Follow Us @agnes_bemoe

Monday 18 December 2017

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: Menyusur Chairil

December 18, 2017 0 Comments
Judul Buku: Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta
Penulis: Sergius Sutanto
Penyunting: Esti Ayu Budihabsari
Penerbit: Qanita, Cetakan I, Oktober 2017
Genre: Fiksi Biografi



Seperti yang disampaikan di lembar awal, buku ini adalah novelisasi kehidupan penyair besar Indonesia, Chairil Anwar. Novel 432 halaman ini memuat kisah hidup Ninik, panggilan Chairil semasa kecil, dari kecil hingga wafatnya. Seperti yang dijanjikan di tagline-nya juga, novel ini mengulik pemberontakan bathin penyair kelahiran Medan ini. Pemberontakan bathin yang membawanya melesat sebagai penyair besar di satu pihak tapi menggerus sisi personal dan sosial si penyair di pihak lain. Pemberontakan yang menyulut ironi demi ironi dalam kehidupan tokoh sastra Angkatan 45 ini.

Secara umum, saya sudah pernah membaca sepotong-sepotong kisah hidup Chairil Anwar. Bila hanya untuk sekedar tahu, saya merasa sudah cukup tahu. Namun demikian novel ini tidak lantas jadi membosankan buat saya. Ketrampilan Sergius Sutanto menyadur potongan sejarah menjadi lembar fiksi membuat saya bertahan membacanya. Menggunakan kalimat pendek-pendek, Sergi tampil hangat dan manusiawi, tidak kaku dan dingin. Kehangatan dalam rangkaian kalimat-kalimat pendeknya itulah yang membuat novel biografi ini enak dibaca.

Biarpun setiap genre punya tingkat kesulitan tersendiri dan tidak adil bila diperbandingkan, saya rasa, saya pribadi akan menghindari menulis novel biografi karena tingkat kesulitannya yang tinggi. Penulis tidak bisa begitu saja meluahkan imajinasinya karena yang ditulis adalah tokoh riil. Akan ada ekspektasi yang tinggi terhadap keakuratan atas tokoh dan kehidupannya. Saya ingat bertahun -tahun lalu pernah membaca sebuah review atas film Frida Kahlo. Kritik paling kuat adalah ketidakmiripan karakter Frida dengan aslinya. Ini menimbulkan penolakan oleh penonton di negara asal Frida, Meksiko.

Memahami tingkat kesulitannya yang tinggi ini, saya salut, ada penulis yang mau berkutat di dalamnya. Ini jadi semacam angin segar buat dunia bacaan di Indonesia. Sergi pun menuliskannya tidak hanya (relatif) akurat, namun lancar dan indah, seperti yang saya sebutkan sebelumnya.

Bahwa ini bukan buku sejarah (non-fiksi), akan kita temukan di beberapa bagian. Sergi tidak melemparkan semua fakta sejarah dalam tulisannya. Awalnya saya kurang paham. Namun kemudian saya malah mendukungnya. Memenuhinya dengan serangkaian informasi sejarah malah potensial membuat novel ini membosankan.

Namun demikian, ada beberapa bagian yang saya rasa perlu diperdalam. Salah satunya adalah kematian Toeloes bin Manan, ayah Chairil. Untuk tokoh sepenting ayahnya -yang dikagumi sekaligus dibenci oleh Chairil- moment kematian yang cuma diangkat berdasarkan cerita Uda Husni, pedagang nasi kapau dari Bukittingi, rasanya kurang memadai. Saya membayangkan adanya ledakan emosi yang lebih kuat, mengingat ayahnya itulah pangkal kegalauan dan kelabilan Chairil.

Namun demikian, novel ini sangat asyik dibaca. Teknik flashback di prolog-nya keren, menurut saya. Dari awal, saya merasa sedang menonton film, dan bukan membaca buku. Saya kurang tahu, ini hal yang bagus atau bukan, yang jelas saya tidak keberatan.

Novel semacam ini sangat langka di Indonesia. Selain Iksaka Banu, saya tidak tahu siapa lagi yang mau bertungkus lumus di genre ini. Karenanya, saya bersemangat sekali membacanya. Saya menyarankan novel ini jadi bacaan wajib anak-anak SMA. Ini novel yang membantu anak memahami tokoh dan sejarah dengan lebih menyenangkan. Secara khusus untuk situasi Indonesia yang sedang diancam pertikaian dan perpecahan oleh ide kilafah, novel ini sangat bagus untuk mengingatkan, betapa mahalnya harga kemerdekaan (silakan baca di bagian pembantaian Rawa Gede).

Akhirnya, salut untuk Sergius Sutanto, penulisnya, sangat ditunggu buku-buku berikutnya.

***

Pebatuan, 19 Desember 2017
Agnes Bemoe

Wednesday 13 December 2017

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: Harga Sebuah Kesuksesan

December 13, 2017 0 Comments

Judul: Juniper Berry
Pengarang: M. P. Kozlowsky
Penerbit: Walden Pond Press (Imprint of Harper Collins Publishers)
Terbitan Pertama: 2012



"Kesuksesan ada harganya". Semua orang tahu hal itu. Ada yang jadi kehausan kita, ada yang kita harapkan jadi pemenuhan jati diri kita. Semua orang tahu dan mungkin diam-diam ada yang sedang berjuang di dalamnya.

Novel ini mengupas topik tersebut. Topik 'mencari kebahagiaan hakiki' dari sudut pandang seorang anak perempuan 11 tahun, Juniper Berry.

Lalu, kalau semua orang sudah tahu rumusan 'kesuksesan ada harganya', apa menariknya novel ini? Penceritaannya menarik! Kisah 'biasa' (seorang anak yang haus kasih sayang orang tuanya yang super sibuk) yang dirangkai ke dalam penceritaan yang luar biasa kreatif. Melibatkan unsur fantasi (pohon aneh dan dunia bawah tanah) dengan logika terjaga. Saya kurang tahan cerita yang terlalu menegangkan. Tapi di buku ini, saya malah tak tahan ingin membalik halaman selanjutnya biarpun membaca dengan tegang.

Yang juga saya suka dari novel ini adalah opininya untuk tidak menghakimi. Juniper tidak menghakimi orang tuanya yang gila ketenaran, tidak juga menghakimi Giles, temannya, yang lemah. Berangkat dari situlah spirit cerita ini berkembang. Dan dari keyakinan untuk tidak menghakimi itulah Juniper selangkah demi selangkah menuntaskan rencana besarnya.

Kendala buat saya menikmati novel ini adalah Bahasa Inggrisnya yang tingkat tinggi. Saya bukan pemakai Bahasa Inggris aktif sementara pilihan kata di novel ini adalah 'Thesaurus-style' (menurut ukuran saya). Namun, jujur, saya tidak patah arang membacanya. Tak mengerti setiap katanya tapi paham maksudnya, sudah cukup buat saya.

Karena kekayaan makna, penceritaan, dan bahasanya itu, kalau saya seorang pustakawan atau guru, saya akan pilih buku ini untuk dibaca dan dibahas. Alangkah indahnya kalau di usia dini anak-anak sudah dikenalkan ketrampilan menentukan prioritas hidup. Dan itu yang ditawarkan oleh buku yang ditulis oleh mantan seorang Guru Bahasa Inggris SMP ini.

***

Pebatuan, 14 Desember 2017
Agnes Bemoe

Tuesday 22 August 2017

TANDA-TANDA

August 22, 2017 0 Comments
Hari ini 30 tahun yang lalu bapak berpulang. Seminggu ini saya teringat mendiang bapak.

Saya teringat saat-saat terakhir beliau. Ada hal-hal, yang kalau saya pikir lagi, seperti jadi pertanda buat kepergiannya.



TAPE RECORDER
Saya beruntung bisa berada dekat dengan beliau secara fisik. Waktu itu saya baru lulus SMA dan sedang tidak ada kegiatan (saya diterima di PT melalui PMDK jadi saya relatif tidak repot mencari PT).

