Follow Us @agnes_bemoe

Tuesday, 29 September 2020

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: WHERE DO I BEGIN TO TELL THE STORY OF HOW GREAT THE LOVE CAN BE

September 29, 2020 8 Comments

Judul: Kekasih Jepang (The Japanesse Lover)
Penulis: Isabel Allende
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2017



Where do I begin
To tell the story of how great a love can be
The sweet love story that is older than the sea
The simple truth about the love she brings to me
Where do I start....


Entah kenapa, sambil baca novel ini terngiang-ngiang lagu milik Andy William di atas. Lagu itu sepertinya cocok menyarikan kisah cinta Alma Mendel dan Ichimei Fukuda.

Childhood sweetheart. Berpisah gara-gara Perang Dunia II. Bertemu kembali bertahun-tahun setelahnya dengan cinta yang ternyata bukan sekadar cinta monyet. Namun, takdir punya jalannya sendiri. Biarpun masih saling mencinta, mereka tak dapat bersatu. Norma dalam masyarakat saat itu yang tak menerima perkawinan beda ras adalah salah satu penyebabnya. Ketakutan Alma untuk hidup miskin jadi salah duanya.

Kisah cinta semacam ini bisa jatuh menjadi picisan di tangan orang yang tak tepat. Untunglah tidak terjadi di novel ini. Isabel Allende tidak menuliskan cinta untuk memanfaatkannya sebagai bahan dramatisasi. Beliau menuliskan kisah hidup manusia, yang kebetulan cintanya tersandung takdir.

Saya suka gaya bercerita Isabel Allende yang lempeng, tidak mendramatisir suasana atau memperpanjanglebarkan kalimatnya dengan kata-kata "indah". Kematangan semacam ini malah membuat novel ini menarik.

Novel ini sarat konflik moral tapi saya suka beliau tidak menjudge karakter-karakternya. Beliau memberikan konteksnya dan mempersilakan pembaca menilai sendiri. Saya geram waktu Alma ragu-ragu menikah dengan Ichi karena takut kehilangan kemapanan sebagai orang berada. Dalam angan saya cinta itu 'berani' menghadapi apapun. Namun, melihat lagi latar belakang masa kecilnya, saya bisa memahami keputusan Alma. C'est la vie, konon kata orang Perancis. Hidup punya logika sendiri. Tak semua hal selesai dengan cinta. Karena dekatnya dengan kenyataan hidup inilah novel ini jadi punya daya hujam yang luar biasa ke ulu hati pembaca.

Kisah kehidupan Alma dan Ichi dari kecil hingga menua (80 tahun) inilah yang diceritakan di novel ini, lengkap dengan latar belakang sejarah dunianya; serbuan Nazi Jerman ke negara-negara Eropa disusul pembantaian warga Yahudi, serangan Jepang ke Pearl Harbour, kekalahan Nazi oleh front Ukraina & pendaratan sekutu di Normandia.

Tak hanya peristiwa geo-politik saja, pembaca juga disuguhi perubahan norma dan moral masyarakat dari masa ke masa; perkawinan satu ras/kelas sosial menjadi perkawinan antar ras, seksualitas yang heterogen menjadi terbuka pada homogen, perkawinan yang satu dan tak terpisahkan menjadi permisif pada perceraian dan atau berganti pasangan. Norma/moralitas ternyata subyektivitas kolektif, mungkin itu yang mau dikatakan oleh novel ini.

Namun, novel ini tidak hanya bercerita tentang Alma & Ichi saja. Nyaris semua karakternya punya kisah masing-masing yang tak kalah mengejutkannya. Irina Bazili dengan masa kanak-kanaknya yang penuh teror. Nathanael Belasco dengan rahasianya yang paling dalam, atau Samuel Mendel yang hidup kembali. Biarpun 'rame', tidak sampai merebut perhatian pembaca pada Alma & Ichi.

Ah, tentang novel ini rasanya saya hanya menemukan kebaikan dan keasyikan. Di luar cerita, penerjemahannya juga bagus. Penjilidannya kuat, tidak 'bodol' di beberapa tempat.

