Follow Us @agnes_bemoe

Thursday 21 October 2010

Classroom Today: Menerapkan "Peer Teaching" di Ruang Kelas

October 21, 2010 0 Comments

Setahun yang lalu, ketika masih menjadi guru, saya mencoba menerapkan model belajar “Peer Teaching”. Dalam beberapa buku teks model belajar seperti ini disebut juga “Cooperatif Script”, yang langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Bentuk kelompok beranggotakan 5-6 siswa (kemampuan siswa heterogen)
2. Beri tugas/permasalahan dalam kelompok untuk dipecahkan secara bersama (siswa bekerja dalam kelompok, saling bantu membantu)
3. Beri tes/kuis
4. Beri penghargaan per kelompok
(Adi Wijaya)

Ketika itu saya mengajar di kelas 9 H, dengan jumlah siswa 40 orang. Catatan, siswa kelas 9 H adalah anak-anak yang baik, namun, seperti kebanyakan anak kelas 9 lainnya mereka sulit diam. Namun, saya berani mencoba menerapkan teknik ini karena saya melihat kemauan belajar mereka dari balik perilakunya yang “ribut” dan “tidak bisa diam” itu.

Berikut ini yang saya terapkan di kelas 9 H SMP Santa Maria Pekanbaru T.P. 2009/2010.
Langkah pertama: Saya membagi kelas menjadi 10 kelompok dengan anggota yang heterogen. Saya memilih ketua kelompok. Pertimbangan pertama dalam memilih ketua kelompok adalah anak yang menonjol dalam pelajaran Bahasa Inggris. Pertimbangan selanjutnya adalah anak tersebut cukup punya potensi memimpin.
Lucunya, di kelas 9 H sebetulnya banyak anak yang pandai dalam pelajaran Bahasa Inggris, namun, begitu ditunjuk menjadi ketua kelompok, mereka serta merta menolak. Alasannya macam-macam. Yang jelas, mereka (sama seperti saya pada waktu seusia mereka) merasakan beratnya tanggung jawab memimpin dan mengelola sekelompok orang. Mejadi ketua kelompok terkadang malah jadi korban; diabaikan oleh teman-temannya, dimarahi guru kalau kelompoknya tidak becus, dan lain sebagainya. Akhirnya, dengan berbagai cara (termasuk salah satunya dengan bertangan besi… hehehe…) saya meyakinkan para ketua kelompok itu untuk tetap pada tugasnya.

Di lain pihak, para anggota juga tidak kalah cerewetnya. Karena saya yang menyusun keanggotaan –berdasarkan rangking di kelas-, maka mereka tidak bisa suka-suka memilih teman (dan kemudian nanti mengabaikan belajarnya). Ada yang tidak mau bila mendapatkan ketua Si A, dengan alasan anaknya kejam, egois, blah blah blah… Ada yang tidak mau dengan Si B karena kebetulan sedang bermasalah. Lagi-lagi, saya menerapkan tangan besi saya (suer, istilah “tangan besi” ini lebih banyak kidding-nya dari pada seriusnya….).

Berikutnya, bagian dari langkah pertama yang saya rasa paling penting: aturan main. Saya menerapkan beberapa aturan main lengkap dengan konsekuensinya. Aturan main ini saya sesuaikan dengan kondisi kelas saat itu. Karena anak 9 H pada umumnya bermasalah pada kondusivitas belajar, maka itulah yang saya jadikan point utama. Saya membuat “rapor” di white board, isinya pantauan terhadap kelompok yang tidak kondusif dalam belajar. Namun, dalam prakteknya, saya mengalami bahwa anak-anak 9 H aktif dalam kondisi belajar seperti itu, sehingga “rapor” saya nyaris tidak digunakan. Saya menjelaskan bahwa mereka nanti akan belajar bersama teman-temannya, dan akan diuji. Saya memerincikan apa yang kira-kira akan dibuat dalam kegiatan tersebut.

Langkah kedua: saya memberi tutorial pada para ketua kelompok tentang materi “If-Clause”. Tentu saja dengan kondisi belajar mengajar di Indonesia yang super ketat dan super padat saya harus mencari waktu ekstra untuk itu. Saat itu saya menggunakan waktu saat teman-teman mereka harus mengikuti tes remedi.
Karena kelompok itu adalah kelompok yang cepat menguasai Bahasa Inggris maka tidak terlalu sulit untuk membuat mereka memahami materi. Yang saya tekankan adalah mereka harus membuat teman-teman mereka mampu memahami materi dasar tentang If- Clause itu. Saya sampaikan bahwa dari pemahaman teman-temannya itulah mereka akan dinilai. Hmm… memang berat ya, untuk anak SMP. Tapi, yang saya pahami dari teknik belajar peer teaching ini adalah falsafah berikut ini: dengan mengajar, kita belajar dua kali. Makanya, sebenarnya mendapat manfaat yang lebih daripada teman-temannya.