Bapak sedang menjalani masa pemulihan setelah operasi pembersihan kanker di usus besarnya (secara teknis, usus besar bapak dipotong karena sudah digerogoti kanker).

Ada hari-hari dimana bapak merasa cukup kuat dan sehat biarpun lebih banyak hari beliau hanya bisa tertidur dengan lemah.

Nah, suatu saat, ketika merasa cukup sehat, beliau mulai mengutak-atik kabel-kabel loudspeaker berikut tape-nya. P.S. itu adalah tape kesayangan beliau, sebuah JVC yang keren banget saat itu. Buat kami sih, tak ada yang salah dengan tape itu. Suaranya halus dan bersih. Tapi beliau berpendapat lain. Ada yang harus diperbaiki, katanya. Ya sudah. Tak tega juga melarang beliau.


Buat orang sehat, pekerjaan membereskan kabel-kabel loudspeaker mungkin kerja ringan belaka. Tapi buat beliau, ini seperti naik gunung. Keliahatan gerak beliau yang lamban. Tapi, kelihatan juga kerasnya keinginan beliau untuk memperbaiki tape itu. Akhirnya, loudspeaker dan tape pun "beres".

Setelahnya, bapak menghabiskan hari-harinya mendengarkan kaset. Kaset yang beliau dengarkan adalah kaset rekaman kami waktu kecil-kecil. Ya, waktu kami kecil, bapak merekam kami bernyanyi (atau menangis, hahaha!) Nah, kaset-kaset itulah yang diputarnya berulang-ulang.

Entah apa yang ada di pikiran bapak saat itu. Mungkinkah bapak kangen dengan anak-anaknya yang sedang jauh darinya (hanya saya yang di rumah saat itu). Mungkin, bapak ingin mendengar lagi anak-anaknya yang memang semua suka nyanyi.

MAKANAN
Suatu hari, saya makan Chiki di dekat bapak. Bapak berbaring di kursi. Saya merasa, bapak sedang mengamati saya. Dan, betul, ketika mengangkat kepala, bapak sedang memandangi saya makan.
"Bapak mau Chiki?" tanya saya, biarpun tahu bapak tak bisa makan apa-apa saat itu.
Bapak menggeleng. Lalu, beliau bilang: "Bapak pingin sekali makan jagung bakar sama singkong rebus."

Saya cuma terdiam. Seandainya pun bisa dibuatkan jagung bakar dan singkong rebus, bapak jelas tak bisa juga memakannya. Pencernaannya yang dihajar kanker tak memungkinkan beliau mencerna makanan.

Namun, bila saya cerna lagi sekarang, saya baru ngeh. Mungkin bapak rindu kampung halamannya. Singkong rebus dan jagung bakar/rebus adalah makanan masa kecil bapak di kampung. Bertahun-tahun merantau, bapak jarang pulang kampung. Mungkin, sesaat, beliau ingin sekali berada di kampung halamannya itu.

DAN BEBERAPA HAL LAIN
Masih ada hal-hal lain yang kalau saya ingat-ingat, jadi semacam pertanda kepergiannya. Tak saya ceritakan karena terlalu personal.

Beberapa waktu yll saya nonton acara "Medium with Tyler Henry". Ini sebuah tayangan yang menampilkan seorang medium bernama Tyler Henry. TH mampu berkomunikasi dengan yang sudah berpulang.

Saya ingat kata-kata TH, kira-kira begini: kematian itu berat bagi kita yang masih hidup tapi sebenarnya bagi yang menjalaninya, mereka merasakan kedamaian.

Benar juga rasanya kata-kata ini. Saya belum juga bisa move on dari berpulangnya bapak. Selalu saya kais cuilan memori, berharap bisa sesaat saja mengembalikan beliau. Sudah TIGA PULUH TAHUN berlalu, hal ini tak berubah. Kematian beliau, berat buat saya.

Namun demikian, dalam iman pada Tuhan Yesus dan Bunda Maria, saya percaya beliau sudah berada dalam kedamaian. Ini yang terbaik buat bapak. Dan, dalam iman yang sama, saya percaya kami akan dipertemukan. Bapak tak perlu mengutak-atik loudspeaker hanya untuk bisa mendengar suara anak-anaknya. Bapak bisa makan jagung bakar sepuas-puasnya bersama kami, anak dan istrinya. Kita pasti bertemu.

I love you, Bapak.


***

Mengenang 30 tahun meninggalnya Bapak Amathus Bemu, SH (Maumere, 4 April 1934 - 23 Agustus 1987)

Du'a

Monday 7 August 2017

Ring of Fire di Green Radio 96,7 FM Pekanbaru

August 07, 2017 0 Comments
Jumat, 4 Agustus 2017 lalu saya tampil di Green Radio 96,7 FM Pekanbaru. Saya membicarakan buku terbaru saya "Ring of Fire" di acara Eco Lifestyle.

Berikut saya sampaikan point-point pembicaraannya, khususnya yang mengenai "Ring of Fire" (ya, saya ditanyai riwayat singkat, karya lain, dan prestasi. Saya eliminir point-point tersebut di tulisan ini ya).


1. Mengenai anak dahulu dan sekarang:
Jelas ada perbedaan antara anak zaman dahulu dan sekarang. Ada perbedaan kecanggihan permainan, perbedaan kompleksitas tantangan dan rangsangan, dll. Namun demikian, adavsatu hal penting yang tidak berubah: anak tetaplah anak. Mau di zaman apapun, anak tetap punya kebutuhan dan harapan yang sama sebagai anak-anak. Anak tetap butuh main, tetap butuh bersikap kekanak-kanakan, tetap butuh bimbingan. Perkembangan zaman tidak berarti anak juga bisa tumbuh dewasa secara instan.

2. Ring of Fire (RoF)
Buku ini berisi 5 buah cerita tentang bencana alam yang disebabkan oleh posisi Indonesia yang berada di jalur cincin api (Ring of Fire). Jalur ini membentang dari Amerika Selatan, menyusuri Pasifik, lalu turun ke Jepang dan AsianTenggara, sampai ke New Zealand. Jalur ini menyebabkan negara-negara di atasnya rawan akan bencana gempa, gunung, meletus, tsunami, dll.


Ada 5 buah bencana yang disinggung oleh RoF. Pertama tentang posisi Indonesia sendiri dalam jalur cincin api diceritakan dalam "Rokatenda Menari". "Ketika Pak Sinabung Batuk" menceritakan tentang gunung meletus. "Monster Air" menceritakan tentang tsunami. "Kapten Oscar" bercerita tentang langkah-langkah penyelamatan diri bila terjadi gempa bumi. Dan "Wedhus Gembel" bercerita tentang awan panas Gunung Merapi".

Semua itu dikemas dalam bentuk cerita yang imut dan ramah anak, diperindah dengan ilustrasi yang menarik.

Selain cerita, RoF dilengkapi dengan lembar pengetahuan di setiap akhir ceritanya. Jadi, dari buku ini anak-anak bisa mengetahui apa itu tsunami, mengapa sering terjadi bencana alam di Indonesia, dll.

3. Latar Belakang Penulisan RoF
Tahun 2013 saya membaca sebuah buku anak-anak tentang tsunami tahun 2006. Buku itu saya beli di Singapura waktu saya ikut SingTel Asian Picture Book Award.

Buku tentang tsunami itu bersetting India dan ditulis oleh seorang penulis Amerika. Menurut saya, ini adalah buku yang indah sekali. Indah bahasanya, indah ilustrasinya.

Lalu saya berpikir, Indonesia juga dihantam tsunami parah. Secara literasi, sepertinya belum ada buku anak yang secara khusus mengangkat masalah ini ke dalam bentuk dokumentasi cerita.

Selain kepentingan dokumentasi literasi, saya rasa anak-anak Indonesia sangat butuh disadarkan tentang kondisi alamnya yang rawan bencana ini. Inilah yang mendorong saya untuk menuliskannya.


