Follow Us @agnes_bemoe

Monday 30 May 2011

DO SOMETHING! [Sebuah Review]

May 30, 2011 0 Comments


Secara pribadi saya mendedikasikan bulan Mei untuk pendidikan di Indonesia. Menutup bulan Mei ini, saya menulis review dari buku yang saya anggap sangat bermanfaat buat para guru. Silahkan dibaca. Agnes Bemoe

-------------------------------------------------------------------------

Judul Buku : Siapa Bilang Jadi Guru Hidupnya Susah
Penulis : M. Hasyim Ashari
Penerbit : Penerbit PINUS
Jenis : Populer
Spesifikasi : 120 X 190 mm

Yang pernah menjadi guru tentu merasakan beratnya hidup menjadi guru, terutama secara finansial. Banyak guru mengeluhkannya baik secara diam-diam ataupun terang-terangan. Namun, sedikit sekali yang mengambil prinsip: “Ayo, bangun! Dan berbuat sesuatu!”. M. Hasyim Ashari, penulis buku ini, merupakan salah satu di antara yang sedikit itu.

Pembicaraan mengenai penghasilan guru memang menimbulkan kecanggungan. Ini karena persepsi-persepsi keliru yang terlanjur tertanam. Para guru sudah terlanjut lekat dengan gelar pahlawan TANPA tanda jasa. Jadinya, seolah-olah tidak pantas kalau guru sampai merengek minta perbaikan penghasilan. Di beberapa tempat lain, guru dicekoki pemahaman bahwa menjadi guru adalah PELAYANAN, jadi karya profesional guru tidak seharusnya “dibayar” dengan gaji yang lebih layak. Di sebuah sekolah guru-gurunya diperas habis-habisan untuk mengerjakan tugas-tugas yang bukan menjadi tugas mereka. Dan untuk itu para guru itu mengaku menerima 3 M. Ini bukan jumlah uang, tapi akronim untuk “Makasih, Makasih, Makasih”, alias kerja mereka digratiskan, atas nama “pelayanan”.

Ada lagi anggapan yang cukup mendominasi, yakni, guru adalah profesi yang MULIA (dalam tanda kutip, tentunya), dalam arti: sangat tidak layak kalau guru sampai-sampai memiliki pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Di lain pihak, beberapa situasi dan kondisi membentuk watak sebagian besar guru yang “pasrah”, banyak mengeluh, kurang kerja keras dan kreativitas, seperti juga yang disebutkan di bagian sinopsis buku ini.

Untuk itulah, buku yang ditulis oleh seorang guru Kimia ini menjadi sangat relevan. Buku ini pertama-tama berusaha mendobrak, atau paling tidak mengikis pelan-pelan pola pikir yang keliru tentang guru dan penghasilannya. Ini terlihat dalam tulisan di bab awal buku ini “Rahasia Hidup Mapan sebagai Guru”.

Selanjutnya, dalam bab-bab berikutnya, secara sangat praktis sekali guru lulusan IKIP Malang ini memaparkan kiat-kiat untuk menjadi penyintas dalam perjuangan financial sebagai seorang guru. Ide yang beliau tawarkan memang tidak seluruhnya baru. Namun, terkadang karena orang MENGABAIKAN ide, hanya karena tidak baru. Orang maunya ide yang “aneh”, spektakuler, dan instan! Kalau pembaca ingin mencari ide-ide seperti itu, mereka akan kecewa. Tetapi, sebaliknya, kalau pembaca suka kerja keras, kreatif, dan penuh semangat, maka buku ini pasti akan sangat membantu. Apalagi, penulis juga tidak segan-segan membagi trik secara lebih spesifik, misalnya trik-trik menulis, seperti yang dipaparkan di halaman 138 dan seterusnya.

Walaupun bagian awalnya (Renungan: Balada Guru Oemar Bakri) terkesan berlebihan dan cengeng, namun buku yang disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna ini saya rasa baik sekali untuk para guru ataupun calon guru. Secara agak ekstrim malah saya menyarankan para guru dan calon guru untuk membaca dan atau memiliki buku ini. Pesan yang cukup sederhana namun menggigit bisa kita dapatkan dari buku ini: berhenti merengek, dan lakukan sesuatu!

***

Pekanbaru, 30 Mei 2011
Agnes Bemoe

Tuesday 24 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 3.3 : MAKAN ATI!

May 24, 2011 0 Comments


Masih di Dumai. Saya punya seorang murid, bernama: Ryan (nama samaran, Pen). Anaknya ganteng, dan nama aslinya punya makna yang bagus sekali. Nama itu diambil dari judul sembuah lagu lama yang dinyanyikan oleh Pat Boone! Tapi, anaknya nuakiiiiilll banget! Guru-guru sampai males berhubungan dengan anak yang satu ini. Pemarah, pelawan, tukang bolos, dan tukang berkelahi! Apalagi, ayah Ryan ini adalah kepalanya preman di suatu kawasan pasar di kota Dumai.

Ryan tentu saja bermasalah dengan hampir semua guru, termasuk sama saya. Wah, pokoknya perlakuan yang paling kurang ajar pernah ia tunjukkan, termasuk: meludah di depan saya, karena saya tegur untuk tidak menginjak tanaman! Kalo mau nuruti emosi, rasanya sudah pengen saya cekik anak ini…

Tapi, saya memilih untuk menahan diri. Saya tetap menegur dan memarahi, namun, sedikitpun saya tidak tergoda untuk bersikap kasar. Saya tidak mau terpancing untuk menjadi emosi tidak karuan terhadap Ryan. Sebaliknya, saya pun jadi memberi perhatian ekstra padanya. Kebetulan, kakaknya juga sekolah di sekolah saya. Saya panggil kakaknya dan saya ajak bicara. Dan, seperti yang saya duga: semuanya bersumber dari rumah. Ayahnya keras secara fisik dan psikis, ibunya lemah. Pola pengasuhan yang tidak seimbang ini yang membuat Ryan jadi ikut-ikutan tidak seimbang.

Suatu saat, Ryan berkelahi dengan kawannya. Dan karena perkelahian ini dan juga ditambah dengan serangkaian kenakalan yang lain, ia kena schorsing. Setelah proses schorsing melalui Wali Kelas dan Wakil Kepala Sekolah, saya ajak Ryan untuk bicara. Saya memang sering mengajak bicara anak yang kena sanksi, bukan untuk bernegosiasi, tetapi lebih kepada semacam refleksi bersama atas apa yang terjadi.

Pertama-tama tentu Ryan menunjukkan sikap menentang dan sok-sok an, tapi saya tak peduli. Saya tahu, bahwa di rumah dia adalah anak yang kenyang dengan pukulan dan hantaman, dan bukan kasih sayang, makanya saya yakin banget, sikap menentangnya itu hanyalah kamuflase dari kegersangan hatinya. Singkatnya, Ryan akhirnya bisa saya ajak bicara, dan dia dengan lapang hati mau menerima bahwa schorsing adalah bagian dari tanggung jawabnya.

Yang tidak bisa menerima adalah: bapaknya!

Saya sedang menulis di kantor saya, ketika tiba-tiba bapaknya menerobos (bukan bermaksud lebay, karena benar-benar menerobos) ke kantor saya. Orangnya tinggi kekar, tampak masih muda untuk jadi ayah seorang remaja, rambutnya gondrong, berhem bahan jin, dan berkalung emas panjang di lehernya! Yang jelas, wajahnya sangar! Hwaduh!

Dengan suara yang meledak-ledak, dan kata-kata yang … begitulah… bapak Ryan berkeras anaknya tidak boleh dischors. Entah dari mana saya mendapatkannya, namun, saya ingat, saya tenaaaang sekali menerima bapak itu. Tanpa menggunakan kata-kata kasar, saya tetap berkeras bahwa Ryan harus menerima schorsing.

Bapak itu menuduh saya dendam pada Ryan. Namun, dengan tenang saya menyampaikan bahwa sanksi dari sekolah sama sekali tidak didasari oleh rasa dendam. Sanksi itu diberlakukan sesuai dengan proses dan prosedur yang sudah sama-sama disepakati oleh orang tua.

Untuk meyakinkan bapak itu bahwa saya tidak dendam, saya sampaikan bahwa sampai kemarin pun saya masih ajak Ryan berbicara, dan pembicaraan kemarin itu berlangsung dengan sangat baik. Tidak ada percikan emosional yang muncul, dan bahkan Ryan akhirnya menyadari kekeliruannya serta menerima sanksi sebagai konsekuensi perbuatannya. Dan, di hadapan orang tua yang marah itu, saya sampaikan bahwa saya pribadi sebenarnya sangat kagum pada Ryan. Dia adalah anak muda yang tahu bertanggung jawab. Saya sampaikan juga bahwa saya kagum akan bakat Ryan (dia suka sepakbola). Saya juga sampaikan bahwa Ryan merupakan anak yang diandalkan untuk tim sepakbola sekolah. Kelihatannya tidak ada hubungannya ya, tapi saya hanya ingin mengekspos kelebihan Ryan di depan orang tuanya sendiri. Saya harap, orang tua itu menyadari, bahwa mereka punya anak yang luar biasa.

Bapak Ryan masih memaksa saya dengan berbagai cara yang tentu saja intimidatif, termasuk mengusik-usik pribadi saya. Tapi, saya tetap tenang (sekali lagi saya masih heran, kok saya bisa setenang itu), saya sama sekali tidak terpancing untuk berbicara secara emosional, dan tentu saja saya tetap pada keputusan sekolah untuk schorsing. Secara fisik saja bapak itu sudah sangat mengerikan. Kalau beliau lepas kendali dan menyarangkan tinjunya ke muka saya, saya pasti langsung koma! Apalagi, ditambah dengan mendengar kata-kata beliau yang “aduhai”!

Nyatanya, bapak Ryan yang sangar dan tinggi besar itu tidak berhasil menekan saya. Dengan kesal, akhirnya bapak Ryan berkata:
“Sudahlah kalau begitu!”

Kemudian dengan gubrak-gubruk, beliau keluar dari kantor saya. Saya pun, untuk sopan santun, sempat mengantar beliau sampai di pintu. Yang membuat saya kaget, ternyata Ryan ada di depan kantor saya, duduk di tempat duduk tamu! Wah, berarti dia mendengar semua isi pembicaraan itu.

