Baiklah, selanjutnya di hari kedua. Sayangnya, hari
kedua menurut saya tidak sebernas hari pertama kecuali pemaparan dari Ibu
Emilia dan Ibu Larasati yang di atas telah saya sebutkan. Makalah dari Ibu
Wulandini dari Universitas Indonesia sangat baik temanya, yaitu tentang
pentingnya membaca untuk meningkatkan kemampuan berpikir. Sayang sekali,
sepertinya makalah ini, menurut pendapat saya pribadi, belum disusun dengan
matang. Mendikotomikan fiksi sastra
dengan fiksi populer saja, menurut saya, perlu konteks yang lebih spesifik. Yang
juga mengganggu bagi saya adalah pemilihan alat penelitian. Sebuah illustrated
book hendaknya diperbandingkan dengan illustrated book juga, bukan? Kalau
diperbandingkan dengan komik, seperti yang dilakukan di penelitan, apakah
setara? Apakah tidak terlalu banyak faktor pengganggu dan pengabur? Namun
demikian, saya tetap bisa memahami alur pikir penelitian ini. Saya pribadi
sangat setuju dengan kesimpulan akhirnya yaitu bahwa membaca mempengaruhi
kemampuan berpikir dan bernalar.
Sesi yang paling sulit saya pahami adalah sesi yang
diampu Ibu Susanti Agustina dengan makalah berjudul “Biblioterapi Didaktika:
Seni Mengolah Literatur Anak sebagai Bahan Terapi Buku”. Pertama adalah tentang
terminologi “terapi”. Biarpun dalam makalahnya Ibu Susanti menyampaikan
biblioterapi tidak mensyaratkan keahlian psikologi klinis, saya pribadi tetap
ingin berhati-hati dalam penggunaan kata terapi. Bahwa sesuatu hal; membaca,
menulis, mencium wangi bunga, menonton ikan berenang itu adalah therapeutic,
saya setuju. Tetapi, sesuatu kegiatan, dalam hemat saya, perlu ada penjabaran
yang lebih baku, standar, terperinci, dan terukur untuk dapat disebut sebagai
terapi. Ada kemungkinan saya yang kurang baca… hehehe… makanya, dalam hal ini
saya tuangkan dalam tulisan ini. Siapa tahu ada pembaca yang lebih mengerti dan
bisa menjelaskannya pada saya.
Ibu Susanti sendiri dalam presentasinya –lagi-lagi
menurut saya pribadi, mohon maaf sekali kalau kurang berkenan- lebih banyak
mengulas ilustrasi-ilustrasi yang mungkin agak jauh dari isi makalahnya.
Seandainya waktu digunakan sebaik-baiknya, mungkin pertunjukan drama
kecil-kecilan dari cerita “Mengapa Tubuh Udang Bengkok” bisa diikuti dengan
pembahasan yang lebih mendalam mengenai langkah-langkah biblioterapinya.
PENUTUP:
HARAPAN
Ini adalah kegiatan yang luar biasa keren. Oase yang
sangat menyegarkan bagi penulis semacam saya. Karenanya, saya sangat berharap
kegiatan ini bisa jadi kegiatan rutin. Mengenai topik, sudah luar biasa sekali
karena relatif berbagai topik diangkat. Bila diadakan lagi, saya mengharapkan
topik-topik tentang minoritas dan keragaman diangkat juga, selain topik tentang
dark story buat anak (saya sangat ingin belajar tentang hal ini).
Untuk pembicara, sudah di luar pengharapan saya
(beyond my expectation). Namun demikian, kalau memungkinkan, dihadirkan juga
pembicara dari kalangan praktisi; editor, penulis, illustrator, pegiat
literasi, atau pustakawan.
Untuk tempat dan fasilitas, Perpustakaan Nasional
adalah pilihan yang tepat. Fasilitasnya bagus, selain itu sambil menunggu acara dimulai saya
bisa keliling melihat-lihat isi perpustakaan. Yang agak merepotkan adalah tidak
adanya tempat duduk buat makan. Buat saya yang sakit pinggang, susah sekali
duduk di lantai buat makan… hahaha! Untung, bersama saya adalah adik-adik manis
yang menemani dan bahkan mencarikan kursi (kursi itu adalah kursi milik petugas
perputakaan… hehehe….). Oh ya, tidak lupa, makanan dan snack-nya lezat dan
berlimpah. Sangat menyenangkan!
Akhir kata, terima kasih kepada KPBA dan INNABY.
Terima kasih kepada para ibu pembicara. Terima kasih kepada panitia. Terima
kasih kepada Perpusnas. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah terima kasih
buat adik-adik rekan penulis yang saya temui di kesempatan itu: Yovita Siswati,
Wrini Harlindi, dan Nancy Duma Sitohang. Semoga bertemu lagi di lain waktu.
Tuhan memberkati.
Pebatuan, 30 April 2018
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment