Follow Us @agnes_bemoe

Friday 17 April 2020

Pandemik Covid 19 dan Kesehatan Mental (Pengalaman Pribadi)

April 17, 2020 0 Comments



Bagaimana teman-teman dengan Mental Illness di masa pandemik ini? Semoga dalam keadaan relatif baik ya.

Satu bulan dalam masa karantina, saya tak menduga akan terimbas secara mental biarpun beberapa postingan di fb sudah mengingatkan. Eh, sebelumnya, lagi-lagi saya harus perjelas: saya tidak sedang caper dengan mental illness ini. Kalau Anda merasa saya caper, silakan lewat. Kedua, saya tidak self-diagnosed. Saya didiagnosa menderita mild depression dengan potensi panic attack dan anxiety oleh seorang dokter ahli jiwa dari RS Santa Maria Pekanbaru. Kalau Anda tak paham maknanya, go educate yourself jangan tuduh orang lain caper.

Balik lagi ke masa pandemik.

Dalam situasi normal saja mereka yang hidup dengan penyakit mental sudah merasa sangat berat. Apalagi dengan tambahan pandemic ini. Saya tuliskan apa yang saya alami. Saya tidak mewakili siapapun kecuali saya sendiri. Saya memutuskan untuk menuliskannya karena menulis adalah salah satu cara saya untuk menguraikan kecemasan saya. Menulis adalah langkah terapeutik buat saya.

Selama 40 hari dari Rabu Abu (26/2) sampai Minggu Palma (5/4) saya pantang medsos. Artinya saya tidak menggunakan medsos sama sekali baik aktif maupun pasif (kecuali WA, untuk berkomunikasi, tapi tidak memanfaatkan WA story-nya, dan kecuali email, tentu saja).  Untuk yang belum tahu, pantang ini adalah aturan dalam Gereja Katolik, yakni mengurangi atau meniadakan sama sekali hal-hal yang secara pribadi paling disukai (nyaris menjadi candu) selama 40 hari sebelum Pekan Suci (Pekan Paskah).

Logikanya, kalau mengurangi hal yang disukai, tentu saya ‘menderita’. Iya sih, saya susah karena terbiasa bengong di depan fb, scrolling atas bawah tanpa tujuan :D Waktu terasa panjang dan membosankan.

Namun, ketika selesai masa pantang dan saya mulai membuka fb dan twitter, betapa terkejutnya saya bahwa dalam masa pandemik ini buat saya fb dan twitter menjadi “killing field yang mengerikan”. Postingan-postingan tentang pandemik Covid 19 terasa berat buat saya. Ada yang isinya keluhan tak berkesudahan, ada lagi yang posting foto-foto dan video yang buat saya terasa menekan ditambah dengan caption yang mendramatisir, belum lagi berita tentang korban yang bertambah di sela-sela caci maki antara kelompok pro dan anti pemerintah. Duhh….

Di grup WA pun tak kalah “serem”; mulai dari gempuran sharing berita sampai puisi-puisi dari para sastrawan di sebuah grup penulis, yang buat saya puisi-puisi itu sangat depressing (bercerita tentang kematian dengan dramatisir yang luar biasa, khas penyair papan atas). Duhh lagi….

Saya rasa, terkait dengan pantang yang saya ceritakan di atas, saya sadari bahwa pantang itu malah menyelamatkan saya dari air bah berita dan ekses pandemik ini.

Di lain pihak, mengenai WFH, sudah sepuluh tahun ini saya secara harafiah work from home (sesekali work from Taman Kota atau mall :D) Jadi, kerja di rumah (sebagai penulis) seharusnya bukan perubahan yang mengagetkan buat saya. Lalu, kenapa saya terguncang ya?

Oh iya, sebelumnya… hehehe… maaf kalau tulisan saya terlompat-lompat. Saya mau ceritakan apa persisnya yang saya rasakan, dan kenapa itu saya anggap pertanda awal depresi saya kambuh.
Ini yang saya rasakan:
1.       Rasa tidak nyaman yang amat sangat. Seperti orang akan dibekap mukanya. Ini pernah saya alami dulu dan ternyata itu adalah gejala awal panic attack.
2.       Super sensi. Yang muncul berupa mudah menangis untuk hal yang sepele, seperti membaca cerita sedih.
3.       Akibat dari keduanya adalah: saya sulit tidur dan sulit konsentrasi (dan kehilangan semangat menulis karya)

Saya menduga, hempasan badai Covid 19 inilah penyumbang terbesar kondisi saya ini. Sudah beberapa tahun sejak terkena depressi saya rajin menjaga diri supaya tidak kambuh (makan makanan sehat, tidaka nonton TV, meditasi, berenang). Nah, sekarang kambuh lagi, tertuduh utama saya tentu si Covid 19 ini.