Saya ingat, Ryan hanya tertunduk sambil mengantar ayahnya pulang. Ryan tetap dischors.

Setelah schorsing, sikap Ryan saya rasakan agak berubah. Bila berpapasan dengan saya, ia lebih banyak tertunduk. Padahal biasanya, ia dengan pongahnya berjalan melewati saya. Selanjutnya saya ingat, ia juga tidak terlalu banyak membuat ulah. Terlambat satu dua kali, tentu masih. Tapi, berbanding dengan kelakuannya dulu yang cenderung “kriminal”, terlambat jadi seperti “kerja sosial” buat dia. Saya tidak tahu, apa yang membuat ia seperti itu. Semoga karena ia menangkap sinyal cinta yang saya dan bapak ibu guru yang lain coba kirimkan padanya.

Sampai saat ini, kalau saya mendengar lagu “XXX” yang dinyanyikan oleh Pat Boone, saya selalu ingat murid saya yang satu itu.

---bersambung---

Agnes Bemoe

Sumber gambar : http://images.google.co.id/imglanding?q=crying%20face&imgurl

Monday 23 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 3.2 : MAKAN ATI!

May 23, 2011 0 Comments


Berikutnya yang juga tidak pernah bisa saya lupakan sampai sekarang adalah ketika saya di Dumai: ketika saya didemonstrasi oleh anak murid saya sendiri!

Ketika menjadi kepala sekolah, saya memang keras. Saya menegakkan peraturan seperti membangun dinding beton, tak miring dan tak goyang. Sementara, murid-murid saya adalah murid-murid yang selama ini terbiasa dengan gaya hidup santai. Perbedaan mencolok ini tentu menimbulkan masalah. Saat itu, tahun 1998-1999, demonstrasi mahasiswa sedang menjadi trend, dan sedang marak-maraknya. Anak-anak ini tidak membutuhkan waktu lama untuk menerapkannya pada saya, apalagi, secara diam-diam beberapa guru juga ikut mendukung mereka. Saya menemui anak-anak yang melakukan demonstrasi itu, namun, mereka tidak mau bertemu dengan saya. Mereka cuman mau satu: saya diganti.

Keesokan harinya, saya kumpulkan lagi mereka di sebuah ruang kelas. Pikir saya, saya akan bicara pada mereka. Namun nyatanya di tengah pembicaraan, suasana malah bertambah panas. Saya marah, mereka pun marah. Anak-anak murid saya itu keluar sambil berteriak-teriak: “Bakar sekolah! Bakar sekolah!”

Untungnya memang tidak sempat sekolah ataupun fasilitas lain dirusak atau dibakar. Anak-anak itu tidak mau sekolah. Saya pun berkeras mereka harus dikeluarkan dari sekolah. Selanjutnya memang terus diadakan serangkaian pertemuan dengan orang tua murid, yang tentu saja difasilitasi oleh yayasan tempat saya bekerja.

Saya diminta untuk melunakkan diri, dan tidak mengeluarkan anak-anak itu dari sekolah. Anak-anak juga diminta sekolah lagi. Saya ingat, dengan proses yang panjang dan menguras energi dan emosi, akhirnya disepakati, anak-anak tetap sekolah, saya mencabut keputusan DO buat mereka, dan mereka menerima saya sebagai kepala sekolah.

Selesai? Tidak!
Saya mengiyakan kompromi itu, tetapi di hati saya, saya masih tidak puas. Bagaimana mungkin anak-anak yang sudah berperilaku kurang ajar seperti itu, masih diberi tempat. Mau ditaruh di mana muka saya? Itulah pertentangan bathin saya saat itu.
Saya bekerja, tetapi dengan hati yang tawar. Saya yakin saya sedang mempersiapkan sesuatu yang baik buat mereka, tetapi mereka menolak, dan SAYA-lah yang dipersalahkan. Itulah yang saya rasakan saat itu.

Dalam masa-masa seperti itu, saya memilih untuk diam, dan terus merenungkan apa yang saya alami. Saya marah pada anak-anak itu, tetapi, saya tidak pernah mendendam. Saya tetap meladeni keperluan dan kebutuhan mereka. Saya carikan kegiatan yang paling mereka sukai, saya beli bola kaki, karena mereka sangat suka bola kaki. Saya ingat, pada masa itu Liga Santar (Santo Tarcisius, nama sekolah kami – Pen), liga sepak bola kecil-kecilan antarkelas di sekolah kami, menjadi ajang yang sangat rame.

Saya tidak pernah berinteraksi, dalam pengertian, berbicara langsung dengan anak-anak saya itu, namun, saya tetap mengupayakan supaya mereka bisa belajar dengan sebaik mungkin.

Kurang lebih tiga bulan setelah kejadian demonstrasi, sekolah kami mengadakan rekoleksi (bimbingan rohani, Pen) untuk anak-anak kelas 3 (anak-anak yang mendemonstrasi saya). Kegiatan rohani semacam ini merupakan kegiatan yang sudah direncanakan sejak awal tahun dan menjadi konsern saya sejak awal.

Saya tahu dan menyetujui akan kegiatan itu, namun, sama sekali saya tidak ikut campur tentang isinya. Bukan karena saya tidak peduli, tetapi memang tipe saya, saya tidak suka mendikte (dan tidak suka didikte.. hehehehehe..). Saya senang kalau guru-guru saya bekerja dengan kreativitas mereka, kemudian mempertanggungjawabkan pelaksanaannya.

Walaupun tidak terlibat langsung, namun dari kejauhan saya tetap mengawasi ketika mereka mengadakan rekoleksi di sebuah ruangan kelas. Sesungguhnya, di balik tampilan keras di diri saya, saya sedih banget, karena sebenarnya saya konsern pada masa depan mereka. Tapi kok mereka sepertinya tidak mengerti ya…

Saya ingat, ketika itu saya kemudian berdiri di taman kecil di belakang kantor saya (yang juga kecil…). Saya berdiri sambil mengunyah-ngunyah pikiran saya sendiri. Tau-tau, dari kejauhan, saya melihat, anak-anak saya yang sedang rekoleksi itu berbaris, satu satu seperti anak SD, terus mereka menuju ke arah saya… Hlah! Agak kaget juga saya, mau ada apa lagi nih? Pikir saya…

Ternyata, mereka menyalami saya, atau tepatnya mencium tangan saya (salim, bahasa Jawa), dan minta maaf…! Sungguh! Ini merupakan hal yang tak pernah mampir di pikiran saya, bahwa anak-anak yang brutal dan kurang ajar itu akan datang dan meminta maaf…
Sangking kagetnya saya, saya sampe tidak bisa bilang apa-apa…

Saya cek pada guru yang membimbing rekoleksi. Mereka pun bingung, karena tidak sedikit pun mereka menyinggung-nyinggung, apalagi menyuruh anak-anak itu untuk meminta maaf. Walaupun demikian, mereka mengakui bahwa tema rekoleksi saat itu adalah “Cinta Orang Tua”.

Saya seperti baru mendapatkan permata sebesar telur bebek! Tiba-tiba hilang perasaan marah, dan hilang juga perasaan “ingin menang melawan mereka”. Semua rasanya hambar. Yang saya lihat adalah saya dan anak-anak saya yang saling menyayangi…
Tanpa bermaksud mengecilkan mereka, perlu saya jelaskan bahwa anak-anak saya ini tergolong anak-anak “preman” yang (maaf) agak “terbuang” lah.. Jadi, bisalah dibayangkan bagaimana perilaku dan kemampuan mereka. Namun, pada saat itu saya melihat sebuah contoh perilaku yang noble banget!

Selanjutnya, saya merasakan kesejukan hati, setiap kali berinteraksi dengan anak-anak ini. Mereka pun meninggalkan kesan yang begitu mendalam, sampai mereka lulus. Ketika diadakan Ujian Akhir, yang mana pengawas dan koordinator pengawas ujian berasal dari sekolah lain, saya tidak henti-hentinya mendapat pujian, karena “perilaku manis dan sopan” dari anak-anak saya. Mereka heran, anak-anak itu begitu tertib dan tekun mengerjakan soal.

Sekali lagi, saya tidak pernah melihat bagaimana buruknya suasana demonstrasi pada saat itu. Bagi saya, kejadian setelah itu lah yang begitu menyentuh saya. Mereka begitu beringas dan brutal pada saat demonstrasi, namun, mereka juga mau membuka hati untuk permintaan maaf. Padahal saya sama sekali tidak memberikan tekanan, baik pada mereka ataupun pada para guru. Artinya, menurut saya, mereka membangun kesadaran sendiri untuk meminta maaf. Saya sama sekali tidak merasa “menang” atas mereka. Sebaliknya, saya malah terkaget-kaget melihat kebesaran hati mereka…

Bila saya boleh memuji diri saya sendiri, saya bangga karena merasa dalam tahapan tertentu berhasil menumbuhkan nilai yang baik pada anak-anak ketika mereka belajar di sekolah yang saya pimpin. Saya tidak kecewa karena mereka tidak juara Olympiade (bahkan seandainya mereka juara pun, belum tentu saya sebangga ini), namun saya bangga, karena hati anak-anak “nakal” itu terbuka untuk suatu nilai yang luhur dan mulia: maaf.

Dengan diam-diam, kejadian itu tetap saya kenang, dan tidak ingin saya lupakan, karena bagi saya kejadian itu sangat berarti. Mudah-mudahan anak-anak saya pun tidak melupakannya.

---bersambung---

Agnes Bemoe

Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=crying%20face&imgurl

Sunday 22 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 3.1 : MAKAN ATI!

May 22, 2011 0 Comments


Ga heran kalo ada orang yang bilang, jadi guru itu beti alias beda tipis dengan babby sitter… Harus ngurusi anak “tuannya” yang buandel, nuakal, dan malah kadang-kadang suka ngelawan! Dan di lain pihak, seolah-olah ga berdaya apa-apa, karena ya itu… anak “tuannya”. Sepertinya, profesi yang satu ini adalah profesi yang paling makan ati… Dari sebuah sit-kom di televisi, saya dengar bahwa guru tidak hanya underpaid dan overjobbed, tetapi juga under-respected… whewww….