Yang saya juga sangat suka adalah kavernya. Kavernya sangat sederhana; bunga gardenia berlatar biru. Tanpa mengetahui jalan ceritanya, kaver ini sudah menarik buat saya. Sederhan, anggun, elegan. Apalagi setelah tahu ceritanya. Tahu apa makna bunga gardenia dan warna biru buat Alma dan Ichi. Salut berat buat desainer sampulnya!

Singkat kata, ini novel recommended banget. 5 / ***** dari saya. Saya penggemar baru Señorita Allende.

***

Pebatuan, 29 September 2020

@agnes_bemoe 

Wednesday, 23 September 2020

READ WITH EXPERT dengan RING OF FIRE

September 23, 2020 0 Comments

 



Baru dengar rencananya aja udah seneng. 


Jadi, sebuah komunitas baca yang kebetulan penggeraknya adalah alumna Teknik Geologi ITB akan mengadakan acara "Read with Expert". Mereka akan membacakan salah 1 - 2 cerita di buku RING OF FIRE (GPU) dan setelahnya akan ada penjelasan sederhana tentang fakta ilmiahnya oleh seorang dosen panas bumi. Wih, kebayang serunya penjelasannya nanti! 

Itu yang bikin senang. Ada ahli yang peduli pada kebutuhan anak untuk tahu dan paham tentang kondisi alam Indonesia secara khusus (dan bumi pada umumnya). Kondisi Indonesia yang rawan bencana karena posisi geografisnya ini butuh pengenalan dan pengetahuan yang benar dan mendalam. Dengan itu harapannya anak2 bisa meng-approach bencana dengan lebih baik. 

Harapannya lagi di masa mendatang berkurang jumlah orang dewasa yang selalu menghubungkan bencana alam dengan tulah atas suatu kaum. Lebih parahnya, yang dituduh biasanya kaum yang lebih lemah.Sudah saatnya kita memutus mata rantai ini. 

Oh ya, ngomong-ngomong, Ring of Fire berisi 5 buah cerita:
1. Rokatenda Menari (Ilustrasi oleh Audelia Agustin)
2. Ketika Pak Sinabung Batuk (Ilustrasi oleh Gery Adam)
3. Monster Air (Ilustrasi oleh Dian Ovieta)
4. Kapten Oscar (Ilustrasi oleh InnerChild Std)
5. Wedhus Gembel (Ilustrasi oleh Maman Sulaiman)

Semuanya tentang bencana alam yang kerap menimpa Indonesia terkait posisi Indonesia di jalur Cincin Api (gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan awan panas). 

Oke deh, mudah2an acaranya berlangsung lancar dan buku RING OF FIRE bisa membantu/bermanfaat.
IHS.



Pembatuan, 24 September 2020
@agnes_bemoe

Saturday, 19 September 2020

Pelajaran Besar Buat Saya: Jangan Mau Bekerja Sama Tanpa Kontrak

September 19, 2020 0 Comments

 




Kasus kontrak kerja sama kepenulisan kemarin membuat saya teringat akan peristiwa yang saya alami sendiri. Bukan kurang teliti membaca kontrak tapi saya terlalu percaya sehingga mau saja bekerja sama tanpa kontrak. Ketika kerja samanya bermasalah, saya tak bisa berbuat apa-apa.

 

Waktu itu saya baru mulai menulis (sudah ada buku terbit tapi belum banyak). Seorang penulis kenamaan mengajak saya kerja sama menulis buku. Tentu saja saya senang dong. Tak hanya dapat kesempatan belajar tapi juga belajar pada orang yang tepat, pikir saya waktu itu.

Waktu itu si penulis terkenal ini (kita sebut saja Penulis A ya) sudah mengatakan kalau kontrak hanya ada antara penerbit dengan Penulis A (catatan: konsep besar naskah ini sudah disetujui penerbit dan naskah ini berupa serial). Jadi tidak ada kontrak untuk saya. Untuk royalti juga antara penerbit dengan Penulis A. Saya menerima dari Penulis A. Jujur, waktu itu saya tak merasa keberatan. Saya pikir, ini masalah teknis saja. Kemudian baru saya menyadari betapa tidak tepatnya tindakan saya ini.

