Follow Us @agnes_bemoe

Sunday 30 June 2013

TULISAN PERTAMAKU 1 JULI 2010: PITA SI PIPIT KECIL

June 30, 2013 2 Comments
 Tanggal 1 Juli 2010 secara resmi saya bukan lagi seorang guru. Saya memulai hari itu dengan menulis. Inilah yang saya tulis pada hari itu:


PITA, SI PIPIT KECIL

Pita, seekor burung pipit kecil, sedang bermain dengan riang, ketika dilihatnya Kishin, si Raja Hutan Kumalama dari kejauhan.

Kishin ternyata sedang bermain bersama anak-anaknya, sambil menikmati hangatnya matahari. Pita tertarik untuk mengamati mereka. Ia berhenti di sebuah dahan yang agak tinggi, dan mulai mengamati bagaimana bahagianya Kishin dengan anak-anaknya yang lucu.

Namun, tiba-tiba Pita melihat sesuatu yang lain di balik semak-semak. Nipa, seekor ular hitam sedang mengintip, hendak memangsa salah satu anak Kishin. Pita mencoba berteriak-teriak untuk memperingatkan Kishin, tapi Kishin nampaknya tidak mendengarkannya, karena ia begitu asyik bermain dengan anak-anaknya.

Pita semakin cemas, karena Nipa dengan matanya yang buas dan licik semakin mendekat. Ia mencericit ke sana ke mari tak menentu, namun Kishin tak juga mendengar. Kemudian, terpikirlah oleh Pita suatu akal. Maka, tanpa pikir panjang, Pita terbang, meluncur dengan cepat, mendekati Kishin, dan kemudian secepat kilat mematuk ekor sang Raja sekeras-kerasnya.

“GGGRRRAUUUNGG!!!” aum Kishin karena kagetnya. Ia langsung tersentak, karena merasa ada yang menggigit ekornya.

Ternyata, auman Kishin yang begitu keras itu ikut juga mengagetkan Nipa, si ular hitam. Kepalanya sontak terangkat, dan saat itulah Kishin menyadari ada bahaya di sekitarnya: Nipa, si ular hitam!
“Nipa! Menjauh dari anak-anakku!” geram Kishin.
Tanpa berkata sepatah pun, Nipa beringsut menjauh. Kishin dan anak-anaknya selamat dari ular hitam yang jahat itu.

Di atas padang rumput, Kishin melayangkan pandangannya, mencari tahu siapa yang telah menggigit ekornya keras-keras tadi. Dari kejauhan ia melihat seekor burung pipit sedang terbang sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
***



English Version:
PITA, THE LITTLE SPARROW

Pita, a little sparrow, was flying to the left and right gaily, as she saw Kishin, the King of Kumalama Jungle from a distance. Kishin was playing with his adorable children under the warm sun. Pita was interested to see them. She stopped at a rather high branch, and began to watch how happy Kishin and his children were.

Suddenly, Pita saw something behind the bushes. It was Nipa, a black snake. He was spying, intended to prey on one of Kishin’s children! Pita tried to yell to warn Kishin, but The King seemed not to listen. He was so engrossed in playing with his children.

Pita became worried, as Nipa, with his savage cunning eyes, got even closer. Pita screamt loudly, but Kishin didn’t hear her voice. Pita got an idea. Without taking too much time, Pita flew, glided swiftly, approached Kishin, and then pecked the King’s tail at lightning speed.

"GGGRRRAUUUNGG!" roared Kishin. He immediately snapped, because he felt something biting his tail.
Kishin's roar was so loud, that it came to shock Nipa, the black snake. Nipa’s head was torn up, and that's when Kishin realized there was a danger: Nipa, the black snake!
 "Nipa! Away from my kids!" growled Kishin.
Without saying any word, Nipa moved away. King Kishin and his children were safe from that evil black snake.

Above the meadow, Kishin cast his view to find out who had been biting his tail earlier. From a distance the King saw a sparrow flying with a little singing.


***
Tulisan ini dan beberapa tulisan selanjutnya kuposting di note fb. Tak sangka, cerita-cerita itu akhirnya terkumpul. Aku pun memutuskan untuk menerbitkannya secara indie melalui LeutikaPrio.

Buku "Pita, Si Pipit Kecil/Pita, The Little Sparrow" akhirnya resmi terbit 1 Desember 2010, bertepatan dengan hari ulang tahun Hans Christian Andersen.

Sila membaca informasi rinci tentang buku "Pita, Si Pipit Kecil/Pita, the Little Sparrow" di sini.

Pekanbaru, 1 Juli 2013
Agnes Bemoe

MEMBANGUN JEJARING DI BIDANG KEPENULISAN (BAGIAN 2 - SELESAI)

June 30, 2013 2 Comments
Di tulisan sebelumnya saya memaparkan tentang siapa saja yang potensial menjadi bagian dari jejaring kita. Berikut ini pemaparan sangat sederhana tentang bagaimana membangun dan merawatnya.