Ketika baru pertama kali menjadi guru, saya mengajar di tingkat SMA. Dicobain sama anak murid? Pernah…! Maksudnya, mereka sengaja menanyakan pertanyaan yang “aneh-aneh” agar saya kewalahan menjawabnya. Mereka juga pengen tau, sampai di mana sih, “kehebatan” saya sebagai guru… hehehe… kayak di rimba persilatan aja…

Dicuekin sama anak murid juga sering. Saya setengah mati ngajar di depan, ee… mereka juga “setengah mati” ngobrol sendiri… Hhhh! Dan, percaya atau tidak, bahkan sampai sekarang, dalam porsi dan skala yang sudah jauh berkurang, saya pun masih mengalami hal-hal yang membuat sakit hati dari anak murid!

Saya tidak malu mengakui, bahwa dalam interaksi dengan anak murid, saya mengalami banyak hal yang tidak mengenakkan. Saya pikir, ini dialami juga oleh bapak dan ibu guru yang lain. Point saya adalah bukan pada kejadian tidak enak itu, tetapi malah after show-nya, alias hikmahnya.

Tahun pertama saya mengajar memang saya stress berat. Seperti ditubruk gajah satu hutan, saya tiba-tiba harus mengerjakan serangkaian administrasi, buat soal, koreksi, dan belum lagi menata hati menghadapi tingkah polah anak murid! Huuh! Rasanya seperti disiksa di penjara Jepang! Saya ingat, berat badan saya sampai turun lima kilo! Padahal dari sebelumnya juga saya sudah tergolong makhluk “kuker” alias kurus kering…hehehehe…

Saat itu, ketidakmampuan saya untuk cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang relatif berbeda dengan lingkungan saya sebelumnya merupakan salah satu penyebab mengapa saya agak sulit berhubungan dengan anak murid saya. Saya sedikit mengalami “culture shock” berkaitan dengan perbedaan nilai antara saya dan anak murid saya. Apa yang saya anggap “kurang ajar” ternyata buat mereka “keakraban”, semacam itulah.

Selain itu tentu saja ada kenakalan-kenakalan umum yang dilakukan, tanpa mengenal budaya, seperti bolos, nyontek, ngobrol di kelas, de el el… Hanya saja, mengalami hal seperti itu pada tahun pertama bekerja, benar-benar shocking! Sampai-sampai saya berpikir, mungkin bukan panggilan saya untuk menjadi guru. Makanya, saya kemudian getol lagi melamar ke pekerjaan lain. Namun, saya sama sekali tidak beruntung, sekian banyak lamaran yang saya kirim, semuanya nihil…

Satu tahun saja saya di sekolah pertama saya, di kota Bagansiapiapi itu. Saya kemudian dipindahkan ke Duri, mengajar di sebuah SMP. Nah, ibarat petinju yang terbiasa ber-sparring partner dengan bison, pindah ke Duri rasanya jauh lebih ringan. Selain sudah mulai terbiasa dengan beban administrasi yang menggila, saya juga tidak merasakan perbedaan budaya dengan anak-anak murid yang di Duri. Semangat mengajar saya tumbuh kembali. Saya ingat, saya excited betul dengan kegiatan mengajar ini!

Tentu saja, tidak otomatis saya problem-free. Anak-anak yang biang ribut, nakal, bandel, sok, bahkan yang melawan tetap saja ada…

Saya ingat seorang anak murid saya bernama Andi (nama samaran, Pen). Ia sebenarnya cerdas, namun tidak bisa diam. Istilah orang Melayu: “lasak”. Suatu kali, ia bertingkah begitu degilnya, sehingga saya marah hebat padanya. Dengan suara tinggi, saya menyuruhnya untuk keluar kelas. Tak dinyana, Andi melawan:
“Saya kan bayar, kenapa saya disuruh keluar,” katanya.
Saya begitu terkejut, sampai-sampai saya bilang:
“Ibu akan bayarkan uang sekolahmu, sekarang KELUAR!!”
Saya begitu tersinggung dengan perkataannya, yang seolah-olah bisa berbuat apa saja, asal sudah bayar. Saya sampai tidak sempat lagi berpikir, mau dengan apa saya bayar uang sekolahnya.

Andi memang lantas keluar. Dan saya, dengan hati yang tidak keruan, terpaksa melanjutkan pelajaran. Sungguh, sebetulnya saya tidak ingin berada di kelas, karena suasana hati saya yang sangat tidak enak. Tapi, tentu saja, saya tidak bisa keluar begitu saja. Ada sekian puluh anak lagi yang perlu belajar… Hhh… saya melanjutkan pelajaran dengan berat hati.

Beberapa saat setelah itu, Andi ternyata menjumpai saya. Anak yang saya tahu biasanya ribut dan lasak itu nampak tertunduk. Saya pun berperang antara gengsi dan kasihan. Singkat cerita, Andi mengatakan bahwa ia sangat menyesal, dan ingin meminta maaf.

Kemarahan saya sebenarnya masih setinggi gunung. Kalau bisa, kepingin rasanya saya keprug anak kurang ajar ini! Namun, kemarahan saya itu tiba-tiba langsung lumer seperti es, mendengar ia meminta maaf.

Walaupun demikian, saya, dengan angkuhnya masih bertanya:
“Ngapa mesti minta maaf? Kan enak, kamu tidak ikut pelajaran ibu!”
Andi, di luar dugaan saya, malah menjawab:
“Selama tidak ikut pelajaran ibu, saya di luar merenung, dan memikirkan kata-kata ibu. Iya, saya sudah sangat kurang ajar sama ibu…”

Entah saya sedang dikibuli habis-habisan, entah anak ini tulus, tetapi perasaan saya saat itu mengatakan bahwa saya harus memaafkannya. Saya rasanya tidak punya daya lagi untuk memarahinya.

Tambah ke sini, bila saya mengingat kejadian dengan Andi itu; Andi anak yang “kurang ajar” ini, ternyata dengan beraninya ia datang meminta maaf, meskipun ia sendiri berperang bathin dengan apa yang akan ia lakukan. Ia memilih untuk mendengarkan yang lebih baik.

Dengan kejadian ini sebenarnya, saya, seorang guru, tengah belajar dari anak murid saya tentang kekuatan bathin untuk meminta dan memberi maaf. Selagi sekian banyak orang dewasa yang pandai, cerdas, dan berkedudukan, seringkali ramai-ramai ngeles dan mengelak, kalau melakukan kesalahan, saya malah diperlihatkan contoh hidup oleh anak murid saya, tentang keutamaan meminta dan memberi maaf.

Di antara berbagai kenakalan dan “perlawanan” anak murid saya, kejadian dengan Andi ini merupakan satu yang tidak bisa saya lupakan.

---bersambung---

Agnes Bemoe

Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=crying%20face&imgurl

Wednesday 18 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 2.3 : GA PUNYA DUIT...

May 18, 2011 0 Comments
Saya tahu, saya tidak bisa mengatasnamakan kisah saya ini untuk semua guru di Indonesia. Karena, seperti saya, masih banyak yang harus bekerja keras menambah penghasilan untuk mencukupi kebutuhan. Masih banyak yang harus ngeles sana ngeles sini gila-gilaan, ngojek, jualan di pasar, ngreditkan ini ngreditkan itu, bahkan ada yang jadi pemulung segala. Masih mending kalo guru tersebut masih bisa memberikan les tambahan, banyak juga teman-teman guru yang sama sekali tidak punya akses untuk memberikan les, misalnya untuk guru-guru bidang studi yang disebut bidang studi “minor” (walaupun saya tidak pernah setuju istilah ini!). Beberapa teman saya harus puas dengan gaji yang mereka terima per bulan, tanpa ada tambahan dari les. Kadang-kadang mereka mengeluh:
“Nyambi kerja di tempat lain ga boleh, padahal gaji dari sini ga cukup… Mau ngeles di sekolah, ga bisa, karena memang pelajarannya ga di-leskan…”

Ngomong-ngomong tentang nyambi, masih ingat kan, dengan kisah Pak Mahmud, seorang Kepala Sekolah yang nyambi menjadi pemulung? Kisah Pak Mahmud ini pernah diangkat oleh Andy F. Noya dalam salah satu show-nya di Kick Andy. Di sini saya petikkan dari sebuah situs:

Cuaca siang itu pada medio Juni lalu begitu terik, tampak wajah Pak Mahmud yang basah oleh keringat tengah serius memilah jenis sampah. Siapa sangka jika ia berprofesi sebagai kepala sekolah.

Dandanannya terkesan rapi dan tidak lusuh. Tawanya juga terdengar renyah dan riang dibanding dua laki-laki teman kerjanya yang sibuk membersihkan botol-botol plastik bekas wadah air mineral di antara tumpukan sampah, dia nampak paling ‘bersih’. Sekilas tatapan, sosok laki-laki setengah baya itu lebih pas menjadi juragan, pedagang atau pengepul barang bekas, tetapi kenyataan dia adalah pemulung.

Mahmud yang ditemui di tempat pembuangan akhir sementara tepat di belakang rumahnya, saat itu mengenakan kaus oblong lengan panjang berwarna hitam dan celana selutut dengan warna senada. Dilengkapi pula oleh topi kupluk berwarna abu-abu. Di tengah kesibukan ia mempersilahkan saya menyambangi rumahnya. Kami pun masuk ke rumah berbentuk kotak dari bambu dan kayu lapis persis di dekat tumpukan sampah, "ladangnya" memulung. Yang membuat tertegun ialah, Mahmud ternyata seorang guru, bahkan tiga tahun terakhir menduduki jabatan Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Safinatul Husna di kawasan Pangadengan, Kalideres, Jakarta Barat.

Cinta Mengajar
Mahmud kecil ialah anak seorang nelayan dan penjaga tambak di bilangan Muara Angke, Jakarta Utara. Ketika memasuki usia remaja, ia sudah tertarik menjadi seorang guru. Keinginan itu dibarengi dengan masuknya ia di Pendidikan Guru Agama (setingkat sekolah menengah pertama). Mahmud bersama tujuh saudaranya hidup jauh dari berkecukupan, tak urung ia pun bersekolah seraya menggembala kerbau agar bisa membantu biaya sekolah. “Saat itu saya sudah senang sekali, bisa sekolah sekaligus membantu orangtua,” ujarnya menerawang.