Langkah ketiga: Para ketua kelompok itu masuk ke dalam kelompok, dan mulai menjadi guru bagi teman-teman sekelompoknya (makanya namanya peer–teaching). Saya sendiri berkeliling untuk mengawasi (dan terus terang, mengambil foto-foto, hehehe….).
Saya ingat, saya sendiri takjub dengan apa yang saya lihat di kelompok-kelompok itu. “Guru-guru kecil” itu saya ingat serius sekali dalam mengajar, lengkap dengan teman-teman mereka yang tidak kalah seriusnya. Ada juga ketua kelompok yang “kejam”, teman-temannya ditanyainya satu per satu sampai hapal (tentang pattern If-Clause). Ada juga ketua kelompok yang telateeeeen sekali menjelaskan sampai hal yang sekecil-kecilnya.

“Para murid” juga tidak kalah menakjubkannya. Tidak ada lagi anak yang ngobrol sendiri. Sebaliknya, mereka memperhatikan dengan tekun, bahkan ada juga yang bertanya! Hhmm… kalau yang menerangkan gurunya, jangankan bertanya, mendengarkan saja pun belum tentu!
Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan mengenai cara belajar itu, tapi yang jelas saya malah merasa sangat surprised dengan apa yang ada di depan saya. Kelas memang buzzing, tapi, itu karena para “guru” dan “murid” yang saling berdiskusi.

Langkah ke empat: di langkah ke empat ini pada dasarnya saya melakukan evaluasi. Evaluasinya bukan tes tertulis, tetapi berupa Cerdas Cermat antar kelompok. Pembuat soal adalah saya. Soal saya sesuaikan dengan materi dasar yang saya tetapkan pada para ketua kelompok untuk mengajarkannya pada teman-temannya. Para ketua kelompok sekarang harus keluar dari kelompok. Mereka menjadi juri dan penentu nilai. Sementara itu, teman-temannya satu kelompoklah yang harus menjawab.

Oh ya, perlu saya jelaskan bahwa saya sudah membedakan tiap-tiap anggota kelompok menurut rangking; jadi, kelompok A ada anak 20 besar (sebut saja “nomor 1”), ada anak 30 besar (“nomor 2”), dan 40 besar (“nomor 3”). Jadi, prinsipnya kelompok itu adalah kelompok heterogen. Saya juga sudah menyiapkan soal dengan tingkat kesulitan yang bertahap; mudah – sedang – sukar.

Jadi, beginilah kira-kira pelaksanaannya: saya menyebutkan bahwa soal nomor 1 ini untuk anak nomor 3 (dari tiap-tiap kelompok). Saya menayangkan soal di proyektor, semua anak nomor 3 (hanya anak-anak nomor 3 saja) yang merasa bisa silahkan maju, menuliskan jawabannya di selembar kertas kecil, menyerahkannya pada para juri. Tentu saja ada batasan waktunya. Selanjutnya juri menilai apakah jawaban temannya benar atau salah, kemudian memberi sekor. Di monitor saya sendiri juga sudah menyiapkan jawabannya. Tapi saya lebih senang menyerahkan pada para juri untuk memutuskan.
Memang mungkin ada kekawatiran para juri tidak jujur. Di kelas 9 H, syukurlah para juri adalah anak-anak yang kompetitif namun punya integritas, sehingga saya tidak menemukan masalah itu. Mereka dengan sportif mengatakan bahwa teman mereka salah dan tidak mendapat nilai. Namun, bila dirasa perlu, mungkin bisa juga mengacak para juri, sehingga mereka tidak bisa menguntungkan kelompoknya atau merugikan kelompok tertentu.

Setelah selesai, tentu semua nilai dihitung, dan dicari juara I, II, dan III. Yang membuat saya terkejut adalah, pemegang juara I adalah kelompok yang ketuanya sejak awal protes karena dirinya ditunjuk sebagai ketua. Si cerewet ini merasa tidak pede menjadi ketua. Dan sebaliknya, teman-temannya juga sedari awal menolak dia dipilih menjadi ketua, karena sifatnya yang “kejam”. Ternyata simbiose yang aneh ini malah membawa kelompok ini menjadi Juara I! Saya tidak tahu persis proses kimiawi apa yang berlangsung selama mereka belajar bersama, yang jelas mereka sama-sama merasa bangga; baik ketua kelompok maupun anggota-anggotanya.

Seingat saya runner-up nya pun dipegang oleh kelompok yang ketuanya agak nyleneh. Paling suka ribut kalau belajar konvensional. Belajar dengan cara ini mungkin menumbuhkan rasa tanggung jawabnya.

Teknik Cerdas-Cermat yang saya pilih nampaknya membuat anak-anak lebih bersemangat. Tidak ada lagi anak yang itu-itu saja yang menjawab, sementara teman yang lainnya “bersembunyi”. Semua tertantang untuk menjawab. Dan, yang saya perhatikan adalah ada anak yang biasanya kurang menonjol, sekarang menjadi bersemangat untuk maju, menjawab pertanyaan, dan jawabannya benar!

Sebagai guru saya merasa sangat excited melihat hasil yang tidak terduga semacam ini! Dibandingkan dengan sekor nilai yang mereka dapat, saya malah jauh lebih bangga dan bahagia dengan hasil kualitatif seperti yang saya lihat di atas; anak bersemangat untuk belajar.

PENUTUP
Ketika itu yang saya rasakan sebagai guru dalam mengajar dengan teknik “Peer Teaching” ini adalah saya malah tidak lelah secara emosional. Saya memang “kelelahan” menyiapkan bahan, kemudian mempersiapkan kelompok inti, dan bahkan kemudian membuat pengajaran ulang, tapi itu malah membuat saya excited.
Saya terbantu dalam mengajarkan teknik ini terutama karena anak-anak yang saya ajar sebetulnya SUKA BELAJAR. Hanya saja selama ini mereka jenuh dengan suasana belajar. Teknik ini merupakan salah satu yang bisa mengusir kejenuhan anak dalam belajar.
Saya tidak sempat menjaring pendapat para siswa tentang kegiatan belajar mengajar yang mereka jalani, namun, saya merasakan atmosfer yang lain pada saat saya menerapkan teknik ini. Saya merasakan adanya semangat, saya merasakan adanya keinginan untuk berkompetisi, saya merasakan kepuasan dan kebanggaan. Hal-hal seperti ini agak jarang saya dapati (secara lebih klasikal) kalau saya mengajar dengan cara konvensional.

Model belajar seperti ini jelas membutuhkan waktu yang banyak. Kondisi belajar mengajar di sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya adalah materi yang membludak dengan waktu yang sedikit (apalagi di kelas 9). Namun waktu itu saya mengambil resiko itu. Saya pikir, tanpa ini juga toh waktu sudah kurang, jadi apa bedanya. Dan ternyata, hasilnya sepadan. Model belajar seperti ini juga membantu membuka paradigma anak, bahwa belajar tidak harus melulu membuka buku dan membaca dengan diam. Belajar juga tidak harus mendengar ceramah dari guru. Dengan model belajar yang sepertinya “rame” ini tanpa disadari mereka menyerap suatu ilmu, dan itu berarti mereka telah belajar sesuatu.

Bagi saya sebagai guru (waktu itu) teknik mengajar seperti ini membuat setiap detik dalam waktu saya di dalam kelas menjadi lebih berharga.(db)

Pekanbaru. 19 Oktober 2010
Agnes Bemoe

Uskup Padang: "Jangan Jadi Virus!"

October 21, 2010 0 Comments
Penulis: Christina Widyarianti, S.S.

Demikian himbauan Uskup Padang Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFMCap. kepada segenap yang hadir di Misa Syukur pemberkatan gedung baru SMA Santa Maria Pekanbaru bertempat di lapangan sekolah, Rabu pekan silam. Himbauan ini disampaikan melalui kotbahnya dalam misa yang dihadiri oleh kurang lebih 700 hadirin yang terdiri dari Pembina, Pengawas dan Pengurus Yayasan Prayoga Riau (YPR); pendidik dan tenaga kependidikan sekolah-sekolah Santa Maria di Pekanbaru; serta para siswa SMA Santa Maria.

Mendasarkan kotbahnya pada bacaan yang diambil dari Injil Matius 7:24-27 Uskup Padang yang sekaligus Ketua Dewan Pembina YPR ini menegaskan bahwa orang katolik hendaknya berlaku bijaksana, seperti orang yang membangun di atas wadas dan bukannya di atas pasir. Orang yang membangun rumahnya di atas pasir adalah orang yang hanya gegap gempita di atas kemilaunya dunia. Orang-orang seperti ini tidak membangun rumahnya berdasarkan perutusan, kasih, dan ketaatan pada Tuhan.

