Sejak pertama kali usulan lockdown dilemparkan saya sudah
terpikir tentang sehat tidaknya rumah kita secara psikologis. Anggota keluarga
mau tak mau harus tinggal bersama selama sekian hari (bulan) kali 24 jam. Kalau
keluarga itu adalah keluarga yang sehat, masa-masa ini akan menjadi masa yang
tidak terlalu berat. Sebaliknya, bila keluarga adalah keluarga yang kurang
sehat (toxic), masa-masa ini akan
menjadi saat yang sangat berat dengan dampak lanjutan yang luar biasa merusak.
Sebelumnya, saya bukan psikolog. Saya awam tentang
psikologi. Ada kemungkinan saya salah. Itu juga yang membuat saya awalnya
ragu-ragu menuliskan opini saya ini. Namun, saya lalu mengambil risiko itu dengan
harapan ada yang bermurah hati berdiskusi dengan saya.
Kedua, saya tidak anti lockdown
(atau kemudian yang disesuaikan menjadi PSBB). Saya mendukung 100% demi keselamatan
jiwa banyak orang. Tapi bahwa saya lalu punya kecemasan tersendiri tentang
dampak psikologis lockdown, ya
benar, saya cemas.
Rumah jelas tempat yang paling aman untuk memutus persebaran
Covid 19. Namun, harus diakui, tidak semua rumah adalah rumah yang sehat secara
psikis.
Ada saja kasus dimana anggota keluarga lebih senang berada
di luar rumah; ayah yang lebih suka sibuk di luar kota, ibu yang lebih suka
tenggelam dengan organisasi yang dikelolanya, atau anak-anak yang lebih suka
nongkrong sampai pagi dengan teman-temannya misalnya, merupakan indikator kecil
bahwa belum tentu rumah adalah sarang yang nyaman. Anggota keluarga menghindari
bertemu dan berkumpul dengan anggota keluarga yang lain karena pertemuan itu
biasanya tidak menyenangkan; entah berakhir dengan pertengkaran fisik ataupun
verbal, entah perundungan, atau atmosfer negatif lainnya (ejekan, cercaan,
sindiran, dll).
Lalu sekarang, di masa PSBB ini anggotan keluarga mau tak
mau harus menerima dan menelan semua ketidaknyamanan itu. Hal ini pasti berat
dan sangat merusak secara psikis. Saya langsung teringat pada elemen paling
lemah dalam keluarga: anak. Bagaimana anak-anak yang kebetulan berada pada
keluarga toxic seperti ini.
Dalam tulisan ini saya tidak akan mencari solusinya karena
jujur, saya juga belum tahu apa solusinya. Namun, dalam pemikiran saya,
biasanya kita sendiri tidak sadar kalau kita ada dalam keluarga yang toxic. Kita tidak sadar karena dari
kecil kita hidup dalam situasi itu sehingga kita menganggap itu hal yang normal.
Kedua, karena menganggap toxicity
adalah sesuatu yang normal, biasanya kita tak mau memperbesar masalah (dengan
kata lain, tak mau serius menanganinya). Biasanya, kita lari pada penyangkalan:
bukan keluargaku. Keluargaku “baik-baik saja”.
Atas asumsi kita sendiri tidak menyadarinya itu saya
mengajukan beberapa indikator tentang rumah yang toxic di tulisan ini. Semoga tulisan ini membantu siapa saja yang
membutuhkan untuk men-scan kondisi
kesehatan psikis keluarganya.
Lalu, apa tanda-tandanya kita berada dalam keluarga yang toxic. Berikut ini ada tujuh tanda yang
menunjukkan kemungkinan besar kita berada dalam keluarga yang kurang sehat
secara emosional:
1.
Kita merasa diabaikan. Perasaan, perkataan,
apalagi opini kita dianggap tidak penting. Pernyataan semacam: ‘ah, kamu tau
apa’ atau sejenisnya biasanya digunakan untuk membungkam perkataan kita. Atau versi
yang lebih lunaknya, yang mau kita katakan langsung dipotong/disela dengan hal
lain. Hal ini membuat harga diri kita terluka. Kita merasa diabaikan dan tak
penting. Jarang ada pembicaraan timbal balik yang sehat dalam keluarga.
2.