Pada 1980, ia menyelesaikan sekolahnya di Madrasah Aliyah (MA). Keberuntungan pun menghampiri bapak kelahiran 17 Maret 1960 ini, ia didapuk menjadi guru. Karena tekun menjalankan pekerjaannya, tak lama kemudian ia diangkat menjadi guru tetap dan mengampu mata pelajaran Aqidah Ahlak, Fiqih, dan Bahasa Arab. Demi mengembangkan bidang ilmu lain, Mahmud tak ayal belajar otodidak untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, serta bekal melanjutkan ke Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI jurusan Matematika. “Saya nggak mengejar soal materi, tapi kecintaan saya pada anak-anak,” tambah Mahmud yang mengajar selama 30 tahun ini.

Yayasan yang mengelola sekolah tempat Mahmud mengajar terbilang lumayan besar dan membawahi sekolah MTs setingkat SMP dan madarasah ibtidaiyah (MI) setingkat SD. Untuk Madrasah Tsanawiyah MTs saja memiliki ratusan siswa dengan 17 guru dan seorang staf. Kendati memimpin sekolah yang terbilang besar dan sudah menjadi guru sejak 1979, kehidupan keluarga tiga anak ini jauh dari layak. "Orang kadang-kadang tidak percaya, penghasilan saya tidak bisa mencukupi," ujar Mahmud.

Bapak asal Jakarta ini mengajar tidak tanggung-tanggung sampai enam mata pelajaran karena tenaga pengajar susah sekali dicari. Mayoritas mereka berpikir ulang untuk mengajar karena masalah penghasilan. “Meski menjadi kepala sekolah, saya tetap mengajar, tapi porsinya berkurang dan jika ada guru yang tidak masuk,” ujarnya.
Kalau sudah berhadapan dengan anak-anak, lanjut Mahmud, rasanya lega sekali. Banyak sekali kesan yang membekas di benaknya. Yang membuatnya prihatin dan tak tega selama mengabdi ialah acapkali tahun ajaran baru, banyak orangtua yang mengeluh lantaran harus membayar biaya sekolah. “Mendengar mereka menangis, rasanya jadi dilema. Kalau anak tak membayar sekolah, bagaimana dengan guru-guru yang mengajar, darimana mereka mendapat penghasilan,” tutur suami dari Ibu Jumiyati ini.

Kini, ia tengah memasuki masa pensiun tapi tetap ingin mengabdi dalam bidang pendidikan. Bentuknya dengan membuka semacam tempat belajar bagi anak-anak di rumah. “Mengajar di pendidikan formal kan ada batasnya, tapi di luar itu kita tetap bisa mengabdi,” ujarnya antusias.

Memulung Karena Kondisi
Berpijak dari penghasilan sekecil itu, akhirnya Mahmud mencari penghasilan tambahan. Apalagi tahun 2000, lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat mulai padat. Semakin bertambahnya warga, otomatis timbunan sampah juga menggunung. Lantaran itulah timbul inisiatif Mahmud untuk mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pemulung.

Ia memulung sampah-sampah yang masih bernilai ekonomi, seperti lembaran plastik, botol plastik minuman mineral, kertas dan kaleng dari tempat pembuangan sampah sementara. Pagi sampai siang, pukul 06.30 hingga pukul 14.00, dia mengajar mata pelajaran mulai dari Agama, Matematika, Biologi, hingga Fisika dan mengorganisasi guru-guru beserta stafnya. Sedangkan sore hingga malam dia memulung.

Diakui oleh Mahmud, alasanya memulung lantaran dipicu oleh kebutuhan rumah tangga yang mulai merangkak naik ketika anak-anak masuk sekolah. Awalnya berbagai usaha telah dilakoninya, mulai dari beternak, berkebun sampai sekarang ini memulung. “Jujur, awalnya saya tidak tertarik, karena aroma yang ditimbulkan dari sampah membuat saya pusing bahkan tidak bisa makan. Tapi, karena didorong rasa penasaran saya akhirnya mulai memulung,” ujar bapak yang memiliki motto “hidup harus bermanfaat bagi orang lain” ini.


Sebenarnya, lanjut Mahmud, bicara soal cukup atau tidak sifatnya relatif. Tetapi, ia merasakan sekarang ini hampir semua kebutuhan meningkat, bahkan air bersih saja sekarang harus beli, karena air sungai sudah tercemar limbah rumah tangga dan pabrik. Jika hanya mengandalkan penghasilan dari sekolah, semua pengeluaran tidak bisa tertutupi. “Saya percaya Tuhan sudah memberikan rezeki masing-masing bagi umat-Nya, kita tinggal berusaha untuk bekerja lebih keras,” harapnya optimis.

Tak Resah dengan Citra Pemulung
Mahmud tak lupa bercerita perihal pengalamannya pertama kali bersentuhan menjadi pemulung. Banyak pro dan kontra yang ditujukan padanya.Tapi yang paling membuatnya miris ia dituduh mencemarkan citra guru. “Apakah salah jika seorang guru berusaha sampingan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi pekerjaan saya halal dan tidak merugikan orang lain. Saya menyadari jika profesi guru dan pekerjaan pemulung memang sangat kontras,” selorohnya prihatin.

Selama ini, tambah Mahmud, citra pemulung di mata masyarakat memang kurang baik. Tidak sedikit ditemukan pemulung yang bertindak merugikan, misalnya mencuri sendal atau barang lain. “Meski begitu, saya tidak merasa tersinggung sedikit pun, yang penting apa yang saya lakukan tidak merugikan dan menyusahkan orang lain,” ujar bapak dua putri dan satu putra ini. Menyikapi anggapan mereka, Mahmud hanya mengatakan “ya itu hak mereka, tokh pada akhirnya secara tidak langsung pekerjaan memulung juga sedikit banyak punya manfaat, khususnya untuk mengurangi sampah di sekitar tempat tinggal mereka”.
Sumber: http://eckapunyacerita.blogspot.com/2009/09/pak-mahmud-kepala-sekolah-nyambi.html


Kisah Pak Mahmud yang begitu memprihatinkan ini, sebenarnya hanya secuil kecil dari segunung kenyataan pahit kehidupan guru di Indonesia. Selain nyambi jadi pemulung, ada guru yang diberitakan jualan jagung bakar di alun-alun kota, dan juga seperti yang sudah banyak kita ketahui: ngojek. Terus terang saya sedih dan sangat prihatin dengan itu semua. Saya pun tidak bilang mereka tidak pandai mengelola keuangan atau hal-hal yang lainnya. Saya percaya, seperti Pak Mahmud mereka punya latar belakang yang memaksa mereka untuk seperti itu. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa jadi guru di Indonesia memang susah…

Apalagi kalo kita iseng membandingkan dengan penghasilan guru di negara lain, Malaysia, misalnya. Konon, dengan beban kerja dan volume kerja yang kurang lebih sama, penghasilan guru di Malaysia ternyata enam kali lebih besar daripada di Indonesia. (Sumber: http://agupena.org/moduls.php?op=sis_article&category_id=23&article_id=41)

Nah, di balik hal-hal sistemik yang menyebabkan penghasilan guru di Indonesia ini sangat memprihatinkan, saya hanya mencoba menampilkan apa yang saya alami dan saya rasakan sebagai salah seorang guru di Indonesia; babak belur, tapi berusaha untuk survive…

Walaupun demikian, kisah yang saya kutipkan berikut ini mudah-mudahan memberikan perspektif baru, bahwa tidak selamanya guru harus nyambi dengan pekerjaan-pekerjaan yang “apa adanya”. Guru yang akan saya ceritakan berikut ini punya cara lain untuk menambah penghasilannya. Namanya Budi Hartono. Beliau adalah penulis buku yang cukup produktif. Tiga puluh delapan judul buku, baik buku pelajaran maupun buku umum disusunnya. Berikut ini kisah Bapak Budi Hartono:


Peluh masih mengucur di dahi Budi Hartono ketika ditemui Jawa Pos di tempatnya mengajar, SMPN 1 Surabaya. Budi baru datang di sekolah. Satu bonggelan buku dijinjing di tangan kanan. ”Ini adalah sebagian buku yang pernah saya tulis. Sisanya ada di rumah,” ujar pria kelahiran Trenggalek, 12 Oktober 1960, itu.

Ya, di antara sekian banyak guru di Surabaya, Budi adalah salah seorang guru yang cukup aktif menulis buku. Bahkan, nama pria yang bakal menjabat kepala sekolah SMPN 42 itu sudah terkenal di kalangan penerbit buku. Tak jarang, bukan dia yang menawarkan buku untuk diterbitkan kepada penerbit. Namun sebaliknya, penerbitlah yang meminta dia membuat buku untuk diterbitkan. ”Saya tidak seterkenal ini. Hanya satu dua penerbit yang minta dituliskan buku,” ujarnya merendah.

Pria yang sering menjadi penatar guru itu mengatakan mulai menulis buku sejak pertama menjadi guru, yakni pada 1983. Saat itu, dia menjadi guru di SMPN Sine, Ngawi. Budi menulis karena senang dan pada 1984 mulai menerbitkan buku praktikum siswa.

Tak hanya itu, Budi ingin membuktikan bahwa guru juga bisa makmur kalau mau berusaha lebih. Sebab, pada 1980-an, guru tidak diperhatikan seperti saat ini. Gajinya kecil dan tidak ada tunjangan prestasi pendidik (TPP) dari sertifikasi.
”Saudara saya ada yang kerja di perpajakan. Gajinya besar, tapi harus kerja sampai malam. Dari situ saya percaya, saya bisa mendapatkan penghasilan setara dengan dia kalau saya juga bekerja lebih,” ujarnya, lalu tersenyum.

Yang dimaksudkan dengan bekerja lebih ialah menulis buku sepulang mengajar di sekolah. Keyakinannya itu membuahkan hasil. Buku pelajaran biologi berseri yang dia tulis dan terbit pada 1989 membawa berkah dalam hidupnya. Royalti buku tersebut bisa digunakan untuk membeli rumah dan mobil pada 1993. Jika pasangan muda pada umumnya berebut mencari rumah kontrakan ketika menikah, tidak demikian halnya dengan Budi. Ketika menikah pada 1994, Budi sudah bisa memboyong istrinya ke rumah sendiri. ”Yang bisa mengubah nasib seseorang kan usaha dari orang itu sendiri, saya yakin dengan hal tersebut dan sekarang terbukti,” jelas guru Fisika ini.

