Follow Us @agnes_bemoe

Showing posts with label hnp. Show all posts
Showing posts with label hnp. Show all posts

Thursday, 12 January 2023

Selamat Datang 2023 - Catatan Serba Pertama Kali di Sepuluh Tahun Yang Lalu

January 12, 2023 0 Comments

 

Misteri Mamoli Kuno dan Saya

Tidak berharap banyak di tahun baru, tahun 2023 ini. Yang jelas, ingin sehat lahir bathin dan berlimpah rezeki. Amin.



Misteri Mamoli Kuno dalam Daftar Panjang Scarlet Pen Award 2023


Namun, tahun 2023 ini dibuka dengan cukup manis. Novel Anak karya saya, MISTERI MAMOLI KUNO, masuk dalam Daftar Panjang Kusala Pena Merah (Scarlet Pen Award) 2023. Masih harus berjuang untuk bisa lolos ke babak Daftar Pendek sih tapi sudah senang sekali dengan berita ini. Mudah-mudahan bisa lolos ke babak-babak selanjutnya ya. (Psst... kalau teman-teman ingin beli bukunya, kunjungi link yang saya terakan di bagian bawah tulisan ini. Trimss)





Mengenai Kusala Pena Merah ini tahun 2020 lalu seri Kopral Jono juga pernah masuk nominasinya. Kopral Jono dan Siapa Mencuri Lukisan Sultan sama-sama masuk Daftar Panjang. Lalu, Siapa Mencuri Lukisan Sultan yang melaju ke Daftar Pendek. Biarpun belum menang, sudah senang sekali. Bahwa karya kita diperhatikan bahkan diberi kesempatan untuk mendapat penghargaan, wah itu luar biasa sekali.


Daftar Pendek Scarlet Pen Award 2020


Selanjutnya, seperti saya katakan sebelumnya, saya tidak berharap banyak di tahun 2023 ini. Ada kemungkinan sangat besar tidak akan ada buku terbit di tahun ini karena memang saya tidak sedang terlibat dalam proses penerbitan naskah apapun. Tidak apa-apa. Saya mem-puk-puk diri saya sendiri :D


Tahun ini saya ingin lebih berkonsentrasi pada diri saya sendiri. Beristirahat secara fisik dan bathin (ini sih melanjutkan tahun-tahun sebelumnya ya, setelah dipaksa istirahat di akhir tahun 2013), menyembuhkan diri sendiri sambil me-reparenting diri saya sendiri (wiih… banyak banget PR-nya ya… :D). Saya tahu, niatan saya ini bukan hal mudah yang bisa diberi tenggat waktu. Karenanya, saya jalani saja dulu. Sambil itu, kalau bisa diselingi nulis, saya nulis. Kalau enggak, yo wis…  hehehe….


Tahun ini bisa dibilang “tahun-genap-sepuluh-tahun-pertama-kali”. Sepuluh tahun lalu buku saya terbit pertama kali di penerbit mayor. “Kumpulan Kisah Santo-Santa” terbit di Penerbit BIP Gramedia. Berarti pertama kali juga merasakan ‘ro-yal-ti’. Masih teringat, seneng bangeeet terima royalty. Royalti dari BIP Gramedia lumayan lho untuk penulis pemula semacam saya.


Buku Pertama yang Terbit di Penerbit Mayor, tahun 2013


Sepuluh tahun yll juga pertama kali karya saya dimuat di Kompas Minggu Anak! Yeay! Bangganya minta ampun! Cerita saya yang lolos judulnya “Boneka Rasa Jus Jeruk”.


Dan, sepuluh tahun yll, picture story book saya yang judulnya “Utan for Marcia” masuk dalam Shortlist SingTel Asian Picture Book Award 2013! Whoaaa! I am (yes, am, not was) over the moon! Ini acara tahunan yang digelar di Singapura dan berskala Asia. Dan cerita saya menjadi salah satu dari enam Shortlist! Sampai detik ini, detik saya mengetik ini pun, saya merasa itu teralu surreal!


Setelah semua kegembiraan dan kebanggaan itu, tahun 2013, sepuluh tahun yll, tepatnya November 2013, saya terkena HNP (Herniated Nucleus Pulposus) alias syaraf kejepit yang merembet ke berbagai penyakit lainnya. Eh, sebelumnya, di awal 2013, saya harus pulang ke Flores untuk merawat ibu saya. Beliau sakit berat, sampai masuk rumah sakit, tapi tidak ada seorangpun yang menjaganya. Jadinya, saya yang klunuk-klunuk ke Flores. Saya menunggui ibu saya sampai beliau diperbolehkan pulang (untuk kedua kalinya karena beliau sempat pulang lalu kambuh lagi dan dilarikan ke rumah sakit). Hehehehhh… sepuluh tahun yang lalu adalah tahun roller coaster buat saya.


Entah tahun ini bagaimana. Mudah-mudahan seperti paddling through a calm river ya. Amen.


Yang jelas, sekarang ini kondisi saya membaik. Maka, tak lebih tepatnya lagi kalau saya mau menjadikan tahun ini tahun untuk bersyukur. Kehidupan saya tidaklah sempurna tapi tetap banyak sekali yang bisa disyukuri.


Baiklah, tahun baru 2023 sudah kita masuki. Semoga segala yang terbaik terjadi di tahun ini buat Anda dan saya. Amin.


***

Pebatuan, 13 Januari 2023

@agnes_bemoe


Beli MISTERI MAMOLI KUNO di sini. (Tokopedia)

Beli MISTERI MAMOLI KUNO di sini. (Blibli)

Beli MISTERI MAMOLI KUNO di sini. (Shopee)

Saturday, 23 July 2016

Hakuna Matata

July 23, 2016 0 Comments


Ada masanya saya tidak bisa menerima bahwa saya sakit. Seperti sekarang ini, saya sulit menerima bahwa saya tidak bisa melakukan hal-hal paling sepele seperti jalan, berdiri, atau duduk. Apalagi jalan-jalan, makan-makan, atau kesenangan lainnya. Dan,itu sangat membuat frustrasi.

Persis Lebaran lalu saya tumbang lagi.

Oke, kesalahan ada pada saya. Selama bulan puasa, saya ikuti irama hidup toa masjid di kampung saya. Ketika toa mulai membangunkan segenap isi kampung untuk makan sahur, saya juga ikut terbangun. Daripada terbangun sia-sia, saya memutuskan untuk duduk mengetik.

Kalau sudah mengetik, saya suka lupa diri (dan tak tahu diri). Bisa sampai jam 10 atau 11 pagi. Awalnya tidak terasa apa-apa. Lalu, tiba-tiba saya merasakan sengatan di pinggang. Itu sekitar akhir Juni. Masalahnya, saat itu saya sedang ada utang pekerjaan dengan sebuah grup menulis yang tidak mungkin saya tinggalkan.

Dalam kondisi sudah nyengir-nyengir, saya selesaikan juga tugas itu. Syukurlah bisa selesai. Namun, seperti saya katakan, saya tumbang dengan sukses.

Saya kesakitan. Tidak bisa bangun, tidak bisa berdiri, jalan, apalagi duduk. Pertolongan pertama saya adalah tidur berbaring sepanjang hari menenangkan syaraf yang terjepit. Terapis langganan saya belum buka karena libur Lebaran. Jadi, saya hanya bisa menunggu.

Saat itu saya sebenarnya ada tanggungan tugas dari sebuah panitia reuni, selain melanjutkan tugas dari grup menulis di atas. Dengan menahan malu dan tidak enak hati saya terpaksa minta diri dari tugas-tugas itu.

Nah, saya lalu ke terapi untuk berobat, yang mana sangat membantu. Tapi, sebelnya, atau saya harus tulis SEBELNYA dengan huruf besar, kalau HNP saya kumat, pasti diikuti dengan (1) konstipasi, dan... ini yang menyebalkan (2) depresi.

Jadi begini, selagi berjuang dengan HNP, saya kena radang tenggorokan. Tidak parah. Dengan bantuan internet, saya cari tahu pengobatan alaminya. Demam dan radang tenggorokan membuat saya tidak bisa makan dan ini menganggu pencernaan. Konstipasilah saya.

Sudah punya pengalaman sebelumnya, kali ini konstipasi saya gempur dengan sayur hijau dan buah. Syukurlah, mereda tanpa harus ke RS (kali terakhir saya harus ke RS).

Selagi HNP, radang, demam, dan kosntipasi menari-nari di badan saya, saya menyadari ada yang mengintip dari luar, menunggu kesempatan masuk. Depresi.

Saya mulai gloomy, super gloomy. Pokoknya tidak enak. Susah saya menggambarkannya.