Menyadari ini, sedini mungkin saya pasang barikade. Ini yang saya lakukan saat-saat ini, ketika saya merasakan gejala awal depressi, panic attack, dan anxiety:

1.       Stop scrolling fb dan twitter. Saya hanya gunakan fb dan twitter untuk unggah. Jadi, duluan mohon maaf kalau saya “egois”, tidak pernah (atau jarang) menerakan like dan comment. Kapok bener saya melihat fb dan twitter! Kita tak baca persis caption pun akan terlihat beberapa foto dan video. Belum lagi kalau pas terbaca joke-joke yang tak punya perasaan tentang Covid 19. Huh! Saya marah betul dengan orang-orang yang tak berperasaan itu! Belum lagi membaca pertentangan dan klaim kekanak-kanakan antara kelompok tak percaya Tuhan dan percaya Tuhan dalam kaitannya dengan penyembuhan virus ini. Biyuhh! Btw, untuk IG, saya tidak keberatan karena IG saya kebanyakan berisi akun gukguk dan penggemar buku.

2.       Makan makanan sehat. Tidak makan processed food atau yang high sodium. Nah ya ini, saya pernah cheating satu kali… hiks… waktu itu pingiiin sekali mi instan. Padahal bumbu cuma pakai sepertiga dan tanpa cabai keringnya. Tetap saja habis itu saya merasa mood saya kacau. Ngomong-ngomong mengenai makanan, tadi pagi kami membuat soto ayam yang lezat. Kaldu sotonya dibuat dari tulang-tulang ayam kampung, yang berarti super sehat. Rasa soto yang maknyus itu terbukti membuat suasana hati ikut senang.

3.       Meditasi; mengatur pernapasan, merilekskan diri. Yoga ringan (karena saya punya HNP jadi harus hati-hati)

4.       Stop Nonton TV. Kecuali beberapa acara favorit saya yang aman, seperti: The Voice dan Masterchef Australia. Atau komedi semacam The Big Bang Theory, Friends, atau Hot in Cleveland. Gantinya, tontonan saya adalah channel Youtube tentang gukguk, masak-memasak, film-film komedi, atau pengembangan diri.

5.       Membaca buku-buku yang tidak terlalu berat (tidak dramatis)

6.       Betapapun inginnya saya bisa menulis, otak saya sepertinya ngambek. Bagian ini yang paling membuat saya sedih. Saya suka menulis. Maksudnya menulis cerita fiksi (cerita/novel anak). Dan saya bukan tipe pemalas. Tapi begitu duduk di depan laptop, kepala saya sepertinya tak mau kerja sama L Semoga suatu saat saya bisa kembali ke masa saya bisa berpikir dengan kreatif dan tajam sehingga bisa menuliskan cerita-cerita yang menarik. Amin.

7.       Melakukan kegiatan yang saya sukai. Sekarang ini saya sedang suka masak. Saya lihat resep di Youtube dan mencoba-coba sedapat bisa. Hal lain yang baru saja saya coba tadi pagi adalah menyanyi di Smule. Tak saya sangka, melakukan kegiatan yang saya sukai ini membuat mood saya membaik. Iya, dulu-dulunya saya juga suka menyanyi di Smule. Tapi, merasakan dampaknya terhadap mood itu baru saya rasakan sekarang ini.



Saya tidak tahu apakah ada yang juga terkena dampak secara mental. Saya duga sih ada ya. Susah dideteksi karena badan kita tidak bonyok berdarah-darah… hehehe…. Belum lagi kita kadang-kadang enggan terbuka karena perilaku judgmental orang-orang di sekeliling kita.

Saya harap kita masing-masing mampu memetakan kondisi kita, paling tidak dengan menguraikannya saja itu sudah suatu langkah terapeutik, menurut saya. Dan tentu saja saya harap tidak sampai parah. GET HELP kalau teman-teman merasa tak sanggup lagi.

Itu saja yang ingin saya bagi di sore ini. Semoga kita semua selalu berada dalam lindungan Tuhan. Amin.

***

Pebatuan, 17 April 2020
@agnes_bemoe

Sunday 5 April 2020

Terima Kasih, Pastor Yohanes

April 05, 2020 1 Comments

RIP P. dr. Yohanes Djohan Halim, Pr



Pertengahan Maret lalu saya mendengar kabar mengejutkan: Pastor Yohanes Halim, Pr. meninggal. Pastor Yohanes meninggal dengan tenang di rumah pribadinya di Jalan Veteran, Padang pada tanggal 17 Maret 2020.