Peraih juara dua Guru Teladan Jatim 2009 untuk jenjang SMP itu tidak hanya menulis buku pelajaran. Buku-buku umum dan pegangan guru juga dia tulis. Dia menyatakan, tidak semua buku bisa ditulis dengan mudah. Apalagi, jika sedang punya banyak tanggungan. Misalnya, harus membuat bahan ajar untuk siswa. Salah satu buku yang menurut dia paling lama penyelesaiannya adalah buku fisika untuk SMP RSBI kelas 3. Seluruh buku tersebut berbahasa Inggris. Dia menulis buku tersebut sejak 2002 dan baru diterbitkan pada 2005.

Budi menuturkan bahwa pendukung terbesar untuk kesuksesannya saat ini adalah istri tercintanya, Sri Hastuti. Ketika sedang menulis buku, tak jarang dia tidur hingga larut malam. Nah, di saat-saat seperti itu istrinya tidak lantas tidur terlebih dahulu. Namun, dia menemani Budi hingga selesai.

* Dinukil dari Harian Jawa Pos Edisi 5 September 2009
Sumber: http://indonesiabuku.com/?p=1552


Hal yang kurang lebih sama terjadi pada seorang guru di Gresik, bernama Nurul Fatah, S. Pd. Berikut ceritanya:

NURUL FATAH memang bukan guru biasa. Dia termasuk guru kreatif dan produktif berkarya. Buktinya, bukan hanya buku yang dia hasilkan. Dia juga menciptakan banyak lagu. Puluhan lagu sudah dia hasilkan. Untuk kasidah, misalnya, sudah sekitar 30 lagu direkam dan beredar di pasaran. Dia juga menulis lagu mars dan himne sekolah atau lembaga pendidikan lain. Antara lain, mars SMPN 1 Manyar GKB, mars MI Malik Ibrahim, serta mars dan himne Perguruan Tinggi Qomaruddin.

"Saya memang kuliah di jurusan seni rupa. Tapi, saya juga suka musik. Dulu, saya juga suka main band," terang guru yang berhasil menjadi Penata Musik Terbaik Jatim 2009.

Hebatnya, Fatah mampu menciptakan sebuah lagu secara kilat. Hanya butuh satu hari untuk merampungkannya. Apalagi, pas mood-nya bagus, dia bisa menciptakan lebih dari satu lagu. Nah, untuk menilai sebuah lagu layak atau belum ditampilkan, biasanya Fatah menyuruh istri dan anaknya menilai. Tujuan lainnya, menghindari kesamaan dengan lagu yang sudah ada.

"Barangkali saja ada unsur lagu tertentu yang saya sukai masuk dalam karya saya. Nah, istri dan anak saya yang menjadi juri," tuturnya.

Alumnus IKIP Surabaya (kini Universitas Negeri Surabaya) tersebut menjelaskan tidak pernah mematok harga untuk sebuah lagu yang diciptakan. Dia menerima berapa pun bayaran yang diberikan sekolah atau lembaga lain yang memesan lagu kepadanya. Fatah menyatakan mengarang lagu karena hobi. Sehingga, bayaran tidak terlalu menjadi persoalan.


Selain menciptakan lagu, Fatah sering mendapat job membuat ilustrasi buku. Karyanya dalam bidang menggambar memang patut diacungi jempol. Pada 2007 dia memenangi lomba cipta komik sejarah se-Kabupaten Gresik. Gambar komiknya sangat halus dan rapi. Isinya padat dan berbobot.

Fatah pun kerap mengikuti pameran lukisan keliling. Hanya, belakangan kegiatan melukisnya mulai dikurangi. Dia lebih terfokus menulis buku atau menciptakan lagu.




Budi Hartono dan Nurul Fatah mungkin bisa menjadi inspirasi bagi para guru yang lain atau juga bagi para calon guru, tentang bagaimana mengelola ketrampilan sambil meningkatkan penghasilan. Harapan saya, mudah-mudahan spirit seperti ini menyebar luas di kalangan guru di Indonesia.

Memang…. Alangkah indahnya KALAU guru ga perlu lagi nyambi untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidupnya, tak peduli apa pun pekerjaanya sambilannya… alangkah indahnya KALAU guru hanya perlu berkonsentrasi penuh pada kerja mengajar yang memang sudah menguras tenaga dan emosi… Ups! Mimpi kali yee…!

Namun, akhirnya memang, bagi saya kita mesti kembali mencari hikmah dari yang kita alami atau yang orang lain jalani: rejeki sudah ada yang ngatur, yang penting kita BERSYUKUR dan pandai mengelolanya.

Untuk saya sendiri, walaupun babak belur dengan masalah keuangan, saya tidak pernah terpikir untuk menjadikan uang sebagai satu-satunya prioritas. Dengan segala kerendahan hati, dan sama sekali tak bermaksud sok ngidealis: saya sangat membutuhkan uang, tapi tidak menempatkan uang sebagai satu-satunya prioritas. Yang namanya “rejeki” bagi kami juga bukan hanya gaji, honor les, atau honor menulis. Tapi, tiba-tiba kami dikirimi makanan dari tetangga, atau dibawa’in oleh-oleh dari teman. Hal-hal kecil yang seperti itulah yang kami sebut juga rejeki. Dan tentunya, itu kami syukuri… Konsep saya dan anak-anak tentang kekayaan dan kesejahteraan memang tidak melulu uang. Bahwa kami semua tetap sehat, pulang dari sekolah atau kampus bisa ngumpul dan kemudian ketawa ketiwi bersama, aman ayem di rumah, itu adalah bagian dari kekayaan yang kami miliki.

Pengalaman saya sebagai guru mengajarkan bahwa seberapa pun dibilang jadi guru itu bakalan kere, tapi saya kok belum pernah merasakan kere lahir apalagi bathin. Buat saya, kaya – miskin itu relatif, itu hanya hitung-hitungan angka manusia. Kalau teman saya yang pengusaha bisa jalan-jalan ke Hongkong, bisa pake tas, baju, sepatu, jam tangan branded, saya ikut senang dan bersyukur. Kalau saya belum bisa seperti itu pun, sama sekali saya tidak merana. Saya udah senang, anak saya bisa lancar kuliah dan sekolah. Bahkan, terus terang nih, dalam jatuh bangun keuangan ini malah merasakan “muzijat-muzijat” kecil yang disatu pihak sangat menyenangakan, di pihak lain juga mengharukan. Saya merasa kok Tuhan tu dekaaaat, setiap saat apalagi saat kesusahan…

Dalam kesempatan-kesempatan pembinaan terhadap rekan-rekan guru di sekolah, saya meluangkan waktu untuk membahas khusus masalah pengelolaan keuangan ini (seperti yang saya ceritakan di bagian atas). Saya rasa ini perlu, karena masalah keuangan SEDARI DULU sudah menjadi masalah tak terpisahkan dari profesi guru. Para guru pada umumnya mengeluhkan, tetapi ENGGAN membicarakannya. Banyak yang merasa malu membicarakan hal yang memang memprihatinkan dan cenderung memalukan ini. Padahal menurut saya, bila kita mau membicarakannya dengan sehat dan terbuka, mungkin malah ada jalan, tidak hanya untuk kita, melainkan juga untuk guru-guru lain, terutama guru-guru muda yang baru mulai merintis karier menjadi guru.

***

---bersambung---

Agnes Bemoe

Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=teacher&imgurl

Sunday 15 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 2.2 : GA PUNYA DUIT...

May 15, 2011 0 Comments


Karena keuangan super mepet, maka saya kemudian memutar otak, bagaimana saya bisa mencukupi kebutuhan saya. Saya ajak anak-anak saya bicara mengenai masalah keuangan ini. Lalu kami membuat kesepakatan-kesepakatan, antara lain untuk mengatur pengeluaran sehemat-hematnya.

Kebetulan sekali, waktu itu saya menonton acara Oprah Show di Metro TV. Acara itu sedang menampilkan tentang pengelolaan ekonomi rumah tangga. Dari Oprah–lah saya memperoleh rumus-rumus untuk mengelola keuangan. Yang saya tangkap adalah: bukan besarnya penghasilan yang akan membuat kita selamat dari masalah keuangan, melainkan kemampuan kita dalam mengelolanya. Di show tersebut, Oprah menunjukkan keluarga-keluarga yang berhasil keluar dari belitan ekonomi karena menerapkan rumus-rumus pengelolaan keuangan.

Bicara soal pengelolaan keuangan, sekitar tiga tahun yang lalu (2007) saya pernah mengadakan survey kecil-kecilan tentang pendapatan dan pengeluaran guru. Survery ini saya butuhkan sebagai bahan pembinaan saya pada rekan-rekan guru untuk topik “Pengelolaan Keuangan”. Yang bikin saya kaget bukanlah kenyataan bawa pendapatan guru itu minim, tetapi, kurang terampilnya guru dalam mengelola keuanganlah yang membuat guru jatuh dalam kondisi “kekurangan”. Guru-guru yang saya survey dapat digolongkan berpenghasilan hampir menengah. Artinya, kemungkinan bagi mereka untuk hidup dengan layak, tanpa hutang, dan punya tabungan nampaknya cukup terbuka. Namun, kenyataan, pengeluaran mereka lebih tinggi daripada take home pay-nya.

Berikut contohnya:
? Keluarga Amir, suami dan istri sama-sama bekerja sebagai guru, anak 2: pemasukan Rp. 2.300,000,- sedangkan pengeluaran Rp. 2.600.000,-

? Keluarga Budi, suami guru sedangkan, istri bekerja di sebuah PT, anak 1. Suami memberikan les privat. Penghasilan Rp. 2.500.000,- pengeluaran Rp. 3.300.000,-

? Keluarga Tejo: istri guru, gaji dan les Rp. 3.000.000,-; suami kerja di PT, gaji Rp. 8.000.000,-. Anak 2 usia SD dan SMP. Pengeluaran Rp. 15.000.000,- (kredit mobil, kredit tanah)

Dari survey kecil-kecilan tersebut tersirat fakta bahwa ada guru yang hidup dengan “besar pasak daripada tiang”. Dari survey itu juga saya mendapati bahwa sangat jarang guru yang memiliki tabungan, dan sebaliknya, banyak sekali guru yang menghabiskan pendapatannya untuk barang-barang konsumtif.
Kesimpulan yang saya tarik dari survey itu bisa jadi kurang tepat. Namun, satu hal yang saya rasa perlu diwaspadai adalah cara guru menyikapi penghasilannya. Dalam hal inilah saya rasa yang disampaikan Oprah melalui show-nya benar sekali. Penghasilan, seberapapun besarnya, harus dikelola dengan cerdas.

