TONGGAK PEMBAWA REBAH
MEINE WELT
June 29, 2010
1 Comments
Istilah ini saya dengar dari salah seorang kawan yang sedang kesal pada Wakil Kepala Sekolahnya (Wakasek). Wakasek-nya yang satu ini suka mengompor-ngompori anak buahnya untuk sengaja tidak patuh pada kepala sekolah (Kepsek).
Teman saya memberi contoh, ketika Kepsek menetapkan bahwa siapa saja yang keluar kantor harus menuliskan nama pada buku bepergian, Si Wakasek ini bukannya mengikuti aturan ini, malah dengan pongahnya mengatakan di depan anak buahnya untuk tidak mau mengikuti aturan itu.
Lagi, ketika semua guru harus menyusun administrasi dan harus mengumpulkannya sesuai dengan tenggat waktu yang diberikan, Si Wakasek ini lagi-lagi dengan sombongnya mengatakan di depan anak buahnya bahwa ia tidak akan mau melakukan itu.
Itulah makanya, orang yang seperti ini disebut “Tonggak Pembawa Rebah”. Ini adalah sebuah istilah dalam masyarakat Minang yang mengacu pada pemimpin yang malah mendatangkan perpecahan dan permasalahan bagi kelompok/institusi.
“Dia itu kan bagian dari kepemimpinan di sini. Seharusnya dia mendukung keputusan atasan. Atau paling tidak, bila tidak setuju, dia bicarakan dengan atasan, dan bukannya malah mengompor-ngompori orang untuk membangkang.” cerita teman saya itu dengan jengkelnya.
Dan ternyata, tidak hanya berhenti sampai di situ saja, perilaku Wakasek yang menjengkelkan ternyata melebar ke guru-guru yang lainnya.
“Beberapa guru baru yang tidak tahu diri jadi ikut-ikutan membangkang!” masih gerutuan teman saya ini. Menurutnya mereka hanya mau mengerjakan tugas-tugas dari Si Wakasek ini, dan menyepelekan tugas-tugas yang lain. Mereka malah berani-beranian tidak mengerjakan sebuah tugas, kalau Wakasek mereka juga tidak mengerjakan tugas itu. Ck..ck..ck..!
Mereka, menurutnya, benar-benar berkembang jadi kelompok “elit”: tidak perlu beres dalam bekerja, karena toh pasti “selamat” berkat pendukung di belakang mereka. Pendukung mereka ini adalah Si “Bos Kecil” yang selalu membela mereka.
Ini tentu saja menimbulkan situasi yang tidak kondusif dan tidak sehat. Karyawan, termasuk temanku ini merasa sangat tidak nyaman.
Situasi semacam ini mungkin juga terjadi di beberapa tempat kerja yang lain. Beberapa pimpinan yang ditunjuk, bukannya menjadi pengayom yang bijak dan adil, malah sebaliknya, menjadi pembawa petaka. Mereka tumbuh sebagai “tonggak pembawa rebah”.
Kekuasaan memang seperti pisau; bagi tukang daging ia menjadi alat yang berguna, tapi bagi penjahat ia menjadi “berguna” untuk melaksanakan kejahatannya. Jadi, kekuasaan sangat tergantung pada kualitas orang yang menggunakannya.
Bagi orang-orang yang tidak pernah disiapkan untuk memiliki keutamaan-keutamaan kepemimpinan, kekuasaan mereka anggap sebagai alat untuk “membunuh”, sama seperti seorang penjahat memakai pisaunya. Yang dibunuh adalah loyalitas-dedikasi yang murni, yang kemudian digantikan dengan transaksi atasan-bawahan; gila hormat-penjilat. Ikut dibunuh juga orang-orang yang mereka anggap akan menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap berkuasa atau menjadi lebih berkuasa lagi.
Untuk itu mereka tak segan-segan memfitnah, mengadu domba, berperilaku “maling teriak maling” dan lain sebagainya. Tidak heran, karena mereka tidak paham keutamaan-keutamaan seorang pimpinan, seperti: pelayanan, integritas, kejujuran, kerendahan hati, dll. Mereka mungkin berbaju seragam kantor yang rapi dan bagus, tetapi jauh di dalamnya, mereka sebenarnya hanya pribadi-pribadi penjahat rendahan, yang tidak segan-segan berkata/berlaku kotor, culas, dan curang.
Mereka mungkin pandai berpidato dengan menggunakan serangkaian kata-katan “indah” dan “bijak”, tetapi mereka berhenti hanya pada perkataan saja. Mereka melakukan itu hanya untuk mendapat pencitraan yang baik. Pelaksanaannya nol besar, karena mereka tidak pernah merasa perlu berintegritas. Yang penting buat mereka hanya satu: kekuasaan itu sendiri.