Kita merasa dibebani dengan tuntutan yang
tinggi. Apa-apa harus perfect. Kita
merasa kita hanya layak dicintai kalau yang kita lakukan sudah sesuai dengan
harapan orangtua. Orangtua biasanya beralasan: ini untuk kebaikan anak. Mereka
tidak pernah puas atas capaian anaknya. Mereka jarang sekali memberikan pujian
untuk hal kecil yang dilakukan anaknya. Sebaliknya orangtua terus menerus
menaikkan tuntutan sampai menjadi sesuatu yang tidak realistis.
3.
Kita merasa terbuang dan tidak ada yang memahami
kita. Perasaan kita disepelekan dan apapun yang kita alami dianggap tidak
penting. Biarpun kita minta tolong, anggota keluarga lain tidak bersikap
suportif. Biarpun kita mati-matian berjuang dengan kondisi emosi kita, anggota
keluarga lain tetap tidak mau menunjukkan simpatinya.
4.
Kita merasa hanya terlihat ketika dibutuhkan.
Anggota keluarga hanya akan bersikap baik bila mereka butuh sesuatu dari kita. Kalau
mereka bersikap baik, biasanya akan ada sesuatu yang mereka butuhkan
setelahnya. Anggota keluarga bersikap manipulatif dan menganggap kita adalah
permainan untuk kebutuhan mereka saja. Mereka terus menerus mengambil dari kita
tanpa pernah memberi.
5.
Kita merasa tak nyaman bila berkumpul dengan
keluarga. Rasanya terpaksa sekali karena tak ada pilihan lain. Kita merasa tak
betah terperangkap dalam lingkaran kenegatifan. Termasuk ke dalam ketaknyamanan
ini adalah kita secara terus menerus mengalami kekerasa fisik di samping kekerasan
verbal. Ini membuat kita tidak hanya tak nyaman tapi juga ketakutan dan trauma.
Orangtua sering beralasan: mereka memukul demi kebaikan anak. Faktanya, jiwa
anak terluka dengan pemukulan itu, yang kemudian membuat mereka sulit
berkembang menjadi pribadi yang sehat. Kekerasan fisik juga menyebabkan anak
yang lebih besar merasa berhak memukuli adiknya (atau pihak yang merasa
berkuasa terhadap anak/pihak lain yang lemah).
6.
Ada permainan raja-pion seperti dalam catur. Biasanya
ini ada dalam keluarga yang orangtua bercerai (atau tak henti-hentinya
bertengkar). Orangtua memperalat anak-anaknya untuk saling melawan pasangannya.
Hal ini bisa membuat anak-anak trauma.
7.
Terakhir, kita tidak merasa bahagia berada di
sekitar keluarga kita. Keluarga menarik kita dalam lingkaran gelap kenegatifan.
Bahkan ketika ada hal baik yang terjadi, mereka bisa mengubahnya menjadi sesuatu
yang buruk.
Tinggal dalam keluarga yang toxic bisa mempengaruhi kesehatan mental. Dampaknya bisa menghantui
kita selama sisa hidup kita. Luka fisik bisa diobati namun luka secara
psikologis agak sulit sembuh tanpa penanganan yang tepat.
Kata para ahli, menjauhi keluarga yang seperti ini bukanlah
perbuatan buruk. Sebaliknya, inilah yang paling tepat dilakukan untuk kesehatan
mental. Langkah yang selanjutnya perlu dilakoni adalah menyembuhkan diri
sendiri dulu. Untuk ini kita perlu terbuka, tidak denial, dan perlu mengenali
tanda-tandanya (yang tentu saja perlu dilakukan bersama orang yang ahli).
Nah, sekarang, dalam situasi PSBB ini bagaimana kalau kita
ternyata terperangkap dalam keluarga toxic?
Itu tadi, saya tidak punya solusi. Namun, jika kebetulan
kita berada dalam posisi yang lebih punya power di keluarga, bersediakah kita
mengambil langkah pertama untuk perbaikan dan penyembuhkan keluarga?
Kalau kita kebetulan berada dalam posisi yang tak punya
daya, ini akan menjadi sesuatu yang sangat berat. Semoga, apapun yang terjadi
pada diri kita, akan mengantar kita pada sesuatu yang lebih baik di kemudian
hari. Believe in big picture. Saya yakin, kata-kata saya ini tidak membantu.
Namun, setulusnya saya bersimpat dan berdoa bagi kita semua.
Demikianlah uneg-uneg saya tentang keluarga toxic ini. Semoga membantu.
***
Pebatuan, 23 Mei 2020
@agnes_bemoe
Sumber tulisan ini saya ambil dari sini.
No comments:
Post a Comment