Follow Us @agnes_bemoe

Sunday 29 April 2018

Dari Seminar Sastra Anak Nasional 1 Jakarta 21 - 22 April 2018. Tulisan 3, Habis.

April 29, 2018 0 Comments
Tulisan sebelumnya di sini (Tulisan 1) dan di sini. (Tulisan 2)


Baiklah, selanjutnya di hari kedua. Sayangnya, hari kedua menurut saya tidak sebernas hari pertama kecuali pemaparan dari Ibu Emilia dan Ibu Larasati yang di atas telah saya sebutkan. Makalah dari Ibu Wulandini dari Universitas Indonesia sangat baik temanya, yaitu tentang pentingnya membaca untuk meningkatkan kemampuan berpikir. Sayang sekali, sepertinya makalah ini, menurut pendapat saya pribadi, belum disusun dengan matang.  Mendikotomikan fiksi sastra dengan fiksi populer saja, menurut saya, perlu konteks yang lebih spesifik. Yang juga mengganggu bagi saya adalah pemilihan alat penelitian. Sebuah illustrated book hendaknya diperbandingkan dengan illustrated book juga, bukan? Kalau diperbandingkan dengan komik, seperti yang dilakukan di penelitan, apakah setara? Apakah tidak terlalu banyak faktor pengganggu dan pengabur? Namun demikian, saya tetap bisa memahami alur pikir penelitian ini. Saya pribadi sangat setuju dengan kesimpulan akhirnya yaitu bahwa membaca mempengaruhi kemampuan berpikir dan bernalar.  

Sesi yang paling sulit saya pahami adalah sesi yang diampu Ibu Susanti Agustina dengan makalah berjudul “Biblioterapi Didaktika: Seni Mengolah Literatur Anak sebagai Bahan Terapi Buku”. Pertama adalah tentang terminologi “terapi”. Biarpun dalam makalahnya Ibu Susanti menyampaikan biblioterapi tidak mensyaratkan keahlian psikologi klinis, saya pribadi tetap ingin berhati-hati dalam penggunaan kata terapi. Bahwa sesuatu hal; membaca, menulis, mencium wangi bunga, menonton ikan berenang itu adalah therapeutic, saya setuju. Tetapi, sesuatu kegiatan, dalam hemat saya, perlu ada penjabaran yang lebih baku, standar, terperinci, dan terukur untuk dapat disebut sebagai terapi. Ada kemungkinan saya yang kurang baca… hehehe… makanya, dalam hal ini saya tuangkan dalam tulisan ini. Siapa tahu ada pembaca yang lebih mengerti dan bisa menjelaskannya pada saya.

Ibu Susanti sendiri dalam presentasinya –lagi-lagi menurut saya pribadi, mohon maaf sekali kalau kurang berkenan- lebih banyak mengulas ilustrasi-ilustrasi yang mungkin agak jauh dari isi makalahnya. Seandainya waktu digunakan sebaik-baiknya, mungkin pertunjukan drama kecil-kecilan dari cerita “Mengapa Tubuh Udang Bengkok” bisa diikuti dengan pembahasan yang lebih mendalam mengenai langkah-langkah biblioterapinya.



PENUTUP: HARAPAN
Ini adalah kegiatan yang luar biasa keren. Oase yang sangat menyegarkan bagi penulis semacam saya. Karenanya, saya sangat berharap kegiatan ini bisa jadi kegiatan rutin. Mengenai topik, sudah luar biasa sekali karena relatif berbagai topik diangkat. Bila diadakan lagi, saya mengharapkan topik-topik tentang minoritas dan keragaman diangkat juga, selain topik tentang dark story buat anak (saya sangat ingin belajar tentang hal ini).

Untuk pembicara, sudah di luar pengharapan saya (beyond my expectation). Namun demikian, kalau memungkinkan, dihadirkan juga pembicara dari kalangan praktisi; editor, penulis, illustrator, pegiat literasi, atau pustakawan.