Waktu itu pemerintah sudah menyerukan untuk membatasi ruang sosial tapi saya memutuskan ke Padang untuk memberikan penghormatan terakhir. Pastor Yohanes Halim, Pr adalah sosok yang tidak bisa saya tinggalkan begitu saja. Sangat besar hutang budi saya pada beliau. Kalau bukan karena beliau, belum tentu saya bisa menyelesaikan kuliah S-1 saya. 

Tahun 1988, saya baru saja masuk semester kedua kuliah saya di IKIP Yogyakarta ketika saya mendapat kabar yang sangat tidak mengenakkan dari ibu saya: beliau tidak bisa membiayai saya. Saya shocked. Terpukul. Begitu saja. Beliau tidak bisa lagi membiayai saya.

Beliau minta kakak sulung saya yang saat itu sudah punya pekerjaan untuk membiayai tapi kakak saya itu keberatan. Jadi, saya harus menerima bahwa saya akan drop out dari kuliah. Kakak saya yang lain menjanjikan akan mencarikan saya pekerjaan di sebuah money changer.

Okelah. Baiklah. Sebesar keingingan saya menolak kenyataan itu tak ada yang bisa saya lakukan untuk mengubahnya. Jadi, saya cuma terdiam.

Saat itu ibu saya tinggal di Denpasar. Jadi, saya pulanglah ke Yogya untuk melanjutkan Semester II (karena sudah terlanjur bayar).

Pastor Yohanes bersama mendiang Bapa Uskup Situmorang, OFMCap


Hal pertama yang saya lakukan adalah menemui Sr. Benedicte, CB, suster kepala asrama (Asrama Syantikara Yogyakarta). Bukan, saya bukannya mau minta tolong. Dalam pikiran saya, logisnya tentu saya harus minta izin baik-baik sekaligus minta izin tinggal sampai akhir semester dengan kemungkinan bayar uang asrama dengan super seret. Saya ceritakan kondisi saya pada Sr. Ben (panggilan kami, anak asrama, pada Sr. Benedicte, CB).

Saya ingat waktu itu Sr. Ben tidak berkata apa-apa. Beliau hanya menyuruh saya tetap tabah dan dengan murah hati beliau membolehkan saya tinggal sampai selesai semester II. Saya lega. Saya kembali ke kamar lalu seterusnya diam-diam saya mulai mengepaki barang-barang saya (yang tidak banyak). Teman-teman sekamar saya pada tak tahu saya berkemas-kemas :D

Waktu berlalu.

Bulan Mei 1988 perkumpulan mahasiswa katolik di kampus saya mengadakan ziarah ke Sendang Sriningsih, Klaten. Cerita mengenai itu saya tuliskan di sini. Dengan pemikiran bahwa itu mungkin kumpul-kumpul terakhir saya dengan teman-teman katolik, saya ikutan ziarah. Di depan Ibu Maria Sriningsih pun saya ingat saya malah tak bisa berdoa. Hanya terdiam. Mau dibilang pasrah juga tidak. Tapi berharap juga merasa tak mungkin. Jadi, ga tau deh. Pokoknya blank aja.

Bulan Juni 1988 tiba-tiba Sr. Ben memanggil saya. Beliau mengatakan ada seorang ketua yayasan pendidikan di Riau yang mencari guru untuk sekolahnya. Ketua yayasan itu bersedia membiayai pendidikan guru itu asal kemudian mau berkarya di yayasan. Sr. Ben menanyakan kalau-kalau saya mau menerima tawaran itu. TENTU SAJA SAYA MAU!



Maka, di situlah saya bertemu dengan Pastor dr. Yohanes Johan Halim, Pr. Beliau adalah ketua Yayasan Prayoga Perwakilan Riau, sebuah yayasan pendidikan katolik milik Keuskupan Padang yang membawahi sekolah-sekolah di Riau.

Beliau seorang yang tinggi besar namun berwajah lembut dengan suara yang tak kalah halus. Beliau menanyakan hal yang sama dengan Sr. Ben: apakah bersedia bekerja di yayasan beliau dan nantinya semua biaya kuliah dan biaya hidup akan ditanggung. Saya rasa pembaca sudah tahu apa jawaban saya.

Itulah sebabnya, seumur hidup saya berhutang pada Pastor Yohanes (begitu beliau sering disapa). Beliau bersedia mengulurkan tangan buat saya, orang yang sama sekali tidak dikenalnya, di saat saya sudah putus asa.