DIMANA, BAGAIMANA
Pada dasarnya jejaring bisa dibangun dimana saja. Namun, zaman sekarang ini penulis dipermudah dengan banyaknya media sosial. Penulis bisa mulai merangkai jejaringnya dari sana: milis, grup kepenulisan, page, blog, dan lain-lain.

Selain dunia virtual, tentu saja dunia nyata adalah tempat yang sempurna untuk mulai. Biasanya dalam event-event seperti peluncuruan buku, bedah buku, seminar, workshop, temu penulis, dll, kita bisa menemukan orang-orang yang tepat.

Tidak tertutup juga acara-acara lain yang tidak ada hubungannya dengan kepenulisan. Satu pengalaman pribadi saya membuktikan. Saya ikut dalam sebuah seminar mengenai pengembangan diri khusus untuk perempuan. Acara itu dibuka oleh istri Gubernur Riau, Ibu Septina Rusli Zainal. Saya memberanikan diri untuk memperkenalkan diri. Mengetahui saya penulis dan sedang berusaha menerbitkan kumpulan cerita tentang perempuan Riau, Ibu Septina memberikan nomor telepon Pusdatin Puanri (Pusat Data dan Informasi Perempuan Riau). Kerja samanya memang belum berhasil. Namun, tidak berarti juga akan gagal terus. Tidak tertutup kemungkinan di masa depan, saya rasa, untuk menjalin kerja sama lagi.

KUMPULKAN, PELIHARA, SARING
Dalam hal ini, penulis perlu pro-aktif: menampilkan karya, memperkenalkan diri, berbaur dengan penulis lain.
Secara teknis, penulis akan butuh daftar alamat, nomor telepon, dan atau alamat email yang teroganisir. Begitu kenal dengan seseorang, langsung simpan alamat kontaknya, langsung tandai pengelompokannya (penulis, editor, illustrator, dll. Kumpulkan sebanyak mungkin teman. Jangan dahulu disaring, apalagi menyaring dengan ukurang suka atau tidak suka pada orang tersebut.

Dalam hal mengumpulkan ini, lagi-lagi saya belajar dari pengalaman pribadi (maaf, referensi saya sejauh ini masih dari pengalaman pribadi). Waktu menjadi pimpinan sebuah sekolah saya memang memiliki kartu nama. Waktu jadi penulis, saya sama sekali tidak merasa perlu punya kartu nama seperti orang kantoran. Ternyata, saya salah. Ketika mengikuti kegiatan AFCC (Asian Festival of Children’s Content), saya sempat kikuk ketika dimintai kartu nama. Saya tidak punya! Dari situ saya berpendapat, tidak peduli anda penulis kecil, besar, pemula, kawakan, kartu nama penting.

Bila sudah berkenalan sebaiknya kita memelihara relasi yang sopan dan wajar. Tidak terlalu mengejar sampai terkesan merepotkan tetapi jangan juga terlalu dingin, seolah-olah hanya berhubungan bila perlu. Momen standar dalam persahabatan/pertemanan hendaknya diingat, semisal ulang tahun, keberhasilan menerbitkan buku, perayaan keagamaan, dll.

Catatan bagi saya pribadi: saya menghindarkan diri melihat orang lain HANYA DAN SEBATAS kepentingan kepenulisan. Bagi saya, yang sudah saya kenal adalah benar-benar teman/sahabat. Walaupun ia sampai detik ini yang bersangkutan tidak memberikan keuntungan apa pun buat saya, saya akan tetap dengan senang hati bertemannya.

Berikutnya, walaupun kita seharusnya mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya, jangan lupa mengevaluasi dan menyaring pertemanan. Standar evaluasinya bisa bermacam-macam. Bagi saya pribadi, bila sudah terbilang tahun tidak lagi saling berhubungan, maka biasanya saya akan menyudahi pertemanan. Attitude juga salah satunya menjadi pertimbangan saya dalam memelihara sebuah pertemanan.


RAJUTAN JEJARING YANG MELEBAR
Pelan tapi pasti, kita melihat bahwa kita mengenal lebih banyak orang. Orang itu tidak jarang membantu kita mengenal orang lain lagi, dan begitu seterusnya. Di lain pihak, kita pun menjadi perantara bagi orang lain untuk saling kenal dan bekerja sama. Pendek kata, jejaring yang kita rajut melebar dan menjadi dua arah.

Sekian.

***
Ini adalah tulisan yang menginspirasi saya menuliskan artikel ini: Membangun Jejaring di Bidang Pendidikan

Pekanbaru, 1 Juli 2013
Agnes Bemoe

MEMBANGUN JEJARING DI BIDANG KEPENULISAN (BAGIAN 1)

June 30, 2013 11 Comments
Berhenti sebagai guru saya menyangka beberapa ilmu yang saya pelajari tidak akan terpakai lagi, contohnya Manajemen Persekolahan, khususnya membangun jejaring. Ternyata saya keliru.
Saya baru tiga tahun menjadi penulis. Dalam rentang itu saya menyadari bahwa ternyata sebagai seorang penulis saya pun perlu membangun jejaring.

