Follow Us @agnes_bemoe

Friday 30 June 2017

1 Juli

June 30, 2017 0 Comments


Sejak tahun 2010, 1 Juli bagi saya bukan lagi hari biasa. Saya melihatnya dengan cara berbeda dan saya selalu suka mengenangnya.

Satu Juli 2010, pagi hari,  saya memutuskan untuk tidak mau duduk berpangku tangan. Saya harus melakukan suatu kegiatan. Nothing changed! The sun was still shining there for me. None of their filthiness would stop me (saya mencabut sangkur pada yang memperlakukan saya dengan buruk).

Tidak ada tumpukan jadwal, pembagian tugas guru, dan bahkan laporan keuangan bulanan seperti tahun-tahun sebelumnya, but, you know what, I am more than piles of duty you've dumped to me.

Saya memutuskan untuk MENULIS. Bukan jadi penulis ya, hanya menulis.

'Cuma' menulis yang saya bisa. Maka, saya mengerjakannya dengan penuh determinasi dan kegembiraan.

Biasanya saya menulis puisi, cerpen, atau tulisan refleksi-motivasi. Saya TIDAK PERNAH menulis cerita anak. Hari itu, tanggal 1 Juli 2010, saya kedatangan ide cerita berbentuk cerita anak. Jujur, saya tidak mengaturnya supaya jadi cerita anak. Konsep itu datang begitu saja.

Kisahnya tentang seekor burung pipit kecil bernama Pita yang menghadapi intrik dan kekejian di Istana Raja Kishin.

Hari itu saya menulis, jadi 1 cerita. Langsung saya posting di facebook. Besoknya, saya tulis lagi 1 cerita lalu posting. Dan seterusnya setiap hari, sampai sekitar 20-an hari lalu saya menyadari bahwa respon yang saya dapatkan ternyata positif. Teman-teman yang baca suka cerita ini.

Saya pun ge-er. Apalagi ketika seorang editor dari sebuah penerbit mayor menyarankan untuk mengirimkan naskah itu ke penerbitnya untuk di-review. Ge-er-meter saya jebol!

Naskah Pita memang tidak berjodoh di penerbit tersebut. Pita terbit secara indie di LeutikaPrio tanggal 1 Desember 2010.

Ketika terbit, salah seorang mantan murid saya mendoakan: semoga ini menjadi awal bagi judul-judul berikutnya. Doa anak manis tersebut terkabul. Beberapa judul menyusul setelah Pita. April lalu barusan terbit "Ring of Fire" di Gramedia Pustaka Utama.


Bila melihat sebuah buku saya terbit, mau tak mau saya teringat Pita. Saya tidak pernah merencanakan jadi penulis buku anak. Pita membantu saya melihat panggilan saya yang satu ini, bahkan ketika saya sedang 'buta'. Dan itu semua bermula di suatu pagi di tanggal 1 Juli.

Sejak tahun 2010, 1 Juli bagi saya jelas dan tidak akan pernah jadi hari yang biasa buat saya.

Puji Syukur dan terima kasih saya sampaikan pada Yesus dan Maria, pada para kudus yang tak hentinya saya mintai jadi perantara: St. Yosef, St. Antonius a Padua, St. Malaikat Gabriel, dan Santa Germaine de Pibrac.

Terima kasih pada para pembaca pertama saya. Di antaranya yang saya ingat karena ketulusan dan supportnya: Fonny Jodikin, Femi Khirana,  Bhudi Tjahja, Fidelis R. Situmorang, Christine Thilio Arwan, Mulyani Kurniaty, dkk.



