Follow Us @agnes_bemoe

Tuesday, 29 October 2019

CERITA RESIDENSI 2019: KE RUMAH IBU MARTHA D. GABI

October 29, 2019 0 Comments


Sore hari di hari Senin, 28 Oktober 2019, saya mengunjungi Ibu Martha Dada Gabi. Ibu Martha adalah istri mendiang Bpk. Gregorius G. Kaka. Bpk. Gregorius ini adalah seorang pendidik dan budayawan Sumba (beliau lebih sering disebut “Bapak Goris”).

Selain menghabiskan waktunya sebagai pendidik di SMP Katolik Wona Kaka Homba Karipit (beliau adalah kepala sekolah), Bapak Goris juga adalah penulis buku sejarah perjuangan Wona Kaka. Menurut Ibu Martha, Bapak Goris menyusuri kehidupan Wona Kaka ini selama hampir sepuluh tahun. Mendiang benar-benar melakukan napak tilas dan menemui orang-orang yang masih mengingat/mengenal Wona Kaka secara pribadi. Catatan itu dikumpulkan kemudian dibukukan. “Dibukukan” di sini maksudnya adalah diketik manual lalu dijilid. Amat sangat sederhana.
Namun demikian, buku yang amat sangat sederhana itu sebenarnya adalah harta karun yang sangat berharga. Saya rasa, itulah satu-satunya tinggalan tertulis tentang Wona Kaka, pahlawan Perang Kodi.

Mengingat minatnya yang begitu besar terhadap sejarah, saya kira mendiang Bpk. Goris dulunya studi Sejarah. Ternyata, beliau jebolan Padepokan Tari Bagong Kusudiarjo Yogyakarta. Ya, Bapak Goris juga adalah seorang penari yang handal. Tidak hanya itu saja, beliau juga penggubah lagu. “Mars Wona Kaka” adalah salah satu lagu hasil ciptaan beliau. Belum lagi sejumlah lagu rohani. Beliau juga penerjemah Kitab Suci ke dalam Bahasa Kodi.
Dengan segudang prestasinya itu tidak heran kalau beliau dianugerahi gelar “Budayawan Sumba” oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Sayang sekali, beliau berpulang tahun 2005, persis 10 hari setelah beliau berulang tahun ke-60, karena sakit mendadak.

Ketika sedang mencari referensi tentang Warat Wona dan Wona Kaka inilah saya diberitahu tentang nama beliau.
Sore itu saya ditemui oleh istri mendiang, Ibu Martha D. Gabi. Ibu Martha menerima saya dengan baik sekali. Siangnya sebenarnya saya sudah menemui beliau di tempat kerja beliau di SD Katolik Homba Karipit (ya, beliau masih mengajar di usianya yang ke-71. Ini adalah keinginan beliau sendiri karena beliau ingin ada kesibukan). Saya sudah menyampaikan keinginan saya untuk menggali tentang Warat Wona dan Wona Kaka.

Nah, ternyata, beliau sudah mencarikan beberapa topik di buku hasil karya suaminya. Aduh… saya jadi segan sendiri. Ini berarti beliau meluangkan waktu untuk membaca kembali dan mencari informasi yang saya butuhkan. Padahal pikir saya, biar saya cari sendiri saja informasi itu.
Tidak hanya mencarikan, beliau juga dengan baik hatinya bersedia meminjamkan buku hasil karya suaminya itu kepada saya. Yeay!

Ibu Martha sendiri adalah pribadi yang hangat dan menyenangkan. Suaranya masih jelas dan tegas. Ingatannya masih tajam.  Beliau punya topik pembicaraan yang tak terbatas. Beliau juga adalah seorang penari. Pada kesempatan itu beliau mengajarkan beberapa gerakan tarian Kodi kepada saya. Saya pun minta kalau ada pengajaran tari lagi, saya diajak.

Sore itu saya memutuskan untuk tidak menjadi peneliti… hehehe… saya letakkan bolpen dan notes saya. Saya mau ngobrol saja dengan ibu yang baik ini. Saya senang bertemu dengan sosok yang ramah ini sehingga saya tidak mau merusaknya menjadi semacam waktu pengumpulan data saja.

Setelah mengobrol lama, sambil minum teh dan makan kue, saya mohon pamit. Beliau membawakan saya buah mangga dari kebunnya, pisang, dan kue nagasari.

Dan, ketika pulang, beliau memutuskan untuk mengantarkan saya … sampai di Pastoran! Aduuuh! Mau menolak (karena pasti kesannya saya kurang ajar banget) tapi beliau sepertinya merasa senang berjalan sambil mengantarkan saya.

Jadilah, sore itu adalah sore yang istimewa, dimana saya ditemani dan diantar pulang oleh seorang ibu yang ramah dan baik hati, Ibu Martha D. Gabi. Sehat-sehat selalu ya, Ibu, semoga lain waktu kita bisa bertemu kembali, dan di waktu itu saya sudah bisa memberikan hasil penelitian saya di Kodi ini.

***

Homba Karipit, 28 Oktober 2019
@agnes_bemoe


CERITA RESIDENSI 2019: GALLU KAREWET - PEJUANG YANG SENDIRI

October 29, 2019 0 Comments


Senin, 28 Oktober 2019, saya bersama dengan Bapak Robertus Deta Bammu pergi ke makam Warat Wona di Gallu Karewet.



Desa Gallu Karewet ternyata sangat dekat dengan Pastoran Homba Karipit, tempat saya tinggal. Kata Pak Robert, jaraknya sekitar 1 km. Kami berdua pergi dengan berjalan kaki saja.  Sebenarnya saya agak keder juga mengingat kondisi pinggang saya yang renta ini. Tapi Pak Robert memastikan bahwa kami akan berjalan pelan-pelan, mengikuti kemampuan saya (duhh, malunya, sampai segitunya. :D )

Kami melewati sebuah kampung bernama Gallu Wawi. Ini perkampungan yang separuh asli. Jadi, kampung ini terdiri dari 8 – 12 rumah yang dibangun melingkar. Rumah-rumah ini sebagian terbuat dari bambu dan atap rumbia, sebagian lagi terbuat dari batu. Menurut Pak Robert, seperti inilah bentuk kampung asli orang Sumba, memang dibuat melingkar. Ini supaya kalau ada serangan dari suku lain (ketika masih masa perang suku), warga kampung mudah mengkoordinir.



Di tengah-tengah rumah ini ada lokasi kubur dengan kuburan batu yang besar-besar. Sayangnya, kubur batu yang asli sudah dirubuhkan, diganti dengan kubur dari semen. Menurut saya sayang sih, biarpun sama besarnya.

Nah, setelah kampung Gallu Wawi, kami masuk ke kampung Gallu Karewet.

Oh iya, perjalanan ini biarpun jauh menurut saya, tapi karena pemandangannya hijau dan segar, saya tidak terlalu merasa capek. Sekeliling kami adalah pepohonan besar-besar. Di beberapa tempat ada segerumbulan pohon jambu mete. Kata Pak Robert, jambu mete adalah komoditi andalan warga Kodi.



Sampai di Gallu Karewet, setelah Pak Robert mencari-cari sebentar, akhirnya kami menemukan makam Warat Wona. 

Itu sebuah makam yang amat sangat sederhana. Terlalu sederhana, mengingat beliau adalah pahlawan perjuangan melawan penjajah Belanda (lewat VOC). Makam itu berbentuk semenan beton berkeliling. Diperkirakan Warat Wona meninggal tahun 1912 ketika sedang bergerilya bersama suaminya. Warat Wona wafat ditembak tentara Belanda.

Tahun 2012 tulang belulang Warat Wona sebenarnya sudah diangkat dan dipindahkan ke makam Wona Kaka di desa Bongu. Namun demikian, warga Gallu Karewet masih berkeras bahwa Warat Wona tidak pindah, beliau masih ada di makam di desa tersebut. Makam sederhana itu masih dijaga sampai sekarang.

Ketika Wona Kaka menguburkan istrinya dulu ia berpesan pada seorang warga Gallu Karewet bernama Muda Lewa untuk menjaga makam Warat Wona. Sampai sekarang, keturunan Muda Lewa yang masih setia menjaga makam tersebut.

Kami tidak lama berada di makam Warat Wona, setelah mengambil beberapa foto dan berdoa, kami pulang kembali ke Homba Karipit.

Sambil menikmati pemandangan kampung yang indah dan asri, saya tuh mikir, kenapa ya pemerintah tidak turun tangan dalam hal ini. Ini adalah sosok pejuang yang merelakan nyawanya bagi Indonesia sehingga menjadi seperti sekarang ini.



Jujur, sedih saya melihat kondisi makam itu.

Oh iya, konon, dulunya makam tersebut tidak punya tanda sama sekali. Tidak berbentuk makam, hanya onggokan batu-batu sungai sebagai penanda. Lalu, atas inisiatif SMP Katolik Wona Kaka di Homba Karipit, dibangunlah lingkaran beton untuk menandai makam.  

Kembali lagi, apakah pemerintah tidak merasa perlu merawat dan menjaga makam ini? Paling tidak, itu adalah ucapan terima kasih kita yang sudah menikmati enaknya merdeka dari penjajah Belanda. Kemerdekaan itu minta korban, termasuk salah satunya nyawa Ibu Warat Wona, penjuang perempuan yang tewas di ujung bedil Belanda.

Masih terngiang kata-kata Bpk. Robert Bammu: penjajah yang sama yang dilawan, bangsa yang sama yang dibela, dan sama-sama meregang nyawa karena perjuangan ini, kenapa yang itu pahlawan, yang ini bukan?

Saya tidak tahu harus menjawab apa.

***

Homba Karipit, 28 Oktober 2019
@agnes_bemoe

Sunday, 27 October 2019

CERITA RESIDENSI 2019: BERANGKAT KE KODI

October 27, 2019 0 Comments

Jadi, setelah pembicaraan dengan Romo Christo Ngasi, Pr. dari Kodi, disepakati bahwa saya akan berangkat ke Kodi hari Jumat.

Pastoran Santa Maria Assumpta Homba Karipit, Kodi, Sumba Barat Daya

Oh ya, Romo Christo Ngasi, Pr. adalah yang saya mintai tolong untuk menghubungkan dengan para budayawan/nara sumber di Kodi. Beliau juga seorang penulis. Beliau pernah menerbitkan sebuah novel bertema budaya Loura, Sumba Barat Daya, berjudul Matta Liku. Saya sudah baca novelnya dan ceritanya mencekam… hehehe…. Resensi saya tentang novel ini bisa dibaca di sini.

Jadi, sebelum berpanjang lebar, saya berterima kasih sekali kepada Romo Christo –biasa dipanggil Romo/Pater Isto- atas kesediaannya membantu saya dalam riset tentang Warat Wona dan Wona Kaka ini. Di tengah kesibukannya (saya lihat sendiri Pater Isto 'pontang-panting' karena kesibukannya), Pater Isto bersedia meluangkan waktunya buat saya. Sangat saya hargai hal itu.  

Hari Jumat pagi saya bersiap-siap karena rencananya akan berangkat Pk. 11.00 WITA. Lalu, drama terjadi. 

Keberangkatan molor 1 jam, lalu 1 jam lagi. Haduuuh, bête deh saya. Telat sampai 2 jam tanpa tahu kepastian akan berangkat jam berapa atau malah jadi berangkat atau tidak.

Long story short, akhirnya berangkat juga. Perjalanan hanya makan waktu… 30 menit… hahaha! Ga sebanding dengan nunggunya! Dengan kondisi seperti ini menurut saya biaya sewa mobil di Sumba Barat Daya amat sangat mahal. Bayangkan, kita harus menunggu sampai 2 jam. Perjalanan ke sana juga tidak menggunakan AC padahal udara SBD tuh gerahnya minta ampun. Belum lagi beberapa hal lain yang membuat bingung. Singkatnya, berasa banget kalau saya “numpang”. Nasib dah. Mudah-mudahan selanjutnya saya ga ketemu lagi yang seperti ini.