Berikut sedikit refleksi saya mengenai perlunya jejaring buat penulis (baca: saya). Catatan: mungkin langkah ini tidak terlalu berguna buat yang lain, namun, terbukti sangat membantu buat saya.





DARI MANA DAN KEPADA SIAPA
Penulis tidak mungkin bisa sendirian dalam proses menulis dan kemudian menerbitkan bukunya. Sebaliknya, penulis butuh banyak pihak untuk membantunya. Bagan berikut ini merupakan rekaan saya tentang kepada siapa saja penulis harus membangun jejaringnya.

1.    PENULIS LAIN
Penulis lain, entah penulis lama ataupun baru, merupakan sumber belajar bagi penulis. Dari penulis lama, kita mendapatkan pengalamannya yang mungkin bisa sangat unik dan spesifik. Dari penulis baru kita belajar ide, semangat, cara pandang baru yang dibawanya.

Kita bisa mengenal penulis lain secara perseorangan. Namun, di zaman media sosial seperti sekarang ini kita bisa mengikuti grup-grup kepenulisan.

2.    EDITOR
Sebaiknya tetap membangun hubungan baik dengan editor, entah naskah kita ditolak, atau diterima. Jangan sampai menjadikannya sesuatu yang personal bila naskah yang kita kirimkan belum diterima oleh editor. Memelihara hubungan baik dengan editor jauh lebih sehat daripada mengelus ego kita sendiri.

Lebih baik juga kalau hubungan dengan editor tidak bersifat “one night stand” (maaf, apa ya istilah yang patut?). Maksud saya, jangan mentang-mentang naskah sudah terbit lalu tidak lagi ada tegur sapa, atau bahkan ucapan terima kasih.

3.    PENERBIT
Penerbit biasanya tampil dalam bentuk editor. Tetapi ada juga penerbit yang menerapkan pola  “one man show” (tentunya ini adalah hasil pemikiran matang, dengan meliat situasi dan kondisi penerbit), pemiliknya bertindak sebagai head-editor sekaligus penghubung dengan penulis.

Bicara penerbit, bisa juga berarti penerbit indie. Banyak yang meragukan kualitas penerbit indie. Saya tidak akan membahas masalah itu. Namun, menurut saya pribadi, membangun relasi dengan penerbit indie merupakan suatu langkah yang positif.

4.    ILUSTRATOR
Tidak semua buku membutuhkan illustrator. Kebetulan, saya sendiri menulis buku anak yang pasti membutuhkan ilustrasi yang bagus. Mengenal illustrator dan menjalin silaturahmi dengan mereka terbukti membuat buku saya kelihatan lebih indah daripada yang saya bisa bayangkan.

5.    PEMBACA POTENSIAL
Pembaca potensial adalah orang-orang yang saya anggap akan membeli dan membaca buku saya: teman lama, kenalan baru, saudara, anggota grup tertentu, dll.

6.    CALON PEMBACA POTENSIAL
Saya menemukan calon pembaca potensial dari jejaring sosial. Mereka bukan teman lama, bukan kenalan baru, bukan saudara, atau bukan anggota grup, tetapi tahu-tahu saya menemukan komentar mereka tentang buku saya di Twitter, misalnya.

7.    LAIN-LAIN
Enam yang pertama adalah yang sudah saya jalani dan alami dalam pengalaman saya yang masih seumur jagung ini. Saya yakin, masih banyak pihak yang perlu dikenal oleh penulis. Katakanlah misalnya, production house. Mungkin belum, dalam tahapan saya. Tapi saya mengikuti pengalaman seorang penulis yang naskahnya diangkat ke layar perak melalui sebuah production house.

Yang lain, yang bisa saya pikirkan, adalah para akademisi (pakar) dalam bidang kepenulisan. Ilmu yang didapat dari para akademisi saya yakin memperkaya dan memperdalam seorang penulis.

Yang satu ini adalah tambahan dari seorang kawan penulis, ibu Naqiyyah Sam, ketika tulisan ini saya posting di suatu grup kepenulisan di fb. Menurut beliau Media Massa Lokal adalah pihak yang perlu digandeng. Bila mempunyai buku yang baru terbit, jangan segan membuat press release-nya dan mengirimkannya ke media massa lokal. Terima kasih Bu Naqiyyah!

***
(Bersambung)

Ini adalah tulisan yang menginspirasi saya membuat artikel ini: Membangun Jejaring di Bidang Pendidikan

Pekanbaru, 1 Juli 2013
Agnes Bemoe

Sunday 23 June 2013

DENGAN MENGELUH DAN MERENGEK, BISAKAH?

June 23, 2013 2 Comments
Entah kenapa, saya lagi terganggu banget dengan postingan (di grup) atau status di media sosial dari beberapa penulis yang isinya full rengekan dan keluhan.