***

Pembatuan, 1 Juli 2017
@agnes_bemoe

Tuesday 27 June 2017

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: PERNIK ASYIK MARIA SYAUTA

June 27, 2017 0 Comments
Judul Buku                  : Pernik Indah di Kain Hidupku
Penulis                         : Maria Syauta
Jenis                            : Motivasi

Pernik Indah di Kain Hidupku - Maria Syauta

Dalam kehidupan yang serba sibuk dan bising, banyak hal kecil dilewati, dianggap remeh, lalu dilupakan begitu saja. Maria Syauta memilih jalan berbeda. Ia memilih berhenti sejenak, menajamkan telinga, melihat lebih dalam, lalu ‘mengunyahnya’. Kunyahannya itulah yang dikumpulkan menjadi duapuluh sembilan tulisan di buku ini.
Sebuah lorong ICU yang bersebelahan dengan ruang bersalin di sebuah rumah sakit, misalnya, yang sehari-harinya adalah hal yang amat sangat lumrah mengantar Maria Syauta pada permenungan tentang siklus hidup manusia. Lahir dan mati. Suka dan duka. Datang dan pergi. Semuanya itu adalah satu paket keniscayaan yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Kalimat seperti ini mungkin sering terbaca di berbagai tulisan. Namun, pernahkan kita hening sejenak merasakan maknanya?  
Buku ini asyik dibaca terutama karena mengangkat hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Diawali dengan kutipan lagu atau puisi, setiap tulisannya memaparkan perjalanan refleksi penulisnya dengan ringan. Penulisannya ringkas dan tidak bertele-tele. Tulisannya pendek dengan bahasa yang efektif. Karenanya, beberapa tulisan di dalamnya langsung menjadi favorit saya. Sebut saja “Don’t Give Up” di halaman 35 atau “Komitmen Cinta 40 Hari” di halaman 89.
Selain isinya yang menyenangkan, saya ingin secara khusus mengangkat topi pada kualitas bahasa yang digunakan Maria Syauta. Bila pengamatan saya tidak keliru, buku ini tidak menggunakan editor profesional. Namun demikian, saya nyaris tidak menemukan kesalahan berbahasa yang memalukan. Menurut saya, sudah saatnya yang mengaku penulis konsekuen dengan kualitas pembahasaannya. Dan, saya sangat menghargai Maria Syauta dalam hal ini. Ini menjadi standar baru yang akan mengangkat martabat buku-buku indie.
Bila saya boleh menyampaikan kritik, yang mengganggu buat saya adalah jumlah endorsement di bagian awal. Saya pernah menemukan buku-buku serupa dan saya menamainya buku dengan “entrée yang terlalu berat pada jamuan three-courses meal”. Karena isinya cenderung sama, pembaca ‘kekenyangan’ sebelum menikmati isi buku sebenarnya. Saya memilih memanfaatkan endorsement sebagai pemancing terhadap isi. Karenanya, satu, dua, atau tiga buah yang benar-benar ‘nonjok’ akan lebih menyegarkan dan bermanfaat.
Namun demikian, terlepas dari kekurangannya (yang mungkin juga selera pribadi saya), saya menikmati buku ini. Mengutip yang dikatakan Fidelis R. Situmorang –salah seorang endorser-: buku ini sangat saya rekomendasikan kepada para pembaca karena sebenarnya semua orang mengalaminya dan pemaknaannya tergantung pada semua pengalaman dan input yang masuk entah tersaring secara spiritual atau tidak. Buku ini menjadi cerminan dan tuntunan yang sangat apik bagi kita untuk memaknai kehidupan kita sehari-hari. Highly recommended! (db)

***

Pembatuan, 28 Juni 2017

@agnes_bemoe

Sunday 25 June 2017

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: INFORMASI VERSUS IMAJINASI

June 25, 2017 0 Comments
Judul Buku                  : Empat Pintu
Penulis                         : Afifah Rosyad, Intan Raksaprawira, Va Madina, Udo Indra
Penerbit                       : The AR Publishing, 2017
Jenis                            : Kumpulan Puisi (Antologi)