4. Mengapa Menuliskan Tentang Bencana
Saya menyadari, tema bencana adalah tema yang gelap, berat, dan muram buat anak-anak. Proses penulisan buku ini juga sempat terhambat karena cerita-cerita yang saya buat cenderung berat dan penuh tekanan emosional.

Namun, saya tetap berkeras ingin menuliskannya karena saya yakin anak-anak butuh tahu tentang ini. Selama ini kita hanya tahu ada bencana, lalu lewat begitu saja, seolah-olah tak ada yang bisa kita lakukan lagi. Padahal, faktanya, anak adalah korban terlemah dalam setiap bencana.

Di luar, sistem perlindungan diri terhadap bencana ditanamkan di sekolah-sekolah. Kita di sini, minim sekali padahal bencana sudah seperti bagian dari kehidupan orang Indonesia.

Dengan menuliskan tentang bencana alam ini saya harap anak-anak punya awareness. Awareness ini mudah-mudahan menuntun mereka pada perilaku bertanggung jawab atas perlindungan diri. Jangka panjangnya, mudah-mudahan mereka tumbuh besar dan mulai memikirkan tentang sistem perlindungan masyarakat, terutama anak, dalam menghadapi bencana.

5. Apakah Buku Ini Ramah Anak?
Biarpun isinya tentang bencana, cerita-ceritanya disampaikan dengan ringan dan cute. Ambil contoh "Rokatenda Menari" yang isinya tentang Gunung Rokatenda, sebuah gunung di Flores, yang menari-nari. Cerita yang sebenarnya menggambarkan gempa ini dibuat dengan unik dan ringan. Ditambah lagi dengan ilutrasi-ilustrasi keren dari teman-teman ilustrator.
Tsunami dalam "Monster Air" dibuat cute sekali dengan kacamata bundarnya.

Saya yakin, buku ini ramah anak.

6. Dapat Diperoleh di Mana?
RoF bisa dibeli di TB Gramedia ataupun di tokomonline Gramedia



7. Rencana ke Depan dan Proyek yang Sedang Dikerjakan
Selanjutnya masih ingin tetap menulis, secara khusus menulis tentang tema budaya dan alam Indonesia. Pendeknya, saya ingin menuliskan hal-hal yang berbeda dari yang sudah banyak dituliskan.
Terkahir menulis tentang tradisi Pacu Jalur Kuantan Singingi bersama Kemendiknas.

Begitulah kira-kira pembicaraan RoF di Green Radio.

Saya berterima kasih sekali, ada radio yang konsern dengan alam seperti Green Radio. Secara khusus, saya bersyukur karena dengan ini akan semakin banyak orang aware dengan bencana.

P.S. Saya pendengar setia Green Radio, jauh sebelum wawancara ini. Frekuensinya jadi frekuensi wajib di mobil saya :)

***

Pebatuan, 8 Agustus 2017
@agnes_bemoe

Friday 30 June 2017

1 Juli

June 30, 2017 0 Comments


Sejak tahun 2010, 1 Juli bagi saya bukan lagi hari biasa. Saya melihatnya dengan cara berbeda dan saya selalu suka mengenangnya.

Satu Juli 2010, pagi hari,  saya memutuskan untuk tidak mau duduk berpangku tangan. Saya harus melakukan suatu kegiatan. Nothing changed! The sun was still shining there for me. None of their filthiness would stop me (saya mencabut sangkur pada yang memperlakukan saya dengan buruk).

Tidak ada tumpukan jadwal, pembagian tugas guru, dan bahkan laporan keuangan bulanan seperti tahun-tahun sebelumnya, but, you know what, I am more than piles of duty you've dumped to me.

Saya memutuskan untuk MENULIS. Bukan jadi penulis ya, hanya menulis.

'Cuma' menulis yang saya bisa. Maka, saya mengerjakannya dengan penuh determinasi dan kegembiraan.

Biasanya saya menulis puisi, cerpen, atau tulisan refleksi-motivasi. Saya TIDAK PERNAH menulis cerita anak. Hari itu, tanggal 1 Juli 2010, saya kedatangan ide cerita berbentuk cerita anak. Jujur, saya tidak mengaturnya supaya jadi cerita anak. Konsep itu datang begitu saja.

Kisahnya tentang seekor burung pipit kecil bernama Pita yang menghadapi intrik dan kekejian di Istana Raja Kishin.

Hari itu saya menulis, jadi 1 cerita. Langsung saya posting di facebook. Besoknya, saya tulis lagi 1 cerita lalu posting. Dan seterusnya setiap hari, sampai sekitar 20-an hari lalu saya menyadari bahwa respon yang saya dapatkan ternyata positif. Teman-teman yang baca suka cerita ini.

Saya pun ge-er. Apalagi ketika seorang editor dari sebuah penerbit mayor menyarankan untuk mengirimkan naskah itu ke penerbitnya untuk di-review. Ge-er-meter saya jebol!

Naskah Pita memang tidak berjodoh di penerbit tersebut. Pita terbit secara indie di LeutikaPrio tanggal 1 Desember 2010.

Ketika terbit, salah seorang mantan murid saya mendoakan: semoga ini menjadi awal bagi judul-judul berikutnya. Doa anak manis tersebut terkabul. Beberapa judul menyusul setelah Pita. April lalu barusan terbit "Ring of Fire" di Gramedia Pustaka Utama.


Bila melihat sebuah buku saya terbit, mau tak mau saya teringat Pita. Saya tidak pernah merencanakan jadi penulis buku anak. Pita membantu saya melihat panggilan saya yang satu ini, bahkan ketika saya sedang 'buta'. Dan itu semua bermula di suatu pagi di tanggal 1 Juli.

Sejak tahun 2010, 1 Juli bagi saya jelas dan tidak akan pernah jadi hari yang biasa buat saya.

Puji Syukur dan terima kasih saya sampaikan pada Yesus dan Maria, pada para kudus yang tak hentinya saya mintai jadi perantara: St. Yosef, St. Antonius a Padua, St. Malaikat Gabriel, dan Santa Germaine de Pibrac.

Terima kasih pada para pembaca pertama saya. Di antaranya yang saya ingat karena ketulusan dan supportnya: Fonny Jodikin, Femi Khirana,  Bhudi Tjahja, Fidelis R. Situmorang, Christine Thilio Arwan, Mulyani Kurniaty, dkk.



***

Pembatuan, 1 Juli 2017
@agnes_bemoe

Tuesday 27 June 2017

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: PERNIK ASYIK MARIA SYAUTA

June 27, 2017 0 Comments
Judul Buku                  : Pernik Indah di Kain Hidupku
Penulis                         : Maria Syauta
Jenis                            : Motivasi