Saya malas berurusan dengan orang. Sialnya, pada saat yang bersamaan saya mengalami kendala terkait dengan ilustrasi untuk buku baru saya. Hal itu sungguh memicu depresi saya dan berat rasanya bahkan hanya untuk mengingatnya.

Puji Tuhan, saya segera menyadari gejala-gejala awal depresi yang sedang terjadi pada diri saya. Berbekal itu, saya menyusun diri supaya tidak terseret terlalu jauh dalam gejolak alam pikiran saya sendiri. Hasilnyan umayan, biarpun fluktuatif juga.

Di awal tulisan saya menyebutkan tentang betapa frustrasinya saya karena apa yang saya alami ini. Betapa saya belum bisa menerima bahwa  saya harus seperti ini.

Pikiran itulah yang selalu memberati kepala saya. "Andaikan sehat, saya bisa nulis. Andaikan sehat, saya bisa jalan ke mall. Andaikan sehat, saya bisa ikut kegiatan ini itu. Andaikan sehat... dst"

Mudah bagi anda yang sehat untuk bilang: sudah sabar aja... dst. Faktanya, ketika sakit hal-hal seperti itulah yang menutupi pikiran saya.

Saya sulit melepaskan keinginan-keinginan itu, sampai pagi ini ketika membaca buku "Mencari Tuhan dalam Segala" karya Anthony de Mello, SJ saya menemukan sebuah kalimat yang menohok sekali: ada orang-orang yang kehilangan hidup demi memelihara kesehatannya. Saya lebih memilih mereka yang kurang sehat namun benar-benar hidup dan  menikmati hidup (Hal. 15).

Kalimat itu benar-benar menggetok kepala saya. Menikmati hidup.

Kalau saya ingat-ingat lagi, itu juga yang pernah disarankan psikiater saya. Dalam bahasa yang tidak terlalu njelimet, seorang teman pernah memberi saran: kalau kepingin Van Hollano (nama bakery), pergi beli. Mau ke karaoke, karaoke! Hidup ini sederhana: susah-senang-susah-senang-lalu mati. Jadi, tidak usah dibuat rumit!

Kata-kata itu yang dulu pernah menyadarkan saya. Sekarang saya dengar lagi: menikmati hidup.

Saya bisa saja meratapi penjara ini atau menari-nari bersama tikus-tikus di dalamnya. It's my call.

***

Pembatuan, 24 Juli 2016
@agnes_bemoe



Sunday, 27 December 2015

HELL BLESSED!

December 27, 2015 0 Comments
Tahun 2015 saya mulai dengan berat. Secara fisik,  masih belum pulih dari HNP. Karena kondisi itu, saya tidak bisa menulis (dan tidak/belum bisa ke gereja, ke pasar, dll). Secara psikis kondisi saya memburuk di triwulan pertama sampai saya perlu menemui psikiater dan psikolog lagi.

Perubahan terjadi dengan amat sangat perlahan dan nyaris tidak terasa. Sungguh luar biasa ya, kita mengalami perubahan yang begitu kecil sehingga tidak terasa, tetapi begitu signifikan hasil akhirnya.  
Pelan-pelan berat badan saya naik. Dari 35 kg setelah sakit, menjadi 36, 37, 39, lalu 40. Lalu masih naik lagi sampai sekarang berat badan saya di kisaran 47 – 48 kg! Saya butuh menambah berat badan karena terbukti badan saya yang kurus waktu itu (40 kg, tinggi 161 cm) tidak membantu ketika sakit.
Pelan-pelan saya bisa memperluas aktivitas fisik. Saya tahan duduk agak lama, bisa sampai 1 – 2 jam. Biasanya saya masih merasa sedikit kemeng menjurus ke cekot-cekot dan kesemutan kalau duduk. Lama-lama, rasa kemeng itu hilang.
Saya bisa kembali masak di dapur. Biasanya saya tidak tahan berdiri untuk mengiris atau menggoreng. Sekarang saya bisa melakukannya kembali. Yang belum bisa saya lakukan adalah menguleg. Pinggang saya kembali nyeri kalau saya pakai untuk menguleg.
Terakhir, saya kembali bisa jongkok! Hehehe… sepele ya? Buat saya ini hal besar. Sejak sakit, saya tidak bisa jongkok. Sekitar sebulan lalu, saya membetulkan komputer dan harus berjongkok. Ternyata saya bisa melakukannya dengan mulus, tanpa sakit. Saya seperti penari ballet yang bisa melakukan pointe untuk pertama kalinya. Yeay!
Hal-hal di atas adalah hal-hal kecil yang saya dapatkan lagi secara perlahan di tahun 2015. Ada beberapa hal yang belum bisa saya lakukan, seperti membawa sesuatu yang berat, memakai sepatu berhak, atau mengucek/menguleg. Tapi, tidak mengapa. Saya yakin suatu saat saya bisa melakukannya lagi.

Secara psikis, saya juga merasakan perubahan. Lagi-lagi bukan perubahan a la sulapan yang terjadi dalam sekejap. Saya merasakan perbedaan. Contohnya, dulu, kalau ditinggal sendirian di rumah, saya sering cemas. Cemas kalau-kalau ada kecelakaan atau bahaya, atau apa saja yang tidak mengenakkan. Yang saya lakukan adalah terus-terusan berbisik: “pintu ada di sana. Kalau terjadi apa-apa, pintu ada di sana…” Saya butuh waktu amat sangat lama untuk merasa tenang dan yakin bahwa tidak akan terjadi bahaya apa-apa.
Hal lainnya, setiap pagi tetangga selalu menghidupkan mesin cuci sekitar pukul 9. Entah mengapa, dengung mesin cuci itu kedengaran sangat tidak nyaman di telinga saya. Saya merasa harus lari dari dengung itu.
Nah, saya juga tidak sadar kapan berhentinya gangguan-gangguan itu. Tahu-tahu saya saya tidak lagi merasa takut atau terganggu. Suatu saat saya menyadari bahwa saya sedang sendirian di rumah. Dan eh, tidak ada lagi tuh dorongan untuk lari. Begitu juga dengan dengung mesin cuci tetangga. Saya tetap mendengar suara dengung halus mesin itu, tapi kali ini saya biasa-biasa saja. Puji Tuhan!

Tahun ini saya juga pelan-pelan menulis lagi. Menulis naskah, bukan “hanya” menulis status di facebook atau tulisan di blog. Ada teman menawari menulis naskah cerita anak. Saya jelaskan kondisi saya, bahwa saya tidak bisa menulis panjang, tidak bisa menulis dengan target halaman serta deadline. Sangat tidak ideal untuk penulis. Puji Tuhan, teman tersebut tidak memberikan target, tidak memberikan deadline, dll. Oke deh, saya setuju kalau begitu. Maka, saya mulai menulis lagi, dengan kemampuan menulis setengah jam sehari (dan belum tentu setiap hari bisa menulis :D)

Ketika hendak menutup tahun 2015 ini kondisi kesehatan saya membaik, baik kesehatan fisik maupun psikis. Kemampuan menulis pun meningkat, selain kemampuan-kemampuan fisik lain seperti yang saya sebutkan di awal tulisan. Belum lagi saya mendapati kenyataan bahwa saya didampingi oleh orang-orang yang luar biasa sabar, pengertian, dan selalu berpikir positif. Pendampingan mereka membuat saya bertahan dan bangkit kembali.
Oleh karenanya, tidak ada kata lain yang bisa saya ucapkan selain TERIMA KASIH, TUHAN. Ada saatnya Engkau memberi awan hitam penuh hujan dan badai. Namun, setelahnya ada langit biru yang segar dan cerah.

Apakah tidak ada kekecewaan dan kesedihan di tahun 2015 ini? Tentu saja ada. Memangnya saya malaikat yang problem-free. Hanya saja, saya belum bisa menuliskannya tanpa menimbulkan rasa luka (dan mengacaukan kondisi emosi saya). Mudah-mudahan kalau sudah bisa merelakannya, akan saya tuliskan.


Sekarang ini saya bersyukur untuk semua yang terjadi pada saya. Bersyukur untuk orang-orang baik di sekeliling saya. Tahun ini saya tutup dengan gembira dan dengan pemikiran “how blessed I am”. And yes it is true, I am hell blessed! 

***

Pembatuan, 28 Desember 2015
@agnes_bemoe







Sunday, 24 May 2015

Bersahabat dengan HNP

May 24, 2015 4 Comments
Persis dua bulan sejak saya berobat ke Pak Yuyun, seorang akupunkturist di Jakarta.
Sejak pulang dari tempat Pak Yuyun, saya merasakan perubahan yang cukup signifikan. Malahan, sehari setelah berobat saya kuat jalan-jalan ke mall (yang mana agak mustahil bagi saya di waktu-waktu sebelumnya). Namun demikian, saya tidak mau buru-buru senang. Saya memutuskan untuk menunggu sampai beberapa waktu. Saya takut kecewa.

Selama sebulan setelahnya saya merasakan badan saya enakan. Bangun tidur tidak lagi sakit, jalan tidak sakit, batuk dan bersin juga tidak sakit. Saya lebih kuat duduk, baik untuk menulis maupun menyetir. Saya sudah ingin menuliskan kemajuan ini ketika saya kembali merasakan sakit. Itu hampir sebulan setelah saya berobat ke Pak Yuyun.

Waktu itu, merasa agak sehat, saya melanjutkan kegiatan mengedit naskah yang sudah lama saya tinggalkan dan sudah berulang kali ditagih oleh para penulis naskah (mereka tidak tahu kalau saya sakit). Selain itu, saya juga mencoba menulis naskah cerita anak-anak untuk sebuah penerbit.

Entah bagaimana cara saya mengetik/duduk, saya kembali merasakan nyeri di pinggang sampai ke telapak kaki. Saya memutuskan untuk istirahat total. Mencegah stress yang bisa memicu depresi, saya menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik, nonton film, dan ngobrol dengan teman baik saya (lewat dunia maya, tentunya). Puji Tuhan, setelah semingguan istirahat, nyeri pun hilang. Selanjutnya, saya praktis tidak lagi merasakan nyeri (kecuali kemarin waktu saya ke Gramedia. Mungkin saya kelamaan di sana :p).

“SEMBUH” BUAT PENDERITA HNP
 Tanpa bermaksud mengecilkan semangat, mengecilkan perjuangan sesama HNP-ers, buat saya sembuh total dari HNP itu “nyaris mustahil”. Saya beri tanda kutip karena frasa ini butuh penjelasan.
Saya percaya pada kesembuhan. Namun, sepertinya saya harus punya pandangan lain terhadap HNP. Kondisi syaraf saya sudah “cacat”. Yang bisa dilakukan adalah semaksimal mungkin mengupayakan supaya kecacatannya tidak bertambah parah. Untuk itulah saya berenang (untuk menguatkan otot punggung dan perut) dan menjaga posisi badan termasuk tidak mengangkat beban terlalu berat (untuk mencegah syaraf semakin teriritasi).

Berenang dll bukan obat untuk kesembuhan. Ini untuk membantu memperkuat otot, memperkecil potensi iritasi, dan karenanya meminimalisir kecacatan. Upaya ini harus saya lakukan terus menerus tanpa mengenal kata “sembuh” (kalau sudah baikan lalu berhenti). Tidak heran kalau Ari Wijaya, salah seorang penderita HNP yang mendirikan sebuah grup, menamakan grup-nya “Bersahabat dengan HNP”. Saya memang harus melihat Mr. HNP ini sebagai sahabat saya. Saya harus mulai belajar hidup dengannya dan mengakrabinya. Walaupun tetap yakin bisa sembuh total, saya tetap memposisikan diri sebagai yang “selalu berusaha sembuh” supaya tidak kecewa dan frustrasi.

Tentu saja HNP dapat sembuh total. Caranya dengan operasi. Namun, bagi saya, operasi sangat tinggi biayanya.
dr. Syafruddin

CARA SAYA BERSAHABAT DENGAN HNP
HNP memberikan pengaruh luar biasa dalam hidup saya; fisik dan mental. Secara fisik saya sempat bed-rest berbulan-bulan. Secara mental saya terkena depresi. Menyadari bahwa saya harus hidup berdampingan dengan HNP entah sampai kapan, maka saya mulai menata diri.
Ini adalah beberapa hal yang saya lakukan dalam persahabatan saya dengan HNP:
  1.  Berenang, 3 kali seminggu. Berenang tidak hanya menguatkan otot badan saya saja tapi juga mengurangi stress. Kata orang, air adalah wahana pengurang stress. Manfaat lain, di kolam renang saya berekenalan dengan orang baru. Ini baik untuk kebutuhan saya untuk bersosialisasi. Ujung-ujungnya, mengurangi stress juga.
  2. Pijat Refleksi, ini saya lakukan seminggu sekali. Manfaat yang saya rasakan sama seperti berenang; badan saya terasa ringan, stress saya berkurang, saya bisa tidur nyenyak, makan banyak.
  3. Latihan Pernapasan dan Meditasi Ringan, ini saya lakukan setiap hari di pagi hari. Terus terang, ini adalah latihan yang berat. Sering kali saya “gagal”. Tapi saya berkeras melakukannya setiap pagi. Manfaat yang saya rasakan adalah saya lebih tenang, tidak gampang takut (kalau depresi kambuh, saya mudah ketakutan).
  4. Senam HNP, saya lakukan dua hari sekali. Baru sebulan ini saya mempraktikan senam HNP (saya cari dari internet). Terasa memang saya lebih kuat dalam beraktivitas. Merasakan manfaatnya, saya malah merencanakan mau mengikuti yoga khusus untuk low-back pain. Mudah-mudahan kuat! :D
  5. Menata lingkungan saya, ini lebih ke manfaat secara mental. Saya bukan orang yang pemilih atau super sensitive dalam berteman. Tapi entah kenapa, semenjak terkena depresi, saya kurang kuat menghadapi pemikiran atau pembicaraan negatif cenderung toxic. “Lingkungan” pertama yang saya tata tentu saja diri saya sendiri. Saya berjuang keras menghindari berpikir negatif, berpikir tegang, atau mellow. Saya menghindari bacaan-bacaan atau tontonan-tontonan yang potensial membuat saya cemas atau mellow. Saya tidak kuat menonton tayangan berita tentang kecelakaan dan kematian. Saya juga tidak bisa membaca novel-novel mellow (padahal beberapa di antaranya favorit saya). Sudah hampir sebulan ini saya meng-unfriend beberapa teman di fb. Pemikiran sektarian dan selalu memicu permusuhan yang tertuang dalam status mereka tidak cocok untuk kondisi saya sekarang. Fb saya sekarang “monoton” dan “sepi”. Tapi, saya tidak lagi tegang dan terhenyak dikagetkan oleh status-status negatif. Termasuk juga saya jadi pemilih dalam berteman dengan sesama penderita penyakit. Jangan salah sangka, bukannya saya “berdarah dingin” tidak mau berempati dengan sesama yang sakit. Ada yang mengeluh secara proporsional lalu berupaya mencari cara mengatasinya. Namun, ada juga yang mengeluh tidak ada habisnya. Lalu, bukannya menjalani atau melakukan terapi/pengobatan/atau kondisi sakitnya dengan tenang dan dewasa, malah asyik membicarakan penyakitnya. Seolah-olah yang bersangkutan “senang” dengan kondisi sakitnya karena dengan begitu bisa jadi “selebritis” biarpun sesaat. 
    Sr. Maristella, JMJ
  6. Menikmati Hidup Saran ini sudah sering didengungkan. Namun bagi saya (yang selalu over-thinking dan ribet) alangkah susahnya menikmati hidup, terutama saat saya tidak bisa kemana-mana dan tidak bisa berbuat apa-apa. Saya diingatkan tentang hal ini persis ketika saya berobat ke psikolog. Bukan, bukan oleh psikolognya, tapi oleh seorang kakak asrama di Duri yang secara kebetulan saya temui di depan ruang praktek ibu psikolog. “Satokkin hidup i, ndang pola dipikiri sude!” begitu kata kakak asrama saya yang boru Batak ini. Artinya kira-kira: hidup ini sebentar saja, jadi jangan diberatkan dengan pikiran yang bukan-bukan. “Hidup itu, Dik, senang-susah-senang-susah, lalu mati.” Dia menyarankan saya untuk melakukan apa yang saya suka: berdandan, jalan-jalan, mau makan bakso ya beli bakso, mau karaoke ya pergi ke karaoke, dll. Intinya, nikmati hidup. Saya rasa, saya harus mulai mencoba hidup dengan cara itu. Selama ini, terus terang, pikiran saya tersedot oleh sakit saya. Saya jadi malas lalu takut melakukan apa-apa. Saya malas keluar rumah, malas tampil rapi, takut nyetir, takut jajan (kawatir mengganggu keuangan), dll. Mencerna berulang kali kata-kata kakak asrama saya itu, saya pikir, mungkin itu yang seharusnya saya lakukan. Kerjakan apa yang ingin saya kerjakan dan harus mulai melatih diri saya untuk lebih rileks, tidak over-thinking.
  7.  Bersyukur, Bersyukur, Bersyukur. Banyak hal “sepele” sehari-hari yang tidak pernah saya syukuri. Saya bersyukur sudah bisa lebih mandiri (mengambil makan-minum sendiri sampai menyetir sendiri, dll). Saya bersyukur masih bisa berobat, baik kedokteran modern maupun alternatif. Saya bersyukur masih bisa “bersenang-senang” (jajan bakso/rujak/gado-gado, atau jalan-jalan ke Alam Mayang, atau main gitar sambil bernyanyi, dll). Saya bersyukur dipertemukan dengan dokter-dokter yang baik yang memberikan saran profesionalnya dengan luar biasa bertanggung jawab (harusnya saya punya tulisan tersendiri tentang ini). Dari awal sakit sampai sekarang saya dipertemukan dengan dokter yang baik: dr. Syafruddin, dr. Elly Anggraini Ang, dr. Juwanto. Saya bersyukur dipertemukan dengan Suster Maristella, JMJ yang kata-katanya meneguhkan dan menguatkan iman saya yang ambrug berkeping-keping (hasyahh… lebay ya…) Saya bersyukur atas orang-orang baik yang ada di sekeliling saya. Entah bagaimana saya kalau yang di dekat saya bukan orang-orang yang sekarang ini. Mereka merawat saya dengan luar biasa sabar dan tetap ceria. Saya juga bersyukur atas para sahabat dari dunia maya yang terus menerus memberi support. Menghitung begitu banyak berkat itu membuat saya merasa “kaya” J
dr. Elly Anggraini Ang