 

Proses penulisan berjalan lancar. Ide dari Penulis A. Penulis A juga mengajari saya cara menyusun bahan mentah menjadi naskah pada buku. Saya mencari bahan, menyusun, lalu menuliskannya. Terakhir Penulis A memoles lagi di sana-sini sebelum dikirim ke penerbit.  Saya diberi kesempatan menulis dua judul, berarti dua buku.


Permasalahan timbul ketika salah satu dari kedua buku ini terbit. Yang tertulis di buku itu bukan nama saya. Dan lagi-lagi, saya yang super naïf. Saat itu saya tenang saja karena percaya. Saya percaya karena merasa berurusan dengan orang-orang yang saya anggap punya integritas. Saya yakin akan ada penyelesaian yang bermartabat, yang tidak merugikan saya sebagai yang menulis materi di buku itu.


Saya salah besar.


Ada permohonan maaf dari editor pelaksana melalui inbox dilanjutkan dengan penjelasan dari editor kepala. Saya memahami, ada kesalahan manusiawi (tidak disengaja) karena di dummy yang dikirimkan ke saya sebelumnya tidak ada kesalahan sedikitpun. Namun, saya mengharapkan tindak lanjut untuk naskah karya saya. Saya mengharapkan ada koreksi secara umum dari penerbit bahwa nama penulis “Penulis B” (Penulis A dan B) di buku XXX itu keliru. Yang benar adalah “Penulis A dan Agnes Bemoe”. Secara umum di sini bukan juga di surat kabar. Di media sosial pun sudah memadai. Yang penting saya punya pegangan bila bermaksud mempromosikan buku itu (atau mengklaim untuk portofolio, misalnya). Kan lucu kalau saya menyatakan buku itu karya saya sementara nama yang tertera di buku itu bukan nama saya dan dari penerbit tidak ada satu penjelasan pun tentang itu.  


Pihak penerbit hanya bisa mengupayakan dua hal. Pertama, membuat semacam stiker kecil bertuliskan nama saya lalu dikirim ke toko-toko buku (karena katanya buku sudah terlanjur dikirim ke toko-toko buku). Stiker itu akan ditempelkan di buku XXX tersebut. Tapi penerbit tidak bisa menjanjikan bahwa toko akan benar-benar menempelkan nama saya itu. Saya menganggap ini tetap merugikan saya karena tidak ada jaminan nama di buku itu diganti dengan stiker nama saya (dan tentu saja bukan tugas toko ‘kan, untuk mengganti nama di buku tersebut).


Kedua, penerbit menjanjikan akan mengubah kesalahan tersebut pada cetak ulang. Waduh, pikir saya, yang ini saja belum beres, bagaimana saya mengharapkan cetak ulang? Iya kalau cetak ulang. Iya kalau pada saat cetak ulang tidak terjadi kesalahan tulis lagi. Kan sangat tidak jelas.


Selagi berbicara inilah barulah saya menyadari lemahnya kedudukan saya. Saya tidak punya kontrak apapun dengan penerbit. Secara hukum penerbit bebas menerakan atau tidak menerakan nama saya di naskah itu. Keterikatan saya dan penerbit hanya secara moral. Dan moral bukan hukum positif. Dan yang bukan hukum tidak punya daya paksa pada seseorang untuk berbuat benar dan baik, kecuali ada niatan yang benar-benar kuat dari seseorang itu untuk berbuat baik.


Dalam konteks ini saya yang salah. Saya keliru telah mengerjakan sesuatu tanpa kontrak. Jangankan menandatangani, melihat dan membacanya pun tidak! Mau saya teriak-teriak sampai leher putus pun penerbit akan tenang-tenang saja.

 


Lalu bagaimana dengan Penulis A? Yang mengajak ‘kan Penulis A?


Saya juga berharap Penulis A mau berada di pihak saya. Paling tidak, ikut berbicara buat saya. Penulis A memang tidak dirugikan apa-apa pada saat itu. Namun, saya sungguh berharap solidaritasnya buat saya. Taruhlah saya bukan temannya, lihatlah saya sebagai sesama penulis. Sebagai seorang penulis juga tentu beliau bisa membayangkan bagaimana kalau naskah terbit dengan nama orang lain.


Mungkin Penulis A sudah bicara juga dengan penerbit untuk membantu saya, saya tidak tahu. Kalau memang sudah, melalui tulisan ini saya mengucapkan terima kasih. Ketika bicara dengan Penulis A saya malah mendapati beliau merasa lebih mencemaskan posisi beliau ketimbang bagaimana bisa melakukan sesuatu buat memperkecil kerugian saya.


Saya cuma bisa terdiam. Berbagai hal berkecamuk di kepala saya tapi akhirnya lagi-lagi saya hanya bisa menyalahkan diri saya sendiri. Saya yang terlalu percaya. Super duper naïf.


Penulis B (yang namanya tertulis sebagai ganti nama saya) juga menghubungi saya. Dengan polosnya menyatakan kalau dia ingin membantu (ikut bicara) tapi dicegah.


Oke deh, berarti memang saya dibiarkan sendirian menghadapi permasalahan ini. Tapi, bagaimana mau menghadapi? Saya tidak punya secuil kontrak pun dengan penerbit yang telah keliru menerakan nama pada naskah tulisan saya.

 

Saya kecewa sekali.


Teringat lagi ketika menuliskan naskah itu saya sudah kena HNP (Herniated Nucleus Pulposus = syaraf terjepit) biarpun belum tahu kalau itu HNP. Jadi saya menulis sambil meringis-meringis, menahan ngilu. Lembur pun dilakonin, berharap bisa memberikan yang terbaik. Sungguh pelajaran yang sangat menyakitkan secara fisik dan mental.

 

Tahu hanya akan menghantam angin, saya pun menarik diri. Tak mau lagi mengurusi hal itu. Biarlah mereka menikmati hasil kerja saya. Saya tak peduli.

Saat itu juga kesehatan saya sedang buruk-buruknya. Otak saya tak punya tempat lagi buat memikirkan hal ini karena sedang memikirkan kesehatan badan, pengobatan, dan pembiayaannya (saya masuk RS 2 kali).

 

Buku itu sendiri kemudian saya lihat terpajang di toko, tanpa nama saya. Menyakitkan lho, melihat sesuatu yang kita tulis terpajang dengan nama orang lain. Saya menerima sejumlah uang dari Penulis A sebagai royalti buku itu. Saya percaya, jumlah yang diberikan kepada saya pasti sesuai dengan seberapa besar hak saya.

 

Saya memutuskan untuk tidak mau lagi berhubungan dengan Penulis A. Terlalu traumatis. Saya berterima kasih atas bantuan beliau pada saya ketika saya mulai menulis. Penulis A membantu memuluskan jalan saya ke penerbit. Itu saya akui dan tidak saya hilangkan dalam catatan saya. Namun, sama sekali tak menyangka, saya harus membayar sangat mahal untuk bantuan itu.

 

Saya juga memutuskan tidak mau lagi mengirimkan naskah pada penerbit itu. Saya yakin mereka juga tidak akan mau menerima naskah saya sih. Syukurlah, buku-buku saya kemudian terbit di penerbit-penerbit lain. Ternyata, saya bisa kok menembus penerbitan mayor besar dengan karya saya biarpun tentu saja proses belajar menulis tidak akan pernah berhenti buat saya.

 

Kapok menulis duet?

Tidak juga. Tidak kapok tapi lebih hati-hati. Hati-hati dengan kontrak dan hati-hati dengan siapa kita bekerja sama.

Beberapa tahun setelahnya sebuah penerbit meminta saya menulis buku dengan tema tertentu. Di tengah jalan, ketika baru menyelesaikan separuh naskah, saya harus masuk rumah sakit. Saya sudah mau mundur ketika penerbit menyarankan untuk duet. Saya pun mencari teman penulis untuk duet. Sudah terpikir oleh saya untuk meminta kontrak tersendiri bagi teman duet saya. Ternyata, penerbit sudah duluan menyiapkan. Syukurlah. Buku duet kami jadi. Kami masing-masing punya kontrak dan royalti dikirimkan ke masing-masing penulis.