Pernik Indah di Kain Hidupku - Maria Syauta

Dalam kehidupan yang serba sibuk dan bising, banyak hal kecil dilewati, dianggap remeh, lalu dilupakan begitu saja. Maria Syauta memilih jalan berbeda. Ia memilih berhenti sejenak, menajamkan telinga, melihat lebih dalam, lalu ‘mengunyahnya’. Kunyahannya itulah yang dikumpulkan menjadi duapuluh sembilan tulisan di buku ini.
Sebuah lorong ICU yang bersebelahan dengan ruang bersalin di sebuah rumah sakit, misalnya, yang sehari-harinya adalah hal yang amat sangat lumrah mengantar Maria Syauta pada permenungan tentang siklus hidup manusia. Lahir dan mati. Suka dan duka. Datang dan pergi. Semuanya itu adalah satu paket keniscayaan yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Kalimat seperti ini mungkin sering terbaca di berbagai tulisan. Namun, pernahkan kita hening sejenak merasakan maknanya?  
Buku ini asyik dibaca terutama karena mengangkat hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Diawali dengan kutipan lagu atau puisi, setiap tulisannya memaparkan perjalanan refleksi penulisnya dengan ringan. Penulisannya ringkas dan tidak bertele-tele. Tulisannya pendek dengan bahasa yang efektif. Karenanya, beberapa tulisan di dalamnya langsung menjadi favorit saya. Sebut saja “Don’t Give Up” di halaman 35 atau “Komitmen Cinta 40 Hari” di halaman 89.
Selain isinya yang menyenangkan, saya ingin secara khusus mengangkat topi pada kualitas bahasa yang digunakan Maria Syauta. Bila pengamatan saya tidak keliru, buku ini tidak menggunakan editor profesional. Namun demikian, saya nyaris tidak menemukan kesalahan berbahasa yang memalukan. Menurut saya, sudah saatnya yang mengaku penulis konsekuen dengan kualitas pembahasaannya. Dan, saya sangat menghargai Maria Syauta dalam hal ini. Ini menjadi standar baru yang akan mengangkat martabat buku-buku indie.
Bila saya boleh menyampaikan kritik, yang mengganggu buat saya adalah jumlah endorsement di bagian awal. Saya pernah menemukan buku-buku serupa dan saya menamainya buku dengan “entrée yang terlalu berat pada jamuan three-courses meal”. Karena isinya cenderung sama, pembaca ‘kekenyangan’ sebelum menikmati isi buku sebenarnya. Saya memilih memanfaatkan endorsement sebagai pemancing terhadap isi. Karenanya, satu, dua, atau tiga buah yang benar-benar ‘nonjok’ akan lebih menyegarkan dan bermanfaat.
Namun demikian, terlepas dari kekurangannya (yang mungkin juga selera pribadi saya), saya menikmati buku ini. Mengutip yang dikatakan Fidelis R. Situmorang –salah seorang endorser-: buku ini sangat saya rekomendasikan kepada para pembaca karena sebenarnya semua orang mengalaminya dan pemaknaannya tergantung pada semua pengalaman dan input yang masuk entah tersaring secara spiritual atau tidak. Buku ini menjadi cerminan dan tuntunan yang sangat apik bagi kita untuk memaknai kehidupan kita sehari-hari. Highly recommended! (db)

***

Pembatuan, 28 Juni 2017

@agnes_bemoe

Sunday 25 June 2017

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: INFORMASI VERSUS IMAJINASI

June 25, 2017 0 Comments
Judul Buku                  : Empat Pintu
Penulis                         : Afifah Rosyad, Intan Raksaprawira, Va Madina, Udo Indra
Penerbit                       : The AR Publishing, 2017
Jenis                            : Kumpulan Puisi (Antologi)



“Ada daun jatuh, tulis!” Begitu kata Saut Sitompul dalam puisinya “Puisi”.
Puisi sejatinya ungkapan rekaman penulisnya tentang dirinya dan atau hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Rekaman itu bisa sesederhana sehelai daun yang jatuh atau sekompleks sebuah perang dan pertikaian. Antologi puisi “Empat Pintu” merekam dengan jeli segala peristiwa yang dialami atau terjadi di sekeliling para penulisnya.
Rentang ragam ini dicerminkan dalam judulnya, Empat Pintu, yang menunjukkan bahwa buku ini memberi panggung tersendiri bagi kekhasan setiap penulisnya yang berjumlah empat orang itu. Hal itu menjadikan buku ini seolah kumpulan empat buah buku kecil yang dijadikan satu.
Dari keempatnya, most favorite saya adalah puisi-puisi Intan Raksaprawira di pintu kedua. Membaca puisi-puisi Intan, saya merasa bertemu dengan harmoni yang sama. Harmoni itu anehnya diciptakan oleh kata-kata yang ‘tidak sepenuhnya saya mengerti’ bila harus menggunakan akal namun saya merasakannya.
Saya suka pada kenyataan bahwa kata-kata yang dirangkaikan Intan seolah mempunyai sayap yang membawa saya terbang bebas pada penafsiran dan atau indentifikasi. Intan, bagi saya, merekam dengan jeli apa yang sedang dia alami atau terjadi di sekelilingnya lalu meramunya menjadi sesuatu yang bisa dirasakan oleh orang lain (saya). Saya menghargai bahwa Intan tidak menjejali pembacanya dengan informasi atau pengajaran seperti yang ia inginkan. Intan menuliskannya dan membiarkan pembaca mengunyah dengan kenikmatan masing-masing. Saya menikmati kematangan Intan dalam mengolah kata-kata. Kelihatan sekali Intan meluangkan waktu untuk mengendapkan semua informasi yang dimiliki sebelum akhirnya menuangkannya dalam sebentuk puisi.
Seperti Natal dan Sabatmu, aku termangu
Aku enggan pulang
Sejak dulu aku benci mengalah
Benci satu kata pecundang yang sering kali diputar di kepala,
kekalahan
(Rahim, Hal. 36)
Apa kemungkinan makna yang muncul dari kata ‘rahim’, ‘natal’, ‘sabat’? Bisa berjuta makna. Intan pasti punya makna spesifiknya buat dia sendiri. Bagi saya, percikan ironi yang tersirat dalam puisi ini sungguh melontarkan saya pada imajinasi yang bermacam-macam. Dan bagi saya yang hanya seorang penikmat puisi, itulah keasyikan membaca puisi: pembaca diberi langit maha luas untuk dijelajahi. Ini adalah satu contoh kecil mengapa saya sangat menikmati puisi-puisi Intan Raksaprawira.
Bila ada yang paling saya suka, ada juga my least favorite poems. Dan itu adalah puisi-puisi Afifah Rosyad di pintu pertama. Afifah terampil merekam hal-hal yang dialaminya atau terjadi di sekelilingnya. Namun demikian, menurut saya, puisi-puisi Afifah akan jauh lebih baik bila dituliskan melalui proses pengendapan dan pematangan. Membaca puisi-puisinya, pembaca langsung tahu apa yang sedang dibicarakannya. Ini, buat saya, mempersempit ruang interpretasi, apalagi kalau kebetulan interpretasi akan suatu peristiwa tidak sama dengan yang dipaparkan oleh puisi. Pembaca jadi penadah informasi, tanpa ruang imajinasi. Tanpa imajinasi, di mana puisi berdiri?
Di antara keduanya ada puisi-puisi Va Madina dan Udo Indra. Tidak semua puisi-puisi yang mereka tuliskan bisa saya nikmati walaupun terus terang saya menyukai permainan kata dan bentuk puisi yang mereka tawarkan, terutama pada puisi-puisi Udo Indra. Coba simak contoh yang satu ini:
TAFSIR
Tanda Tanya menghadapi Titik.
(Udo Indra)
Ini sebentuk puisi yang sangat pendek, hanya satu baris. Memang bukan sesuatu yang otentik dalam bentuk. Namun demikian, permainan bentuk seperti ini membuat pembaca lebih lama tercenung untuk menelusuri relung kata-katanya. Dan itu mengasyikkan.
Demikianlah “Empat Pintu” bagi saya. Bila anda juga seorang penikmat puisi seperti saya, tidak ada salahnya anda mengkoleksi buku ini. Bila anda pecinta imajinasi lewat kata-kata, buku ini adalah teman yang tepat! (db)

***

Pembatuan, 25 Juni 2017

@agnes_bemoe

Sunday 28 May 2017

BEHIND THE SCENE [BTS]: Ring of Fire - Dari India ke Sinabung

May 28, 2017 2 Comments


Tahun 2013 saya baca sebuah buku berjudul "Selvakumar Knew Better". Buku yang saya beli di AFCC 2013 ini bercerita tentang tragedi tsunami di India. Penulisnya bukan orang India melainkan seorang Amerika, bernama Virginia Kroll. Baca resensi saya di sini.



Setelah menikmati ceritanya yang menawan dilengkapi dengan ilustrasi yang menakjubkan, saya tercenung sendiri. Tsunami yang sama juga menghantam Indonesia. Namun, belum ada satu ceritapun mengangkatnya.

Tidak hanya sebagai dokumentasi, cerita-cerita semacam ini bisa menjadi pegenalan untuk anak-anak tentang alam tempatnya tinggal, termasuk mengenali potensi bencananya.

