Penulis : Christo Ngasi
Editor : Nitzae Hironimus
Desain Cover & Isi : Ragil Sukriwul
Penerbit : Mozaik Books
Genre : Novel
Jumlah Halaman : xvi + 162 halaman
Tahun Terbit : Maret 2014 Cetakan Kedua
Foto milik F.R. Situmorang |
Membaca “Mata Likku” seperti makan sirih pinang buat saya: kunyahan-kunyahan awal adalah pahit, getir, panas bahkan. Seiring memerahnya mulut dan bibir, saya terseret pada tragedi cinta dari negeri Marapu ini, sambil sayup-sayup terdengar ghiliking dan kwuking di belakang saya.
Cinta dan tragedi. Berapa tragedi dibutuhkan untuk membuktikan ketulusan cinta? Romeo-Juliet, Sampek-Engtay, Layla-Majnun. Roro Mendut-Pronocitro, Siti Nurbaya-Samsulbahri, Srintil-Rasus, Lagaligo-I Da’Batangeng, Jayaprana-Layonsari. Lalu, sayup dari Timur Indonesia, jauh di jantung Pulau Sumba, tempat Marapu memberi pinjaman nyawa, menusuk lagu yang sama, mengalir dari sebuah mata air bernama “Mata Likku”.
Adalah hikayat bertajuk “Odi Lakawa Maghine”, tentang seorang gadis cantik yang dicintai oleh dua pemuda dari dua suku berbeda. Karena tak berdaya menolak cinta kedua pemuda, sekaligus ingin mencegah pertumpahan darah antar dua suku, gadis itu merelakan dirinya dibelah dua. Masing-masing tubuhnya lalu diambil oleh dua pemuda yang mencintainya. Hikayat inilah yang diracik kembali oleh Christo Ngasi dalam Mata Likku:
“Aku ingin mengawali kisah ini, biarkan aku bersuara. Para leluhur, bantulah aku.” seru frater muda ini mengawali tulisannya.
Lalu, aliran puitis –nyaris seperti prosa liris- “Mata Likku” membanjiri imajinasi. Kaya dengan tradisi Sumba, cerita ini berpusat pada seorang pemuda gagah dan tampan dari suku Mbuka Regha. Nani namanya.Tumbuh sebagai pemuda gagah, Nani tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berpetualang mencari cinta. Laura, gadis cantik berkulit langsat bermata binar yang dilihat Nani di mata air Mata Likku membuat pemuda itu merasakan panas dinginnya cinta untuk pertama kalinya. Biarpun sudah diingatkan bahwa tidak mungkin bisa menyunting Laura -karena sejarah kelam antara dua keluarga mereka- Nani, seperti umumnya orang yang sedang kasmaran, memilih untuk meletakkan sebentar akal sehatnya.
“Mengapa kami yang harus menanggungnya, Ayah! Kami tak tahu apa-apa tentang semua ini. Biarlah masa lalu itu pergi. Ayah, aku mencintainya.”
Dan seperti semua pemuda yang merasa bisa membalikkan dunia begitu saja ia berkata lantang:
“Ayah, kalau mimpi ayah seperti itu aku ingin menghijaukan ulang padang itu. Aku ingin merindangkan pepohonan itu kembali dan ingin membuat air itu jernih layaknya cermin. Aku ingin mengobati luka lama itu dan mencabut patok kedengkian itu. Akulah Nani, putramu. Aku minta restu ayah agar Marapu mengizinkan aku untuk memiliki perempuan itu,” (Hal. 19)
Cinta Nani tidak bertepuk sebelah tangan. Laura memberi isyarat. padang sabananya menanti kuda-kuda helaan Nani. Keduanya langsung tahu pada pandang pertama bahwa getar dawai hati mereka ada di nada yang sama. Yang mereka berdua tidak ketahui tragedi bersisian begitu dekat dengan cinta mereka.
Pada saat yang sama Nani bertemu dengan Ndaido, dan jatuh hati juga pada gadis itu. Tragedi mulai mengalungkan selendangnya ketika Nani tersesat di dua cinta ini. Tragedi makin erat merengkuh ketika ketika Nani mendapati Laura disembunyikan oleh keluarganya, supaya tidak dapat dipersunting Nani. Sementara itu, Nani juga tidak kunjung bisa mendapatkan Ndaido.