  • Enggak ada waktu
  • Sibuk ngurus anak
  • Cuma punya HP (hellow? Cuma??). Eh, malah ada yang pernah ngeluh karena cuma pake kompie dan bukan leppie... *pingsan deh!
  • Warnet jauh
  • ...
  • ...
  • ...
Seharusnya sih saya ndak usah peduli. Nah ya itu, entah kenapa saya tergoda untuk peduli. Paling tidak, dari itu saya mau membangun pondasi untuk saya sendiri :p

Menurut saya, masalah biasanya dihadapi dengan dua cara: FIGHT atau FLY. Kelihatannya ada yang memilih jalan lari dari masalah, kemudian membangun setinggi-tingginya tembok pembenaran berupa keluhan dan rengekan. Lebih gampang, tinggal tunjuk hidung ke pihak lain sebagai penyebab. Dan dengan demikian, kita terbebas dari tanggung jawab atas kegagalan kita. So typical! *sigh

Yang membuat saya lebih heran lagi, ternyata status mapun postingan itu malah mendapat approval! Banyak 'elusan', 'puk-pukan', dan lain-lain. Yang jelas, tidak ada koreksi sama sekali. (Mungkin segan ya...)

Amboi! Teringat beberapa ajang cari bakat atau kompetisi di stasiun televisi. Semakin "menderita" kisah hidup si calon artis, semakin banyak SMS yang dia dapatkan.Semakin dia mewek-mewek, semakin deras pujian yang didapatkan. Hadooh!

Apa iya mentalitas seperti ini yang mau dipupuk?

Di sisi lain, saya punya kenalan beberapa penulis. Saya sering stalking di facebook mereka. Ups! Ngaku! Mengapa? Karena setiap kali membaca status yang mereka tulis energi positif saya seperti charging.

Isi status atau postingan mereka biasanya:
  1. Kegiatan sehubungan dengan kepenulisan (buku terbit, ikut seminar, atau malah jadi pembicara, dll)
  2. Ide
  3. Tanggapan atas isyu
  4. Sering malah isinya adalah humor yang segar.
Intinya, jauuuuuuuuuuuhhhhhhhh..... sekali dari mengeluh dan merengek! Dan penulis-penulis yang saya maksud di atas itu malah sudah bejibun bukunya, sudah wara-wiri jadi pemateri, pokoknya tinggi di atas awan!

Sempat terpikir, apakah di awal perjalanan mereka, mereka juga perengek dan pengeluh ya? Sepertinya kok TIDAK. Hlo, kok saya seyakin itu? Iya sih, pasti ada saat mereka mengeluh. Tapi, mengeluh dalam porsi yang wajar di tempat yang tepat, kayaknya. Berbeda dengan litani keluhan dan rengekan yang diumbar kemana-mana.

Saya yakin, mbak-mbak penulis yang saya stalker-i itu lebih memilih FIGHT ketimbang merengek. Kalau tidak, sulit rasanya menumbangkan batu karang tantangan di dunia kepenulisan. Bener nggak sih, embak-embak? Hehehe...


Well, yang mbaca mungkin mbathin: alah! sok! memangnya dia siapa? nggak pernah ngeluh? sudah hebat? huh!! --> Gak papa, I got that a lot! :p Yang penting, tulisan ini mau saya jadikan reminder buat saya sendiri. Ke depan, puasti ada banyak sekali masalah. Sejauh yang bisa saya usahakan, saya mending memilih FIGHT.

See ya!

Pekanbaru, 23 Juni 2013
Agnes Bemoe

Thursday 6 June 2013

BOOKS THROUGH MY EYES (BTME): ANAK DAN ANJING YANG TAK BIASA

June 06, 2013 2 Comments
Judul Buku    : One Dog and His Boy
Penulis          : Eva Ibbotson
Ilustrator       : Sharon Rentta
Penerbit        : Marion Lloyd Books (An Imprint of Scholastic Children’s Book), Euton House, 24
                      Eversholt Street London, NW1, 1 DB, UK
Genre            : Fiksi Anak
Jumlah Halaman    : 271halaman



Kisah anak dan anjingnya sebenarnya kisah biasa.
Eva Ibbotson membuat cerita ini jadi luar biasa. Tidak heran bila Frank Cottrell Boyce memujinya:
“Blows me away… It takes a sweetly old fashioned story –boy wants dog- and makes it feel crispy, new and even edgy.”
Boyce benar belaka.

Buku ini menceritakan tentang Hal, anak keluarga kaya yang ingin punya anjing. Orang tuanya melarang karena kawatir rumah mereka dirusak oleh anjing. Ketika berulang tahun, Hal mendapatkan seekor anak anjing. Hal sudah terlanjur senang, sampai ia tahu orang tuanya menipunya. Anak anjing itu hanya pinjaman. Tidak bisa dimilikinya. Kemarahan Hal berubah menjadi kenekatan. Ia berusaha mendapatkan kembali Fleck, walaupun untuk itu ia harus membobol pet-shop, mencuri Fleck, lalu kabur!