Inilah yang menuntun saya pada ide penulisan bencana-bencana alam yang potensial menerpa Indonesia, yang secara geografis memang terletak di jalur Ring of Fire.



EKSEKUSI MACET
Biarpun mendapatkan idenya mudah, saya mengalami kendala di eksekusinya. Kendalanya adalah saya terseret untuk menulis cerita-cerita yang terlalu gelap. Saya membacanya pun tidak nyaman, apalagi anak-anak. Saya ingin ceritanya tetap manis dan informatif, mirip seperti "Selvakumar Knew Better". Berkali-kali saya coba, ceritanya selalu beratmosfer gelap.

Akhirnya, saya berhentikan penulisannya. Apalagi saat itu (2013 - 2015) saya juga kurang sehat.

DIPAKSA SINABUNG
Tahun 2015, Sinabung meletus. Saya teringat akan naskah yang saya tinggalkan. Saya merasakan ada urgensi untuk menyelesaikan naskah ini. Bencana alam bertubi-tubi tapi minim sekali informasi standar untuk keselamatan, terutama untuk anak-anak.


Meletusnya Sinabung didukung dengan kesehatan yang membaik membuat saya kembali mengotak-atik naskah ini.
Untuk menjauhkan dari "potensi kegelapan", saya ubah cerita-ceritanya dari realis menjadi lebih imajinatif. Contohnya, cerita "Wedhus Gembel" awalnya berisi cerita seorang anak yang selamat dari kejaran awan panas (sudut pandang dari si anak). Cerita itu saya ubah menjadi seekor "wedhus gembel" yang berusaha menyelamatkan seorang anak (sudut pandangnya adalah si wedhus gembel).


Mengubahnya menjadi lebih imajinatif ternyata membantu saya menuliskannya dengan lebih ringan. Saya menuliskannya dengan enak. Dan saya harap, yang membacanya juga merasakan hal yang sama.

ILUSTRASI YANG MEMABUKKAN
Ide buku ini saya sukai. Menuliskannya (akhirnya) saya nikmati. Nah, seperti cherry on my ice-cream, ilustrasi buku ini ternyata mengasyikkan buat saya. Saya tak menyangka kalau akan tenggelam dalam keseruan menikmati ilustrasinya!

Saya dibantu oleh Audelia Agustin (Rokatenda Menari), Gery Adams (Ketika Sinabung Batuk), Dian Ovieta (Monster Air), InnerChild Std. (Kapten Oscar), dan Maman Sulaiman (Wedhus Gembel). Semuanya menampilkan ilustrasi-ilustrasi yang imut namun hidup.

Ambil "Rokatenda Menari", misalnya. Karakter "Rupak"nya unik sekali, khas menggambarkan Indonesia, bahkan Flores. "Indonesia banget" ini memang tujuan saya karena saya ingin menonjolkan keindonesiaannya.


Lalu, tsunami di "Mosnter Air". Ini adalah tsunami paling imut yang pernah saya lihat! Cocok bagi anak, tanpa mengurangi pesan untuk waspada.


TERBIT
Biarpun proses penulisannya lama (2013 - 2016), proses terbitnya cukup cepat. Syukurlah!

Maret 2017 "Ring of Fire" diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Mudah-mudahan buku ini diterima oleh anak-anak Indonesia. Tidak untuk kepentingan komersil saja tapi juga untuk tujuan awal: anak-anak perlu kenal dengan kondisi alam Indonesia dan potensi bencananya, sebab inilah yang akan mereka hadapi.

Mudah-mudahan para orang tua dan guru membantu saya menyampaikan ini pada anak-anak :)


***

Pembatuan, 29 Mei 2017
@agnes_bemoe

Thursday 20 April 2017

OLEH-OLEH APA DARI KUANSING?

April 20, 2017 0 Comments
Jujur, saya tidak sempat secara khusus mencari oleh-oleh khas Kuansing. Namun, pengalaman seuprit ini mungkin bisa jadi gambaran bila ingin mencari oleh-oleh.
Krupuk Sagu, Seberang Taluk, Taluk Kuantan

KRUPUK SAGU
Umumnya, makanan kecil yang bisa jadi oleh-oleh yang menarik adalah penganan berbahan dasar ketan, seperti lomang (lemang) atau lopek (lepat). Sayang sekali, saya tidak sempat membawa pulang penganan-penganan itu.
Namun, saya berjodoh dengan yang satu ini: Krupuk Sagu. Ini makanan ringan, gurih, dan comforting. Buat saya, makanan ini mengingatkan akan masa kecil saya (ini makanan masa kecil :D).

Saya kurang tahu, apakah di pertokoan ada, tapi saya mendapatkannya dari seorang ibu pengusaha Krupuk Sagu yang tinggalnya di Seberang Taluk. Dengan hanya Rp. 10.000,- kita sudah mendapat satu bungkus besar Krupuk Sagu.

MAS TALUK
Sepanjang yang saya tahu, mas Bagansiapiapi (Rokan Hilir) adalah mas yang bagus. Ternyata kota Taluk Kuantan juga menghasilkan mas yang tinggi mutunya.
Bila anda suka berinvestasi di logam mulia, mungkin bisa dipertimbangkan membawa pulang mas Taluk. Catatan, berbeda dengan di Jawa, di Sumatera mas diukur dengan satuan mas, bukan gram. Satu mas sekitar 2 - 3 gram.

OLAHAN DURIAN
Durian memang jadi buah khas Riau. Tidak heran kalau Taluk Kuantan menyediakan berbagai penganan berbahan dasar durian. Untuk olahan durian, anda bisa membawa pulang pancake durian. Tapi, tanyakan dulu bisa tahan berapa jam di luar freezer.
Pancake durian ini adalah daging durian yang dibungkus crepe basah. Rasanya manis dan gurih durian. Enak!

KERAJINAN TANGAN MOTIF TAKULUAK BAREMBAI
Nah, yang ini saya tertarik banget, sayangnya belum ada (belum banyak).


Btw, "Takuluak Barembai" adalah motif hiasan pada baju khas perempuan Kuantan. Motif itu disusun dari renda biku (renda yang bentuknya berkelok-kelok), dengan warna pakem hitam, emas/kuning, merah, dan putih, di atas dasar hitam.

Motif ini diterakan pada busana perempuan. Namun demikian, sekarang motif ini dipakai untuk yang lain, misalnya tas tangan. Sayangnya, belum ada produksi partai besar untuk ini. Saya yakin sekali, penggila motif etnik akan ngiler berat melihat tote bag, atau tas tangan, atau clutch motif Takuluak Barembai ini.

Begitulah kira-kira oleh-oleh yang bisa kita bawa dari Taluk Kuantan. Seru, 'kan?

***

Rantau Kuantan, 18 April 2017
@agnes_bemoe

Catatan: Foto Takuluak Barembai milik Wigati Isye

DI KUANSING, MAKAN APA?

April 20, 2017 0 Comments
Secara umum, makanan yang banyak di Kuansing adalah masakan Padang dan Melayu. Keduanya mirip -kaya rempah, bersantan, dan pedas- tetapi tidak persis sama. Ada hidangan-hidangan tertentu yang menjadi 'signature dish' yang membuat kita tahu itu masakan Padang atau Melayu (mirip-mirip perbedaan RM Padang dengan RM Kapau atau Lintau; orang luar menyamakan sebagai "Nasi Padang" padahal dari beberapa hidangan khasnya kita tahu itu a la Padang, Kapau, atau, Lintau).

RM Salero Kampuang, Taluk Kuantan

Saya beruntung mencicipi hidangan khas Melayu Kuansing yaitu di RM Salero Kampuang, dengan hidangan khasnya Gulai Cipuik (Gulai Siput). Siput yang digunakan di sini adalah siput sawah. Bentuknya bulat kecil berwarna hitam. Konon, siput sawah ini adanya musiman (belum dibudidayakan) sehingga Gulai Cipuik juga menjadi hidangan musiman.