Namun demikian, semua itu seperti terbayar lunas dengan kondisi di Desa Homba Karipit, Kodi.

Pagi di Homba Karipit


Saya kan menginap di Pastoran Paroki St. Maria Assumpta di Homba Karipit. P.S Saya orang “asing” ketiga yang melakukan penelitian yang menginap di pastoran; pertama seorang dokter yang melakukan penelitian tentang malaria, kedua seorang sutradara yang membuat film pendek tentang Human Trafficking, yang ketiga saya.

Suasananya di sini, di desa Homba Karipit ini bener-bener desa deh! Ga bising, di sekeliling pastoran masih banyak pepohonan dan hewan peliharaan (ayam, anjing, babi). Orang-orangnya ramaaaah banget! Yang terakhir ini yang sudah sangat langka di belahan lain Indonesia. Mudah-mudahan ini bertahan ya.



Saya mendapat sebuah kamar yang cukup besar dengan dua buah tempat tidur, yang satu berkelambu. Saya perhatikan, tidak ada kipas angin. Saya sudah cemas nih. Segini gerahnya (Kodi juga puanaas!), gimana kalo ga ada kipas ya? Eh ternyata, ga gerah-gerah amat. Mungkin karena ada dua buah jendela terbuka lebar, dan jendela itu langsung menghadap kebun belakang yang maha luas. Jadi angin sangat berlimpah ruah. Belum lagi langit-langit yang tinggi membuat udara tersirkulasi dengan baik. Sipp! Ga masalah dah! Dan bener, malamnya, saya tidur dengan super nyenyak di tempat tidur berkelambu saya.

Tomat di Kebun Pastoran


Pagi ini saya bangun dengan disuguhi udara pagi yang sejuk, udara bersih, suasana yang hening, sinar matahari pagi yang perlahan muncul, dan secangkir teh jahe yang lezat.
Puji Tuhan!

Hari ini (sekitar sore) rencananya saya, dengan diantar oleh Romo Isto, akan menemui seorang narasumber. Mudah-mudahan semuanya lancar ya.



***

Homba Karipit, 26 Oktober 2019
@agnes_bemoe

Wednesday, 23 October 2019

CERITA RESIDENSI 2019: KENAPA SUMBA, KENAPA WARAT WONA

October 23, 2019 0 Comments

Kenapa tak memilih residensi di luar negeri? Kenapa kok dalam negeri? Kan enakan di luar negeri.
Trus, kok Sumba? Tanggung “pulang kampung”, mbok sekalian Flores, kampung asli saya.
Tidak banyak sih, tapi ada juga yang bertanya begitu.



Kenapa saya memilih Pulau Sumba?
Jujur sih, sudah lama saya ingin ke pulau ini. Yang mengikuti status-status saya (cieee… sok banget yah, sampe ada yang mengikuti status… wkwkwk… maafkan… >,<) pasti tahu, tidak sekali dua kali saya merengek pada Tuhan YME supaya saya bisa melihat lagi pulau yang satu ini.

Pulau Sumba punya arti tersendiri buat saya, nyaris setara dengan pulau Flores yang adalah tanah nenek moyang saya. Kalau mau lebay, tidak ada satupun spot di luar negeri yang bisa menandingi berartinya Pulau Sumba buat saya.

Nah, tentu saja, residensi bukan untuk alasan sentimental seperti itu, ‘kan?

Maka, alasan berikutnya adalah karena sebelum mendaftar residensi saya membuat satu tulisan tentang pejuang Kodi (Sumba Barat Daya) bernama Wona Kaka. Wona Kaka adalah panglima perang Rato Loghe Kandua, raja Kodi. Wona Kaka dan Perang Kodi (1911-1913) adalah perang besar terakhir sebelum Pulau Sumba jatuh ke tangan VOC. 




Selagi menulis tentang panglima perang kerajaan Kodi ini saya mendapati bahwa ternyata dalam pasukan Wona Kaka ada sebarisan pejuang perempuan. Termasuk di dalamnya yang paling gigih adalah Warat Wona yang kebetulan istri Wona Kaka.

Permasalahan klise penulis adalah riset, ‘kan? Biarpun relatif tersebar di internet, saya merasa sangat membutuhkan informasi yang lebih mendalam tentang Wona Kaka dan Warat Wona ini. Informasi dari internet sangat membantu sih tapi tetap ada hal-hal yang tidak terwakili oleh internet seperti nuansa atau atmosfernya.

Jadi, ketika ada program Residensi Penulis 2019, saya mendaftar, dan yang saya ajukan adalah tentang penjuang perempuan Warat Wona ini. Ini sebenarnya semacam “continuity” dari tulisan saya tentang Wona Kaka. Melalui kesempatan riset di program residensi ini saya berharap bisa menggali lebih dalam dan membuat tulisan yang lebih menyeluruh dibandingkan ketika saya menulis tentang Wona Kaka.

Alasan lainnya adalah, saya menduga, tidak banyak orang tahu tentang peranan pejuang perempuan dalam perang melawan Belanda di pulau Sumba ini. Saya berharap, melalui program residensi ini, saya bisa meneruskan cerita yang mungkin nyaris terputus kalau tidak segera didokumentasikan dan diperkenalkan.  

Puji Tuhan, aplikasi residensi saya diluluskan. Jadilah saya ke Pulau Sumba, pulau impian saya, dan menulis tentang Warat Wona, pejuang perempuan Tanah Sumba.
Doakan semoga residensi saya lancar dan saya bisa membuat tulisan yang bagus nantinya ya. Terima kasih.


***

Waitabula, 23 Oktober 2019
@agnes_bemoe

Baca juga: Cerita Residensi 2019: Pulang Kampung

CERITA RESIDENSI 2019: PULANG KAMPUNG

October 23, 2019 0 Comments


Tanggal 16 Agustus 2019 lalu saya mengetahui kalau saya lolos dalam seleksi Program Residensi Penulis 2019 bersama 33 penulis lainnya. Saya memilih Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur sebagai tempat residensi. Topik yang saya angkat adalah seorang pejuang perempuan Sumba bernama Warat Wona.