Bermaksud mencari Laura, Nani memutuskan pergi ke tanah seberang, ke Liombo Sasak. Di sana ia malah berkenalan dengan Aminah dan menikahinya. Segera setelah melahirkan anak pertama mereka, Aminah meninggal. Kehilangan yang telak buat Nani karena sebelumnya bayi yang dilahirkan Aminah meninggal saat lahir. Remuk redam, Nani kembali ke Pulau Sumba. Ia mendapati bahwa Laura selama ini ternyata ada di pulau Sumba. Ia tidak kemana-mana seperti yang gencar diberitakan oleh keluarga Laura. Tidak hanya itu saja, Laura ternyata sudah ditunangkan dengan pria lain.Di lain pihak, tanpa Nani ketahui, selama ini Laura menunggu-nunggu kedatangan Nani. Gadis ini menyangka Nani telah melupakan cinta mereka. Dalam keputusasaannya, Laura akhirnya menerima Lero, biarpun ia tidak mencintai pemuda dari Waijewa tersebut.
Tragedi tidak hanya meluluhlantakkan Nani. Ia juga mengincar Laura. Laura sekarang berada di antara dua pria: Lero atau Nani.
Tragedi tidak menyisakan banyak ruang bagi Laura untuk bernapas. Memilih salah satunya sama dengan membuka pertempuran baru antar dua keluarga. Menolak keduanya, apalagi!
Biarpun novel ini sangat macho: panjang mengulas perjalanan cinta seorang pemuda bernama Nani, namun penyenyelesaiannya ternyata sangat feminin. Penyelesaiannya ada di tangan Laura. Dan ia memilih cara-paling-perempuan: mengorbankan diri. Laura membiarkan tubuhnya dibelah dua, masing-masing untuk kedua pemuda yang sudah dijanjikan cintanya.
Pengorbanan untuk harga diri. Harga diri sebagai persembahan paripurna bagi lelakinya. Harga diri yang akan jadi kebanggaan yang diceritakan lelakinya. Harga diri yang nantinya akan dijunjung keluarga besar, turun temurun. -Sejurus, saya teringat akan Dewi Shinta. Istri Rama ini rela dibakar sebagai bukti kemurnian dirinya setelah beberapa waktu disekap oleh Rahwana.-
Harga diri, membuat seutas nyawa jadi tak lagi berharga. Tapi, harga diri ini yang diyakini membuat kepala setiap ayah dan ibu akan tetap tegak bila membicarakan anak-anak perempuan mereka. Tidak hanya itu saja, harga diri ini membuat setiap lelaki bangga alang kepalang menerima pengorbanan demikian mutlak.
Dengan ini hikayat Mata Likku diakhiri.
Salam dari Sumba |
Dan dengan ini pula saya menyadari, bahwa selama membaca novel ini, saya sudah digiring ke alur yang keliru. Ini ternyata kisahnya perempuan.
Ini bukan tentang sepak terjang Nani mencari cinta. Awalnya (dan sampai detik ini) saya marah berat melihat Nani mengangguk takzim pada paham “pria cenderung berpoligami” (Baca bab “Pergolakan Bathin” dan “Ciuman Terakhir”). Awalnya saya kesal karena Nani menebar cinta pada hampir semua perempuan yang ditemuinya. Nani sama sekali bukan tokoh hero buat saya!
Saya kecele! Abaikan Nani. Sebab novel ini punya heroin: Laura.
Laura adalah Mata Likku yang sebenarnya. Darinya mengalir kekuatan air: segar, bening, jernih, menghidupkan, menyejukkan. Air melewati jutaan bebatuan untuk memurnikan dirinya. Air menyerap kehangatan matahari dan mengembalikannya pada peminum pertama di setiap subuh. Air mengalir menuruti lekuk bumi. Ada yang mencerca dengan mengatakan mereka tak berpendirian dan mau merendahkan diri. Namun, dengan jadi seperti itulah sabda alam terlantunkan dengan merdunya. Laura mencerap semua kebijakan tanah Marapu dengan sempurna. Simak waktu ia menari dan bersyair di malam terakhirnya:
Yo Maingge mala maingge
Yemi ina Leiro ana
Kimattu bolo matta
Ba mateguwe koka
Yo Maingge mala maingge
Yemi bapa baba ana
Kitanga bolo wiwi
Bazedaguwe koka
(Mama dan Bapa datanglah bersama-sama,
Untuk menemani aku malam ini saja,
Besok aku akan berduka dan mati
Karena satu cinta)
Ia mengembalikan semua pada alamnya, pada ayah dan ibunya (dan juga pada sanak keluarganya). Ia adalah air, bagian tak terpisahkan dari alam. Dan ke alam, ia kembali.
Lalu, tinggallah saya sebagai pembaca yang berang.
Mengapa hanya Shinta yang membakar diri? Siapa suruh Rama meninggalkannya begitu saja di hutan? Adakah jaminan Rama tidak melirik-lirik perempuan lain? Mengapa Laura yang merasa perlu bertanggung jawab dan membagi dirinya sama besar? Sementara Nani tidak merasa perlu melakukan hal yang sama. Mengapa para pria perkasa itu tidak mencegah Laura melakukan tindakan setragis membelah dirinya? Mengapa tidak ada yang mau mengalah? Puaskah mereka mendapat potongan tubuh gadis yang konon mereka cintai? Terakhir, benarkah Laura yang mereka cintai? Ataukah mereka sebenarnya hanya mencintai ego mereka sendiri?
Apakah cinta selalu identik dengan pengorbanan? Apakah cinta, kehormatan, dan harga diri menginginkan ada yang menderita? Tanya sang petutur cerita di akhir cerita.
Saya ingin merusak line yang indah itu dengan pertanyaan:
Apakah cinta selalu identik dengan pengorbanan di pihak perempuan? Apakah cinta, kehormatan, dan harga diri menginginkan perempuan menderita?
Ini bisa saja jadi litani pertanyaan maha panjang. Sampai akhirnya saya berusaha memahami bahwa membaca kearifan lokal masa lalu dengan kacamata masa sekarang bisa jadi sangat membingungkan. Ini adalah cinta yang sangat perempuan di dunia yang sangat laki-laki.
Namun demikian, bila keberangan saya akan konten dikesampingkan, harus saya akui bahwa kisah Nani-Laura-Ndaido-Aminah-Lero ini sangat menarik. Dituturkan dengan bahasa puitis yang mengulik rasa. Saya harus beri tabe pada Fr. Christo Ngasi. Ungkapan interpretasinya atas hikayat lama sangatlah indah. Saya bersyukur bisa mengenal salah satu hikayat asli Nusantara lewat novel ini. Salut dengan perhatiannya akan kekayaan tradisi susastra leluhurnya, yang juga jadi kekayaan Indonesia. Latar budaya Sumba membuat seluruh ceritanya menjadi super eksotis. Balutan dendam turun temurun atas terebutnya sepotong tanah sebagai tanda harga diri membuat tragedi cinta ini terasa lebih menggigit.
Seperti mengunyah sirih pinang, kesegarannya terasa setelah seluruh komponenennya: daun sirih, bunga sirih, pinang, dan kapur tercampur merata, terkunyah halus di mulut. Lalu tanpa sadar memerahkan mulut dan bibir. Lalu, para rambu memekikkan ghiliking dan para umbu menimpa dengan kwuking, memecahkan langit Sumba yang memerah.
(Tidak seperti cinta dan dunia, sirih pinang tidak pernah mengenal laki-laki atau perempuan.)
***
3:45
Pembatuan, 10 Juni 2014
Agnes Bemoe
Catatan:
Ghiliking: teriakan kegembiraan perempuan Sumba. Bunyinya melengking, mirip suara burung.
Kwuking: teriakan kegembiraan laki-laki Kodi (Kodi = nama suatu daerah di Sumba, terkenal akan berasnya)
No comments:
Post a Comment