 

Seorang teman penulis dan editor menambahkan tips berikut untuk menulis duet:

1.      Bisa saja 1 kontrak untuk dua orang penulis tapi tanda tangan tetap dua orang penulis itu dan penerbit langsung transfer royalti ke masing-masing penulis.

2.      Bila lebih dari dua orang penulis, semua penulis memberikan kuasa pada satu orang penulis untuk tanda tangan kontrak namun transfer royalti tetap ke masing-masing penulis.

Saya rasa cara di atas cukup fair ya, ada jaminan keamanan buat semua pihak.

 

Baiklah, itu yang mau saya bagikan terkait kontrak. Pelajaran besar buat saya mudah-mudahan bisa jadi pengingat buat yang lain. Sukses buat kita semua ya.

 

*** 

Pebatuan, 20 September 2020

@agnes_bemoe

 

 

Monday, 14 September 2020

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: Perjalanan Menuju Cahaya

September 14, 2020 0 Comments

 


Judul: The Year I Met You. Tahun Itu Kita Bertemu

Penulis: Cecelia Ahern
Penerjemah: Utti Setiawati
Diterbitkan di Indonesia oleh: Gramedia Pustaka Utama, 2017

Baru membaca lembar-lembar pertama saja saya sudah enggan baca buku ini. Sebabnya adalah salah satu tokoh utamanya (Matt Marshall) melakukan hal yang -izinkan saya bilang- sangat menjijikkan. Saya tak bisa membayangkan jatuh hati pada pria semenjijikkan itu.

Namun, kesamaan kisah hidup antara tokoh perempuan (Jasmine) dengan diri saya membuat saya bertahan. Ingin tahu sampai di mana batas kesamaannya. Lalu, entah di halaman berapa (halaman agak akhir, saya rasa) saya baru menyadari konteks keberadaan si Matt Marshall. Matt memang harus digambarkan semenjijikkan itu untuk memengerti intensitas luka yang ditanggungnya.

Novel ini memang berkisah tentang orang-orang yang terluka karena terlahir dan hidup dalam keluarga yang rusak (disfunctional family). Mereka sehat secara fisik dan relatif sehat mentalnya tapi terluka parah jiwanya (soul). Ini menyebabkan orang-orang ini tumbuh menjadi sama toxic-nya dengan orangtua yang membesarkannya (dan yang mereka benci sampai ke sumsum tulang).

Orang-orang seperti ini kerap muncul dalam perilaku super sinis, negatif, dan lebih sering mensabotase dirinya sendiri dengan perilaku yang menyebalkan sampai menjijikkan, seperti yang ada pada pribadi Jasmine dan Matt.

Kata Jalalludin el Rumi: “The wound is the place from where the light enters you”.

Lalu, datanglah the wound itu bagi Jasmine maupun Matt di penghujung 2015 yang dingin. Tanpa mereka sadari, the wound itu menuntun mereka pada the light yang mereka sangka tak pernah ada.

Tentu saja novel ini menyederhanakan proses penyembuhan (healing) pada pribadi-pribadi yang terluka. Namun demikian, saya salut banget pada penulisnya yang mau mengambil sudut pandang ini bagi novelnya. Satu lagi yang saya suka dari penulisnya adalah dia tidak bercerita secara eksplisit mengenai akar permasalahannya. Dia memaparkan sebuah kehidupan dan mempersilahkan pembaca mengunyahnya sendiri. Kalau saya tidak kebetulan sedang suka pada topik healing, toxic family, self love, dll, mungkin saya kurang mudheng dengan konteks penceritaannya. Eh tapi, karena tidak eksplisit itu, bisa jadi juga saya keliru menginterpretasikan 😀

Yang saya kurang suka dari buku ini ada 2 hal; kualitas penjilidan dan penerjemahannya.

Penjilidannya kurang bagus. Halaman bercopotan bahkan ketika saya masih di sepertiga halaman pertama. Selanjutnya, repot sekali memegangi buku setebal 450 halaman ini karena nyaris terpotong jadi 3 bagian.