Oh ya, sebelum panjang lebar, saya sangat perlu berterima kasih kepada sutradara, novelis, dan sahabat saya, Sergius Sutanto, karena beliaulah yang banyak membantu saya dalam hal ini. Terima kasih ya, Kakak :D

Pemeriksaan Kesehatan sebelum berangkat residensi. Dokternya ternyata mantan murid.

Jadi, tanggal 15 Oktober 2019 kemarin saya berangkat dari Pekanbaru menuju ke Waitabula, ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya. Rencananya saya akan tinggal di Sumba Barat Daya selama 2 bulan. Saya sampai tanggal 16 Oktober 2019 karena tidak ada penerbangan langsung yang sampai hari itu juga. Saya harus transit dua kali, di Jakarta dan Denpasar. Di Cengkareng transit berlangsung 8,5 jam. Sebenarnya saya sudah pesan penginapan tapi melihat keadaan sudah malam sekali dan jarak yang lumayan jauh (menurut saya), saya putuskan untuk tidur di bandara saja.

Bandara ternyata ramai kok. Saya tak menyangka bahwa tetap ada penerbangan di jam-jam 12, 1, dan 2 dini hari (saya tiba di Cengkareng sekitar pukul 9 malam lewat). Paginya saya mandi dan dandan di toilet bandara… xixixii… Asyik juga!

Baiklah, akhirnya saya sampai di Bandara Tambolaka, Waitabula, dijemput oleh Merlyn Nani Boeloe. Merlyn ini saya anggap adik saya sendiri. Dulu keluarga kami bertetangga waktu saya masih tinggal di Waikabubak, Sumba Barat. Selama residensi juga saya tinggal di rumah orangtua Merlyn Nani Boeloe (sayang sekali beliau berdua sudah berpulang).

MINGGU PERTAMA
Oke deh, belum ada yang bisa saya ceritakan sih, di minggu pertama residensi ini.

Saya berkunjung ke rumah orang-orang yang sudah saya anggap saudara sendiri, saya mengunjungi makam Bapa-Mama Nani Boeloe (orangtua Merlyn), dan lain-lain kegiatan yang menyangkut keluarga (iya sih, buat saya, mereka sudah seperti keluarga sendiri, jadi sebenarnya saya ini semacam “pulang kampung” melalui kegiatan residensi ini).

Menyangkut Residensi, hari Jumat tanggal 18 Oktober 2019 saya berkunjung ke SMAN 1 Kota Tambolaka. Diterima baik oleh Bapak Kepala Sekolah dan Ibu Wakil Kepala Sekolah Bagian Kurikulum, saya menawarkan untuk mengadakan kegiatan literasi di SMAN 1 Kota Tambolaka. Puji Tuhan, tawaran saya ini diterima. Kegiatan akan dilaksanakan di sekitar akhir November 2019. Semoga berjalan lancar ya….

Hari Senin, 21 Oktober 2019 saya mengurus perizinan ke Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat Daya.

Ada satu hal yang mau saya shout out nih. Saya terkesan dengan kualitas pelayanan di sini. Penyambutannya ramah. Ketika dilihat saya masih menunggu, ibu yang bertugas di front office memastikan bahwa saya menunggu dengan nyaman dan meminta saya bersabar. Wiih… ini jarang lho saya alami.

Saya diterima oleh Ibu Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Sumba Barat Daya, Dra. Yohana Lingu Lango, M. Si. Beliau menerima dengan ramah dan saya pun menyampaikan maksud kedatangan saya.

Dra. Yohana Lingu Lango, M. Si. 

Nah, sampailah di bagian yang paling saya cemaskan.
Begini, untuk perizinan ini kan kami –peserta residensi- sebenarnya dibekali sebuah surat yang disebut “Surat Kelulusan” (jangan tanya, kenapa istilahnya “kelulusan”). Karena surat ini turunnya agak telat, saya kira saya print saja di Waitabula. Ternyata, mencari tempat rental printer di Waitbula tuh susah… hehehe… saya tidak memperhitungkan hal ini. Nah, daripada mumet tidak dapat printer, saya putuskan untuk pergi saja, mudah-mudahan nanti lancar, begitu pikir saya.

Baiklah, jadi setelah menyampaikan maksud saya, Ibu Kadis tentu saja meminta semacam surat yang menguatkan penyampaikan saya. Saya katakana terus terang permasalahan saya, yaitu, tidak menemukan printer. Saya lalu menawarkan untuk menunjukkan soft copy surat yang dikirim via email panitia.

Suwer, saya deg-degan. Pengalaman saya dengan birokrasi biasanya gitu deh… hehehe….

Eh, di luar dugaan saya, Ibu Kadis bersedia menerima ini dengan catatan saya tetap harus kembali dan menyerahkan hard copy-nya. Aduh, betapa bersyukurnya saya! Saya berjanji akan sesegera mungkin mengupayakan hard copy Surat Kelulusan ini.

Sekali lagi, salut sekali dengan sikap pejabat pemerintahan yang seperti ini. Inilah kebijaksanaan. Inilah kecerdasan. Semoga terus dijaga. Amin.

Oh iya, mengenai keramahan, tidak hanya di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan saja saya diterima dengan ramah. Di SMAN 1 Kota Tambolaka juga para guru piket dan guru-guru lain menerima saya dengan sapaan dan senyum ramah. Weeh, terasa lain lho, kalau kita masuk ke sebuah ruangan yang orang-orangnya tersenyum ramah pada kita. Suwer!

Oke deh, lanjut ya.
Hari Selasa, 22 Oktober 2019, saya ke Rumah Budaya Sumba. Sayangnya, saya tidak ketemu dengan P. Robert Ramone, C.Ss.R, pengelola rumah budaya ini. Baiklah, lain kali saja saya main ke sini lagi.



Tapi, saya bertemu dengan anak-anak kecil yang lucu-lucu dan imut. Mereka juga, lagi-lagi, duluan menyapa saya dengan ramah. Mereka ternyata di RBS untuk belajar baca dan tulis. Saya pun mengajak mereka berfoto. Mereka langsung duduk berjajar dengan manisnya.



Besok rencananya saya akan bertemu dengan P. Christo Ngasi, Pr. untuk membicarakan tentang hal-hal terkait penelitian saya di Kodi (kediaman P. Christo Ngasi, Pr.). Semoga lancar ya….

Oke deh, segini dulu cerita residensi saya. Belum ada cerita sebenarnya sih… hehehe….

Doakan semoga kegiatan residensi saya lancar ya dan saya bisa menghasilkan tulisan yang bagus. Amin.

***

Waitabula, 23 Oktober 2019

Friday, 4 October 2019

ANAK YANG SERING MELAKUKAN KEGIATAN MEWARNAI AKAN LEBIH CERDAS DAN KREATIF SERTA MUDAH BELAJAR

October 04, 2019 0 Comments

Jangan remehkan kegiatan MEWARNAI. Aktivitas menorehkan manfaat yang dalam dan tahan lama dalam kehidupan seorang anak. Apa saja manfaatnya?

Buku Cerita dan Aktivitas

  1. Melatih Motorik Halus. Anak-anak tidak otomatis bisa memegang benda-benda seperti pensil atau bolpen lalu menuliskan huruf tertentu. Tangan anak perlu dilatih secara bertahap. Nah, kegiatan mewarnai adalah kegiatan untuk melatih tangan anak supaya ia bisa beradaptasi dengan peralatan seperti pensil atau bolpen.
  2. Melatih Koordinasi antara Tangan dengan Mata Aktivitas paling sederhana seperti memegang crayon, menyerut pinsil warna, atau mengenali warna sangat membantu anak untuk belajar. Mewarnai menuntut anak untuk mengenali batas suatu area yang akan diwarnai. Ketrampilan ini membutuhkan koordinasi antara mata dengan tangan.
  3. Melatih Kesabaran dan Membuat Anak Rileks Mewarnai membantu anak-anak untuk belajar sabar. Mewarnai juga membuat mereka rileks dan nyaman. Mereka juga akan merasa puas dan senang atas hasil karya mereka. Ini jelas membangun rasa percaya diri mereka.
  4. Membantu Anak untuk Fokus Kemampuan untuk fokus jelas dibutuhkan oleh anak. Mewarnai telah terbukti menjadi salah satu cara untuk melatih anak menjadi lebih fokus. Anak-anak yang terbiasa mewarnai ditenggarai lebih mampu untuk berkonsentrasi dan fokus. Sambil mewarnai, anak-anak juga belajar bahwa ada batas-batas bagi pewarnaannya. Mengenali batas-batas ini ternyata akan sangat membantu anak nantinya kalau dia akan belajar menulis.
  5. Menambah Pengetahuan Mewarnai membuat anak-anak mengenali obyek yang diwarnainya; garis, warna, lengkung, dan bentuk.
  6. Membangun Rasa Percaya Diri Mewarnai membantu anak untuk percaya pada kemampuannya sendiri. Ketika anak berhasil menyelesaikan suatu pewarnaan, mereka akan merasakan suatu kepuasan tersendiri. Rasa puas ini membantu membentuk rasa menghargai diri sendiri (self-esteem) yang sangat penting untuk pembentukan kepribadiannya.
  7. Merangsang Kreativitas Mewarnai adalah sarana bagi anak untuk menumpahkan kreativitasnya. Seorang anak bisa membangun sebuah dunia khayalan di kepalanya sebelum dan selagi ia mewarnai. Mewarnai bisa memicu anak untuk mencoba kombinasi warna, atau memadukan warna, atau menggunakan warna-warna yang “tidak lazim” tapi menurutnya indah.
  8. Sebagai Sarana untuk Mengungkapkan Diri/Sarana Berkomunikasi Ada anak-anak yang bisa mengungkapkan diri melalui kata-kata, ada lagi yang menggunakan karya seni. Kita bisa menyingkap banyak hal dari seorang anak dengan mengamati gambar dan warna yang ia gunakan.  Perhatikan bila anak lebih sering menggunakan warna-warna gelap dan mewarnai secara “serampangan”. Ada kemungkinan anak tersebut sedang membutuhkan perhatian dan bantuan orang dewasa.  Perhatikan perbedaannya dengan ketika anak menggunakan warna-warna cerah. Ada kemungkinan ia sedang merasa gembira dan puas dengan dirinya.
  9. Mengenali Warna Mewarnai membuat anak mengenali warna. Mereka belajar mengenali perbedaan warna hijau, kuning, merah, merah muda, dan seterusnya. Perbedaan warna ini memicunya untuk mengenali kombinasi warna.
  10. Terapeutik Mewarnai memberikan efek terapeutik pada anak, terutama bila mereka sering melakukannya. Mereka dapat meluahkan segala perasaan, frustrasi, atau kondisi emosi yang lain melalui kegiatan mewarnai.
  11. Mengembangkan Kemampuan Berbahasa Mewarnai dan kemudian membicarakannya membantu anak mempelajari kata baru dan menyusun kalimat. Anak-anak akan belajar menggunakan kata-kata deskriptif ketika mereka membicarakan hasil pewarnaannya atau melihat hasil karya temannya.
  12. Last but not least: Membangun Quality Time Mewarnai membantu anak untuk menikmati waktu bersama orangtua, atau teman, atau guru. Quality time membantu anak menyadari bahwa dirinya penting di mata orangtua, teman, atau gurunya. Dan perasaan bahwa dirinya penting (I Matter) ini akan sangat membantu menguatkan kepribadiannya.


Bulan September lalu sebuah buku aktivitas yang saya tulis terbit. Judulnya “PAK KETOPRAK KOKI AJAIB”. Ini adalah buku multi-kegiatan, salah satunya adalah mewarnai. Jadi, sambil membaca ceritanya, anak-anak bisa mewarnai. Buku ini bisa jadi jembatan buat anak-anak yang belum terlalu suka membaca cerita panjang-panjang. Mereka bisa “berhenti sebentar” dan melakukan aktivitas mewarnani, lalu lanjut membaca lagi.