Untuk tempat dan fasilitas, Perpustakaan Nasional adalah pilihan yang tepat. Fasilitasnya bagus,  selain itu sambil menunggu acara dimulai saya bisa keliling melihat-lihat isi perpustakaan. Yang agak merepotkan adalah tidak adanya tempat duduk buat makan. Buat saya yang sakit pinggang, susah sekali duduk di lantai buat makan… hahaha! Untung, bersama saya adalah adik-adik manis yang menemani dan bahkan mencarikan kursi (kursi itu adalah kursi milik petugas perputakaan… hehehe….). Oh ya, tidak lupa, makanan dan snack-nya lezat dan berlimpah. Sangat menyenangkan!

Akhir kata, terima kasih kepada KPBA dan INNABY. Terima kasih kepada para ibu pembicara. Terima kasih kepada panitia. Terima kasih kepada Perpusnas. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah terima kasih buat adik-adik rekan penulis yang saya temui di kesempatan itu: Yovita Siswati, Wrini Harlindi, dan Nancy Duma Sitohang. Semoga bertemu lagi di lain waktu. Tuhan memberkati.


Pebatuan, 30 April 2018
@agnes_bemoe

Dari Seminar Sastra Anak Nasional 1 Jakarta 21 - 22 April 2018. Tulisan 2

April 29, 2018 0 Comments

Tulisan sebelumnya di sini.

Sesi lain yang saya suka? Pada dasarnya semua sesi di hari pertama saya suka! Melihat kembali persoalan perbukuan dan menulis dari sudut pandang akademisi sangat membuka mata saya. Selain Ibu Murti, saya suka juga pemaparan oleh Ibu Surya Sili dari Universitas Mulawarman. Beliau menyampaikan tentang peran buku dalam penguatan aspek kognitif dan afektif anak. Tulisan Ibu Surya ini membuat saya tersadar bahwa sebagai penulis saya harus menulis dengan berhati-hati dan penuh pertimbangan alias tidak asal menulis. Ada tanggung jawab atas pembaca buku yang harus saya pikirkan.

Terkait membaca, membaca seharusnya tidak lagi ‘hanya’ sebagai hobi. Membaca seharusnya sudah menjadi kebiasaan wajib, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Saya kutipkan pendapat Ibu Surya di makalahnya: “Mengingat pentingnya manfaat yang diperoleh dari aktivitas membaca, maka program gemar membaca seharusnya menjadi program prioritas di sekolah-sekolah, agar kita semua bisa menjadi individu yang tidak saja cerdas berpikir tetapi juga cerdas nurani karena wawasan kita yang luas yang diantaranya kita peroleh dari hasil membaca.”

Masih di hari pertama, yang juga menarik perhatian saya adalah pemaparan dari Ibu Dina Dyah Kusumastuti dari Universitas Jember, Jawa Timur. Ibu Dina Dyah menampilkan makalah berjudul “Kekerasan Simbolik dalam Sastra Anak Karya Penulis Anak Indonesia”. Makalah ini mengingatkan saya juga akan keprihatinan saya sendiri akan beberapa buku anak yang ditulis anak. Tidak bermaksud mematikan semangat menulis orang lain, tidak juga bermaksud iri pada sesama penulis apalagi penulis tersebut seorang anak. Namun entah bagaimana, sudah lama saya merasakan kekawatiran seperti yang dituangkan oleh Ibu Dina Dyah dalam makalahnya. Bedanya, saya tidak punya akses dan kemampuan untuk membuat sebuah penelitian seperti yang dibuat oleh Ibu Dina Dyah. Saya mengerti, makalah Ibu Dina Dyah tidak begitu saja dapat diterima dan dipahami. Ada hal-hal yang sebenarnya masih dapat diterima, penggunaan nama asing, misalnya. Di kampung sudah banyak kok kita temukan nama-nama seperti Jefri, Celsi, Farel, dll. Yang saya tangkap dari makalah Ibu Dyah adalah penyerapan secara masif budaya-budaya dari luar yang pada kenyataannya jauh dari kehidupan anak-anak Indonesia. Saya berharap, suatu saat ada pembicaraan yang lebih mendalam tentang hal ini.  