MASIH JADI PENULIS?
Daftar kegiatan di atas tidak menunjukkan kegiatan menulis saya. Apa saya masih jadi penulis?
Masih dong!

Hampir dua tahun saya tidak menulis apa-apa. Saya anggap ini fase turun mesin saja. Saya memang harus istirahat. Mudah-mudahan pelan-pelan saya bisa kembali seperti dulu lagi: rutin menulis setiap hari dan menerbitkan buku. Tuhan yang Maha Baik pasti tidak akan membiarkan saya tidak mengerjakan kegiatan yang saya sukai itu.

***
Pembatuan, 25 Mei 2015

@agnes_bemoe

Baca juga: Berobat ke Jakarta 

Wednesday, 25 March 2015

Berobat ke Jakarta

March 25, 2015 15 Comments
Puji Tuhan, akhirnya saya diberi kesempatan berobat ke Pak Yuyun, ahli akupunktur yang terkenal bertangan dingin mengobati pasien HNP (Herniated Nucleus Pulposus) alias syaraf kejepit.

Sudah lama saya dengar reputasi beliau. Sudah lama juga saya ingin berobat. Jarak yang jauh (yang pasti menimbulkan biaya yang tidak sedikit) serta badan saya yang belum kuat benar membuat keinginan tersebut beberapa kali tertunda.

Merasa mulai agak kuat, tannggal 25 Maret kemarin, saya pun menemui Pak Yuyun.

Syukurlah, perjalanan dengan pesawat tidak menimbulkan nyeri. Selanjutnya, perjalanan dengan bus dari bandara ke penginapan di Cililitan juga tidak ada masalah. Sip!

Berkendara dengan taxi menuju rumah Pak Yuyun ternyata yang cukup menguji nyali. Saya mulai merasa nyeri, apalagi kalau taxi melintasi polisi tidur atau jalan tidak rata. Untung saya bersama adik, yang saya paksa untuk menyediakan lengannya  buat saya cengkeram kuat-kuat untuk menahan sakit :D

Semua itu ternyata tidak seberapa dengan yang harus saya hadapi di ruang praktek Pak Yuyun!

Saya sudah sering mendengar bahwa akupunktur dengan Pak Yuyun lebih sakit daripada akupunktur biasa. Oke deh, saya siap, pikir saya, menguatkan hati.
Ternyata, saya tidak siap. I litterally sobbed, uglily, when Pak Yuyun penetrated the needle into my lower back! Ruangan praktek Pak Yuyun full AC tapi telapak tangan dan leher saya berkeringat!

Hanya satu kata yang saya ulang-ulang buat menguatkan diri: sembuh! Sembuh! Sembuh!

Setelah dimasukkan, jarum-jarum akupunktur dialiri listrik. Aliran listrik malah menimbulkan sensasi enak, bukannya sakit. Terakir, punggung bawah saya diberi pijatan kecil dan diolesi semacam param.

Sebelum pulang, saya disuruh membungkuk oleh Pak Yuyun. Dan, memang saya bisa membungkuk dengan enak. Biasanya saya nyengir-nyengir menahan sakit. Kata Pak Yuyun, itu karena syaraf L5-S1 saya yang bermasalah sudah diperbaiki. Syukurlah. Ada bagian di sisi kanan yang belum berhasil diperbaiki karena saya sudah kesakitan sekali. Rasa sakit membuat badan saya sulit dimasuki jarum. Namun, menurut Pak Yuyun, bagian itu bisa diperbaiki dengan berenang.

Oke deh, dengan perasaan masih mengharu biru menahan sakit saya meninggalkan ruang praktek Pak Yuyun. Sakit di sini adalah sakit bekas tusukan jarumnya.

Hari ini rencananya saya mau istirahat full. Sangat bangak yang ingin saya lihat di Jakarta ini. Tapi, saya harus tahu diri :p

Mudah-mudahan besok perjalanan pulang saya lancar. Selanjutnya,  mudahan-mudahan saya bisa berativitas lagi. Mohon doanya ya teman-teman :)

***

Cililitan, 26 Maret 2015
@agnes_bemoe
Pagi Ini, dari jendela hotel di Cililitan

Friday, 19 December 2014

He was Lying Down Beside Me

December 19, 2014 0 Comments
He was lying down beside me

Hari Rabu lalu, pagi-pagi, saya keluar membeli pulsa. Biasanya saya titip dibelikan. Tapi, hari itu saya lupa titip padahal pulsa sudah nol. Padahal lagi, saya sedang butuh banyak menelpon hari itu.  Entah kenapa, sehabis membeli pulsa saya merasa nyeri. Padahal jarak rumah saya dengan tempat jual pulsa tidak jauh, hanya tujuh atau delapan rumah mungil BTN.

Seharusnya saya bisa langsung baring untuk meredakan kemarahan HNP saya. Namun, hari itu saya ada urusan yang harus saya kerjakan sendiri. Urusan kunci kendaraan saya yang hilamg.

Sebenarnya saya bisa menyuruh anak saya yang mengurusnya. Tapi, waktu urusan terakhir tentang spion, anak saya mengeluh. Kedatangannya tidak dipedulikan oleh petugas di dealer. Tidak mau anak saya dicuekin lagi, saya memutuskan untuk mengurus sendiri. Kalau mereka mengacuhkan saya juga, biar saya bikin "rame" sekalian... hihihi....

Akhirnya saya berangkat dengan disopiri anak saya. Di mobil saya sudah mringis-mringis kesakitan. Urusan di dealer pun selesai, biarpun memakan waktu lumayan lama. Sempat juga judes saya kambuh karena antrian saya diserobot. Dan tentu saja nyeri saya bertambah karena saya harus bolak-balik jalan ke parkiran lalu masuk lagi, lalu jalan lagi. Hwedeww.... Okelah, yang penting selesai dan saya pun pulang.

Di taxi yang kami tumpangi (mobil harus ditinggal) dengan menahan malu saya minta izin untuk berbaring pada pak sopir. Sumpah, sudah nggak kuat lagi!

Bisa diduga, sampai di rumah saya langsung tewas. Hari masih jam 4 sore tapi saya sudah menggeletak di tempat tidur. Untunglah rasa sakit tidak menghalangi saya untuk terlelap. Saya pun tertidur (atau pingsan, saya juga kurang tahu).

Saya melewatkan makan malam, Master Chef Junior Finale, dan Mata Najwa.

Sebelum subuh keesokan harinya saya terbangun. Puji Tuhan, nyeri di pinggang dan tungkai mereda. Hal pertama yang saya lihat ketika bangun adalah segulungan benda hitam di kaki saya. Gabriel Oscar.

Walah, ni anak, numben-numbennya tidur sama maminya, pikir saya. Biasanya dia lebih suka di lantai. Saya menyampaikan ini pada adik saya.

- "Numben si Oscar bobok di sini," kata saya.

Jawaban adik saya membuat saya mencelos.

- "Sejak sore kemarin, sepanjang malam, Oscar nggak beranjak dari sisi Mami."

Saya terdiam. Sering saya baca, anjing bisa merasakan kesakitan tuannya.
Oscar bukan tipe penempel seperti Titil almarhum. Dia juga bukan tipe perhatian seperti Nino. Biasanya dia super cuek. Tapi malam itu, malam waktu saya merasa kesakitan luar biasa, Oscar berbaring di sisi saya. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya berbaring. Tapi, saya sungguh terharu dibuatnya. Saya merasa ditemani.

