Bagaimana teman-teman dengan Mental Illness di masa pandemik
ini? Semoga dalam keadaan relatif baik ya.
Satu bulan dalam masa karantina, saya tak menduga akan
terimbas secara mental biarpun beberapa postingan di fb sudah mengingatkan. Eh,
sebelumnya, lagi-lagi saya harus perjelas: saya
tidak sedang caper dengan mental illness ini. Kalau Anda merasa saya caper,
silakan lewat. Kedua, saya tidak self-diagnosed. Saya didiagnosa menderita mild
depression dengan potensi panic attack dan anxiety oleh seorang dokter ahli
jiwa dari RS Santa Maria Pekanbaru. Kalau Anda tak paham maknanya, go educate
yourself jangan tuduh orang lain caper.
Balik lagi ke masa pandemik.
Dalam situasi normal saja mereka yang hidup dengan penyakit
mental sudah merasa sangat berat. Apalagi dengan tambahan pandemic ini. Saya
tuliskan apa yang saya alami. Saya tidak mewakili siapapun kecuali saya
sendiri. Saya memutuskan untuk menuliskannya karena menulis adalah salah satu
cara saya untuk menguraikan kecemasan saya. Menulis adalah langkah terapeutik
buat saya.
Selama 40 hari dari Rabu Abu (26/2) sampai Minggu Palma
(5/4) saya pantang medsos. Artinya saya tidak menggunakan medsos sama sekali
baik aktif maupun pasif (kecuali WA, untuk berkomunikasi, tapi tidak
memanfaatkan WA story-nya, dan kecuali email, tentu saja). Untuk yang belum tahu, pantang ini adalah
aturan dalam Gereja Katolik, yakni mengurangi atau meniadakan sama sekali
hal-hal yang secara pribadi paling disukai (nyaris menjadi candu) selama 40
hari sebelum Pekan Suci (Pekan Paskah).
Logikanya, kalau mengurangi hal yang disukai, tentu saya ‘menderita’.
Iya sih, saya susah karena terbiasa bengong di depan fb, scrolling atas bawah
tanpa tujuan :D Waktu terasa panjang dan membosankan.
Namun, ketika selesai masa pantang dan saya mulai membuka fb
dan twitter, betapa terkejutnya saya bahwa dalam masa pandemik ini buat saya fb
dan twitter menjadi “killing field yang mengerikan”. Postingan-postingan
tentang pandemik Covid 19 terasa berat buat saya. Ada yang isinya keluhan tak
berkesudahan, ada lagi yang posting foto-foto dan video yang buat saya terasa
menekan ditambah dengan caption yang mendramatisir, belum lagi berita tentang
korban yang bertambah di sela-sela caci maki antara kelompok pro dan anti
pemerintah. Duhh….
Di grup WA pun tak kalah “serem”; mulai dari gempuran sharing
berita sampai puisi-puisi dari para sastrawan di sebuah grup penulis, yang buat
saya puisi-puisi itu sangat depressing (bercerita tentang kematian dengan
dramatisir yang luar biasa, khas penyair papan atas). Duhh lagi….
Saya rasa, terkait dengan pantang yang saya ceritakan di
atas, saya sadari bahwa pantang itu malah menyelamatkan saya dari air bah
berita dan ekses pandemik ini.
Di lain pihak, mengenai WFH, sudah sepuluh tahun ini saya
secara harafiah work from home (sesekali work from Taman Kota atau mall :D)
Jadi, kerja di rumah (sebagai penulis) seharusnya bukan perubahan yang
mengagetkan buat saya. Lalu, kenapa saya terguncang ya?
Oh iya, sebelumnya… hehehe… maaf kalau tulisan saya
terlompat-lompat. Saya mau ceritakan apa persisnya yang saya rasakan, dan
kenapa itu saya anggap pertanda awal depresi saya kambuh.
Ini yang saya rasakan:
1.
Rasa tidak nyaman yang amat sangat. Seperti
orang akan dibekap mukanya. Ini pernah saya alami dulu dan ternyata itu adalah
gejala awal panic attack.
2.
Super sensi. Yang muncul berupa mudah menangis
untuk hal yang sepele, seperti membaca cerita sedih.
3.
