PECAAAAAAAATTTTSSS!!!
MEINE WELT
September 26, 2012
0 Comments
Beberapa temenku curhat: seriiiiiiiiing banget kepsek-kepsek mereka ngomongin masalah pecat. Dikit-dikit ‘pecat’. Dikit-dikit ‘pecat’. Lama-lama menjadi bukit deh…
Contohnya nih:
Apakah para guru itu udah segitu durhakanya sampai-sampai gak ada kata lain selain ‘pecat’? Kayaknya sih enggak, guru-guru sekarang malah manis-manis.
Herannya, yang nggak pernah bikin administrasi, yang ngajarnya amburadul, yang nilep uang anak dan uang milik yayasan, malah nggak dipecat… Hlo! Jadi, maksut e apa toh?
Wokeh, this brings me to a particular time, long long long looooooooooong ago…
Para yang mulia ini juga pernah ngeluarin perintah yang sama. PECAT. Tertulis malah, pake stempel, te te de. Pokok e lengkap, resmi. Prosesnya juga pake rapat ripit yang gimana gitu. Yang dipecat adalah empat orang guru yang saat itu dituduh sebagai dalang demonstrasi. Woah… gagah ya? Hasilnya? Keputusan PHK mentah di Disnaker. Mentah dengan sukses! (Nahan ketawa…)
Berikutnya: Masih para yang mulia yang sama, ngeluarin berlembar-lembar surat untuk memecat guru-guru yang mogok mengajar. Ada banyak tuh, puluhan! Aku ingat, nge-print suratnya aja sampe encok! Lagi-lagi, hmm… hebat banget nih, bisa mecat orang se-RT. Hasilnya? Lagi-lagi mentah dengan sak sukses suksesnya di Disnaker. (Mulai cekikikan…) Keputusan-keputusan pecat ini malah kemudian jadi tekanan balik. Pengurus didesak oleh semua pihak untuk tidak lagi mecat orang. (Gubraaakkk!! Bwahahahahahahahaha….!!! Aduh, bener-bener cucian deh lu…)
Waktu keadaan sudah mulai mereda, pengurus mem-PHK seorang guru. Gurunya nggak terima, naik banding ke Disnaker. Tetep PHK sih, tapi dengan uang kompensasi yang jauh lebih tinggi.
My point is: pengurus ini kenyang dengan keputusan PHK yang semuanya balik mempermalukan diri mereka sendiri! Makanya, kalo sekarang mereka (dan para dayang-dayangnya) itu doyan banget bilang PECAT, bisa dimengerti buanget:
Ibarat pepatah: di depan anak ayam jadi macan, di depan harimau jadi kucing kurus mandi di papan, terkaing-kaing, terkencing-kencing… (Hlo, kucing ato anjing sih? Konsisten dong!)
================================
Betewe eniwey baswey: aku bukannya nggak setuju guru-guru yang demonstrasi diberi sanksi. Yang aku nggak suka: arogansinya itu lho! Sekarang keadaan sudah aman, ngapa sok-sok an bilang ‘pecat’?
Lagian, tuh sono, dayang-dayangmu dan segala sodaramu yang gak beres kerjanya tuh yang harusnya dipecat. Tapi, mana berani? Soale mereka bermanfaat untuk ngelakukan kerja kotormu kan?
***
Pekanbaru, 27 September 2012 3:40
Agnes Bemoe
Contohnya nih:
Ibu Kepsek: Baik-baik kerja, ini periuk nasi kita. Kalo tak baik-baik yayasan marah nanti. (Kedengarannya agak bagusan ya? Tapi cobak deh kalo ndengernya pagi-siang-sore-malem. Muntah jugak kan?)
Pak Kepsek: Bapak Ibuk jangan macam-macam. Yayasan bisa ambil tindakan apa pun juga atas bapak ibuk. Apalagi yang sudah sertifikasi, bisa dua penghasilan sekaligus hilang! (Ini udah dipersingkat, dari pidato lima jam yang nggak jelas ujung pangkalnya) Deuh! Eh, belom semua.