Silakan dicari di TB Gramedia ya. Dan saya tunggu kritik dan sarannya. Terima kasih.

***

Pebatuan, 5 Oktober 2019
@agnes_bemoe

Wednesday, 2 October 2019

BOOK THROUGH MY EYES: HARTA DI BALIK NAMA BESAR MULTATULI

October 02, 2019 0 Comments

Judul                     : Misteri Harta Berdarah
Pengarang          : Yovita Siswati
Penerbit              : Penerbit Kiddo (Imprint Penerbit KPG)
Tahun Terbit      : 2019



Bagas bersama Galuh dan Mas Damar sedang berada di Rangkasbitung. Sebelumnya, yang sudah membaca “Misteri Gua Purba” karya Yovita Siswati (YS) juga, pasti familiar dengan nama-nama itu. Benar, tokoh di buku ini adalah ketiga tokoh yang sama yang ada di Yogyakarta menelusuri harta peninggalan Perang Diponegoro itu. (Ini resensi saya tentang "Misteri Gua Purba")

Kali ini mereka bertiga berada di Rangkasbitung. Rencana awal hendak berjalan-jalan berubah menjadi kejar-kejaran yang menegangkan setelah mereka bertemu dengan seorang kakek tua yang kelihatan kebingungan menunggu seseorang di stasiun kereta api Rangkasbitung. Kakek Suni ternyata adalah sosok kunci atas harta peninggalan zaman Belanda, harta yang punya riwayat mengenaskan dan banyak menimbulkan pertumpahan darah.

Tak hanya Kakek Suni seorang yang mengetahui tentang harta berdarah ini tapi juga segerombolan penjahat. Itulah sebabnya Bagas dan kedua sepupunya harus bergegas bila mereka ingin membantu Kakek Suni dan menyelamatkan harta itu.

Seperti 8 buku Seri Misteri Favorit karya YS lainnya, saya cuma bisa angkat jempol sambil geleng-geleng kepala. Ceritanya begitu seru! Tidak hanya serangkaian kejar-kejaran tapi juga trik-trik petunjuk yang YS susun di sepanjang cerita membuat seolah-olah kita –pembaca- ikut berada di dalamnya.

Kemampuan YS merakit cerita misteri memang sudah tidak diragukan lagi. Saya kehabisan kata-kata untuk menggambarkan bagaimana teliti dan cerdasnya YS menyusun dan membangun struktur cerita. Agak sulit menemukan flaw dalam plottingnya… hehehe… (percayalah, saya ini pembaca “jahat”, suka banget mencari “kelemahan” dalam buku bacaan :D )

Yang saya juga suka sejak buku awal adalah kedalaman setting sejarah yang diterakan di cerita. Dalam “Harta Berdarah” ini setting-nya adalah peristiwa pemberontakan di Rangkasbitung, di zaman seputar Douwes Dekker menjadi residen di sana. YS menempatkan setting sejarah ini sebagai pusat cerita dan bukan sekedar pelengkap. Ini yang membuat cerita menjadi lebih bernas dan berisi.

Oh ya, siapa tahu ada yang belum familiar dengan serial ini, serial ini selalu dilengkapi dengan informasi detil tentang sejarah atau setting. Jadi, sambil membaca ceritanya, pembaca bisa mengetahui latar belakang sejarahnya.

Di buku ini YS menggunakan pantun sebagai salah satu petunjuk penting. Buat saya ini menarik sekali. Selain membuat cerita terkesan vintage dan karenanya semakin misterius, pemakaian pantun saya yakin membuat pembaca (kecil) kenal salah satu kekayaan sastra kuno Indonesia ini.

Sekali lagi, saya kesulitan mencari kelemahan buku ini. “Kelemahannya”, mungkin, di kota saya, Pekanbaru, sulit menemukan serial ini di toko buku. Akhir-akhir ini ada sih Seri Misteri Favorit di toko buku tapi bukan judul terbaru.

Saya rekomendasikan buku ini untuk pembaca kecil di SD atau SMP. Ini cerita yang tidak hanya mengasyikkan tapi juga membuat pengetahuan kita tentang Indonesia bertambah. Eh, tapi, saya yakin, orang yang sudah bukan anak kecil lagi juga akan suka dengan buku ini deh!

***

Pebatuan, 3 Oktober 2019
@agnes_bemoe

Saya pernah mewawancarai Yovita Siswati tentang pengalamannya di bidang penulisan buku anak. hasi wawancaranya bisa dibaca di sini.

Tuesday, 1 October 2019

Mengikuti Kegiatan Asian Festival Of Children's Content 2019 di Singapura

October 01, 2019 8 Comments


Awal bulan September lalu saya, bersama Yovita Siswati, mengikuti Asian Festival of Children’s Content (AFCC) 2019 di Singapura. Ini adalah kali kedua saya ikut event ini. Pertama kali saya hadir adalah sebagai salah seorang yang karyanya masuk dalam shortlisted SingTel Asian Picture Book Award tahun 2013. Nah, kali ini saya ikut serta dalam AFCC sebagai salah seorang panelis untuk sesi “Minority Reprentation in Children’s Literature”.

AFCC 2013, bersama Sofie Dewayani


ASIAN FESTIVAL OF CHILDREN’S CONTENT
AFCC adalah acara tahunan yang diadakan oleh Singapore Book Council. Seperti yang tertuang dalam namanya, festival ini secara khusus hendak mengembangkan konten keasiaan dalam buku anak dan remaja awal. Festival ini berisi serangkaian seminar, kuliah umum, presentasi, diskusi panel, workshop, masterclass, sampai dengan pameran karya illustrator dan toko buku. Wah, pokoknya super lengkap! Kalau anda suka belajar, ini adalah festival yang akan memuaskan kerinduan anda akan ilmu tentang perbukuan anak. Tidak hanya keanekaragaman platform belajarnya saja tapi juga topik yang dibicarakan itu bermutu sekali. Para pembicaranya juga jelas punya kedalaman ilmu serta tahu mana yang baik dan perlu diperjuangkan.
Berssama Yovita Siswati

Peserta dan pembicaranya secara umum datang dari negara-negara Asia. Terjauh (dari sudut pandang Indonesia) datang dari Turki dan Iran. Namun demikian, ada juga peserta dan pembicara dari luar Asia, seperti Amerika, Canada, dan Australia.