Rasanya seperti gulai-gulai pada umumnya; gurih, pedas, dengan rasa asam selayang dari terong asam yang ikut dicampurkan ke gulai. Terong asam ini juga sayuran khas Kuansing. Awalnya saya menduga ini terong biasa yang bisa kita jumpai di pasar. Ternyata tidak sama. Terong asam ini bentuknya mirip tomat hijau dengan rasa yang masam.

The Signature Dish: Gulai Cipuik


Yang nikmat dari Gulai Cipuik sebenarnya cara menyantapnya. Siput dimakan dengan cara disedot supaya dagingnya keluar dari cangkang. Nah, fase ini yang menantang. Kadang-kadang daging siput mudah diisap namun lebih sering ia bertahan di dalam cangkang.

Rasa daging siput itu sendiri tidak terlalu kentara (mungkin juga karena pengaruh kuah gulai), agak earthy menurut saya yang bila dipadukan dengan kuah gulai dan terong asam menjadi perpaduan yang enak. Party in your mouth deh!

Btw, untuk di RM Salero Kampuang sendiri, bila anda sedang tidak ingin masakan berkuah santan, cobalah ayam goreng kampungnya. Ini saya berani rekomendasikan karena enak banget!



Ayam kampung sendiri pada dasarnya sudah enak; dagingnya gurih dan tidak eneg. Bumbu ayam goreng ini minimalis sekali (saya duga sih garam dengan bawang putih saja). Namun, bumbu itu meresap cukup dalam dan merata membuat ayam terasa nikmat. Cukup dengan Lado Tanak (sambal cabe hijau), anda bisa nambah berulang-ulang!

Bila anda sedang ingin jajan, tempat berikut ini bisa anda pertimbangkan: Dapoer Saloni di Jl. A. Yani, Taluk Kuantan. Saya menemukannya secara tidak sengaja. Sehabis mengisi bensin, saya tertarik dengan dekorasi Dapoer Saloni yang unik. Lebih tertarik lagi saya melihat ternyata hidangannya adalah berbagai variasi es durian! Wah, sebagai penggila durian, saya tidak boleh melewatkan ini! Kebetulan saat itu panas terik di Taluk Kuantan. Tidak ada yang lebih cocok selain semangkuk es!
Es Campur Durian

Dan, es duriannya memang enak. Manisnya seimbang dengan durian yang nonjok lezatnya. Harganya juga tidak mahal, RP. 15.000,- untuk semangkok es campur durian.

Selain berbagai variasi es durian, disediakan juga berbagai makanan berbahan dasar durian. Sayangnya waktu itu saya sudah kenyang. Namun, buat para petualang kuliner, sepertinya harus coba yang ini deh!
Dapoer Saloni, Taluk Kuantan


Saya tidak sempat mencoba tapi saya lihat Pecel Lele cukup banyak di Taluk Kuantan. Ini bisa jadi alternatif tempat makan yang lumayan menyegarkan. Yang saya belum ketemu (mungkin juga karena saya tidak benar-benar mencari) adalah sate ayam/kambing yang a la Madura dan Chinese Food.

Namun demikian, jangan kawatir selera kuliner kita tidak terpuaskan. Asal tidak super picky atau ekstrim advonturir, kita bisa menikmati lezatnya kuliner Kuansing.

***

Rantau Kuantan, 18 April 2017
@agnes_bemoe

Wednesday 19 April 2017

KEMANA KE KUANSING? #2

April 19, 2017 0 Comments
Hari kedua, saya ditawari mengunjungi air terjun Guruh Gemurai di Kasang, Lubuk Jambi, di Kec. Kuantan Mudik. Sebenernya saya ngiler berat. Saya lebih suka wisata alam seperti ini daripada wisata belanja. Sayang sekali, saya harus memperhitungkan kondisi pinggang yang sedang sowak. Saya berharap, suatu saat saya akan cukup kuat untuk menjalani medan menuju air terjun ini (menurut informasi, medannya cukup berat).

Ada 2 air terjun yang bisa dinikmati di Kuansing. Selain Air Terjun Guruh Gemurai ada lagi Air Terjun Tujuh Tingkat Batang Koban di Kec. Hulu Kuantan.

Desa Wisata Koto Sentojo

Kami akhirnya menuju ke lokasi Desa Wisata Koto Sentajo. Di sini kita bisa melihat masyarakat Melayu Kuantan asli, lengkap dengan penghidupannya. Di sepanjang kampung berjejer rumah-rumah adat asli, lengkap dengan dapur dan lumbung. Rumah-rumah itu dibangun dari kayu hutan asli (bukan beton) dan sudah berumur puluhan tahun. Di sebuah sisi terdapat sebuah masjid dan di sebelahnya ada semacam aula untuk masyarakat bermusyawarah.

Desa Wisata Koto Sentojo

Satu hal yang menarik perhatian saya adalah atap masjid. Tidak seperti masjid Indonesia pada umumnya yang menyerap gaya Timur Tengah, masjid di lokasi ini mirip Masjid Agung Demak, dengan atap bersusun meninggi ke atas. Saya kurang tahu, gaya ini memang terpengaruh dari Jawa, atau bagaimana.

Kami memutari kompleks desa wisata yang unik dan asri itu. Senang rasanya bisa menikmati atmosfer Melayu yang masih asli seperti itu.

Rangkiang, atau Lumbung Padi masyarakat Sentojo

Dua hari di Kuansing, baru tempat-tempat di atas itu yang bisa saya kunjungi. Jujur: tidak puas! Semoga saya bisa kembali lagi, kali ini sendiri -atau dengan teman yang menyenangkan untuk diajak berpetualang- supaya bisa lebih exploratif. Selain ingin mengunjungi air terjun, saya juga ingin melihat makam Syekh Angku Angin di Kec. Hulu Kuantan, ingin melihat tradisi Perahu Baganduang di Koto Lubuk Jambi, ke Air Panas Sungai Pinang di Kec. Hulu Kuantan, ke Hutan Bukit Baling dan Bukit Rimbang di Kec. Singingi, serta ke beberapa danau seperti Danau Kebun Nopi, Danau Masjid Koto Kari, dan Danau Rawang Udang.

Sedikit tips untuk teman-teman yang berniat ke Kuansing: kita harus punya kendaraan sendiri karena tidak ada kendaraan umum. Lebih baik kalau punya pemandu dari masyarakat setempat. Perjalanan kami terasa bermanfaat dan menyenangkan karena dipandu oleh Ibu Wigati Isye dan Bpk. Dedi yang asli Kuansing.

Selama di Kuansing kami menginap di Wisma Hasanah di Jl. Perintis Kemerdekaan (belum ada chained-hotel). Dengan rate Rp. 400.000,- per malam (rate tertinggi), kita sudah mendapat fasilitas sarapan pagi, kamar besar (bisa untuk 3 orang karena disiapkan juga sebuah dipan kecil selain sebuah tempat tidur besar), ber-AC, kulkas, dan dispenser. Sayang sekali, tidak disertakan gelas minum dan perlengkapan lain seperti tissu atau keranjang sampah. Yang juga disayangkan adalah air panas dan wi-fi yang belum terlalu lancar. Namun, secara umum, penginapan ini bersih, petugasnya ramah (ini yang paling penting), dan dekat dengan kota.

Bagi yang dari luar Sumatera, Kota Taluk Kuantan bisa dicapai dengan berkendara dari Pekanbaru. Perjalanan menghabiskan waktu sekitar 4 jam. Kalau teman-teman mau lanjut, dengan jarak tempuh 2 jam teman-teman sudah bisa mencapai Sumatera Barat.

Ada sedikit "jebakan betmen" ketika kita masuk daerah Singingi dari Kampar. Jalanannya berliku-liku, mirip Kelok Sembilan di Sumatera Barat. Red zone bagi yang kurang fit. Tapi selebihnya, perjalanan lumayan menyenangkan kok, dengan rimbunan hutan karet atau sawit di sisi jalan.

Jadi, tunggu apa lagi, ayo ke Kuansing!