Ibuk Yang Terhormat: Kantor ini harus dianggap rumah sendiri. Kalau tidak, tidak akan transferan nanti tanggal 30. (Heloooww… nyambung gak sih, Buk? Dong dong dong! Tong tong tong! Glong glong glong!)
Manusia setengah dewa (setengahnya lagi bawang pritilian!): Sampai dengan jam 12 tengah malam tanggal 12, kami masih punya hak untuk pecat karyawan! *jengjreeeng…. Musik latar a la film pocong pergi ke pasar…
Apakah para guru itu udah segitu durhakanya sampai-sampai gak ada kata lain selain ‘pecat’? Kayaknya sih enggak, guru-guru sekarang malah manis-manis.
Herannya, yang nggak pernah bikin administrasi, yang ngajarnya amburadul, yang nilep uang anak dan uang milik yayasan, malah nggak dipecat… Hlo! Jadi, maksut e apa toh?
Wokeh, this brings me to a particular time, long long long looooooooooong ago…
Para yang mulia ini juga pernah ngeluarin perintah yang sama. PECAT. Tertulis malah, pake stempel, te te de. Pokok e lengkap, resmi. Prosesnya juga pake rapat ripit yang gimana gitu. Yang dipecat adalah empat orang guru yang saat itu dituduh sebagai dalang demonstrasi. Woah… gagah ya? Hasilnya? Keputusan PHK mentah di Disnaker. Mentah dengan sukses! (Nahan ketawa…)
Berikutnya: Masih para yang mulia yang sama, ngeluarin berlembar-lembar surat untuk memecat guru-guru yang mogok mengajar. Ada banyak tuh, puluhan! Aku ingat, nge-print suratnya aja sampe encok! Lagi-lagi, hmm… hebat banget nih, bisa mecat orang se-RT. Hasilnya? Lagi-lagi mentah dengan sak sukses suksesnya di Disnaker. (Mulai cekikikan…) Keputusan-keputusan pecat ini malah kemudian jadi tekanan balik. Pengurus didesak oleh semua pihak untuk tidak lagi mecat orang. (Gubraaakkk!! Bwahahahahahahahaha….!!! Aduh, bener-bener cucian deh lu…)
Waktu keadaan sudah mulai mereda, pengurus mem-PHK seorang guru. Gurunya nggak terima, naik banding ke Disnaker. Tetep PHK sih, tapi dengan uang kompensasi yang jauh lebih tinggi.
My point is: pengurus ini kenyang dengan keputusan PHK yang semuanya balik mempermalukan diri mereka sendiri! Makanya, kalo sekarang mereka (dan para dayang-dayangnya) itu doyan banget bilang PECAT, bisa dimengerti buanget:
- Mereka lagi ngelampiaskan rasa ketidakberdayannya karena dulunya selalu gagal mecat orang
- Mereka ingin luka di ego mereka terobati… (Aww…)
- Mereka ga punya keutamaan lain selain kekuasaan untuk mecat orang. Mereka bukan orang yang berwibawa, bukan orang yang membuat orang lain respect karena karismanya, gitu deh…
- Dll… hehehe…
Ibarat pepatah: di depan anak ayam jadi macan, di depan harimau jadi kucing kurus mandi di papan, terkaing-kaing, terkencing-kencing… (Hlo, kucing ato anjing sih? Konsisten dong!)
================================
Betewe eniwey baswey: aku bukannya nggak setuju guru-guru yang demonstrasi diberi sanksi. Yang aku nggak suka: arogansinya itu lho! Sekarang keadaan sudah aman, ngapa sok-sok an bilang ‘pecat’?
Lagian, tuh sono, dayang-dayangmu dan segala sodaramu yang gak beres kerjanya tuh yang harusnya dipecat. Tapi, mana berani? Soale mereka bermanfaat untuk ngelakukan kerja kotormu kan?
***
Pekanbaru, 27 September 2012 3:40
Agnes Bemoe