Peserta festival ini pun tidak hanya dari industri perbukuan (editor, penulis, illustrator, penerjemah) tapi dari para guru dan orangtua juga. Di beberapa sesi saya malah melihat ada sekelompok mahasiswa.

MINORITY REPRESENTATION IN CHILDREN’S CONTENT
Bicara minoritas dalam buku anak Indonesia amat sangat banyak sekali yang hendak disampaikan. Terutama dari sudut pandang saya sebagai penulis cerita anak di Indonesia yang tidak jarang mengalami sendiri bagaimana topik-topik minoritas harus berjuang keras hanya untuk bisa terbit. Dan tidak jarang, kalah. Karenanya, saya senang sekali ada forum yang membuka ruang untuk membicarakan hal ini. Forum ini memang di luar Indonesia tapi tidak apa-apalah, yang penting ada tempat untuk bicara. Semoga suatu saat –entah kapan- akan ada forum dengan pembicaraan serupa di Indonesia.

Saya menjadi panelis bersama Yovita Siswati, penulis Serial Misteri Favorit terbitan Kiddo yang sangat digemari anak-anak Indonesia. Tidak bisa lebih tepat lagi bahwa teman saya adalah Yovita Siswati. Tidak hanya bahwa kami ini sama-sama dari kelompok minoritas dan suka menulis topik-topik yang mengangkat tema minoritas tapi juga karena Yovita adalah pribadi yang cerdas dan mampu menyampaikan topik ini dengan tepat sasaran dan cara yang elegan.

Saya berhutang banyak sekali pada Yovita. Tidak hanya ilmu tapi juga segalanya deh!
Nah, tentang pemaparan kami sendiri, kami menyampaikan kondisi perbukuan dengan tema minoritas di Indonesia. Kami tidak mengambil data dengan lengkap sih tapi dari sebuah penerbit buku ternama di Indonesia kami memperoleh gambaran dalam tiga tahun terakhir ini sekitar 5% buku anak yang mengangkat tema minoritas.
Oh iya, minoritas yang kami maksud di sini masih minoritas yang luas ya: suku asli, agama minoritas, gender, dan disability.

Yovita menampilkan buku-bukunya sebagai contoh yaitu “Misteri Kota Tua”, “Misteri Kota Topeng Angker”, “Misteri Kampung Hitam”, dan “Perangkap Hebat Soma”. Buku-buku ini bercerita tentang kelompok etnis minoritas dan suku asli. “Misteri Kota Tua” bercerita tentang komunitas Cina Benteng di kota Tangerang. “Misteri Kota Topeng Angker” bercerita tentang kelompok penari topeng tradisional Indramayu dalam dinamika kehidupan mereka di antara kemelut politik Indonesia saat itu (pendudukan Jepang dan peristiwa 1965). “Misteri Kampung Hitam” bercerita tentang komunitas orang Afrika yang dulunya adalah tentara Belanda. Sedangakan “Perangkap Hebat Soma” bercerita tentang seorang anak difabel bernama Soma.


Sedangkan saya menampilkan “Nino, Si Petualang Cilik”, “Aubrey dan The Three Musketeers”, dan Serial Kopral Jono. “Nino, Si Petualang Cilik” bercerita tentang tradisi dan budaya unik Nusantara. “Aubrey dan The Three Musketeers” bercerita tentang anak dengan penyakit berat (diduga HIV/AIDS) dan persahabatannya dengan anjing (harus diakui, dalam konteks Indonesia, anjing sering harus berjuang mendapatkan tempat. Anjing belum dianggap hewan peliharaan). Sedangkan “Kopral Jono” bercerita tentang seorang anak yang pincang karena polio dan persahabatannya dengan seekor pitbull. Keduanya sukses membongkar kejahatan yang ada di kampung mereka.


Kami juga menampilkan buku-buku dari penulis lain seperti “Na Willa” (Reda Gaudiamo), “Aku Suka Caramu” (Penulis: Audelia Agustin, Illustrator: Haikal), “Semesta Aqil” (Aqillurahman A. H. Prabowo), “Sepeda Onthel Kinanti” (Iwok Abqari), dan “Menggapai Rembulan” (Iwok Abqari).

APA YANG MAU KAMI SAMPAIKAN?
Bahwa kelompok minoritas itu ada dan penting. Mereka memberikan warna tersendiri bagi Indonesia yang beragam ini karenanya sangat perlu dijaga dan dilestarikan. Menarik bahwa orang-orang terkejut dengan adalanya komunitas warga Afrika eks tentara Belanda di Indonesia. Tidak banyak orang yang tahu. Saya sendiri sebagai orang Indonesia sama sekali tidak tahu kalau tidak baca buku Yovita ini. Beberapa fakta lain dari buku-buku di atas juga sama mengejutkannya.

Bahwa anak-anak dari kelompok minoritas juga perlu bacaan yang terhubung dengan mereka, yang membuat mereka menjadi semacam “pusat” dari bahan bacaan. Sebaliknya anak-anak Indonesia perlu gizi bacaan yang bervariasi. Hanya dengan mengakui dan ikut serta bergembira dengan keberadaan kelompok yang berbeda kita bisa mulai menghargai teman yang berbeda. Bayangkan berapa konflik SARA yang bisa dihindari bila sedini mungkin kita membangun jembatan antar kelompok yang berbeda dan bukannya membangung tembok tinggi untuk pemisah.

Bahwa anak-anak juga layak mendapatkan bacaan yang mengedukasi mereka di segala lini. Anak-anak bisa mulai mencintai sejarah, misalnya, dengan membaca cerita-cerita seru dan menarik, seperti “Misteri Kampung Hitam”. Anak-anak mengenal suatu penyakit berat lewat buku seperti “Aubrey dan The Three Musketeers”.