Baru kemarin saya mendapat berita tentang perlakuan biadab terhadap anjing. Saya prihatin terhadap pelakunya. Jelas ia mendapat informasi yang keliru tentang anjing. Jelas sekali ia belum pernah merasakan kehalusan budi dari makhluk yang terlanjur dibencinya dan dicapnya hina dan najis itu. Saya prihatin atas hatinya yang begitu dingin dan kejam. Saya tidak yakin manusia bisa bahagia kalau hatinya sedingin dan sekejam itu. Mudah-mudahan ada sesuatu yang bisa menyentuh hatinya dan mengembalikan kehangatannya.

Balik lagi ke Oscar. Malam berikutnya dia sudah kembali lagi ke ritual lamanya. Tidur di lantai. Tak sedetikpun dia pedulikan saya. Mentang-mentang Mami nggak sakit ya? Pikir saya jengkel. Saya pingin dia tidur dengan saya lagi.  Soalnya kalau diingat-ingat, enak juga merasakan gulungan bulu yang halus dan hangat di kaki.

***

Pembatuan, 20 Desember 2014
@agnes_bemoe





Wednesday, 8 October 2014

Painful, but Fun (and Healthy)

October 08, 2014 0 Comments
Kemarin saya berenang.
Apa istimewanya? Hehehe... nggak ada.
Saya berenang, selain untuk having fun, juga untuk terapi penyakit HNP saya. Saya baca testimmoni penderita HNP di internet: berenang harus menjadi sesuatu yang wajib (biarpun sudah dinyatakan sembuh).

Oke deh, mungkin itulah letak kesalahan saya kemarin. Sejak bulan puasa saya tidak berenang karena kolam renang tutup. Saya pun tidak mencari alternatif tempat berenang lain karena menganggap tidak akan merugikan. Terbukti saya salah. Akumulasi dari tidak berenang, tidak akupunktur (juga karena bulan puasa), terlalu banyak menyetir, terlalu banyak duduk, angkat berat dan kena batuk menyebabkan HNP saya kambuh.

Saya belum bisa duduk dan berdiri atau berjalan lama, sebenarnya. Paling kuat lima menitan. Namun, saya mau mencoba. Daripada berbaring saja nggak ada hasilnya mending saya berenang. Maka, perjalanan pulang pergi dari rumah ke tempat berenang jadi perjuangan tersendiri.


Dari rumah ke Hotel Premier tidak ada masalah. Ayu, anak saya yang menyupiri saya mengatakan nanti saya akan diturunkan di lantai lima (tempat pool) jadi saya tidak perlu jalan atau berdiri lama. Sip!

Nyatanya, parkiran hanya sampai di lantai tiga (lobby hotel). Berarti harus jalan lagi ke lantai lima. Buat yang sehat itu tidak masalah. Perjalanan terasa pendek dan mudah. Anak saya, waktu saya tanya "Jauh, Kak?", dengan mantap ia menjawab "Enggak, Mi!".

Nah, itu tadi, jelas enggak buat yang sehat. Buat saya, sebelum sampai ke lift saja saya sudah meringis-meringis. Sampai di depan pool, penjaga pool yang cantik malah menahan saya untuk menawari beberapa paket keanggotaan. Aduh, adik cantik, saya sudah nggak tahan! Saya minta diperbolehkan langsung nyemplung dan biar masalah paket keanggotaan diselesaikan Ayu, anak saya.

Syukurlah si adik cantik memperbolehkan.

Saya pun nyemplunglah dengan leganya. Air kolam yang hangat terasa enak di badan saya. Wow! Saya memang pilih berenang di sana karena airnya hangat. Ada seorang penderita HNP yang menyarankan untuk berenang di kolam air hangat. Selain itu, badan saya memang tidak tahan air dingin. Terasa nyuuuut kalau terkena air dingin.

Selesai berenang, saya harus berjuang lagi untuk membilas diri, ganti baju, dll. Ternyata, shower di kamar mandi hanya air dingin. Astaga! Sama juga bunuh diri nih! Saya tidak jadi membilas badan, hanya melap badan dengan handuk. Selain karena airnya dingin juga karena saya sudah kesakitan. Untung sedang sepi. Hanya ada saya dan Ayu. Maka, tanpa berpikir panjang, saya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan pakaian dalam. Saya lalu langsung merebahkan diri di kursi kayu di sebelah kamar mandi. Sumpah, sudah nggak kuat nahan sakitnya!

Sambil berbaring saya memakai kaos dan celana. Selagi berjuang memakai kaos, baru kelihatan oleh saya semacam alat tertempel di langit-langit. Astaga! CCTV-kah itu? Matik saya! Gak tau deh, mereka mikir apa tentang saya....

Sukses memakai baju, saya masih membutuhkan waktu sekitar 20 menitan untuk menenangkan HNP saya. Setelah itu barulah saya beranjak. Sebenarnya masih terasa nyeri, tapi ya sudahlah, saya coba lagi untuk perjalanan pool ke mobil. Bisa dibayangkan, perjalanan itu adalah perjalanan yang menyakitkan. Rasanya sudah pingin nggeblak di lantai saat itu juga (mumpung lantainya berkarpet tebal... hihihi...).

Dengan menahan nyeri, sampai juga saya di mobil. Fiuh, di kolamnya sih fun banget. Perjalanan pulang perginya yang painful... hehehe....

Tapi saya tidak kapok kok. Buktinya hari ini saya mau berenang lagi... hehehe.... Minta doanya supaya saya cepat sehat ya. Makasih....

***

Pembatuan, 9 Oktober 2014
@agnes_bemoe

Tuesday, 30 September 2014

Rumah Sakit (Lagi)_Bagian 2

September 30, 2014 0 Comments
Melihat kondisi nyeri yang seolah melumpuhkan saya, dr. Icap memutuskan untuk memberikan suntikan SNRB (Selevtive Nerve Root Block) seperti yang pernah saya jalani Januari lalu.

Kamar 600D RS Santa Maria Pekanbaru


HORROR BERNAMA MRI
Seperti kali lalu, sebelum suntik saya harus menjalani pemeriksaan MRI.

Yang banyak orang tidak tahu, saya sebenarnya sangat takut berada di ruang yang sangat sempit. Lift, pesawat, atau kamar mandi masih bisa saya tolerir. Tapi, masuk ke kapsul seperti MRI benar-benar tantangan buat saya.

Pada pemeriksaan MRI yang pertama sebenarnya saya sudah merasa enggan. Syukurlah tidak terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan. Berdasarkan hal itu saya memberanikan diri mengikuti MRI untuk kedua kalinya biarpun saya merasa sangat tidak nyaman.

Berbeda dengan MRI pertama, kali ini kaki duluan yang masuk. Jadi kepala masih bisa menyembul sedikit keluar kapsul.

Saya tidak tahu di menit ke berapa saya mulai merasakan teror itu. Rasanya tidak nyaman sekali! Rasanya ingin melepaskan semua ikatan di tangan lalu lari keluar mencari udara segar. Saya mencoba menghibur diri dengan membisikkan "sebentar lagi selesai", "sabar, tinggal sebentar lagi". Namun, usaha menipu diri sendiri itu tidak berlangsung mulus. Saya merasa sangat tidak betah di dalam kapsul itu. Rasanya sudah berabad-abad, dan siksaan itu belum kunjung reda.

Saya mencoba merilik ke atas, mencari udara segar sambil memastikan saya tidak terhimpit. Terus terang, saya sudah dalam keadaan super tidak nyaman.

Rupanya operator MRI menyadari hal ini. Ia langsung menghentikan proses pemeriksaan. Dengan penuh kesabaran dan kelemahlembutan dia menanyakan permasalahan saya.
"Nggak papa Bu, Ibu tenangkan diri. Ditunggu kok Bu. Tenang, Bu. Tarik napas dalam-dalam."

Saya tanya, berapa lama lagi MRI ini berlangsung.
"Empat menit lagi, Bu." Lalu ia kembali menenangkan saya.
Saya pikir, empat menit sama dengan satu buah lagu (selama proses MRI kita dipasangi headphone untuk mendengarkan lagu). Saya menarik napas dalam-dalam. Satu lagu kayaknya tidak masalah buat saya. Maka saya menguatkan hati.
"Bener, Bu, sudah siap?" Tanya operator. Saya mengangguk.
Maka, empat menit terakhir saya jalani dengan sukses.