Selayaknyalah bila muncul kasus seperti ini pimpinan di atasnya lah yang harus mengambil langkah bijak. Menempatkan orang-orang seperti ini dalam posisi pimpinan adalah sama dengan menanam bom waktu. Cepat atau lambat tonggak yang ditanam itu akan membuat institusi rebah. (db)
Pekanbaru, 30 Juni 2010
Teman saya memberi contoh, ketika Kepsek menetapkan bahwa siapa saja yang keluar kantor harus menuliskan nama pada buku bepergian, Si Wakasek ini bukannya mengikuti aturan ini, malah dengan pongahnya mengatakan di depan anak buahnya untuk tidak mau mengikuti aturan itu.
Lagi, ketika semua guru harus menyusun administrasi dan harus mengumpulkannya sesuai dengan tenggat waktu yang diberikan, Si Wakasek ini lagi-lagi dengan sombongnya mengatakan di depan anak buahnya bahwa ia tidak akan mau melakukan itu.
Itulah makanya, orang yang seperti ini disebut “Tonggak Pembawa Rebah”. Ini adalah sebuah istilah dalam masyarakat Minang yang mengacu pada pemimpin yang malah mendatangkan perpecahan dan permasalahan bagi kelompok/institusi.
“Dia itu kan bagian dari kepemimpinan di sini. Seharusnya dia mendukung keputusan atasan. Atau paling tidak, bila tidak setuju, dia bicarakan dengan atasan, dan bukannya malah mengompor-ngompori orang untuk membangkang.” cerita teman saya itu dengan jengkelnya.
Dan ternyata, tidak hanya berhenti sampai di situ saja, perilaku Wakasek yang menjengkelkan ternyata melebar ke guru-guru yang lainnya.
“Beberapa guru baru yang tidak tahu diri jadi ikut-ikutan membangkang!” masih gerutuan teman saya ini. Menurutnya mereka hanya mau mengerjakan tugas-tugas dari Si Wakasek ini, dan menyepelekan tugas-tugas yang lain. Mereka malah berani-beranian tidak mengerjakan sebuah tugas, kalau Wakasek mereka juga tidak mengerjakan tugas itu. Ck..ck..ck..!
Mereka, menurutnya, benar-benar berkembang jadi kelompok “elit”: tidak perlu beres dalam bekerja, karena toh pasti “selamat” berkat pendukung di belakang mereka. Pendukung mereka ini adalah Si “Bos Kecil” yang selalu membela mereka.
Ini tentu saja menimbulkan situasi yang tidak kondusif dan tidak sehat. Karyawan, termasuk temanku ini merasa sangat tidak nyaman.
Situasi semacam ini mungkin juga terjadi di beberapa tempat kerja yang lain. Beberapa pimpinan yang ditunjuk, bukannya menjadi pengayom yang bijak dan adil, malah sebaliknya, menjadi pembawa petaka. Mereka tumbuh sebagai “tonggak pembawa rebah”.
Kekuasaan memang seperti pisau; bagi tukang daging ia menjadi alat yang berguna, tapi bagi penjahat ia menjadi “berguna” untuk melaksanakan kejahatannya. Jadi, kekuasaan sangat tergantung pada kualitas orang yang menggunakannya.
Bagi orang-orang yang tidak pernah disiapkan untuk memiliki keutamaan-keutamaan kepemimpinan, kekuasaan mereka anggap sebagai alat untuk “membunuh”, sama seperti seorang penjahat memakai pisaunya. Yang dibunuh adalah loyalitas-dedikasi yang murni, yang kemudian digantikan dengan transaksi atasan-bawahan; gila hormat-penjilat. Ikut dibunuh juga orang-orang yang mereka anggap akan menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap berkuasa atau menjadi lebih berkuasa lagi.
Untuk itu mereka tak segan-segan memfitnah, mengadu domba, berperilaku “maling teriak maling” dan lain sebagainya. Tidak heran, karena mereka tidak paham keutamaan-keutamaan seorang pimpinan, seperti: pelayanan, integritas, kejujuran, kerendahan hati, dll. Mereka mungkin berbaju seragam kantor yang rapi dan bagus, tetapi jauh di dalamnya, mereka sebenarnya hanya pribadi-pribadi penjahat rendahan, yang tidak segan-segan berkata/berlaku kotor, culas, dan curang.
Mereka mungkin pandai berpidato dengan menggunakan serangkaian kata-katan “indah” dan “bijak”, tetapi mereka berhenti hanya pada perkataan saja. Mereka melakukan itu hanya untuk mendapat pencitraan yang baik. Pelaksanaannya nol besar, karena mereka tidak pernah merasa perlu berintegritas. Yang penting buat mereka hanya satu: kekuasaan itu sendiri.
Selayaknyalah bila muncul kasus seperti ini pimpinan di atasnya lah yang harus mengambil langkah bijak. Menempatkan orang-orang seperti ini dalam posisi pimpinan adalah sama dengan menanam bom waktu. Cepat atau lambat tonggak yang ditanam itu akan membuat institusi rebah. (db)
Pekanbaru, 30 Juni 2010