Saya sendiri pun langsung menerapkan itu di rumah. Pengeluaran saya atur, dan setiap pos punya pagu. Tidak hanya saya atur, pengeluaran pun saya catat sampai sekecil-kecilnya. Ini untuk mengontrol supaya tidak terjadi pembengkakan belanja.

Saya juga mulai “tegas” pada pekerjaan saya. Dulu, saya mau-mau saja bekerja sampai lewat waktu bahkan sampai menjelang malam, padahal untuk itu saya tidak mendapat insentif. Dan padahal lagi, dengan bekerja lewat waktu, terpaksa anak saya pulang dengan oplet, yang mana ternyata menggerus penghasilan kami. Karena pulang tidak terlalu sore, saya bisa memanfaatkan waktu yang biasanya saya habiskan di kantor untuk memberikan les. Waktu itu saya memberikan les Bahasa Jerman pada salah seorang anak SMA yang berencana studi di Jerman. Hasilnya tentu sangat lumayan!

Walaupun berat, dan bahkan sangat berat, kami sekeluarga menetapkan pengencangan ikat pinggang besar-besaran. Sebagai seorang Katolik, kami tentu tak lupa “mengadu” pada Bunda kami, Bunda Maria. Usaha dan doa, itulah yang kami lakukan tanpa henti…
Sekali lagi, bermewah-mewah tentu tidak bisa kami lakukan, namun, rasanya, belum pernah kami sampai kelaparan atau tidak memiliki uang sama sekali. Adaaa saja, “rejeki nomplok” kecil-kecil yang tidak kami duga sebelumnya. Ha… betul juga kalo dibilang, rejeki sudah ada yang ngatur.. Seorang sahabat saya punya istilah: “Tuhan ga pernah keliru ngamplopi…”

Dua tahun di kantor pengurus, saya “ditendang” lagi, balik ke sekolah, berarti balik lagi mengajar di kelas. Tentu saja ini berdampak sekali pada penghasilan. Apalagi setahun terakhir ini saya mendapat tunjangan fungsional dari pemerintah karena lolos proses Sertifikasi Guru. Wah, bertambah deh “kekayaan” saya… hehehehe…


---bersambung---

Agnes Bemoe

Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=teacher&imgurl

Wednesday 11 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 2.1 : GA PUNYA DUIT...

May 11, 2011 0 Comments


Kalo ngomongin guru, pasti langsung dikaitkan dengan gajinya yang super duper minim. Kata orang overjobbed – underpaid. Teman saya punya istilah lain yang lebih "serem", yakni P 9 (P Sembilan); Pergi Pagi-Pagi, Pulang Petang-Petang, Penghasilan Pas-Pasan… Bahkan ternyata kemudian ada yang menambahkan, bukan P 9, tapi P 13: Pergi Pagi-Pagi, Pulang Petang-Petang, Penghasilan Pas-Pasan, Potong Pendapatan, ‘Pala Pening! hahahahaha…. Memelas amat!

Hampir tujuh belas tahun menjadi guru di sebuah yayasan pendidikan swasta, saya tidak bilang saya ini kaya. Tapi, tidak juga saya merasa miskin. Ketika saya pertama kali menjadi guru, tahun 1993, gaji saya sebenarnya cukup untuk saya sendiri yang melajang dan tanpa tanggungan (adik atau orang tua). Pada saat itu, saya malah sempat memberikan les pada anak-anak SD, yang honornya saat itu cukup besar. Saat itu, gaji yang diberikan kepada kami para gurunya, saya anggap cukup layak lah…

Bermewah-mewah tentu tak bisa, tapi, untuk ukuran kota kecil di tempat saya bekerja, status guru dengan gaji seperti itu ternyata cukup memiliki gengsi tersendiri… (Saya pertama kali ditempatkan di Bagansiapiapi –sebuah kota kecil di Utara Propinsi Riau, kota yang dahulu terkenal sebagai penghasil ikan nomor satu di Indonesia-Pen) dan setahun kemudian dipindahkan ke Duri, masih di yayasan yang sama. Namun, perlu saya akui, perilaku boros sayalah yang membuat saya tidak punya tabungan, sementara sebenarnya gaji saya masih berlebih untuk kebutuhan saya… (hiks! Ketauan deh!).

Tahun 1998 terjadilah bencana ekonomi. Masyarakat menyebutnya “krismon” (krisis moneter). Gaji kami memang tidak dikurangi (dan syukur-syukur saya masih memiliki pekerjaan, sementara begitu banyak orang di tempat kerja lain yang di-PHK saat itu!). Namun, penghasilan itu jadi sangat ngepas untuk hidup satu bulan, bahkan untuk saya yang lajang…

Ini karena harga-harga melonjak hampir sepuluh kali lipat! Beras yang biasanya Rp. 1.000,- sekilonya melompat tinggi menjadi Rp. 10.000,- Saya tak pernah tahu bagaimana mereka yang sudah berkeluarga mengelola keuangannya. Yang jelas, saat itu saya rasakan, beraaaat sekali jadi guru, dalam hal minimnya penghasilan yang saya terima tiap bulan…

Tahun itu, entah dengan pertimbangan apa, saya diangkat menjadi kepala sekolah. Berkaitan dengan gaji, tentu orang mengira gaji saya menjadi gaji terbesar, minimal di sekolah yang saya pimpin. Namun kenyataannya, gaji guru-guru saya malah jauh lebih besar dari pada gaji saya. Mengherankan ya? Ini karena sistem penggajian di yayasan kami menerapkan bahwa guru yang mengajar mendapatkan honor kelebihan jam mengajar (dari jam mengajar wajib). Sedangkan saya, karena tidak lagi masuk mengajar di kelas, otomatis tidak lagi mendapat honor kelebihan mengajar.

Lalu, tunjangan struktural sebagai kepala sekolah?? Aah… malu saya menyebutkannya! Yang jelas, take home pay saya dengan bapak-ibu guru saya berbeda, dalam artian, saya lebih kecil…. (Aduuuuh… malunya… cuman keren doang jabatannya kepsek, tapi duitnya ga ada… hehehehehe…). Cuman, enaknya, saat itu saya dapat rumah dinas, lengkap dengan perabot, dan penggantian biaya listrik.

Empat tahun kemudian, saya tidak lagi menjadi kepala sekolah, dan dipindahkan ke Pekanbaru (sekali lagi, masih di yayasan yang sama). Tentu saja, gaji saya bertambah, karena sekarang saya masuk mengajar di kelas, dan mendapat honor kelebihan mengajar. Apalagi, di sekolah ada kegiatan les sore untuk anak kelas 3 SMA, dimana saya juga jadi salah seorang guru lesnya. Maka berarti, lumayan ada tambahan untuk penghasilan saya. Saya mulai nyicil beli sepeda motor, dan kemudian juga mengambil satu rumah kecil dari BTN.

Wah, kalau ditanya masa itu, bueraaat….! Cicilan sepeda motor yang sekian ratus ribu masih ditambah lagi dengan angsuran rumah, dan masih ditambah lagi dengan biaya kontrak rumah! Gak ada kata lain: berat! Apalagi, tahun itu saya mendapat rejeki dua orang anak yang dipercayakan pada saya.

Terasa lebih berat lagi, karena kebetulan, murid-murid yang saya ajar di sekolah itu sebagian besar adalah dari kalangan pengusaha. Pada jaman itu, mereka sudah ramai bermobil ke sekolah (sementara saya nyicil sepeda motor aja dengan separuh bengek!). Ketika orang belum banyak menggunakan HP, murid-murid saya ini sudah rame dengan HP segala tipe… Wah, memang seperti langit dan bumi, kondisi ekonomi saya sebagai guru, dengan murid-murid yang saya ajar…

Terus terang saya ceritakan di sini, mungkin kalau hitung-hitungan akuntansi a la manusia, maka rasanya MUSTAHIL saya bisa membiayai sekian banyak pengeluaran. Bayangkan, angsuran sepeda motor, rumah, kontrakan, masih lagi menyekolahkan dua orang anak!
Namun demikian, nyatanya, pelan tapi pasti, angsuran motor bisa selesai tepat waktu. Kemudian enam bulan setelah akad rumah, kami pindah ke rumah BTN tersebut, berarti berkurang lagi biaya untuk membayar kontrakan. Dan, biaya sekolah untuk dua anak saya itu, ternyata mendapat keringanan yang edan-edanan dari pengurus yayasan saat itu. (Karena bukan anak kandung, maka dua anak saya itu tetap harus membayar uang sekolah. Bila mereka anak kandung saya, uang sekolah mereka dibebaskan). Hhh… lega rasanya…

Namun, lagi-lagi, saya dipindahkan, tak jauh-jauh sih, dari SMA ke kantor pengurus. Waktu itu saya disuruh membantu mengerjakan administrasi. Saya suka pekerjaan saya, namun, konsekuensinya bagi keuangan saya adalah: gaji saya berkurang… hhh… lagi-lagi deh…

Apalagi, saat itu, ada pergantian kepengurusan yayasan. Bila dengan pengurus yang lama, uang sekolah anak saya langsung mendapat keringanan yang ringan buangeeeet, tanpa saya perlu “mengemis”, maka sekarang, anak saya tetap harus bayar dengan jumlah sama seperti orang luar. Biaya uang sekolah anak saya saja mencapai sepertiga dari gaji saya… Akhirnya, memang, dengan segala macam upaya, saya berhasil juga memperoleh sedikit keringanan uang sekolah. Ini tentu saja sangat membantu, walaupun di lain pihak, saya tetap harus mengetatkan pengeluaran.

Tapi, ternyata semua ada hikmahnya. Benar, ini bukan klise. Tapi saya hayati benar.

---bersambung---

Agnes Bemoe

Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=teacher&imgurl

Monday 9 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 1. KOK JADI GURU??

May 09, 2011 0 Comments


Guru adalah cita-cita saya sejak kecil. Kalo’ kawan-kawan menuliskan “insinyur” atau “dokter” untuk kolom cita-citanya, maka saya ingat, saya akan menyebutkan “guru”. Tentu saja, saya tidak tahu, seberapa serius saya saat itu, namun nyatanya, sampai SMA saya tidak pernah mengganti cita-cita saya.