“Ada daun jatuh, tulis!” Begitu kata Saut Sitompul dalam puisinya “Puisi”.
Puisi sejatinya ungkapan rekaman penulisnya tentang dirinya dan atau hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Rekaman itu bisa sesederhana sehelai daun yang jatuh atau sekompleks sebuah perang dan pertikaian. Antologi puisi “Empat Pintu” merekam dengan jeli segala peristiwa yang dialami atau terjadi di sekeliling para penulisnya.
Rentang ragam ini dicerminkan dalam judulnya, Empat Pintu, yang menunjukkan bahwa buku ini memberi panggung tersendiri bagi kekhasan setiap penulisnya yang berjumlah empat orang itu. Hal itu menjadikan buku ini seolah kumpulan empat buah buku kecil yang dijadikan satu.
Dari keempatnya, most favorite saya adalah puisi-puisi Intan Raksaprawira di pintu kedua. Membaca puisi-puisi Intan, saya merasa bertemu dengan harmoni yang sama. Harmoni itu anehnya diciptakan oleh kata-kata yang ‘tidak sepenuhnya saya mengerti’ bila harus menggunakan akal namun saya merasakannya.
Saya suka pada kenyataan bahwa kata-kata yang dirangkaikan Intan seolah mempunyai sayap yang membawa saya terbang bebas pada penafsiran dan atau indentifikasi. Intan, bagi saya, merekam dengan jeli apa yang sedang dia alami atau terjadi di sekelilingnya lalu meramunya menjadi sesuatu yang bisa dirasakan oleh orang lain (saya). Saya menghargai bahwa Intan tidak menjejali pembacanya dengan informasi atau pengajaran seperti yang ia inginkan. Intan menuliskannya dan membiarkan pembaca mengunyah dengan kenikmatan masing-masing. Saya menikmati kematangan Intan dalam mengolah kata-kata. Kelihatan sekali Intan meluangkan waktu untuk mengendapkan semua informasi yang dimiliki sebelum akhirnya menuangkannya dalam sebentuk puisi.
Seperti Natal dan Sabatmu, aku termangu
Aku enggan pulang
Sejak dulu aku benci mengalah
Benci satu kata pecundang yang sering kali diputar di kepala,
kekalahan
(Rahim, Hal. 36)
Apa kemungkinan makna yang muncul dari kata ‘rahim’, ‘natal’, ‘sabat’? Bisa berjuta makna. Intan pasti punya makna spesifiknya buat dia sendiri. Bagi saya, percikan ironi yang tersirat dalam puisi ini sungguh melontarkan saya pada imajinasi yang bermacam-macam. Dan bagi saya yang hanya seorang penikmat puisi, itulah keasyikan membaca puisi: pembaca diberi langit maha luas untuk dijelajahi. Ini adalah satu contoh kecil mengapa saya sangat menikmati puisi-puisi Intan Raksaprawira.
Bila ada yang paling saya suka, ada juga my least favorite poems. Dan itu adalah puisi-puisi Afifah Rosyad di pintu pertama. Afifah terampil merekam hal-hal yang dialaminya atau terjadi di sekelilingnya. Namun demikian, menurut saya, puisi-puisi Afifah akan jauh lebih baik bila dituliskan melalui proses pengendapan dan pematangan. Membaca puisi-puisinya, pembaca langsung tahu apa yang sedang dibicarakannya. Ini, buat saya, mempersempit ruang interpretasi, apalagi kalau kebetulan interpretasi akan suatu peristiwa tidak sama dengan yang dipaparkan oleh puisi. Pembaca jadi penadah informasi, tanpa ruang imajinasi. Tanpa imajinasi, di mana puisi berdiri?
Di antara keduanya ada puisi-puisi Va Madina dan Udo Indra. Tidak semua puisi-puisi yang mereka tuliskan bisa saya nikmati walaupun terus terang saya menyukai permainan kata dan bentuk puisi yang mereka tawarkan, terutama pada puisi-puisi Udo Indra. Coba simak contoh yang satu ini:
TAFSIR
Tanda Tanya menghadapi Titik.
(Udo Indra)
Ini sebentuk puisi yang sangat pendek, hanya satu baris. Memang bukan sesuatu yang otentik dalam bentuk. Namun demikian, permainan bentuk seperti ini membuat pembaca lebih lama tercenung untuk menelusuri relung kata-katanya. Dan itu mengasyikkan.
Demikianlah “Empat Pintu” bagi saya. Bila anda juga seorang penikmat puisi seperti saya, tidak ada salahnya anda mengkoleksi buku ini. Bila anda pecinta imajinasi lewat kata-kata, buku ini adalah teman yang tepat! (db)

***

Pembatuan, 25 Juni 2017

@agnes_bemoe