Pada sesi Ibu Dina Dyah ini saya sebenarnya ingin menanyakan kasus yang pernah saya alami sehubungan dengan pemakaian nama sebagai bentuk hasil budaya (sayangnya, saking banyaknya penanya pada bu Dina Dyah, saya tidak kebagian kesempatan). Cerita saya pernah dikoreksi nama pelakunya oleh editor sebuah penerbit. Nama awal yang saya gunakan adalah “David”. Nama ini ditolak dengan alasan tidak mau ada unsur keagamaan dalam cerita tersebut. Ya, saya juga heran kenapa nama “David” langsung menjadi tanda bahwa cerita itu adalah cerita keagamaan tertentu. Kenapa tidak dibaca keseluruhan isi cerita? Berikutnya, tokoh saya dalam cerita binatang juga pernah ditolak oleh editor. Editor meminta saya mengganti dengan hewan lain yang tidak sensitif untuk kelompok tertentu. Tokoh yang pertama adalah seekor babi yang hidup di sebuah peternakan empat musim (jelas bukan di Indonesia). Tokoh kedua adalah seekor anjing.

Bila dalam makalahnya Ibu Dina Dyah mengambil sudut pandang penulis menampilkan budaya-budaya yang asing sebagai bentuk ‘kekerasan budaya’, dalam kasus saya, sebagai penulis saya dipaksa untuk mengikuti budaya mayoritas yang sebenarnya tidak sesuai dengan keberagaman yang aslinya ada di bumi Indonesia. Sungguh saya ingin bertanya, apakah yang semacam ini bisa disebut dengan ‘kekerasan budaya’? Dan, sungguh, dengan semangat hendak memberikan yang terbaik bagi anak Indonesia saya sangat berharap tidak ada lagi keputusan penerbit yang mengarah pada ‘kekerasan budaya’ semacam itu.

Masih di hari pertama, Ibu Tati D. Wardi memaparkan tentang hubungan kata dan gambar dalam buku berilustrasi. Ini paparan yang menarik buat saya sebagai penulis. Biarpun pernah mendapatkan materi ini dari Ibu Ary Nilandari waktu saya ikut pelatihan menulis bersama beliau, saya tetap merasa excited mengikutinya. Saya rasa, materi tidak hanya berguna buat penulis tapi terlebih buat teman-teman illustrator.


Bersama Ibu Murti Bunanta

Bersambung ke sini. Tulisan 3. Habis.

Dari Seminar Sastra Anak Nasional 1 Jakarta 21-22 April 2018. Tulisan 1

April 29, 2018 0 Comments

Saya tuh suka iri berat dengan kegiatan kepenulisan di luar negeri, -diAmerika, Australia, Singapura- yang saya intip dari grup-grup kepenulisan buku anak di facebook. Hampir sepanjang tahun ada saja kegiatannya, entah seminar, pameran, workshop, atau penganugerahan penghargaan. Rasanya, kehidupan kepenulisannya sangat menggairahkan. Saya iri karena di Indonesia belum ada kegiatan serupa (kecuali kalau saya memang benar-benar kudet). Ada sih sebuah workshop tapi menurut saya pribadi proses seleksinya tidak begitu jelas kriterianya biarpun outputnya pasti berkualitas.

Karenanya, saya super excited waktu KPBA (Kelompok Pencinta Bacaan Anak) dan INNABY (Perwakilan IBBY untuk Indonesia. IBBY sendiri kependekan dari International Board on Book for Young People) menyelenggarakan Seminar Sastra Anak Nasional di Jakarta. Saya tertarik ikut karena pada dasarnya saya suka belajar. Kedua, sebagai penulis, saya menyadari bahwa saya ini tidak punya dasar akademik. Saya bukan lulusan fakultas sastra. Keterampilan menulis saya dapatkan dari pelajaran Bahasa Indonesia di SD – SMA lalu saya lanjutkan secara otodidak.

Nah, singkat kata, saya pun mengikuti kegiatan seminar ini. Bagaimana hasilnya? Inilah yang akan saya uraikan. Catatan: saya hanya menuliskan kesimpulan saya dan tidak menuliskan ulang isi makalah. Jadi, ada kemungkinan pembaca kesulitan memahami konteks kesimpulannya. Namun demikian mudah-mudahan dapat dipahami dan bisa jadi inspirasi juga untuk anda.