Kakek dari ibu adalah seorang guru, demikian juga ibu saya. Sementara ayah saya seorang jaksa. Mungkin, karena guru jugalah sosok orang dewasa yang pertama yang saya kenal setelah ayah dan ibu saya, makanya saya ingin jadi guru. Orang tua saya sendiri tak pernah risau dengan keinginan saya menjadi guru. Paling tidak, misalnya pun ternyata mereka tidak setuju, mereka tidak pernah mengungkapkannya. Yang sempat membuat mereka agak keberatan adalah ketika saya sempat bilang, saya ingin studi filsafat!

Kesukaan saya pada filsafat berangkat dari kesukaan saya membaca. Saya pembaca segala, termasuk buku-buku berbau filsafat. Ketika saya membaca buku-buku filsafat, kok rasanya begitu mengasyikkan. Makanya saya terpikir untuk studi filsafat.

Ketika saya SMA, Bu Ratna, Guru BP kami, terkejut setengah mati, waktu tahu saya mau studi filsafat. Beliau langsung memanggil saya dan mengajak saya bicara. Maksud beliau tentu sangat baik, yaitu menguji apakah saya benar-benar serius dengan pilihan saya. Beliau khawatir, saya cuma asal pilih saja, trus kemudian nanti kecewa. Rupanya, tidak hanya beliau saja yang terkaget-kaget. Suster Inggrid, OSU, suster asrama saya yang juga guru Agama di sekolah, juga ikut-ikutan kaget. Dan lucunya, pertanyaan mereka hampir sama:
“Mau jadi suster ya….?” Hahahahaha…. Tentu saja tidak. Saya cuman suka filsafat, dan ga ada hubungannya dengan mau jadi biarawati…

Di sekolah “heboh”, ga kalah hebohnya juga di rumah. Seperti yang saya ceritakan, orang tua saya yang biasanya demokratis, kali ini agak sedikit kenceng.
Mereka menunjukkan ketidaksetujuannya, biarpun tidak langsung. Saya ingat, ayah saya yang super demokratis pun dengan hati-hati menjelaskan ketidaksetujuannya atas pilihan saya itu. Negosiasi untuk menentukan pilihan setelah lulus SMA ini berlangsung cukup alot sampai akhirnya kami terpaksa kompromi. Kesepakatan dibuat, untuk jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) jurusannya adalah jurusan yang disetujui oleh orang tua, sedangkan untuk SIPENMARU saya dibebaskan memilih yang saya suka. Di jalur PMDK saya memilih keguruan; bahasa Inggris di pilihan pertama, dan bahasa Jerman di pilihan kedua. Ini sebetulnya hasil pemikiran licik saya; karena menurut saya pasti lebih susah jebol PMDK daripada SIPENMARU. Saya berencana, nanti kalau tidak jebol PMDK, saya akan ambil jurusan Filsafat di SIPENMARU.

Nasib berkata lain: saya lolos PMDK, Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman di IKIP Yogyakarta! Saya kuliah keguruan, dan akhirnya jadilah saya guru, sampai sekarang…
Balik lagi ke masalah pertanyaan “Kok jadi guru?”, saya ingat, dari kecil saya juga sudah menerima pertanyaan itu; maksudnya tentu ada sambungannya, “kok bukan insinyur, atau dokter, atau pilot, de el el…” seperti umumnya anak seusia saya. Tentu saja saya tidak punya jawaban yang pasti untuk itu.

Ketika saya SMA, bahkan seorang guru saya juga menanyakan pada saya:
“Memang serius ya, mau jadi guru …?” demikian guru saya bertanya. Selanjutnya, guru bahasa Inggris saya itu, menunjukkan koleksi ensiklopedi yang dia miliki. Saya ingat, saya sedang main ke rumahnya ketika itu. “Ini semua yang beli ayah saya. Gaji guru gak akan mungkin bisa membeli semua ini…”
Intinya, dengan caranya tersendiri beliau menjelaskan bahwa jadi guru ga akan bisa kaya. Ga bisa beli macem-macem…

Dan, saya waktu itu, tentu saja masih sangat sangat sangat naïf, untuk bisa memahami apa yang guru saya coba katakan. Sama sekali secuil pun tidak pernah terlintas di kepala saya tentang biaya hidup, apalagi gaya hidup, yang semuanya butuh duit. Di pikiran saya hanya satu: menjadi guru.

Bicara tentang mau atau tidak jadi guru, memang tidak semua orang dari sononya pengen jadi guru. Seperti kisah dua orang ibu guru kembar berikut ini. Sri Rosiati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian), ibu kembar yang terkenal lewat sekolah Kartininya ini juga tidak sengaja masuk ke dalam dunia pendidikan, dan “nyebur” jadi guru. Untuk sekedar ngingetin, ini kisahnya:

Sekitar delapan tahun lalu, Rosi dan Rian berdialog dengan Jamin, salah seorang warga di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Saat itu, Jamin bertugas sebagai keamanan di wilayah tersebut. Rosi dan Rian menitipkan kendaraannya yang saat itu mogok.

"Waktu itu kita ingin memberi imbalan kepada Pak Jamin, tapi ia menolak. la menyarankan agar kami memberikan bantuan kepada warga saja," kata Rosi.
Setelah melihat kondisi wilayah di bawah jembatan layang tersebut, Rosi dan Rian melihat bahwa warga di wilayah itu amat miskin. Kecuali itu, anak anak dari keluarga itu juga banyak yang tidak bersekolah. Karena itu, pasangan kembar kelahiran Februari 1950 itu sengaja membangun sarana pendidikan bagi warga perkampungan kumuh di wilayah Jakarta Utara tersebut.

Selain didasari rasa kemanusiaan sebagai seseorang yang beruntung hidup di atas garis kemiskinan, inisiatif Rosi dan Rian mendirikan sekolah darurat juga atas dasar perhatiannya terhadap masalah pendidikan di Tanah Air.

"Kita melihat banyak anak di sini tidak punya kesempatan sekolah. Bayangkan, anak usia 10 tahun ada yang sudah menjadi pelacur. Nah, kita sebagai seorang yang berada, kenapa nggak mencoba untuk memberikan kesempatan," ujar Rosi.

Rupanya, kehadiran sekolah darurat itu mendapat respons positif masyarakat sekitar. Lima Sekolah Darurat Kartini yang didirikan Ibu Kembar ini, mampu menampung banyak anak miskin. Di Rawa Bebek saja, misalnya, tak kurang dari 350 siswa ditampung di sekolah tersebut.
Sumber: http://www.sampoernafoundation.org/content/view/161/48/lang,id/




Sebelum mengenal sepak terjang kedua ibu kembar yang sangat luar biasa ini, saya pernah mengenal sebuah kegiatan sosial sejenis. Kali ini di Jogjakarta, sekitar tahun 1984 ketika saya masih mahasiswa di Jogja. Di sana ada sekelompok frater-frater (calon pastor, Pen) yang menetap di Kolsani (Kolese Santo Ignatius de Loyola) Jogjakarta, yang punya kegiatan memberikan pengajaran pada anak-anak pemulung di daerah Pingit, Jetis. Para frater ini setiap hari mengunjungi anak-anak pemulung di daerah tersebut. Mereka mengajari anak-anak itu pelajaran-pelajaran SD, seperti membaca, berhitung, dan menulis. Tidak formal-formalan, ruang belajar pun memakai rumah keluarga atau tanah kosong, dengan penerangan lampu strongking. Tidak tahu persis, apa yang membuat mereka mau bersusah-payah menjadi guru, mengajari anak-anak pemulung yang jelas-jelas terbelit dengan seribu satu kesulitan; terutama kesulitan ekonomi dan sosial.

Saya tidak tahu, berapa banyak orang seperti ibu Kembar Rosi dan Rian ataupun para frater di Jogjakarta ini. Tapi, mungkin jumlahnya kalah banyak dengan kelompok yang akan saya sebutkan ini.

Beberapa rekan kerja saya mengaku, bahwa sebetulnya mereka tidak ingin jadi guru. Makanya mereka juga tidak tertarik untuk kuliah di keguruan. Namun, persaingan kerja yang keras dan ketat, serta beberapa sebab yang lain, menggiring mereka kemudian terpaksa dan coba-coba melamar jadi guru… dan ternyata… diterima…

Agak menyedihkan ya… motivasi awal ini… Saya teringat, bahwa beberapa teman kuliah saya juga mengaku, bahwa mereka sebetulnya tidak ingin masuk ke keguruan, tetapi karena tidak jebol di jurusan lain, maka mereka terpaksa pilih keguruan. Whew… Memang selanjutnya tidak sedikit yang akhirnya menemukan kecocokan menjadi guru, dan kemudian berkarya dengan penuh dedikasi.

Lucunya, di lain pihak, tidak sedikit juga teman-teman saya yang kuliah keguruan, eeh… akhirnya malah terus terjun di bidang lain; ada yang jadi Marketing Manajer di sebuah perusahaan pengolahan tuna; ada yang membuka bisnis sendiri; ada yang bekerja di perusahaan penerbitan terkenal, ada juga yang menjadi aktivis di LSM, dan lain-lain…

Maka, “Kok jadi guru?” bisa macam-macam jawabannya…

***

--- bersambung ---

Agnes Bemoe


Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=teacher&imgurl

Sunday 8 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_KATA PENGANTAR

May 08, 2011 0 Comments


Saya hanya ingin menuliskan pengalaman dan perasaan saya sebagai guru. Tidak ada maksud lain, apalagi yang berbau menjelek-jelekkan profesi guru ataupun orang lain. Sebaliknya, saya berharap kisah-kisah yang ada di buku ini bisa menjadi inspirasi bagi guru dan calon guru.

Buat yang sudah menjadi guru*), terkadang perjalanan (menjadi guru) terasa begitu berat dan melelahkan. Mudah-mudahan sebagian kisah-kisah ini bisa membantu bapak-ibu menemukan lagi motivasi yang lebih murni untuk menjadi guru. Sedangkan bagi para calon guru, mudahan-mudahan buku ini bisa memberikan gambaran yang komprehensif tentang bagaimana menjadi guru, dan bisa mejadi panduan dalam menentukan serta memantapkan langkah untuk menjadi guru.

Kisah yang ada di sini tentu saja kisah nyata yang saya alami bersama orang-orang di sekeliling saya, namun nama orang-orang yang terkait tentu saja saya samarkan. Saya juga mengutip dari kisah-kisah sesama guru di Indonesia, dengan harapan dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh dan berimbang.
Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat dan dapat dinikmati.