Masih dalam kotbahnya, Bapa Uskup yang juga Ketua KWI ini menekankan pentingnya menjauhi sifat manipulatif, yakni sifat bermegah diri karena hasil kerja atau keberhasilan orang lain. Jangan melakukan sesuatu untuk menyombongkan diri serta memperkaya diri sendiri.
“Kalau kita bersikap seperti itu, maka kita adalah virus-virus di masyarakat yang akan merusak tatanan kehidupan,” tegas Bapa Uskup.
Selain meminta kepada yang hadir untuk tidak menjadi virus, Bapa Uskup juga secara jelas menekankan perlunya sikap peduli apabila ada virus-virus di sekitar mereka.
“Kita harus bertindak sebagai pemain yang selalu peka terhadap lingkungan kita, sehingga virus-virus tersebut tidak semakin merebak ke mana-mana. Janganlah kita mau hanya sebagai onderdil alias pelengkap dalam kehidupan ini. Tuhan mengharapkan kita memegang peranan inti dalam kehidupa demi kemuliaan Tuhan.” demikian Bapa Uskup.

Kepada para pendidik Bapa Uskup mengingatkan untuk mendidik anak-anak mejadi anak-anak yang bukan saja cerdas secara intelektual, tetapi lebih-lebih menjadi manusia yang dapat memberi arti kepada hidup dan imannya. Mendidik manusia yang tidak egois dengan ilmu dan kemampuan serta hartanya; mendidik manusia yang tidak hampa moralitasnya, hampa keadilan, dan hampa kasih. Selain itu, pendidik hendaknya menjauhkan anak didik mereka dari kesombongan, sikap manipulatif dan kemunafikan.
Di lain pihak, para pendidik adalah keluarga yang harus saling mengajar, menghargai, dan menegur, supaya lahan yang digarap dapat tumbuh dengan subur dan makmur, dan bukannya gugur dan hancur.

“Tugas sebagai pendidik bukanlah tugas yang diberikan oleh yayasan, melainkan Tuhan sendiri mempercayakan tugas-tugas tersebut kepada kita, sehingga bukan pada tempatnya kalau kita ingin mencari keuntungan pribadi ataupun kelompok tertentu.” tegas Bapa Uskup.

Di akhir homilinya Bapa Uskup menghimbau kepada pengurus yayasan, pendidik dan tenaga kependidikan agar dapat membangun karya di atas wadas dan hidup di atas keringat sendiri. Dengan itu, Tuhan pasti akan selalu memberi berkat dan rahmat, bantuan, dan anugerahNya.

Misa yang diadakan persis sehari setelah perayaan Kemerdekaan RI ini sendiri berlangsung dengan meriah namun tertib. Misa tidak hanya diramaikan dengan orgen dan panduan suara, namun juga dengan band yang dibawakan oleh siswa-siswa SMA Santa Maria Pekanbaru. Sebelum misa dimulai Bapa Uskup disambut dengan tari-tarian Melayu, Minang, dan Batak Toba oleh sejumlah penari yang adalah siswa-siswi SMA Santa Maria Pekanbaru. Beliau kemudian memimpin misa dengan didampingi oleh P. Antonius Konseng, Pr., M. Sc., P. Emilius Sakoikoi, Pr., dan P. Immanuel Nardelo, S.X. sebagai konselebran.

Misa Syukur kemudian dilanjutkan dengan acara penandatanganan prasasti oleh Bapa Uskup. Prasasti tersebut menandakan telah resmi digunakannya bangunan baru bagi SMA Santa Maria. Bangunan ini sendiri sebenarnya adalah tambahan bagi bangunan yang sudah ada. Bangunan baru ini adalah bangunan tiga lantai yang digunakan sebagai ruang kelas, laboratorium, perpustakaan , dan ruang majelis guru. Dalam dua tahun terakhir ini SMA Santa Maria memang mengalami peningkatan pesat dalam jumlah murid. Tidak heran kalau sekolah ini membutuhkan tambahan gedung. Berbanding dengan dua-tiga tahun lalu tercatat ada kenaikan jumlah murid sebanyak 30%. Kini sekolah ini mengasuh sekitar … siswa dengan 51 pendidik dan tenaga kependidikan.

Dalam kesempatan itu H. Sihombing, S. E., Kepala SMA Santa Maria Pekanbaru menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Pembina, Pengawas, dan Pengurus Yayasan Prayoga Riau yang memperhatikan kebutuhan sarana pendidikan di SMA Santa Maria Pekanbaru. Menurut kepala sekolah yang banyak membawa perubahan positif bagi SMA Santa Maria ini, penambahan gedung ini memberi motivasi baru bagi peserta didik dan para pendidik.

