tepat dilakukan untuk kesehatan mental. Langkah yang selanjutnya perlu dilakoni adalah menyembuhkan diri sendiri dulu. Untuk ini kita perlu terbuka, tidak denial, dan perlu mengenali tanda-tandanya (yang tentu saja perlu dilakukan bersama orang yang ahli).



Nah, sekarang, dalam situasi PSBB ini bagaimana kalau kita ternyata terperangkap dalam keluarga toxic?
Itu tadi, saya tidak punya solusi. Namun, jika kebetulan kita berada dalam posisi yang lebih punya power di keluarga, bersediakah kita mengambil langkah pertama untuk perbaikan dan penyembuhkan keluarga?

Kalau kita kebetulan berada dalam posisi yang tak punya daya, ini akan menjadi sesuatu yang sangat berat. Semoga, apapun yang terjadi pada diri kita, akan mengantar kita pada sesuatu yang lebih baik di kemudian hari. Believe in big picture. Saya yakin, kata-kata saya ini tidak membantu. Namun, setulusnya saya bersimpat dan berdoa bagi kita semua.

Demikianlah uneg-uneg saya tentang keluarga toxic ini. Semoga membantu.  

***

Pebatuan, 23 Mei 2020
@agnes_bemoe

Sumber tulisan ini saya ambil dari sini.