Eva Ibbotson sangat piawai merangkai cerita. Tidak ada satu detil pun yang hanya hiasan semata. Semuanya punya cerita. Perhatikan bagaimana sebuah flanel biru milik Fleck yang di awal cerita kelihatannya hanya menjadi manian ternyata menjadi penentu di bagian akhir cerita.

Plot berjalan cepat dan mantap. Benar kata SCHOOL ZONE: “An exquisitely crafted book with not a single wasted word.”

 Setiap bagiannya menjanjikan petualangan yang seru dan menyentuh.  Ibbotson juga tidak kehilangan selera humornya. Humor yang jauh dari slapstick. Contohnya adalah bagaimana Darth dan Terminator, dua pitbull-mixed yang garang, tidak dapat menahan diri untuk menggoyangkan ekornya bak anak anjing di depan Otto, St. Bernard teman Hal dan Fleck.

Namun, sepertinya Eva Ibbotson tidak ingin menyajikan sebuah petualangan saja. Melalui buku ini, Ibbotson seolah-olah ingin menyentil persepsi keliru para orang tua tentang menyayangi anak. Orang tua sering menyayangi anak dengan ukurannya sendiri, dan bukan dari sudut pandang anak. Dari kesenjangan itulah kisah ini bermula.

Dari sudut bentuk cerita, semenjak “Lima Sekawan”, saya belum melihat lagi novel anak yang dikemas serius namun ramah anak beredar di Indonesia. Dengan “serius” maksud saya adalah bukan versi gokil, versi diary dengan bahasa lisan tertulis, ataupun versi illustrated yang sekarang sedang digemari oleh anak-anak Indonesia.
Saya bermimpi ada penerbit yang berani menerbitkan novel pemegang The Sheffield Children’s Book Award dan The Red House Children’s Book Award ini. Saya yakin, bisa jadi alternatif yang menyegarkan.


 ***

Pekanbaru, 7 Juni 2013
Agnes Bemoe

Tuesday 4 June 2013

Saya dan Warga Singapura

June 04, 2013 0 Comments
Waktu pertama kali ke Singapura tahun 2011 lalu, saya empet banget sama orang Singapura dan sempat berpikir ogah menjejakkan kaki lagi di negeri ini.

Saya sebel sama seorang sopir yang kami naiki dari pelabuhan. Dia tidak tahu dimana letak Merlion (!). Saya bilang, masak anda orang Singapur tidak tahu Merlion? Dia malah bilang dengan judesnya: saya ini sopir, bukan computer!
*pengen rasanya nyakar engkong satu nih!*
Hellow! Komputer nggak harus nyopir nganterin penumpang, dodol!!

Nah, kedua kalinya saya ke Singapur, ternyata saya dapat pengalaman berbeda.
Sebentar, waktu turun dari pesawat, sopir taksi memang dengan ketusnya sempat nanyak dengan sengaknya: “Cash only!!” *beugh!
Tapi, ternyata cuman bawang pritilan yang satu ini yang nyebelin. Selebihnya, oke kok :D

Bukti #1
Saya lagi jalan di jalan besar persimpangan dengan Lavender Street. Jalan bengong, karena nyari tempat antri taksi. Lama saya mondar-mandir kok gak kelihatan. Petugas hostel yang manis bilang, nggak jauh dari hostel, setelah bus stop, bisa antri taksi.

Di depan saya ada semacam gudang gitu. Ada petugas pembersih dan ada seorang security yang udah berumur. Pak Security ini mungkin merhatikan betapa linglungnya saya di jalan itu.
Dia mendekat dan tanya, saya mau cari apa. Setelah tahu kalau saya cari taksi, beliau jelaskan lagi bahwa menunggu taksi itu di Jalan Lavendernya bukan di jalan ini. Owalaaah… pantes!

Eh, ternyata, trus dia berbaik hati nyetopkan taksi. Dia bilang, kali aja sopirnya mau, karena pas berhenti lampu merah. Biarpun ternyata para sopir sangat patuh dan ndak ada yang mau, saya sangat MENGHARGAI bantuan dari bapak security ini. Baik sekali dia mau menolong saya yang o’on dan kebingungan.

Bukti #2
Salah satunya saya ndak mau naik MRT atau bus adalah karena saya ini o’on berat dalam hal angkutan umum. Salah satunya, nyari stasiun MRT Lavender aja gak nemu-nemu! Padahal udah dikasi penjelasan.
Nah, kali ini saya memberanikan diri nanyak sama seorang bapak-bapak yang pakaiannya rapi banget! Kalo disemprot ya terima nasib lah…

Eh, bapak yang perlente ini ternyata baik. Dia bilang menunjuk sebuah tanda dengan latar hijau sambil bilang, lain kali kalau melihat tanda itu, itu pasti stasiun MRT. Dia lalu malah ajak saya jalan bersama karena tujuannya sama.