Waktu digendong keluar dari MRI ke bed, suster yang mendampingi saya heran karena badan saya basah kuyub. Dari kepala sampai kaki. Benar-benar kuyub dengan keringat dingin.

Sejak detik itu saya bersumpah tidak akan mau lagi masuk ke tabung MRI.

***

Pembatuan, 1 Oktober 2014
@agnes_bemoe


Sunday, 28 September 2014

Rumah Sakit (Lagi)

September 28, 2014 0 Comments
Sebulan terakhir ini waktu saya habis di rumah sakit.

Tanggal 21 Agustus 2014 saya masuk RS untuk operasi pengangkatan lemak di punggung kanan. Lemak itu sudah menumpuk selama kurang lebih duapuluh lima tahun. Saya biarkan karena tidak berbahaya. Namun, pembicaraan dengan seorang ibu mengubah pikiran saya. Suaminya juga mengalami penimbunan lemak. Bedanya, lemak pada suaminya mendesak ke dalam dan mempengaruhi kerja paru-paru.
Dr. Purbaya dengan "Hujan! Hujan! Hujaaan!"

Kawatir terjadi sesuatu yang buruk, akhirnya saya nurut juga, mau operasi. Operasi yang dilaksanakan keesokan harinya oleh dr. Purbaya berjalan sangat lancar. Hanya perlu istirahat satu malam, tanggal 23 Agustus sore saya sudah pulang.

Nah, ternyata the drama has just begun.

Saya masuk RS dalam kondisi agak batuk. Ndilalah teman sekamar saya di rumah sakit menderita sakit paru-paru. Pulang dari RS batuk saya menjadi. Hari Minggu sore, ketika mandi, saya terbatuk-batuk, lalu tiba-tiba zzznngggg!! Ada sengatan tajam di pinggang. Saya langsung keluar dari kamar mandi, tidak sanggup lagi menyelesaikan ritual mandi. Saya langsung menggeletak di tempat tidur dengan badan separoh basah.

HNP saya kumat. Batuk memang salah satu musuh besar HNP.

Tapi, saya tidak menyalahkan teman pasien saya di rumah sakit. Sebelumnya saya sebdnarnya sudah merasakan pegal-pegal (yang seperti biasa, saya abaikan).
Saya rasa pegal-pegal itu akumulasi dari semua "kelincahan" saya sebelumnya dan beberapa faktor pemberat lainnya.

Merasa sudah sehat, saya jadi suka jalan (baca: nyetir). Seperti diketahui, menyetir juga salah satu pantangan penderita HNP. Beberapa waktu sebelumnya saya enggan disuruh nyetir karena selalu kesakitan kalau menginjak kopling. Namun, ketika kendaraan berganti dengan matic, saya malah seperti lupa daratan. Toh nggak sakit ini, pikir saya. Yang tidak menguntungkan adalah ketika memasuki bulan puasa. Akupunktur langganan saya libur demikian juga kolam renang tempat saya rutin berenang.

Lalu, pada hari Raya Idul Fitri saya ikut keliling-keliling bersilaturahmi (catatan: nyetir sendiri).
Masih belum puas, ketika libur Lebaran saya malah jalan ke Bangkinang. Itu sama saja menyetir non-stop sekitar dua jam. Lalu, tentu saja, saya masih harus menulis karena ada beban deadline.

Akumulasi ini semualah yang saya tengarai memicu HNP saya.

Senin, 25 Agustus 2014 sore, dengan memakai brankar (karena saya total tidak bisa duduk dan berdiri) saya memasuki ruang dr. Syafruddin. Bertemu lagi dengan dokter baik hati yang merawat saya sebelumnya.

Dr. Icap (panggilan dr. Syafruddin) langsung menyuruh saya rawat inap.

Eng ing eeng... masuk RS untuk kedua kalinya.

(bersambung, kalau mood... )

***

Pembatuan, 29 September 2014
@agnes_bemoe

Saturday, 3 May 2014

MY (NOT SO) SMOOTH BABY STEPS

May 03, 2014 0 Comments
Terakhir nyupir pastinya tanggal 5 November 2013. Terakhir ke gereja adalah hari Minggu, 3 November 2013. Terakhir ikut misa Jumat Pertama, 1 November 2013. Setelahnya saya tewas dengan sukses.

Syukurlah, setelah dirawat, diterapi, dan ikut akupunktur kesehatan saya membaik. Saya bisa jalan lumayan jauh tanpa nyengir-nyengir kesakitan. Bisa duduk di kursi untuk jangka waktu 1 – 1,5 jam. Senang sih, namun, tentu saja saya masih punya target berikutnya: nyupir. Catatan: saya adalah supir keluarga :D

Setelah merasa agak baikan, sejak akhir April saya latihan nyupir. Pagi-pagi buta, keliling kampung, lalu balik lagi. Rasanya sih tidak ada kendala. Saya jadi pe-de ke gereja! Jumat Pertama bulan Mei adalah target saya.

Tanggal 1 Mei malam, saya tidak bisa tidur! Jiahh! Saya seperti anak kecil mau pakai baju baru di hari Natal keesokan harinya. Benar-benar tidak bisa tidur. Terbayang besoknya mau nyupir dan pergi ke gereja.

Jam setengah empat dini hari baru saya bisa tidur. 


Mau berangkat ke gereja, Jumat, 2 Mei 2014

Untungnya bisa bangun setengah jam setelahnya. Mandi, dan lain-lain… dan eng ing eeeng… war ich am Steuer!

Teringat zaman kecil dulu dapat sepeda baru. Langsung tancap gas dengan tidak tahu dirinya… hihihi! Catatan: 40 km/jam itu sudah termasuk ‘tancap gas’ buat sopir seperti saya. Woohoo! Perjalanan rumah ke sekolah lalu ke gereja tidak ada kendala. Pinggang saya juga tidak sakit. Tidak ada ngilu yang menjalar di tungkai saya. Yess!!

Setelah parkir, saya turun dari Lulu (nama mobil saya). Waktu menjejakkan kaki di jalan aspal, astaga, kaki saya rasanya lemeeeeeessss sekali! Ringan seperti kapas! Hampir saja saya terduduk. Untung cepat-cepat pegangan pada Lulu. Setelah inhale-exhale, saya coba jalan lagi. Agak oyong, tapi syukurlah, tidak sakit!


Selfie bersama Maria Bunda Segala Bangsa di Paroki Santa Maria a Fatima Pekanbaru

Saya ikuti misa Jumat Pertama bulan Mei dengan penuh semangat. Duduk dan berdiri beberapa kali dalam waktu berdekatan mungkin masih terlalu berat buat saya. Di akhir misa saya merasakan “Si Nyuut” di pantat atas. Ga papa… pikir saya. Not a big deal. Kalau memang tidak kuat sama sekali, bisa minum obat. Dokter membolehkan minum obat pereda sakit kalau memang sakitnya tidak tertahankan lagi. Selama ini obat itu jarang saya minum. Minum terakhir waktu pergi ke akupunktur hari pertama.
Saya masih sempat sowan ke Bunda Maria dan ber-selfie ria di sana. Terlalu girang membuat saya alay… hahaha…!




Pulangnya, lalu lintas di depan Gereja Santa Maria a Fatima Pekanbaru sudah padat. Catatan, jalan di depan gereja dipakai oleh pemerintah kota Pekanbaru sebagai pasar tumpah. Jam segitu masih ada beberapa penjual yang menggelar dagangannya persis di mulut gerbang gereja. 

Saya menjalankan Lulu dengan pe-de. Saya sudah melewati jalan ini ratusan kali. Tadi waktu masuk dengan kepadatan lalin dan kekacauan pasar yang kurang lebih sama pun saya berhasil sampai di pelataran parkir gereja.

Tapi astaga, kenapa pagi ini kendaraan padat sekali di depan gereja? Seperti biasanya, semuanya tidak ada yang mau kalah. Dalam rangka mencari jalan itu saya memelipirkan Lulu agak ke kiri sambil maju pelan-pelan.
Saya sedang sangat berkonsentrasi ketika terdengar teriakan:
“HWOIII!! Berhenti kaakk!!”
Saya melirik spion. Astaga! Beberapa pria sudah meneriaki saya dari luar  Lulu. What happened?
This was what happened.

Lulu sudah melindas gundukan sayur jualan salah seorang abang itu. Mak! Matilah saya! Benar-benar saya tidak memperhitungkan gundukan sayur waktu memelipirkan Lulu. Saya buka kaca jendela.
“Maaf, bang!” teriak saya. 
Lalu menunggu, siapa tahu si abang penjual sayur ini minta ganti atau apa. Si abang memandang saya dengan wajah kesal. Ya iyalah! Lalu dia menghela napas dalam dan menunjukkan wajah “Ya sudahlah…!” Mungkin pikirnya, mau kugibas juga ini ibuk ini tak akan balik sayurku jadi segar! Ia lalu jongokok untuk merapikan sayurannya yang telindas Lulu. Aduh, remuk hati saya melihat sayur yang hancur itu.
“Jalan, kak! Lanjut!” kata teman si ito partiga bawang itu.
Saya menaikkan kaca jendela Lulu dan mulai berjuang lagi mencari celah untuk keluar ke jalan raya.