Bagi segenap pendidik dan tenaga kependidikan SMA Santa Maria sendiri, tambahan gedung baru ini merupakan apresiasi atas prestasi-prestasi yang diperoleh belakangan ini. Tidak hanya pertambahan jumlah murid yang merupakan indikator naiknya tingkat kepercayaan masyarakat, namun beberapa prestasi lainnya juga cukup membanggakan, misalnya dalam hal kelulusan. Sudah dua tahun terakhir ini sekolah yang baru-baru ini menyabet gelar Honorable Mansion dalam Olimpiade Sains bidang Fisika Tingkat Asia ini mencatat kelulusan 100% bagi para siswanya. Akreditasi sekolah juga meningkat, dari predikat B mejadi predikat A. Ini belum lagi prestasi-prestasi yang diperoleh siswa baik dalam bidang akademik dan non akademik seperti Juara Umum dua kali berturut-turut dalam Lomba Akuntansi tingkat Propinsi Riau, Juara I DBL 2009 tingkat Propinsi Riau untuk tim putri dan Juara I DBL 2008 tingkat Propinsi Riau untuk tim putra, serta Juara III Tingkat Nasional OSN Bidang Komputer.


Pekanbaru, 21 Agustus 2010
Christina Widyarianti, S. S.
Guru Bahasa Inggris SMA Santa Maria Pekanbaru


Tulisan ini dimuat di Majalah HIDUP, Edisi September 2010 dan Majalah EDUCARE, Edisi Oktober 2010

Sunday 17 October 2010

KEPEMIMPINAN YANG UPTODATE

October 17, 2010 2 Comments
KEPEMIMPINAN SEKOLAH SELAMA INI

Dengan segala hormat terhadap beberapa sekolah yang telah berupaya keras dalam mengembangkan institusinya, harus diakui dengan besar hati, bahwa beberapa sekolah lainnya masih lambat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan terkini, baik dalam hal kepemimpinan, manajemen, ataupun dalam hal isu-isu kependidikan sendiri, yang seharusnya menjadi keahlian sebuah institusi pendidikan.

Pada saat dunia dan institusi-institusi lainnya telah berkembang dan matang dengan suatu perkembangan baru, masih ada saja sekolah yang baru tahu atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang isu tersebut. Contohnya dalam hal manajemen dan kepemimpinan. Masih banyak sekolah yang menerapkan pola kepemimpinan/manajemen lama, seperti terpusatnya kepemimpinan pada sosok kepala sekolah. Tidak ada pengorganisasian, tidak ada pendelegasian, tidak ada diskusi untuk membicarakan sesuatu. Kepala sekolah mengatur semua urusan, dari hulu ke hilir. Dan yang lebih memprihatinkan, masih ada saja sekolah yang dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki visi tentang kependidikan.

Pada beberapa sekolah, terjadi bahwa penunjukkan kepala sekolah dilakukan oleh institusi di atasnya, misalnya yayasan. Beberapa pertimbangan pragmatis, seperti pengamanan kepentingan orang-orang di dalam yayasan menjadi pertimbangan penunjukkan kepala sekolah. Dampaknya, tujuan utama yakni pendidikan seringkali diturunkan prioritasnya di bawah tujuan mengamankan kepentingan seseorang ataupun sekelompok orang. Untuk kepentingan sesaat dan sangat pragmatis itu, tidak jarang ditunjuk orang-orang yang tidak punya visi kependidikan.

Dengan tidak dimilikinya visi kependidikan ini, orientasi pengembangan sekolah tidaklah diletakkan pada esensi pendidikan, melainkan lebih ke kosmetika-kosmetika pendidikan. Kepala sekolah lebih getol membentuk kelompok-kelompok ilmiah, untuk persiapan olimpiade ini itu, ketimbang menyediakan sarana, waktu dan perhatian untuk kegiatan-kegiatan yang bisa membina lebih banyak anak, misalnya olah raga atau seni. Kepala sekolah juga lebih suka membangun taman, misalnya, daripada membeli buku untuk kekayaan perpustakaan. Membangun taman diangap lebih memberikan daya jual bagi sekolah daripada membeli buku yang malah dianggap pemborosan.

Karena kurangnya visi kependidikan ini jugalah, yang kemudian membuat cara pandang terhadap guru dan murid menjadi jauh berbeda. Guru bukanlah dijadikan aset sekolah, sebagai ujung tombak untuk tercapainya tujuan pendidikan. Guru diturunkan derajatnya hanya menjadi pekerja-pekerja di sekolah itu. Sebagai pekerja, guru dianggap sudah diberi gaji, oleh karenanya guru harus bekerja sesuai dengan tuntutan kepala sekolah. Guru, dalam kacamata seorang kepala sekolah yang tidak punya visi, tidak lebih adalah orang bayaran.

Tidak jarang, kita temukan, kepala-kepala sekolah yang enggan mengirimkan gurunya untuk pelatihan, karena pelatihan-pelatihan semacam itu dianggap hanya menghabiskan biaya. Kalaupun guru mau ikut pelatihan tersebut, guru harus menggunakan biaya pribadi.