Bukti #3
Supir taksi yang mengantar saya dari Novena Church ke National Library Building ternyata seorang katolik. Setahu saya, orang Singapura nggak suka berbasa-basi, apalagi ngobrol. Eh, bapak ini dengan sangat ramah malah menjelaskan tentang gereja-gereja katolik di Singapura. Beliau jelaskan tempat-tempatnya termasuk kelebihannya termasuk bagaimana kalau mau ke sana. Komplit!

Beliau juga jelaskan tentang kehidupan masyarakat katolik di Singapura. Andai aku ke Singapura untuk reportase umat katolik Singapura, wah, pasti buanyak info aku dapatkan dari bapak ini.
Ketika tahu aku akan ikut seminar, bapak ini (mungkin menyangka aku dari institusi) berinisiatif ngasi bon taksi ke aku. Katanya, supaya dapat penggantian. Aku terima aja. Aku anggap itu sebagai bentuk perhatian dari bapak itu.

Beberapa kali naik taksi, ternyata mereka nggak bermasalah seperti supir taksi yang aku temui tahun 2011 lalu.

Supir taksi yang nganterin aku ke bandara malah ngebantu banget. Dia tanya, aku naik pesawat di terminal berapa. Hah? Aku gak tau terminalnya. Aku cari-cari di tiket, gak disebutkan terminal berapa.
Bapak itu dengan sabar bilang, dibaca baik-baik, di terminal berapa. Trus, akhirnya, dia bilang mau mberhentikan taksinya dulu untuk bantu ngeliatkan (padahal di Singapura nggak boleh sembarangan mberhentikan mobil kan?)

Dia berhenti, trus bantu ngeliatin tiket. Informasinya memang nggak ada. Trus bapak itu bilang: dia akan memberhentikan saya di Terminal 2. Saya disuruh tanya di informasi, di terminal mana saya seharusnya berangkat. Kalau ternyata terminal 1 atau 3 maka tinggal naik Sky Train dari terminal 2. Bapak itu juga jelaskan bahwa tidak susah cari Sky Train.
Saya sudah nervous berat! Hadoohh!!! Paling gemeter kalo suruh naik angkutan umum! Secara, saya o’on berat!

Tapi, saya senang dengan pertimbangan bapak itu. Dari Terminal 2 ke Terminal 1 atau 3 tidak terlalu jauh, jadi saya tidak perlu terlalu repot.
Saya bilang, waktu datang saya turun di Terminal 2 sih. Bapak itu semakin yakin untuk menurunkan saya di Terminal 2.
Waktu udah nyampe, bapak itu bantu mengintipkan pengumuman tentang maskapai-maskapai mana saja yang turun di terminal itu. Ternyata Mandala di situ! Syukurlah!

Bukti #4
Di bandara. Sekarang saya bingung karena plang yang bertuliskan “MANDALA” nggak ada. Piye iki? Apa salah terminal ya?
Bolak-balik saya periksa, memang benar, Mandala di Terminal 2. Lalu, kenapa nggak ada plangnya? Trus, saya check-in dimana?

Lagi-lagi saya kena panic-attack!
Kalo salah, gimana. Kalo ndak bisa pulang, gimana?

Setelah muter-muter dan bolak-balik kurang lebih 2751 kali, tiba-tiba seorang gadis berseragam merah mendekati saya. Dia nanya, saya mencari apa. Setelah tahu saya mau naik Mandala, dia jelaskan bahwa untuk Mandala check-innya dilakukan di maskapai TIGER. (hadooohh…. Mandala, ngomong kek!)
Gadis itu juga mengarahkan saya ke counter 12, ke tempat early check-in. (Maklum, pesawat pukul 9 malam tapi saya sudah di bandara pukul 5 sore).

Urusan check-in akhirnya beres. Lega! Berkat bantuan gadis manis berbaju merah… :D


Pijetan (gratis) di Changi, sambil ngingat-ngingat orang-orang baik di Singapura :D

***
Baca juga:
Me, Shortlisted in SingTel Asian Picture Book Award 2013
My First International Debute: SingTel Asian Picture Book Award 2-13
Me and Singaporean Cuisine

Pekanbaru, 4 Juni 2013
Agnes Bemoe

Me and Singapore Cuisine

June 04, 2013 0 Comments
Saya suka makanan China di Singapura.
Waktu ke Singapura tanggal 27 - 29 Mei 2013 lalu (Lihat: Me, Shortlisted in SingTel Asian Picture Book Award 2013!)  dari Indonesia saya sudah mbayangkan mau nyikat Chinese Foodnya. Saya kepingin sebuah sup (nggak tau namanya) yang isinya bisa kita pilih sendiri: ada brokoli, tahu, bakso, dll.