Bahwa menulis tentang topik minoritas adalah proses pembelajaran untuk penulisnya juga (untuk saya secara pribadi). Ketika hendak menuliskan “Nino, Si Petualang Cilik” saya tentu saja mencari informasi tentang tradisi unik Nusantara. Informasi itu tentu harus yang benar dan obyektif. Dan ini adalah pengalaman yang humbling dan eye-opening banget. Sering kita dengar ungkapan “Indonesia ini kaya akan tradisi dan budaya”. Menuliskan kekayaan itu membuat saya menyadari betapa sedikitnya saya mengenal Indonesia.  

APA TANTANGANNYA?
Banyak tantangannya menulis topik-topik minoritas ini.
Prasangka masyarakat adalah yang saya pikirkan ketika saya menulis topik-topik minoritas. Apakah masyarakat cukup terbuka dan menerima topik-topik ini? Apakah masyarakat mau membaca secara utuh sebelum men-judge? Apakah masyarakat punya keprihatinan yang sama tentang keberagaman dan minoritas?

Berikutnya yang menjadi kendala adalah riset. Sangat tidak mudah mencari informasi yang terhitung akurat untuk hal-hal yang dianggap “kecil” dan bahkan nyaris tidak tercatat dalam sejarah, seperti komunitas masyarakat Afrika dalam “Misteri Kampung Hitam”. Saya pribadi mengalaminya dalam menuliskan “Nino, Si Petualang Cilik”. Biarpun secara umum informasi tentang tradisi unik itu relatif tersebar di internet dan perpustakaan namun beberapa detil membutuhkan riset, cek, dan ricek data.

Selanjutnya adalah keterampilan untuk menuliskan dengan obyektif dan bebas dari bias tertentu. Saya akui, ini adalah tantangan mental yang cukup sulit. Saya pribadi masih terus menantang diri dan belajar tentang hal ini.

BAGAIMANA REAKSI PEMBACA INDONESIA ATAS BUKU BERTEMA MINORITAS INI?
Secara mengejutkan, buku-buku bertema minoritas ini digemari oleh pembaca Indonesia. “Misteri Kota Tua” menjadi best-seller dan telah cetak ulang sebanyak 4 kali! “Misteri Topeng Angker” telah cetak ulang 2 kali. “Kopral Jono” telah cetak ulang dan dibuatkan seri-nya.
Kami berdua menerima banyak kritik positif atas buku-buku kami di atas. Ini sangat menggembirakan. Mudah-mudahan semakin banyak orang bersikap terbuka dengan tema-tema minoritas ini dan semakin luas tema minoritas yang bisa ditulis. Amin.

BAGAIMANA PRESENTASI KAMI?
Jujur, dengan begitu banyak hal yang ingin disampaikan, waktu yang dialokasikan buat kami terasa sangat kurang. Amat sangat kurang, kalau saya boleh menegaskan sih.

Namun, apapun kondisinya, saya tetap bersyukur. Ini adalah kesempatan yang sangat jarang sekali. Di negeri sendiri mungkin belum tentu ada yang seperti ini. Karenanya, biarpun sebentar (dan tidak cukup waktunya) sudah sangat bersyukur bisa menaikkan topik ini dalam forum internasional ini.

Btw, dalam keterbatasan waktu itu Yovita sanggup menyampaikan isi materi dengan baik sekali. Sekali lagi, saya sangat menghargai dan salut pada penulis yang satu ini.

HARAPAN?
Nah ini dia! Ikut AFCC ini membuat saya jadi berharap banyak:

Semoga suatu saat saya bisa ikut lagi, jelas itu harapan pertama saya… hehehe…. Kalau ikut lagi, semoga saya berada dalam keadaan sehat lahir bathin sehingga bisa memberikan A-Game saya. (Sekali lagi: amin). Saya ingin menampilkan lebih banyak lagi sisi-sisi Indonesia dalam pemaparan.

Semoga lebih banyak penulis Indonesia bisa tampil di event semacam ini. Semoga pemerintah Indonesia mau ambil bagian dalam event ini. Ini event yang baik sekali untuk perkembangan bacaan anak. Event ini tidak jauh, hanya “tetangga” Singapura. Jadi seharusnya lebih ringan (dibandingkan dengan ikut Frankfurt Book Fair, misalnya).

Lalu, kalau tidak terlalu tinggi harapannya, saya ingin sekali ada kegiatan serupa di Indonesia; diadakan dengan obyektif, tidak parsial, dan benar-benar untuk tujuan peningkatan mutu buku anak Indonesia.

Begitulah kira-kira cerita saya tentang AFCC 2019. Semoga bermanfaat.

Terima kasih kepada AFCC yang telah mengadakan kegiatan yang bermutu ini. Terima kasih kepada Penerbit Gramedia Pustaka Utama yang telah memberikan informasi data. Terima kasih kepada Penerbit Kiddo dan Mbak Pradikha Bestari. Terima kasih kepada Kelompok Pecinta Bacaan Anak dan Komunitas Penulis Bacaan Anak.

Terima kasih pada Fonny Jodikin, seorang penulis, berkewarganegaraan Indonesia, berdiam di Singapura, atas kesediaannya datang dan memberikan dukungan. Juga terima kasih pada Reinhard Wisesa, seorang illustrator, yang juga bersedia hadir memberi support.
Dengan Fonny Jodikin

Oh iya, tulisan ini tidak mewakili Yovita Siswati ya. Maksudnya, Yovita pasti punya kesan tersendiri yang tak terwakili di sini. Sebagai kakak/sesama penulis/sesama panelis atau whateverlah saya mengucapkan trilyunan terima kasih buat Yovita Siswati. Saya senang menjalani ini terlebih karena teman saya adalah Yovita Siswati. I will remember this as the most precious moment I ever had and I’m glad you were there (Psstt… bener ya, kita ini totally different. Only heaven knows why we could get along together well during those four hectic days… xixixiii…).

Di Bandara Changi, berpisah dengan Yovita Siswati


***

Pebatuan, 2 Oktober 2019
@agnes_bemoe