Well, insiden di hari pertama mencoba nyupir lagi. Mungkin maksudnya biar saya juga tidak over pe-de kali ya? Soalnya dari rumah saya bergaya seperti jagoan F 1 aja! Oke deh, God, noted. Messaged received

Dalam perjalanan pulang, saya berkendara dengan lebih “tahu diri”. Menyetir pelan-pelan sambil mendengarkan The Bee Gees menyenandungkan "First of May" . Syukurlah, saya sampai ke rumah dengan selamat.

Hari itu, 2 Mei 2014, Jumat Pertama dalam Bulan, saya dapat berkat banyak sekali: bisa nyupir, bisa ikut misa, dan dapat “jeweran” dari Tuhan… hehehe....

After all, I nailed it down! My (not so) smooth baby steps went down in history!

***

Pekanbaru, 4 Mei 2014
Agnes Bemoe

Baca link-link berikut untuk mengetahui penyakit yang sebelumnya saya derita:
Please, Jangan Tiru Kebodohan Saya!
Saya? Depresi?

Tuesday, 22 April 2014

SAYA? DEPRESI?

April 22, 2014 2 Comments
Hadiah dari Yovita Siswati

Heran. Itu yang langsung menyambar kepala saya waktu dokter menyatakan ada kemungkinan saya depresi. Oleh karenanya beliau merujuk saya pada seorang psikiater.
Depresi?
Dari sekian juta penyakit yang ada di dunia, depresi mungkin yang terakhir terpikir oleh saya bisa menjangikit saya. Saya merasa bukan tipe orang yang mudah menyerah. Saya juga tidak terlalu neko-neko dalam menjalani hidup. Stress mungkin. Tapi, depresi?

Setengah hati, saya menemui dr. Anggreni Ang, SpKJ, psikiater yang dirujuk dokter. Untuk yang belum mengetahui, sejak awal November 2013 saya menderita HNP (Herniated Nucleus Pulposus). Tentang itu saya menceritakannya di tulisan berikut ini: Please, Jangan Tiru Kebodohan Saya

Saya, adik saya, dan dr. Ang

Sekali lagi saya katakan setengah hati saya menemui psikiater. Saya tidak kawatir dianggap gila. Tidak. Saya tahu bedanya depresi dan gila. Hanya saja, saya anggap hal ini berlebihan sekali. Kedua, saya malas membayangkan harus membuka diri di depan orang yang belum saya kenal. Saya orang yang enggan membicarakan diri saya kecuali pada orang yang sudah amat sangat dekat dengan saya.
Dokter Ang yang saya temui ternyata ramah sekali. Padahal, suaranya jauh dari lemah lembut. Cenderung ‘cetar membahana’. Namun, atmosfer yang ditimbulkannya sangat bersahabat. Hal itu menimbulkan rasa nyaman pada diri saya. Kekakuan saya mencair. Ikut pula mencair nafsu untuk menyangkal bahwa saya menderita depresi. 

Hadiah dari Nana Lystiani
Iya, awalnya saya denial. Ketika ditanya apakah saya merasa ingin mati, saya jawab: “Dokter, waktu SMA saya patah hati rasanya juga pingin mati. Tapi kan bukan berarti saya depresi.” Saya juga mengatakan bahwa kurang lebih empat tahun yang lalu saya mengalami permasalahan yang lebih berat namun saat itu saya tidak depresi. Dan masih banyak hal lagi yang saya pertanyakan. Untunglah yang saya hadapi adalah seorang profesional. Pelan-pelan beliau membuka pikiran saya. Tentu saja saya tidak bisa menjabarkan secara rinci di tulisan ini karena pembicaraan itu adalah rahasia dokter dan pasien (sudah saya bocorkan dua yang di atas). 

Akhirnya pertanyaan demi pertanyaan saya jawab dengan terus terang. Dan, kalau anda membaca tulisan saya di link yang saya berikan di atas, anda akan tahu bahwa berbicara dengan psikiater sangat membantu pulihnya kesehatan saya. Tentu saja saya juga diberi obat untuk membantu kesembuhan.

Hadiah dari Fidelis R. Situmorang
Dari konsultasi dengan psikiater saya mendapat beberapa point yang akan selalu saya ingat dan ingin saya bagi dalam pointers yang random di bawah ini:

  1. Depresi bisa menyerang siapa saja. Tidak ada satu orang pun kebal akan depresi. Beberapa karakter tertentu mungkin lebih rentan daripada yang lainnya tapi tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim tidak akan mungkin depresi.
  2. Biarpun menjadi religious sangat membantu tapi depresi tidak bisa dikaitkan dengan religiousitas seseorang. Banyak yang mengatakan “Itulah kalau kurang beriman, gampang depresi”. Penilaian seperti itu sama sekali tidak berdasar.
  3. Permasalahan yang memicu stress dan berujung pada depresi bisa sangat bervariasi. Stressor bagi si A atau mayoritas orang belum tentu memicu depresi si B. Depresi sangat unik.
  4. Saya terkena depresi karena mengalami penyakit. Depresi itu diperparah karena saya mencari informasi dari internet secara tidak benar. Ini tips dari dokter bila kita hendak mencari informasi dari internet: ketahuilah dulu nama penyakit dari dokter yang merawat, baru cari informasinya di internet. Jangan menduga-duga sendiri atau mencari dari gejalanya. Yang saya lakukan, dan ternyata sangat keliru, adalah merasakan gejala kemudian mencari informasi tentang gejala itu. Contohnya, saya merasakan kesemutan yang luar biasa. Saya cari informasi tentang “kesemutan”. Hasilnya, saya malah lebih stress lagi karena gejala itu mengarah ke banyak penyakit, termasuk kelumpuhan. Itu berlaku untuk semua gejala. Gejala mengarahkan kita pada kemungkinan penyakit. Oleh karenanya, bila mencari informasi, mulailah dari penyakitnya.
  5. Sangat penting mengenali gejala depresi. Depresi adalah akumulasi stress yang tidak terkelola dengan baik. Jadi, kenali juga gejala stress. Dalam kasus saya, saya tahu bahwa saya stress kalau asam lambung naik (saya tidak punya penyakit maag).
  6. Ada beberapa tingkatan depresi, dari ringan sampai berat. Pada kasus saya, saya terkena depresi ringan. Namun demikian, ringan bukan berarti bisa diabaikan. Bila tidak ditangani pasti berlanjut ke berat dan semakin sulit disembuhkan.
  7. Gejala depresi: dokter menjelaskan tentang penyebab dan gejala depresi. Saya kemudian searching lebih jauh di internet. Salah satunya di link berikut ini: Gejala Umum Depresi. Percaya atau tidak, saya merasakan 8 dari 10 gejala yang ada di situ!
  8. Ini yang amat sangat penting: bila anda merasa ada tanda-tanda seperti di atas jangan ragu atau malu meminta pertolongan ahli. Depresi berat sampai bunuh diri atau membunuh orang lain adalah akumulasi stress dan depresi ringan yang tidak tertangani dengan baik.
  9. Yang ini juga penting: keluarga hendaknya saling memperhatikan dan peka satu sama lain. Bila melihat gejala-gejala yang mencurigakan dari salah satu anggota keluarga segeralah mencarikan pertolongan untuk anggota keluarga. 
  10. Masih terkait dengan nomor 9 di atas: peranan keluarga (orang dekat) amat sangat signifikan. Keluarga yang supportif dan positif akan sangat membantu pemulihan orang yang menderita depresi. Hindari sikap judgmental, hindari perasaan malu karena punya saudara “gila”. Yang anda hadapi adalah orang sakit yang membutuhkan pertolongan. Dalam kasus saya, dukungan orang dekat membuat saya memilih untuk fight. Tidak heran kalau kepulihan saya relatif cepat. 
  11. Berpikir positif adalah mantra ajaib yang membantu seorang depresan untuk cepat pulih. Biarpun judulnya ‘mantra’, berpikir positif ini adalah proses tidak ringan yang harus setiap saat dilatih. Melatih berpikir positif ini harus terus menerus, biarpun kita sudah dinyatakan sembuh. Membangun pola pikir positif saya lakukan dengan mencari sebanyak mungkin teman yang suka memancarkan energi positif.
  12. Mendekatkan diri dengan Tuhan, memupuk iman, juga akan sangat membantu.
  13. Perbanyak melakukan kegiatan-kegiatan yang menenangkan, misalnya mendengarkan musik, melukis, atau apa saja yang bisa membuat kita tenang. Saya membaca sambil mendengarkan musik. Dan, Tuhan memang Maha Baik. Saat saya butuh banyak bacaan ada saja teman-teman yang mengirimkan buku bacaan.
  14. Terakhir, jangan pernah merasa malu kalau kita pernah terkena depresi. Saya pribadi tidak malu. Malah saya bagikan kepada banyak orang, supaya lebih banyak yang berhati-hati. Kata dokter Ang: “Saya pernah depresi. So what?” Setuju, dok!