Karena menganggap guru adalah orang bayaran, kepala sekolah tidak segan-segan mendamprat, mencaci, bahkan menghina guru yang dianggapnya tidak bekerja sesuai dengan perintahnya. Tidak jarang, perbuatan-perbuatan yang jauh dari pantas ini dilakukan di depan orang lain, entah guru lain, orang tua murid, atau bahkan anak murid sendiri, yang mana lebih menambah luka hati seorang guru. Ini karena kepala sekolah yakin para guru itu derajatnya jauh di bawahnya. Dan karena kepala sekolah merasa diri sebagai penguasa yang berhak melakukan apa saja terhadap para bawahannya.

Kepala-kepala sekolah yang tidak memiliki visi kependidikan cenderung bekerja untuk kepentingan pribadi/prestise pribadi daripada kebaikan sekolah/yayasan. Yang terpenting bagi kepala sekolah seperti ini adalah apakah kepentingannya sudah terpenuhi, tidak perduli apakah kepentingan itu bermanfaat untuk pendidikan di sekolah atau tidak. Ini persis seperti yang diungkapkan oleh Ken Blanchard dan Phil Hodges dalam buku mereka “Lead Like Jesus”, yakni “Hati yang didorong oleh kepentingan sendiri melihat dunia dengan membawa keyakinan “memberi sedikit, mengambil banyak”. Orang dengan hati yang didorong oleh kepentingan diri sendiri menempatkan agenda, keamanan, status dan kepuasan diri sendiri lebih tinggi dari pada urusan oran yang terkena akibat dari pikiran dan tindakan mereka.” (Lead Like Jesus, P. 51)

Mereka juga biasanya tidak punya inisiatif. Inisiatif lebih sering datang dari otorita yang lebih atas lagi. Kepala sekolah seperti ini sebenarnya tidak lebih pekerja bagi otorita yang lebih di atasnya, walaupun kemudian berlagak sebagai penguasa tunggal di sekolahnya. Kepala sekolah tidak berani mengambil resiko atas inisiatif yang diambilnya, oleh karenanya lebih baik tidak berinisiatif. Bila muncul tantangan atas inisiatif itu, dengan mudahnya kepala sekolah dapat mengatakan bahwa itu sudah menjadi keputusan yayasan/ataupun otoritas lain di atasnya.

Hakekat kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Namun pada kepala sekolah yang tidak memiliki keutamaan ini, kesempatan sebagai kepala sekolah dianggap sebagai sebuah legitimasi untuk menguasai orang-orang di bawahnya. Kepala sekolah dianggap sebagai penguasaan. Implikasinya unsur mengontrol sangat kuat, lebih kuat daripada unsur membina. Seorang pemimpin sejati memandang kekurangan bawahannya sebagai bagian dari kekuarangannya sendiri, dan secara bijaksana mengajak bawahannya untuk memperbaiki diri. Seorang pemimpin sejati memiliki kewibawaan untuk melakukan itu. Tetapi kepala sekolah yang berlaku sebagai penguasa lebih senang berlaku sebagai polisi: getol mencari/mencatat sampai sedetil-detilnya kesalahan/kekurangan bawahan. Lebih senang mendapati anak buahnya dalam keadaan bersalah, lebih puas kalau bisa menangkap basah, daripada berupaya menciptakan atmosfer yang kondusif bagi anak buahnya untuk bekerja. Tidak jarang, kepala sekolah seperti ini tega memasang beberapa guru sebagai “telik sandi” untuk mengawasi sesama rekannya, dan menerima informasi-informasi dari “mata-matanya” ini. Kepala sekolah tidak peduli, bahwa hal itu menimbulkan perpecahan dan ketidakpercayaan di antara sesama rekan kerja. Yang terpenting bagi kepala sekolah seperti ini adalah ia bisa mengontrol bawahanya, dia tidak perduli pada rusaknya atmosfer kerja yang kondusif.

Kepala sekolah seperti ini juga tidak memiliki dan tidak peduli pada ketrampilan-ketrampilan manajerial, tidak punya kemampuan mendelegasi, karena mereka tidak percaya anak buahnya bisa melaksanakan kerjanya. Setiap langkah anak buahnya akan dipantaunya, untuk memastikan apakah perintahnya telah dijalankan. Parahnya lagi, kepala sekolah seperti ini hanya bisa menyuruh, dan memberi tuntutan bahwa suruhannya terlaksana dengan baik. Jarang sekali mereka sendiri bisa melakukannya dengan baik atau bahkan lebih baik. Sama juga jarangnya dengan mereka tampil sebagai orang yang bisa diajak berdiskusi untuk membicarakan sesuatu. Mereka takut kewibawaan mereka berkurang kalau mengajak diskusi para stafnya.