TAMAT

***

Rantau Kuantan, 18 April 2017
@agnes_bemoe

Tulisan sebelumnya di sini.

KEMANA KE KUANSING? #1

April 19, 2017 0 Comments
Sekaligus mengambil data untuk kepentingan penulisan, saya menyempatkan diri melihat-lihat kemolekan Kuansing (singkatan dari Kuantan dan Singingi, dua sungai besar di kabupaten ini). Berbatasan di Utara dengan Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelalawan, di Timur dengan Kabupaten Indragiri Hulu, di Selatan dengan Provinsi Jambi, dan di Barat dengan Provinsi Sumatera Barat, Kuansing adalah sebuah kabupaten hasil pemekaran dari Kab. Indragiri Hulu di tahun 2000.

PACU JALUR
Sebuah kelompok pacu jalur sedang latihan (17/4). Foto milik Wigati Isye

Primadona pariwisata kabupaten ini tentu saja Pacu Jalur. Itu semacam lomba dayung perahu tradisional (masyarakat menamainya "jalur") yang hanya ada pada masyarakat Kuantan (sering disebut "Rantau Kuantan"). Sayang sekali, kedatangan saya tidak bersamaan dengan event Pacu Jalur. Pacu Jalur biasanya diadakan setahun sekali di bulan Agustus sempena Hari Kemerdekaan. Penyelenggaraannya biasanya dilakukan di bagian sungai Kuantan yang dinamakan Tepian Narosa. Daerah ini berada tepat di pusat kota. Di dekatnya didirikan taman yang disebut Taman Jalur. Di tengah Taman Jalur ada sebuah tugu, disebut Tugu Jalur. Pada bagian bawah atau dasar tugu tersebut terdapat relief yang menggambarkan proses pembuatan jalur.

Tidak bisa menyaksikan Pacu Jalur, bukan berarti saya tidak bisa menikmati Kota Jalur ini.

CAGAR BUDAYA KANAGORIAN TALUK KUANTAN
Dengan ditemani oleh Ibu Wigati Isye dan Bpk. Dedi Erianto, S. Sos. kami menuju ke Cagar Budaya Kanagorian Taluk Kuantan. Letaknya tidak jauh dari pusat kota. Di sana ada kompleks bangunan yang merupakan tiruan rumah adat masyarakat Kuantan.
Cagar Budaya Kanagorian Taluk Kuantan

Sepintas, bangunannya mirip rumah asli masyarakat Melayu pada umumnya; berbentuk rumah panggung yang panjang (melintang) dengan ukiran-ukiran khas Melayu pada atap dan dinding terasnya. Bedanya, tiruan rumah adat ini dibuat dari beton dan bukan kayu seperti rumah aslinya.

Di dalam komplek cagar budaya itu terdapat beberapa rumah. Lalu, di ujungnya terdapat semacam aula (tapi tanpa dinding). Menurut Bpk. Dedi, biasanya dalam suatu kampung, satu rumah diisi oleh satu suku/marga. Ada 4 suku dalam Kanagorian Taluk Kuantan yang diistilahkan dengan Suku Babilang. Mereka adalah Suku Tigo, Suku Ompek, Suku Limo, dan Suku Onam.

Secara berkala suku-suku tersebut berkumpul di "aula" di ujung kampung untuk membicarakan kemaslahatan kampung.

Dari lokasi cagar budaya, kami menuju ke Hutan Kota Pulau Bungin. Tempatnya juga tidak jauh dari pusat kota. Kekayaan sejati hutan kota ini adalah pepohonan (dan hewan) di dalamnya. Semuanya adalah pohon asli sisa hutan hujan tropis Sumatera!
Hutan Kota Pulau Bungin

Sangat bersyukur masih bisa melihat dengan mata kepala sendiri hutan asli Sumatera ini. Sambil berjalan menikmati pohon-pohon raksasa kita bisa mendengar suara burung (atau kelelawar?) bersahut-sahutan. Hutan kota ini punya jalur berpaving-block yang mengelilinginya, yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk lari pagi atau sore.

Selain Hutan Kota, Kuansing memiliki tempat lain yang dijadikan  kawasan hutan wisata, yaitu Bukit Rimbang dan Bukit Baling di Kec. Singingi. Di kawasan ini hutannya konon benar-benar hutan perawan.

Kami mengakhiri acara keliling Kuantan untuk hari itu karena hari sudah gelap (kami mulai berkeliling sudah sore). Besok, kami akan jalan lagi.

--- Bersambung ke sini ---

Rantau Kuantan, 17 April 2017
@agnes_bemoe

Monday 10 April 2017

Nino, Si Petualang Cilik - Semangat Nusantara di Bologna Book Fair 2017

April 10, 2017 0 Comments
Awal April kemarin saya di-tag oleh akun Penerbit BIP di Twitter. Ternyata buku saya, "Nino, Si Petualang Cilik" diikutkan di Bologna Book Fair 2017.

Nino, Si Petualang Cilik di Bologna Book Fair. Foto diambil dari page Komite Buku


Tentu saja saya senang, bangga, dan bersyukur. Mudah-mudahan ada penerbit luar negeri yang tertarik pada Nino.

Btw, Nino berisi 10 cerita tentang budaya dan tradisi Nusantara. Di antaranya: Hombo Batu di Nias, Tradisi Perang Suku di Papua, Pasola Sumba, atau Lomba Lanting Bambu di Kalimantan. Pokoknya, khas Nusantara. Anak-anak Indonesia seharusnya tahu dan kenal tradisi-tradisi ini dan selanjutnya menghormati dan menjaga tidak sampai punah. 

Punah? Ya, tidak hanya modernisasi yang jadi "musuh" tradisi-tradisi Nusantara. Radikalisme yang muncul bagai jamur di musim hujan di bumi Indonesia benar-benar mencemaskan. Radikalisme ini seringnya memandang dan mendakwa tradisi Nusantara sebagai sesuatu yang harus dihilangkan dan diganti. Mungkin tidak langsung secara keseluruhan, tapi pelan-pelan, bagian per bagian "dimusuhi" lalu diganti. Ini mencemaskan. Sangat mencemaskan. Apalah Indonesia tanpa keragaman budayanya yang dikagumi dan diirikan oleh pelbagai negara lain di dunia? 

Sebagai penulis cerita-cerita anak, yang 'konstituen' saya adalah masa depan bangsa ini, saya memilih sikap menjaga dan mempertahankan budaya dan tradisi Nusantara. Saya ingin dikenang sebagai penulis yang menghargai dan menjaga Nusantara, bukan sebaliknya. 

Mudah-mudahan, "Nino, Si Petualang Cilik", membawa pesan, baik kepada Indonesia maupun dunia, tentang Indonesia yang sebenar-benarnya. 

***

Pembatuan, 10 April 2017
@agnes_bemoe

Tuesday 14 March 2017

MEMBAYAR HUTANG PADA ATUK TENAS

March 14, 2017 10 Comments
Saya suka belajar. Karenanya, senang sekali bisa ikut kegiatan Bimbingan Teknis Penulisan Cerita Rakyat dari Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan YME dan Tradisi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang diadakan 6 - 8 Maret 2017 lalu di Bekasi, Jawa Barat.
Awalnya, saya dicolek oleh Mas Iwok Abqary di grup Forum Penulis Bacaan Anak (FPBA). Rupanya, Kemendikbud bekerja sama dengan FPBA sedang mencari penulis untuk proyek penulisan Cerita Rakyat dan Tradisi untuk 7 provinsi di Sumatera, termasuk Riau. Singkat cerita, saya ikut mengirimkan Curriculum Vitae (CV) dan CV saya itu diterima.

NINO dan 'HUTANG' PADA PAK TENAS
Jujur, waktu menerima email dari Kemendikbud tentang proyek ini saya langsung teringat pada 'Nino, Si Petualang Cilik', buku saya yang terbit tahun 2013.