Hadiah dari Sri Widiyastuti
Akhir-akhir ini di televisi gencar diberitakan caleg gagal yang menderita depresi berat. Beberapa bulan sebelum ini saya mendengar berita ada seorang ibu yang membunuh anaknya sendiri karena depresi. Beberapa tahun yang lalu juga ada pemberitaan tentang seorang ibu yang membunuh ketiga anaknya. Ibu ini juga menderita depresi berat. Catatan, ibu ini seorang lulusan S-2 dari sebuah perguruan tinggi negeri ternama.

Artinya apa? Stress dan depresi tidak bisa diabaikan begitu saja. Menyalahkan apalagi mengolok-olok yang sedang menderita depresi tidak akan membantu si penderita. Sikap itu juga tidak akan membantu anda sendiri kalau sekiranya suatu saat anda atau salah satu orang di dekat anda terkena.

Yang terpenting adalah, bila anda penderitanya: jangan ragu untuk mencari pertolongan. Bila anda bukan penderitanya, jangan ragu untuk melatih kecerdasan berempati anda. Dengan demikian, kita sama-sama bisa mengatakan: “Depresi? So what gitu loh!”


Hadiah Kuis dari Penerbit BIP

Hadiah dari Chandra Wening
***

Pekanbaru, 23 April 2014
Agnes Bemoe

Wednesday, 2 April 2014

PLEASE, JANGAN TIRU KEBODOHAN SAYA! (Bagian 3)

April 02, 2014 19 Comments
Tulisan ini adalah tulisan ke-3 dari tiga tulisan. Tulisan-tulisan sebelumnya bisa dibaca di sini dan selanjutnya di sini

Once Upon a Time There Was a Little Monster Named Chair…
Awalnya, kursi, yang biasa saya pakai untuk mengetik, rusak. Dengan pertimbangan untuk berhemat saya memutuskan menggunakan kursi plastik (yang biasanya untuk teras) dan menumpukkan sejumlah bantal.


Sampai berbulan-bulan mengetik dengan kursi itu, saya tidak merasakan apa-apa. Sampai suatu saat saya merasa pinggang saya pegel. Tapi, saya tidak menganggapnya serius karena begitu berbaring rasa pegal itu hilang. Itu terjadi selama dua hari. Lalu, berikutnya semua terjadi begitu cepat. Hari ketiga saya merasakan pegal-pegal di pinggang diikuti pegal yang luar biasa di pantat sebelah kanan.

Saya masih keras kepala dengan terus mengetik dalam keadaan merasa pegal. Catatan: saat itu saya mengetik dari jam 9 pagi sampai 6 sore, hanya berhenti makan dan mandi!
Sorenya, saya mencoba untuk duduk karena mau makan malam. Tiba-tiba saya merasakan sengatan nyeri yang tak tertahankan di pantat kanan. Saya langsung terlompat sambil menjerit. Sakit luar biasa.


Saya pun menggeletakkan diri. Itulah kejadian di tanggal 5 November 2013. Kejadian yang menyeret saya sampai tergeletak empat bulan dan dirawat psikiater sampai dua bulan.

Ketika merasa sudah bisa duduk, saya membeli sebuah kursi. Harganya “hanya” sekitar 1 juta-an. Teman-teman tahu berapa biaya berobat saya? Suntik, rawat inap, visit dokter, terapi, obat, sampai dengan gaji driver hampir duabelas kali harga kursi! (Saya tidak punya asuransi kesehatan). Teman-teman sudah bisa melihat kebodohan saya kan?

I am officially dumber than the dumbest!

Belum lagi kerugian immaterial (idih!) yaitu tawaran menulis yang tidak bisa saya selesaikan. Ada lomba yang tidak bisa saya ikuti. Saya sungguh merana melihat serangkaian kegiatan yang akan diadakan oleh Yayasan Litara dan SCBWI di tahun 2014: bisa tidak ya saya berpartisipasi?

Yang menyedihkan, ketika sahabat sekaligus adik saya, Yenny Mulyani, meninggal, saya tidak bisa pergi untuk ikut mengantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir. It was horribly devastating….

Yang ironis, saya ini sebenarnya tipe orang yang lebih suka bersiap-siap dan terkadang berlebihan mempersiapkan diri. Bila hendak bepergian di tas saya ada tissue basah, tissue kering, obat migren, fresh care, bolpen, kipas, sampai dengan panties! Waktu masih naik sepeda motor, sepeda motor saya lengkap sekali dengan jas hujan, jaket, penutup mulut, dan kaca mata, entah itu musim kemarau atau musim hujan. Saya tipe orang yang tidak segan mengeluarkan uang untuk mendapatkan yang lebih baik. Saya lebih suka barang yang bermerek karena takut cepat rusak. Lalu, dalam kejadian ini saya seperti orang yang abai dan acuh sehingga mendapat masalah. Padahal, that was so not me!

Saya tidak dalam posisi mengkotbahi orang lain. Namun, saya ingin pengalaman buruk saya ini menjadi lampu kuning buat teman-teman penulis. Sepertinya pekerjaan sebagai penulis rentan dengan beberapa penyakit tertentu kalau kita tidak berhati-hati.

... and the dumb princess live happily ever after.

Cerita Detektif yang seru! "Chiroptera"
kiriman Sri Widiyastuti
Melalui tulisan ini saya juga mau berterima kasih pada teman-teman penulis yang bersimpati, tidak segan-segan berbagi informasi, membantu memulihkan cara berpikir saya, dan yang jelas ikut berdoa buat kesembuhan saya. Semua nama teman-teman tidak mampu saya tuliskan di artikel ini namun saya ingat dalam doa-doa saya.

Secara khusus saya mau berterima kasih pada Dian Kristiani yang dengan gayanya yang khas selalu membuat saya riang dan entah bagaimana pemikiran saya yang ruwet bisa terurai setiap kali selesai ngobrol dengan beliau (saya curiga beliau adalah psikiater yang menyamar!).

Serial "39 Karakter Pemenang" dari Chandra Wening

Buat Watiek Ideo yang bersedia berbagi pengalaman dan tips-tips pengobatan herbalnya. Sampai sekarang saya masih mengkonsumsi “buah bermata banyak”. Buat Pradikha Bestari yang juga menenangkan saya dengan sharing pengalaman mama beliau. Untuk Elisabeth Lisa Gunawan yang gambar-gambarnya tentang Natal memuaskan kerinduan saya pada Natal, terutama saat saya tidak bisa merayakan Natal. Untuk Dian Iskandar yang sharing-nya tentang Aam entah bagaimana membuat saya merasa tidak sendirian. Terima kasih Aam. Untuk Sri Widiyastuti yang bersedia ngobrol dengan saya dan mengirimkan buku detektifnya yang seru dan menghibur banget! Untuk Chandra Wening yang memberikan dua buku serial "Karakter Pemenang" yang super cute!


Buku-buku seru kiriman Yovita Siswati

Untuk Yovita Siswati yang berbagi buku-buku yang luar biasa, tidak hanya menghibur tetapi sepertinya mengingatkan saya bahwa semuanya ada di tangan Tuhan. Suwer, membaca buku “Mujizat Kitab Suci” yang dikirim oleh Yovita, saya merasa “tersindir” (secara positif). Buku yang sebenarnya ditujukan untuk anak-anak itu telak membuat saya bertelut. Untuk Fidelis R. Situmorang yang entah bagaimana status, novel yang dituliskannya, dan obrolannya di inbox sangat menenangkan hati saya.

Novel "Pejaten" dan "Pulang" karya Fidelis R. Situmorang yang bikin sakaw...

Saya tidak mau berlebay-ria dengan penyakit saya. Saya tidak bermaksud mendulang rasa belas kasihan semata (bahkan, saya tidak mau dikasihani).
Tujuan saya menuliskannya hanya satu: janganlah sebodoh saya!
 
TAMAT

***

Pekanbaru, 3 April 2014
Agnes Bemoe