Akibat dari keduanya adalah: saya sulit tidur
dan sulit konsentrasi (dan kehilangan semangat menulis karya)
Saya menduga, hempasan badai Covid 19 inilah penyumbang
terbesar kondisi saya ini. Sudah beberapa tahun sejak terkena depressi saya
rajin menjaga diri supaya tidak kambuh (makan makanan sehat, tidaka nonton TV,
meditasi, berenang). Nah, sekarang kambuh lagi, tertuduh utama saya tentu si
Covid 19 ini.
Menyadari ini, sedini mungkin saya pasang barikade. Ini yang
saya lakukan saat-saat ini, ketika saya merasakan gejala awal depressi, panic
attack, dan anxiety:
1.
Stop
scrolling fb dan twitter. Saya hanya gunakan fb dan twitter untuk unggah.
Jadi, duluan mohon maaf kalau saya “egois”, tidak pernah (atau jarang)
menerakan like dan comment. Kapok bener saya melihat fb dan twitter! Kita tak
baca persis caption pun akan terlihat beberapa foto dan video. Belum lagi kalau
pas terbaca joke-joke yang tak punya perasaan tentang Covid 19. Huh! Saya marah
betul dengan orang-orang yang tak berperasaan itu! Belum lagi membaca
pertentangan dan klaim kekanak-kanakan antara kelompok tak percaya Tuhan dan
percaya Tuhan dalam kaitannya dengan penyembuhan virus ini. Biyuhh! Btw, untuk
IG, saya tidak keberatan karena IG saya kebanyakan berisi akun gukguk dan
penggemar buku.
2.
Makan
makanan sehat. Tidak makan processed food atau yang high sodium. Nah ya
ini, saya pernah cheating satu kali… hiks… waktu itu pingiiin sekali mi instan.
Padahal bumbu cuma pakai sepertiga dan tanpa cabai keringnya. Tetap saja habis
itu saya merasa mood saya kacau. Ngomong-ngomong mengenai makanan, tadi pagi
kami membuat soto ayam yang lezat. Kaldu sotonya dibuat dari tulang-tulang ayam
kampung, yang berarti super sehat. Rasa soto yang maknyus itu terbukti membuat
suasana hati ikut senang.
3.
Meditasi;
mengatur pernapasan, merilekskan diri. Yoga
ringan (karena saya punya HNP jadi harus hati-hati)
4.
Stop
Nonton TV. Kecuali beberapa acara favorit saya yang aman, seperti: The
Voice dan Masterchef Australia. Atau komedi semacam The Big Bang Theory,
Friends, atau Hot in Cleveland. Gantinya, tontonan saya adalah channel Youtube
tentang gukguk, masak-memasak, film-film komedi, atau pengembangan diri.
5. Membaca buku-buku yang tidak terlalu berat
(tidak dramatis)
6. Betapapun
inginnya saya bisa menulis, otak saya sepertinya ngambek. Bagian ini yang
paling membuat saya sedih. Saya suka menulis. Maksudnya menulis cerita fiksi
(cerita/novel anak). Dan saya bukan tipe pemalas. Tapi begitu duduk di depan
laptop, kepala saya sepertinya tak mau kerja sama L Semoga suatu saat saya bisa
kembali ke masa saya bisa berpikir dengan kreatif dan tajam sehingga bisa
menuliskan cerita-cerita yang menarik. Amin.
7. Melakukan
kegiatan yang saya sukai. Sekarang ini saya sedang suka masak. Saya lihat resep
di Youtube dan mencoba-coba sedapat bisa. Hal lain yang baru saja saya coba
tadi pagi adalah menyanyi di Smule. Tak saya sangka, melakukan kegiatan yang
saya sukai ini membuat mood saya membaik. Iya, dulu-dulunya saya juga suka
menyanyi di Smule. Tapi, merasakan dampaknya terhadap mood itu baru saya
rasakan sekarang ini.
Saya tidak tahu apakah ada yang juga terkena dampak secara
mental. Saya duga sih ada ya. Susah dideteksi karena badan kita tidak bonyok
berdarah-darah… hehehe…. Belum lagi kita kadang-kadang enggan terbuka karena
perilaku judgmental orang-orang di sekeliling kita.
Saya harap kita masing-masing mampu memetakan kondisi kita,
paling tidak dengan menguraikannya saja itu sudah suatu langkah terapeutik,
menurut saya. Dan tentu saja saya harap tidak sampai parah. GET HELP kalau
teman-teman merasa tak sanggup lagi.
Itu saja yang ingin saya bagi di sore ini. Semoga kita semua
selalu berada dalam lindungan Tuhan. Amin.
***
Pebatuan, 17 April 2020
@agnes_bemoe