Pekanbaru, Pebruari 2010
Agnes Bemoe


*) Tulisan ini dibuat ketika saya masih menjadi seorang guru

Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=teacher&imgurl=

Friday 6 May 2011

SERTIFIKASI GURU DAN MANIPULASI

May 06, 2011 0 Comments

Baru-baru ini saya dikejutkan dengan cerita seorang kawan tentang manipulasi data sertifikasi guru di tempat kerjanya. Kawan saya bekerja di sebuah lembaga pendidikan katolik yang dikelola oleh sebuah yayasan. Seorang oknum di kepengurusan yayasan itu ternyata kedapatan oleh Dinas Pendidikan setempat telah memanipulasi data dirinya agar yang bersangkutan bisa mendapatkan Sertifikasi Guru.

Seharusnya, oknum itu tidak bisa mengikuti program Sertifikasi Guru, karena salah satu persyarataannya adalah bekerja sebaga guru aktif dengan standar minimal jumlah jam mengajar, sementara yang bersangkutan sendiri bertugas di yayasan bukan sebagai guru. Namun, data yang dilaporkan telah dibuat sedemikian rupa sehingga yang bersangkutan tercatat sebagai salah seorang guru di suatu sekolah di bawah yayasan dengan jumlah jam mengajar sekian jam. Kebenaran data inilah yang kemudian dipertanyakan oleh Dinas Pendidikan, sehingga akhirnya diketahui bahwa oknum tersebut selama ini telah memanipulasi data dirinya.

Tak diragukan, Sertifikasi Guru yang sangat membantu mengangkat perekonomian para guru ternyata juga sangat rawan akan penyimpangan. Yang lebih menggemaskan lagi, guru yang secara tradisional dianggap sebagai sosok yang agung dan luhur, ternyata tidak kebal terhadap godaan semacam ini. Dr. Nugroho M. Psi dalam sebuah Seminar Nasional bertemakan “Pendidikan Karakter merupakan Pondasi Peningkatan Harkat dan Martabat Bangsa” di Ungaran, Jawa Tengah, memaparkan bahwa pemalsuan program sertifikasi dilakukan sejumlah guru di Indonesia agar mereka mendapat tunjangan profesi satu kali gaji. Dari hasil temuan, didapati pemalsuan tanda tangan 13 %, pemalsuan nama 31 %, pemalsuan pengeluaran tanggal sertifikat 22 %, dan lain-lain 34 %.

Data yang disebut di atas diakui memang belum data yang paling mutakhir, karena data terakhir belum keluar. Namun, tak ayal lagi, pemaparan tersebut mengidikasikan bahwa guru juga tak segan mengotorkan tangannya demi mendapatkan sertifikasi. Sekarang, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa yang bukan guru pun tergoda untuk menipu, agar bisa mendapatkan sertifikasi. Yang paling memprihatinkan adalah ini dilakukan oleh oknum di lingkungan pendidikan katolik.

AJARAN GEREJA TENTANG PENDIDIK
Ada yang secara berseloroh mengatakan bahwa: “Guru juga manusia.” Maksudnya, harap maklum, bila guru juga suka melakukan kecurangan untuk kepentingan pribadi. Sebenarnya, karena guru (dan kita semua) manusialah makanya hanya kita yang diberi perangkat oleh Tuhan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Hewan dan tumbuhan tidak. Batu apalagi! Perangkat itu bernama hati nurani, moralitas, etika, budi pekerti. Kondisi-kondisi tertentu membuat kita mudah tergoda untuk bersikap pragmatis. Namun, itu tidak menafikan bahwa kita sudah diberi mekanisme tersendiri untuk mampu melihat mana yang lebih luhur dan agung, dalam kondisi paling sulit sekalipun. Sehingga tidak bisa dibalik: kalau kondisi sulit, kita boleh bersikap pragmatis (karena kita manusia…).

Apalagi bila kita secara sadar memilih profesi pendidik, profesi yang dianggap masih kuat memegang nilai-nilai luhur. Saat kita memilih profesi ini, kita tentu sadar akan harapan besar dari masyarakat akan kualitas moralitas kita.

Secara khusus bagi pendidik katolik, sebenarnya, banyak sekali sumber-sumber ajaran Gereja yang bisa dijadikan pegangan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Kitab Suci sendiri menegaskan bahwa setiap pengikut Yesus hendaknya menjadi garam, terang, dan ragi dunia. Secara sederhana, umat katolik –juga tentunya para pendidik- dituntut untuk memberikan pengaruh, berbuat sesuatu, berkarya, yang semuanya itu akan menghasilkan sesuatu yang baik, sehingga masyarakat sekitar akan melihat hadirnya Kerajaan Allah- kebaikan-kebaikan yang mereka yakini datang dari Allah sendiri -.

Konsili Vatikan II mengingatkan seluruh umat katolik untuk tidak larut dalam kerusakan moralitas dunia, dan sebaliknya malah harus mengambil peran aktif dalam mengusahakan dunia yang lebih baik. Mengingat bahwa dewasa ini timbul masalah-masalah baru, bermunculan aliran-aliran baru yang berusaha menjungkir-balikan agama, tata susila, dan tata masyarakat, maka konsili mengajak para awam agar sesuai dengan pembawaan dan pengetahuannya masing-masing, lebih rajin berperan menjelaskan nilai-nilai Kristen, membelanya dan menerapkannya dengan tepat pada jaman ini, selaras dengan semangat Gereja. (Dokumen Konsili Vatikan II Bab II. 6).

Secara khusus untuk aspek pendidikan dan elemen-elemennya, Kitab Hukum Kanonik menyatakan bahwa Pengajaran dan pendidikan di sekolah katolik harus berdasarkan asas-asas ajaran katolik; hendaknya para pengajar unggul dalam ajaran yang benar dan hidup yang baik. (Kan 803 : 2). Jelas sekali Gereja meminta para pengikutnya yang berprofesi sebagai pendidik untuk berlaku “unggul dalam ajaran yang benar dan hidup”. Pada bagian lain, walaupun ditujukan secara lebih spesifik pada guru agama, namun, kembali gereja menegaskan kualitas yang selayaknya dimiliki oleh seorang guru katolik: Hendaknya Ordinaris wilayah memperhatikan agar mereka yang diangkat menjadi guru-guru agama di sekolah, juga di sekolah bukan katolik, adalah orang-orang yang unggul dalam ajaran yang benar, dalam kesaksian hidup kristiani dan juga ahli dalam pendidikan. (Kan 804:2)

Sumber-sumber ajaran Gereja untuk memperkuat mekanisme ketahanan moral umatnya ternyata sudah cukup banyak. Saya yakin juga, setiap institusi pendidikan katolik mendasarkan karyanya pada visi dan misi yang bagus, yang dirancang sedemikian rupa untuk merealisasikan idealisme pendidikan. Ini juga seharusnya bisa menjadi tonggak panutan bagi insan di dalamnya dalam mengambil sikap. Sebaliknya, saya kurang yakin, ada yayasan pendidikan katolik yang visi misinya bertentangan dengan sumber-sumber di atas.

EFEK BAGI PENDIDIKAN
Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat menempatkan guru sebagai elemen penjaga moral. Masyarakat masih mempercayakan pengembangan akhlak dan moral putra-putri mereka di tangan para guru.

Secara khusus bagi sekolah-sekolah yang berlabel “katolik”, nampaknya sebagian masyarakat masih tetap memiliki kepercayaan dan ekspektasi yang tinggi terhadap sekolah-sekolah ini. Bagi masyarakat luas di luar lingkungan katolik, perilaku oknum ini tentu saja bisa menimbulkan tanda tanya besar di hati mereka: masih bisakah institusi katolik dipercaya? Dengan kata lain, pengabaian pada norma-norma pada gilirannya akan menggerus rasa percaya masyarakat pada institusi pendidikan katolik.

Apalagi, bila dalam hal ini institusi sama sekali tidak mengambil sikap apalagi tindakan. Dalam kondisi seperti ini jangan disalahkan bila pesan yang ditangkap oleh masyarakat luas adalah: institusi pendidikan katolik melakukan pembiaran bahkan pembenaran atas perilaku-perilaku tidak pantas para pendidiknya. Dan jangan pula disalahkan apabila masyarakat pada gilirannya akan mengambil sikap: meninggalkan sekolah katolik. Mereka tentu memperhitungkan faktor reputasi institusi dalam menentukan pilihan.

Bagi para guru, munculnya kasus manipulasi oleh atasan mereka sendiri tersebut bisa menurunkan bahkan menghapuskan kepercayaan mereka pada kualitas moral para pemimpinnya. Mereka melihat sendiri, betapa para atasan yang suka menceramahi mereka tentang moral dan etika malah secara telanjang melakukan pelanggaran dan manipulasi. Maka, tidak bisa disalahkan juga apabila mereka mulai mempertanyakan integritas para atasan mereka.

Bagi masyarakat sekolah dan yayasan secara umum, perilaku oknum yang tidak bertanggung jawab seperti ini pasti menimbulkan atmosfir yang kurang kondusif. Rasa tidak percaya akan lebih mudah timbul. Padahal, berkembangkan suatu organisasi tidak lepas dari kohesivitas di dalamnya yang ditimbulkan oleh rasa persaya satu sama lain.
Bila berbicara tentang yayasan pendidikan katolik, sungguh amat disayangkan, di tengah begitu ketatnya persaingan antar sekolah, pelaku pendidikan katolik bukannya berupaya untuk mengembangkan institusi semaksimal mungkin, tapi malah terjerembab pada kebutuhan yang paling primitif: mengenyangkan perut sendiri. Tulisan ini mungkin terkesan sangat normatif. Namun, faktanya, ketika kita meninggalkan yang normatif itulah, kita mulai kehilangan pegangan.

Pekanbaru, 8 April 2011
Agnes Bemoe
Penulis, tinggal di Pekanbaru


Diunggah: 7 Mei 2011

Sumber:
http://www.infosertifikasi.com/?p=487, diunggah tanggal 8 April 2011

http://st-stefanus.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=171&Itemid=67, diunggah tanggal 8 April 2011

http://www.imankatolik.or.id/khk_konkordat.php?q=pendidikan%2C+guru&p=3, diunggah tanggal 8 April 2011

http://www.imankatolik.or.id/khk_konkordat.php?q=pendidikan%2C+guru, diunggah tanggal 8 April 2011