Mereka sangat peka terhadap wilayah kekuasaannya. Mereka ketakutan kekuasaannya berkurang kalau mereka mendelegasikan pekerjaan kepada para stafnya. Dalam pandangan mereka, kekuasaan harus mutlak di tangan mereka. Semua keputusan, sampai pada hal-hal teknis yang sangat remeh temeh pun harus keluar dari mulut mereka. Tidak segan keluar dari mulut mereka: “Saya kepala sekolah di sini, bukan Pak A atau Bu B. Sayalah yang mengambil keputusan.”

Mereka suka menjilat ke atas dan menekan ke bawah. Memberi gambaran begitu bagusnya kepada atasannya untuk menyenangkan hati atasan, dan untuk mempertahankan posisi. Padahal di saat yang sama menginjak dan menindas orang-orang yang dianggap bawahannya. Atasan yang cerdas biasanya tidak mudah dikelabuhi seperti ini. Namun demikian, tidak jarang, bahwa atasan kepala sekolah terdiri dari orang-orang yang lebih suka dijilat, dan menerima lapora ABS, daripada mengecek langsung ke lapangan.

Dalam hal keuangan, sekolah dijalankan seperti menjalankan toko, orientasi pada jumlah uang yang masuk, semua pengeluaran yang tidak langsung menghasilkan laba, akan dianggap sebagai expense. Tidak jarang kita temukan kenyataan bahwa kegiatan bina iman, rekoleksi, atau retret di sekolah katolik, malah dianggap menghabiskan dan menghambur-hamburkan biaya. Sama juga nasibnya dengan kegiatan pembinaan guru, ataupun pembelian buku-buku pustaka.

TANTANGAN KEPEMIMPINAN KINI

Pola kepemimpinan seperti yag disebutkan di atas sudah tidak cocok lagi jaman sekarang ini. Ini karena ada beberapa perkembangan dalam dunia pendidikan yang membutuhkan reaksi yang tepat dan cerdas dari pala pelaku pendidikan.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa memimpin sebuah institusi pendidikan katolik membutuhkan tanggung jawab lebih. Ini karena diyakini bahwa institusi pendidikan ini adalah juga perpanjangan tangan Tuhan untuk menyampaikan kabar baikNya kepada umat manusia. Kalimat ini tidak boleh berhenti sebagai jargon saja, tetapi harus dihayati oleh setiap pemimpin. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh gereja makro harus juga dihayati sebagai tantangan bagi institusi pendidikan katolik.

Selain itu, akhir-akhir ini kita juga diingatkan, secara khusus oleh Steven R. Covey dalam bukunya “The 8th Habit” bahwa dunia tanpa kita sadari mempunyai kecenderungan untuk berubah. Zaman manusia dengan para pekerja pengetahuannya sudah mulai ditinggalkan. Di masa mendatang, manusia-manusia yang bijaksanalah yang survive. Kita sedang memasuki abad kebijaksanaan. Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnyalah menjadi yang pertama dalam menyadari hal ini. Kepala sekolah sebagai pimpinannya seharusnya menjadi motor penggeraknya.

Di Indonesia sendiri, dunia pendidikan baru-baru ini disentakkan dengan disahkan UU BHP. Terlepas dari kontroversinya, mau tidak mau UU yang sudah disahkan ini harus dijalankan. Ini merupakan sebuah tantangan yang tidak ringan bagi institusi pendidikan.

KEPEMIMPINAN YANG SESUAI

Supaya tidak lagi menjadi institusi yang selalu ketinggalan dalam menghadapi isu-isu dan perubahan-perubahan terkini, maka sekolah membutuhkan kepala sekolah yang benar-benar memiliki visi kependidikan. Kepala sekolah yang memahami benar tentang pendididkan, memiliki gambaran yang benar untuk mengarahkan dan mengelola sekolahnya sehingga benar-bebar menjadi tempat pendidikan. Kepala sekolah yang mencurahkan seluruh energinya untuk mewujudkan gambaran tersebut.