Kebetulan tempat menginap saya di Green Kiwi dekat sekali dengan sebuah hawker. Wow! Biarpun sup yang saya cari itu tidak ada, tapi, ada banyak gantinya. Malam pertama saya makan bakso ikan dengan soun. Wuih! Suedap! Baksonya lembuuuuut banget!
Green Kiwi Hostel at Lavender Street

Siangnya saya makan kari udang. Weh, nikmat banget! Udang segar dengan bumbu kari merah yang merangsang!
Saya dan Fonny Jodikin, sesama penulis :)

Hari terakhir yang saya kalap banget waktu ditraktir Fonny Jodikin, teman penulis di Singapur, mi yang namanya Tuk Tuk Mie. Ini seperti mie pangsit, tapi lebih merah, dan daging baknya wuiiiih… buesar-besar! Mantap!
Tuk Tuk Mie

Bakso Ikan di Bandara Changi

Makanan terakahir saya di Singapura adalah bakso ikan (lagi) di Bandara Changi. Enak! Sama enaknya dengan bakso ikan di hawker.


***
Baca juga:
Saya dan Warga Singapura
My First International Debute: SingTel Asian Picture Book Award 2013
Pekanbaru, 4 Juni 2013
Agnes Bemoe

My First International Debute: Singtel Asian Picture Book Award 2013

June 04, 2013 2 Comments
Bisa dibilang, ini BJJB (Bukan Jalan-Jalan Biasa)… hehehe…
Aku dapat undangan dari panitia SingTel Picture Book Award 2013 karena karyaku, “Utan for Marcia” masuk sebagai shortlisted. Baca link ini yah...

SingTel Picture Book Award 2013 sendiri salah satu kegiatan dari Asian Festival for Children’s Content, acara dua tahunan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Singapura. Suwer, seumur hidup, baru kali ini bisa JJS karena undangan. Bangga banget!

Oh iya, keseluruhan kegiatan sih mulai tanggal 25 Mei 2013. Tapi aku ikut yang tanggal 28 Mei 2913 aja (Award Rewarding Night).

NOVENA CHURCH
Targetku sejak di Indonesia memang pingin ke gereja ini. Aku pernah ke sana tahun 2011 lalu dan langsung jatuh hati sama Mother of Perpetual Help di gereja ini. Setiap jam, mulai jam 9 pagi sampai 7 malam umat katolik di Singapura mendaraskan doa sebagai tanda devosi pada Bunda Pertolongan Abadi. Konon, banyak doa terkabul dengan pertolongan Mother of Perpetual Help.






Pulangnya, kebetulan supir taksiku seorang katolik. Beliau bercerita tentang gereja-gereja di Singapura. Ada 20-30, kata beliau. Semuanya cantik-cantik, peninggalan Portugis. Adooh, jadi pengen keliling-keliling ngeliat gereja…. Mudah-mudahan suatu saat bisa ke Singapura lagi dan bisa khusus keliling untuk Church-Tour ya, Gusti. Matur nuwun, Amin!

BAZAAR BUKU
Wuaah… buku-buku yang dipamerkan (dan dijual) bener-bener bikin ngiler! Menurut saya pribadi, seperti inilah seharusnya buku-buku anak. Saya langsung kalap dan beli sampe dompet saya yang udah tipis tambah meringis.
Hasil Perburuan

 Yang tidak saya sadari keuntungan ikut kegiatan seperti ini adalah: nambah kenalan!
Saya berkenalan dengan Ibu Azizah yang ramah banget! Beliau adalah istri dari Bapak Jusof Gajah, penulis cerita anak dan illustrator terkenal dari Malaysia. Eh, Bu Azizah ini ternyata orang Indonesia lho, orang Padang! Tapi sejak kakeknya sudah menetap di Malaysia. Katanya, saudaranya masih banyak yang di Padang.
Dengan Frau Claudia dan Encik Azizah

 Beliau juga dengan baik hatinya mengenalkan saya dengan Frau Claudia. Frau Claudia ini adalah ketua Frankfurt Buchmesse! Hwadoooh…. Angan-angan saya jadi liar! Semogaaaa…. bisa ke Frankfurt Buchmesse! Oh Lord, hear my prayer!

Eh iya, kenalan dan ketemu juga dengan Evi Shelvia. Ilustrator yang menang lomba Sketsa, juara I! Hebat ya? Dari Indonesia lho!

 
Dengan Evi Shelvia dan ilustrasinya yang jadi Juara I



AWARD REWARDING
Aku melangkah ke gedung National Library Building dengan cengangas-cengenges. Ini kejutan. Soale sebelum ke Singapur, aku depresi berat… wkwkw… nervous! Eh, setelah Rosario di Novena Church, rasanya plong! Apa pun yang terjadi, terjadilah!

Sempat ketemuan sama Mbak Sofie Dewayani dan Mbak Eva Nukman yang ramah banget! Setelah berbual-bual beberapa saat, kami pisah. Mbak Sofie dkk mandi dulu. Aku langsung ke atas.
Waktu jalan keluar dari lift aku ngeliat fotoku ada di daftar shortlisted yang diletakkan di tepi lorong. Wuih! Rasanya gimanaaaa gitu! Hwiqiqiqi…
Dengan Ary Nilandari dan Sofie Dewayani

 Trus, tiba-tiba ada seorang ibu yang ndatangin dan ngajak salaman. Dia bilang, ngenali aku dari foto yang dipajang itu. Woaah!! Kembang kempis deh hidungku!
Dengan pe-denya aku bilang:
“Wish me luck!”
Ini jawaban dia, yang kurasa sangat tepat dan bijaksana:
“You’re already the one!”
Amboy! Mungkin dia tuh malaikat yang dikirim Allah untuk menguatkan hatiku yah… hehehe… Matur Nuwun, Gusti…

Selanjutnya, aku plirak-plirik untuk cari tempat duduk. Pinginnya duduk di belakang aja. Eh, aku didatengin sama seorang gadis dari panitia. Beliau ternyata Filzah yang selama ini berkorespondensi denganku. Filzah nunjukkan tempatku duduk. Oh, dikasi tempat duduk toh? Aku mikir dengan noraknya… :D

Aku nulis di note BB-ku: It is a little bit thrilling, having been invited and have your own seat. Do wanna take a picture of the seat that has my name tag on it :D

Aku kenalan sama Lak-Khee, penulis Singapura yang juga sesama shortlisted. Sebelah kiriku duduk Debra Chong. Tapi orangnya ndak mau bertegur sapa. Yo wis lah… hehehe..

Acara berlangsung tepat waktu, efisien, dan efektif. Beda banget dengan acara-acara di Indonesia yang sudahlah ngaret, kebanyakan kata sambutan :p

Akhirnya, tibalah yang saya tunggu: pengumuman pemenang. Ternyata saya belum menang. Yang menang adalah Debra Chong, gadis muda di sebelah saya. Wah, hebat! Masih muda udah berprestasi. I’m happy for her!

Saya? Kecewa. Tapi sedikit. Lebih banyak senang dan bangga. Masuk jadi shortlisted aja sudah seperti anak TK naik kelas ke program doktorat… wkwkwk.. :D

***

Baca juga:
Saya dan Warga Singapura
Me and Singaporean Cuisine
AFCC Membuka Peluang Mendunia Bagi Kreator Bacaan Anak Indonesia - tulisan Ary Nilandari.


Pekanbaru, 4 Juni 2013
Agnes Bemoe

Sunday 2 June 2013

BOOKS THROUGH MY EYES (BTME): BENCANA DAN CERITA

June 02, 2013 0 Comments
Judul Buku    : SELVAKUMAR KNEW BETTER
Penulis          : Virginia Kroll
Ilustrator       : Xiaojun Li
Penerbit        : Shen’s Books, Walnut Creek, California (Printed in China)
Jenis             : Fiksi Anak




Melihat buku ini pertama kali, saya tertarik dengan tokohnya yang seekor anjing. Setelah membacanya, saya jadi lebih tertarik lagi. Buku ternyata bercerita tentang bencana, tsunami, tepatnya.

Tak seorang pun dari keluarga Dinakaran yang menyangka tsunami akan datang. Tidak juga sang ayah yang seorang nelayan. Tapi, anjing mereka, Selvakumar, sudah tahu. Selvakumar knew better.

Ketika tsunami benar-benar datang, Dinakaran tertinggal. Ia berpikir untuk berlindung di rumah saja. Namun, si anjing melarang. Ia memaksa Dinakaran untuk lari ke bukit.

Akhirnya memang Dinakaran dan keluarganya selamat. Semua itu berkat ketajaman insting Selvakumar.
Ini sebenarnya cerita yang mengharukan. Tapi jauh dari kesan victimisme. Titik beratnya adalah ke’anjingan’ Selvakumar dan ke’manusiawian’ keluarga Dinakaran.

Buku ini semakin menarik karena cara bercerita Virginia Kroll. Bahasanya lugas tapi indah. Pengulangan “Selvakumar knew better” pada beberapa bagian cerita membuat cerita ini seperti gelombang yang membuat pembacanya berayun-ayun.

Yang juga spektakuler dalam buku ini adalah ilustrasinya. Sebagai pembaca, saya sangat menikmati ilustrasi di dalam buku ini. Saya berhenti cukup lama di halaman yang menggambarkan bagaimana air laut berwarna hijau toska melalap gedung-gedung beratap merah marun. Langit biru gelap dengan percik-percik ombak keputihan. Saya merasakan ada banyak emosi di sana.

Yang membuat saya terhenyak, cerita ini ternyata diambil dari sebuah kisah nyata.   Indonesia juga pernah babak belur dihajar tsunami. Namun, sepengetahuan saya, belum ada cerita (anak) ditulis tentang itu.

Sebagai cerita, buku ini sangat terhubung dengan kondisi yang dialami oleh anak-anak (termasuk anak-anak Indonesia). Oleh karenanya, saya merekomendasikan buku ini pada orang tua, guru, atau pembimbing anak lainnya. Buku ini menawarkan cerita yang indah dari sebuah bencana.

Pekanbaru, 3 Juni 2013
Agnes Bemoe