PALING INSPIRATIF
 Ada sembilan pembicara dalam seminar dua hari di gedung Perpustakaan Nasional tersebut. Kesemuanya perempuan dan kesemuanya akademisi. Dari sembilan presentasi tersebut yang bagi saya paling inspiratif adalah yang ditampilkan oleh Ibu Emilia Nazir dan Ibu Larasati. Beliau berdua menampilkan (dalam bentuk film pendek) proyek mereka yaitu mendongeng cerita rakyat berjudul “Ratu Lemut” di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagaimana Ibu Larasati mendongengkan cerita kepada anak-anak lalu bagaimana anak-anak diajak untuk menampilkan kembali cerita tersebut dalam bentuk drama di hadapan warga dusun, itu luar biasa sekali. Pasti tidak mudah mengolah dan mengelola kegiatan ini. Namun, Ibu Emilia Nazir dan Ibu Larasati mampu menampilkan hasil yang maksimal. Tanda kesuksesannya tidak lain terpatri di air muka anak-anak yang ikut serta. Mereka kelihatan bersemangat dan riang. Seperti yang terlihat di film dokumenter yang ditampilkan, bola mata anak-anak itu memancarkan kecerdasan dan harapan. Dan itu adalah prestasi tertinggi yang sulit diabaikan.

Topik kedua yang saya suka adalah yang disampaikan oleh Ibu Murti Bunanta. Ibu Murti yang juga ketua KPBA dan INNABY memaparkan tentang buku yang baik dilihat dari isi, penyajian, bahasa, ilustasi, dan penggunaan serta kegunaannya. Mungkin karena topik ini langsung terkait dengan apa yang saya kerjakan sebagai penulis buku anak, saya langsung merasa terhubung dengannya. Saya mendapat banyak ilmu. Selain itu saya juga memperoleh penegasan akan apa yang selama ini saya yakini (tanpa tahu dasar keilmuannya).

Salah satu yang baru buat saya adalah penomoran halaman. Karena buku anak pada umumnya bergambar (picture book ataupun illustrated book), perlu diperhatikan agar nomor halaman tidak sampai menimpa gambar. Saya rasa, ini ada benarnya. Ilustrasi tidak ‘rusak’ oleh penomoran.

Sedangkan salah satu yang menggarisbawahi apa yang selama ini saya yakini adalah tentang tema pada judul. Ibu Murti menyampaikan bahwa tema yang tersembunyi justru sangat mengasyikkan dan memberi peluang bagi pembacanya untuk berkembang menjadi lebih baik sesuai dengan maksud cerita bila dibandingkan dengan tema-tema yang sangat tersurat pada judul. Dengan tema yang tersirat, pengarang tidak menggurui. Judul seperti “Lomba di Hutan Bambu” (Tiga Ananda, 2016) akan lebih mengasyikkan, menantang anak untuk berpikir: lomba apa? Hutan bambu? Siapa yang berlomba? dll., dan karenanya baik sekali untuk merangsang anak menjadi lebih cerdas. Bandingkan misalnya, bila ada judul “Aku Anak Pintar” (bukan judul sungguhan dan bukan diambil dari makalah Ibu Murti). Seolah-olah jawaban untuk keseluruhan cerita sudah tergambar di judul itu. Karena sudah tergambar, tidak ada proses pikir/menerka/mengamati pada pembaca. Karenanya, pada hemat saya, orang tua yang ingin anak-anaknya mendapat manfaat maksimal dari membaca seharusnya memilihkan judul-judul yang tersirat dan menantang dan menghindari judul-judul yang sangat bermisi dan bertendensi.

Ibu Murti Bunanta dalam makalahnya juga menyampaikan judul-judul yang menjadi buku pilihan. Saya tuangkan dalam tulisan lain saja ya, supaya tidak terlalu panjang di tulisan ini. Yang jelas, ada "Ring of Fire" dan "Seri Titi" lho!



Bersambung ke sini. Tulisan 2.