Penerjemahannya juga kurang begitu lancar dan enak dibaca (menurut saya yang tak pandai menerjemahkan ini). Saya seolah-olah bisa membayangkan apa kata Bahasa Inggrisnya sangking dekatnya terjemahan itu ke Bahasa Inggris.

X : What? —> Apa?
Y : Nothing —> Tak ada apa-apa

Bagaimana kalau:
X : Apa sih?
Y : Nggaaak.

Namun demikian, selain dua hal di atas, novel ini layak dibaca, terutama kalau Anda tertarik dengan masalah kesehatan jiwa (soul), healing, dan relationship yang sehat.

Kalau penerjemahannya bagus, saya beri lebih deh. Tapi kali ini saya beri ***/5.

Pebatuan, 11 September 2020
@agnes_bemoe

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: Tersesat Bersama Bus Malam

September 14, 2020 0 Comments

 



Judul: Bus Malam

Novel Grafis
Karya: Zuo Ma
Penerjemah: Afiva Nur Qomariyah
Diterbitkan di Indonesia oleh Rotasi Books
Cetakan Pertama, Maret 2020

Saya menyerah.
Ini novel grafis kedua yang saya baca dan saya kesulitan memahami alur ceritanya. Alur besarnya ngerti sih: seorang gadis tersesat dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Tapi, detil ceritanya tidak sepenuhnya saya mengerti. Mungkin novel grafis bukan untuk saya. Mungkin saya perlu berkontemplasi pada gambar-gambarnya lebih lama untuk menemukan kata-kata yang biasanya bercerita buat saya.

Kualitas gambarnya jelas jempolan. Gambar-gambarnya berkarakter dan berjiwa. Saya bukan ilustrator dan saya tak mengerti teknik menggambar. Saya juga kurang familiar dengan gaya-gaya manga. Namun saya menikmati ilustrasi yang dibuat Zuo Ma di bukunya ini.

Namun, saya tidak menyesal membeli dan membaca buku ini. Dengan caranya yang tak saya pahami novel ini memberikan ruang untuk berkontemplasi. Bila ketemu dengan pembaca yang tepat saya yakin novel ini mampu memberikan impact yang lebih kuat lagi.

Pebatuan, 14 September 2020
@agnes_bemoe

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: Menjajal Novel Grafis: 1 - 0 buat Novel Grafis

September 14, 2020 0 Comments

 Judul: Walking

Novel Grafis

Karya: Zuo Ma
Diterbitkan di Indonesia oleh Rotasi Books 




Ini buku pertama dari dua buku Zuo Ma yang saya baca (yang lainnya adalah 'Bus Malam"). Buku ini berisi sepuluh cerita pendek dengan tema besar (kalau bisa dibilang begitu) pandangan dan keresahan si tokoh tentang desanya, modernisasi, dan sisa keluarganya di desa itu.

Jujur, saya kesulitan memahami ceritanya. Tentu saja bukan karena penceritaannya atau ilustrasinya. Lebih karena saya tidak familiar dengan format novel grafis.

Huruf yang kecil-kecil di beberapa tempat (tidak banyak sih) cukup menyulitkan buat mata tua saya. Dan, beberapa bagian penerjemahan memaksa saya berpikir keras menemukan konteks ceritanya. Sungguh saya ingin tahu bagaimana cerita ini dituliskan di bahasa aslinya. Bila benar seperti yang dituliskan di blurbnya "manis dan puitis", saya kok kesulitan menemukan hal itu.

Satu-satunya cerita yang mengasyikkan buat saya (saya anggap mudah dipahami) malah yang wordless, yang pengarangnya malah mengaku paling sulit membuatnya dan menyebabkan dia sangat tertekan.

Namun demikian, saya yakin ini adalah novel yang sangat tepat bagi pembaca yang tepat. Biarpun tidak bisa menikmati sepenuhnya, saya tetap merekomendasikan buku ini. Buat saya sendiri, saya tidak kapok membaca novel grafis karya Zuo Ma. Saya tetap terbuka buat judul-judul yang lain. Mudah-mudahan semakin banyak saya membaca, semakin mudah saya memahaminya.

Pebatuan, 12 September 2020
@agnes_bemoe