Bantuan beliau tidak hanya sebatas biaya kuliah. Setelah lulus sebenarnya beliau mengizinkan saya tinggal di salah satu rumah di pastoran Bagansiapiapi (tempat saya ditugaskan pertama kali) dengan mengajak ibu saya. Saya boleh tinggal tanpa membayar. Namun, ibu saya yang tidak mau tinggal di Sumatera.

Setahun di Bagansiapiapi ternyata saya kurang betah. Kondisi cuaca di Bagansiapiapi membuat saya sakit-sakitan. Saya ceritakan isi hati saya dengan jujur pada Pastor Yohanes. Beliau ternyata mau memahami. Tahun berikutnya saya dipindahkan ke Duri. Duri ternyata lebih cocok buat saya.

Di Duri, di sekitar tahun 1995, saya menjalani operasi pengangkatan tumor di payudara kiri. Biaya operasi waktu itu sebenarnya tak terjangkau buat saya biarpun Yayasan Prayoga Perwakilan Riau memberikan bantuan pembayaran setengahnya. Lagi-lagi, kepada Pastor Yohaneslah saya lari. Saya katakan, saya pinjam uang Pastor, nanti saya ganti dengan mencicil dari gaji. Pastor Yohanes memberikan pinjaman yang saya butuhkan.

Beberapa waktu kemudian saya kembali lagi ke Pekanbaru untuk membayar pinjaman saya pada Pastor Yohanes. Di luar dugaan saya Pastor Yohanes menyuruh saya menyimpan uang saya untuk keperluan lain. Waduh, terkejut saya. Pinjaman saya itu cukup besar (saya juga bisa mengembalikan karena pinjam lagi dari CU sekolah). Rasanya “aneh” ada seseorang yang merelakan jumlah uang yang cukup besar. Pastor Yohanes berkeras. Beliau bahkan mengatakan sambil bergurau: apakah Agnes tidak menghargai uang Pastor? Nah lo. Mau ditolak, bagaimana. Mau diterima, bingung juga. Akhirnya memang saya membawa kembali uang itu. Pastor sama sekali tidak mau dibayar kembali.

Kalau dihitung-hitung, saya hanya membayar jumlah yang keciiil sekali dari keseluruhan biaya operasi saya waktu itu. Dan lagi-lagi, kemurahan Pastor Yohaneslah yang memungkinkannya.

Baiklah, yang saya ceritakan di atas adalah segala kebaikan konkret yang saya alami dengan Pastor Yohanes. Yang lebih penting daripada itu adalah dalam pandangan saya beliau orang baik. Sikap beliau pada saya, setelah semua bantuan yang nyaris luar biasa itu, tetap baik, ramah, dan menghargai. Tak sedikitpun saya merasa beliau arogan pada saya atau mengungkit-ungkit masalah bantuan-bantuan itu.

Uang mungkin sangat mudah didapatkan tapi karakter yang baik jauh lebih berharga, bukan?

Itulah sebabnya saya akan terus berhutang pada beliau seumur hidup saya.

P. dr. Yohanes Djohan Halim, Pr. dimakamkan di Columbarium, Kompleks Keuskupan Padang.


Tahun 1997 beliau tidak lagi menjabat sebagai ketua yayasan. Beliau mendapat tugas belajar ke Amerika. Karenanya sejak tahun itu saya tak pernah lagi bertemu dengan beliau. Apalagi, sejak pulang dari Amerika beliau jatuh sakit. Parkinson menyerangnya di tahun 2000.

Dua tahun terakhir ini –jujur- saya kok kepikiran beliau dan ingin sekali menemui beliau. Belum sempat terkabul keingingan untuk bertemu, beliau sudah berpulang. Rasanya kecewa juga karena tidak sempat bertemu dengan Pastor Yohanes.

Karena “membayar” rasa kecewa itulah, saya bela-belain ke Padang untuk mengantar beliau ke peristirahatannya yang terakhir. Paling tidak, saya merasa, beliau tahu, saya tidak melupakan beliau.

Beristirahatlah dalam damai, Pastor Yohanes yang baik. Saya belum sempat membalas semua kebaikan Pastor. Saya berharap Tuhan membantu saya membalaskannya buat Pastor dengan memberikan tempat yang terbaik di Surga.

Pastor adalah Injil yang hidup buat saya. Pastor membuat saya percaya tangan Tuhan ada di mana-mana. Sekali lagi terima kasih telah memberikan kesempatan sekali seumur hidup buat saya. Doa saya selalu buat Pastor.



***

Pebatuan, 7 April 2020
Agnes Bemoe