Dalam institusi pendidikan katolik, referensi kepemimpinan seharusnyalah pada Sang Teladan Utama, Yesus. Dalam “Lead like Jesus” Ken Blanchard dan Phil Hodges kembali menegaskan bahwa pemimpin yang baik adalah yang melayani dan bukan minta dilayani. Kalimat ini sudah sering kali kita baca melalui Kita Suci. Namun, tidak dapat dipungkiri, relevansinya masih tak tertandingi. Pemimpin yang melayani diri sendiri bereaksi terhadap segala hal yang terjadi pada mereka. Jika Anda berkata sesuatu kepada mereka atau melakukan sesuatu yang menyinggung kesombongan atau ketakutan mereka, mereka memberikan reaksi. Mereka tidak banyak berpikir tentang atau mempertimbangkan kepentingan terbaik dari orang lain atau hubungan mereka. Mereka melihat sesuatu dari posisi mereka sendiri dan kadang-kadang membayangkan diri mereka pada posisi orang lain. Orang yang sombong atau penuh rasa takut cepat melakukan penlaian, cepat melakukan serangan, dan cepat menarik tanggung jawab atas kesalahan dan lamban memuji. Pemimpin sebagai pelayan, sebaliknya, merespons terhadap segala sesuatu yang terjadi terhadap mereka. Sebelum bertindak, mereka selalu mengambil langkah mundur, bahkan satu atau dua langakah, dari emosi sesaat dan menerapkan nilai tertentu untuk mengecek situasi yang tidak sesuai dengan keingan untuk melayani kepentingan umum. Mereka cepat mendengarkan, lamban menilai, lamban marah, dan cepat berbalik memuji orang lain.

Ken Blanchard juga mengingatkan bahwa keutamaan pemimpin ada dalam kematangan karakter personalnya. Sama seperti Yesus yang memulai karyanya dengan menempa dirinya sendiri, sebelum memilih murid-muridnya. Dengan itu, seorang pemimpin diharapkan bisa menjadi pemimpin yang personal transformasional (p. 26). Selanjutnya, Ken Blanchard dan Phil Hodges mengusulkan empat hal yang harus dikembangkan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, yakni memimpin dengan hati, kepala, tangan, dan kebiasaan (P.40)

Selain itu buku “The 8th Habit” yang ditulis oleh Steven R. Covey, mengingatkan bahwa ada perubahan yang mau tidak mau harus diakui sedang terjadi. Yakni perubahan menuju abad kebijaksanaan. Seorang pemimpin menurut Covey, tidak harus seseorang yang menjadi atasan di suatu institusi. Siapa saja dalam dalam institusi itu bisa mengembangkan kemampuan kepemimpinannya. Semua orang diajak untuk menemukan suara hatinya sebagai sebuah anugerah dan kemudian mengilhami orang lain untuk menemukan suara hati mereka. Inilah yang menurut Covey, tantangan paling berat bagi seorang pemimpin.

Dan, tantangan terbaru yang harus dihadapi oleh institusi-institusi pendidikan di Indoensia adalah dengan terbitnya UU BHP. UU ini secara drastis telah merubah konfigurasi pengelolaan/kepemimpinan di yayasan dan kemudian sekolah. Dengan adanya UU ini, kepala sekolah harus benar-benar menjadi institusi yang otonom dan mandiri. Bila sebelumnya, kepala sekolah hanya menjadi pelaksana dari kebijakan dan keputusan yayasan, maka kini, kepala sekolah harus mengambil alih semua pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh yayasan. Sekolah-sekolah yang telah membiasakan diri dengan atmosfer yang efektif yang diciptakan bersama antara pimpinan dan seluruh karyawannya tidak akan terlalu kesulitan menghadapinya.

PENUTUP
Perkembangan dalam dunia pendidikan berlangsung begitu cepat, sejalan juga dengan perkembangan yang terjadi pada dunia pada umumnya. Penyintas bagi perubahan-perubahan ini adalah mereka-mereka yang mampu beradaptasi secara cerdas, bukan hanya untuk kepentingan sesaat, tetapi untuk suatu kepentingan yang jauh lebih panjang. Bahkan untuk kepentingan terlaksananya karya Allah di tengah dunia.

Sosok strategis dalam menyikapi perubahan-perubahan ini adalah kepala sekolah. Oleh karenanya, sudah saatnya kepala sekolah dikondisikan menjadi motor penggerak, untuk mencapai visi dan misi pendidikan di sekolah. Sudah saatnya kepala sekolah menjadi orang yang paling up-to-date di institusinya. (db)

Pekanbaru, 25 Mei 2009
Agnes Bemoe

Dimuat di Majalah EDUCARE Edisi Oktober 2009

Saya unggah lagi pada hari ini: 18 Oktober 2010 untuk memperingati kembali peristiwa yang saya alami sebagai guru yang suka menulis: dilarang menulis tulisan "yang semacam ini". Tulisan ini dituduh provokatif dan tidak etis.
Sampai saat ini saya tetap menulis walaupun saya sudah tidak menjadi guru lagi. Dan secara khusus, tulisan ini akan tetap saya unggah, karena saya tidak bermaksud memprovokasi dan saya tidak melihat ada yang tidak etis dalam tulisan saya. (Agnes Bemoe)