Seperti Nino, proyek ini juga mengumpulkan berbagai tradisi Nusantara dan mengemasnya menjadi sebuah cerita (Sudah pada baca Nino kan ya? :D)

Waktu menyusun Nino itu, sempat terpikir oleh saya alangkah baiknya kalau lebih banyak budaya dan tradisi Nusantara yang bisa diceritakan. Tak nyana, universe conspires, dua tahun setelahnya Kemendikbud mengeluarkan ide yang sama (proyek ini dimulai tahun 2015).

Mengenai Nino, sekitar tahun 2014 saya berkesempatan bertemu dengan Budayawan Riau, Alm. Tengku Nasruddin Effendi (Tenas Effendi). Saya berikan buku 'Nino, Si Petualang Cilik' buat beliau. Beliau sangat senang karena ada buku anak-anak yang peduli dengan budaya Nusantara. Terlebih beliau senang karena Riau juga diangkat. Namun demikian, beliau berpesan untuk tidak melupakan karakteristik budaya Riau. Budaya Riau, menurut beliau, adalah budaya yang berbasis air; laut, sungai, rawa. Alangkah baiknya kalau digali lagi budaya yang berkaitan dengan air ini.

Mendengar petuah itu, dalam hati saya menetapkan keinginan untuk suatu saat menyusun cerita budaya Riau yang berbasis air. Sebagai catatan, dalam Nino saya menulis tentang  'Bakar Tongkang Bagansiapiapi'. Ini tradisi masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi, Riau, untuk memperingati kebulatan tekad mereka untuk tinggal dan berdiam di Bagansiapiapi dengan jalan membakar tongkang yang mereka naiki dari daratan Cina Selatan.

Lagi-lagi, sepertinya universe conspires, dari berbagai pilihan topik, saya mendapat jatah menuliskan tentang Pacu Jalur Sungai Kuantan. Luar biasa senangnya saya! Akhirnya, saya dapat kesempatan menuliskan tentang budaya Riau yang berbasis air! Biarpun bukan buku pribadi, tulisan ini ingin saya persembahkan buat Bapak Tenas Effendi. Kalau bukan karena 'pe-er' dari beliau, mungkin saya tidak sampai ke proyek ini.

KE BEKASI
Beberapa mentor dalam Bimtek ini merupakan nama-nama besar yang sudah malang melintang di dunia perbukuan anak. Salah satunya adalah Sofie Dewayani. Bertemu lagi dengan Sofie Dewayani yang ramah sangat menyenangkan. Terakhir kami bertemu di acara Singtel Asian Picture Book Award 2013 di Singapura. Kami sama-sama menjadi nominee.

Sofie Dewayani menekankan pentingnya mengenali segmen pembaca termasuk kebutuhannya. Sofie juga menegaskan perlunya mengambil sudut pandang anak dalam setiap penulisan buku anak. Penekanan semacam ini penting buat saya yang masih suka egois memaksakan konsep saya sebagai penulis pada pembaca anak.

Saya juga bertemu dengan Pradhika Bestari, editor yang menjadi 'bidan' bagi "Aubrey dan The Three Musketeers" (terbit 2013 di Penerbit Kiddo. Sudah baca juga, kan?) Saya berharap, mbak Dhika berkenan blak-blakan membuka rahasia menyusun cerita berbasis budaya a la Seri Misteri Favorit kesukaan saya. Tapi lalu saya sadar, tidak sesederhana itu menyamakan dua kegiatan ini :D

Namun demikian, ini hal-hal yang saya jadikan pegangan untuk mengumpulkan data dan menyusunnya menjadi cerita. Pertama adalah '5 W + 1 H'. Kumpulkan sebanyak mungkin data terkait tempat, waktu, pelaku, latar belakang, serta bagaimana berlangsungnya. Selanjutnya, kumpulkan juga hal-hal menarik di luar tradisinya, misalnya makanan, pakaian, permainan, atau apa saja yang jadi ciri khas daerah tersebut. Saya rasa, ini menuntut saya untuk jadi lebih peka dan jeli dalam mengamati tradisi yang hendak saya tulis.

BHINEKA TUNGGAL IKA
Yang super menarik buat saya adalah penekanan terus menerus dari Bpk. Sri Guritno, mewakili Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan YME dan Tradisi. Beliau menekankan bahwa kebhinekaan Indonesia ini adalah fakta yang harus terus menerus diperjuangkan dan dipertahankan. Untuk itulah Kemendikbud melalui direktorat terkait getol menyiapkan dan menyusun buku tentang tradisi dan cerita rakyat Indonesia ini. Buku yang nantinya disalurkan ke sekolah-sekolah ini diharapkan membuka wawasan anak Indonesia tentang hakikat bangsa dan negara Indonesia.

Sungguh, dalam arus radikalisme agama yang menjamur serta menyusupi Indonesia, yang potensial menghancurkan Indonesia, saya merinding mendengar ada orang pemerintah yang menyuarakan pentingnya menegakkan kebhinekaan Indonesia.

Hal ini diperkuat oleh paparan Bpk. Semiarto Aji Purwanto, Antropolog dari Universitas Indonesia, yang menegaskan perlunya penulis berdiri secara obyektif dalam menulis ulang sebuah tradisi. Dalam obyektivitas itu penulis tidak boleh menghakimi suatu tradisi berdasarkan kepercayaan pribadinya. Dengan itu, kita mendapatkan kumpulan tradisi yang unik dan khas, yang kemudian menjadi kekayaan budaya Indonesia.

Mudah-mudahan hal ini bisa saya pahami benar-benar dan saya terapkan dalam tulisan saya nantinya. Saya cinta Indonesia dan seluruh kekayaan budayanya dan saya tidak mau melihatnya hancur. Saya rasa, saya diberi kesempatan hadir dan belajar adalah untuk menulis hal yang benar tentang Indonesia yang bhineka, bukan yang lainnya.

BIG SURPRISE!
Yang mengikuti buku-buku saya pasti tahu bahwa ada satu nama ilustrator yang hampir selalu ada di buku saya. Benar: InnerChild Std! Tak sangka, saya bisa bertemu dengan Kang Dwi InnerChild di kegiatan itu! Rupanya beliau salah seorang pembicara juga.

Saya penulis baru yang tidak punya pengalaman ketika pertama kali bertemu InnerChild. Namun, InnerChild membuat segalanya mudah buat saya: enak komunikasinya, kerjanya profesional, dan hasil ilustrasinya bagus. Saya bersyukur mengenal InnerChild Std. Lebih bersyukur lagi bisa bertemu langsung! Bayangkan, selama ini hanya 'ribut' di email atau Blackberry (dulu) :D

LALU, PINGGANG BAGAIMANA?
Ini hal pertama yang saya tanyakan pada diri saya sendiri: kuat tidak, mengikuti kegiatan ini. Saya harus duduk sepanjang waktu, sementara duduk adalah musuh besar saya.

Saya mempersiapkan diri. Berenang setiap hari dan refleksi. Saya juga menetapkan, tidak akan memaksa diri. Bila tidak kuat, saya ke kamar dan istirahat.

Hari pertama berlalu dengan mulus. Keesokan paginya saya sempat berenang. Hari kedua, saya sempat kesakitan. Ada beberapa kali -tidak banyak-saya kabur ke kamar buat meredakan pinggang. Biarpun tidak mulus-mulus amat, saya rasa pinggang saya berhasil melewati hari-hari Bimtek ini dengan aman.

TANGGUNG JAWAB
Bangga karena 'terpilih'? Hehehe... senang, pasti. Tapi, saya sadar, kemungkinan faktor minus malum ada. Jadi, saya harus banyak-banyak refleksi. Dan yang terpenting, ini bukan tentang saya. Ini tentang naskah /buku yang nantinya jadi sumber belajar anak. Saya memiliki tanggung jawab profesional dan moral di sini.

Saya berterima kasih atas kesempatan yang luar biasa ini. Semoga saya dapat mengemban tanggung jawab saya dengan sebaik-baiknya.

***

Pembatuan, 14 Maret 2017
@agnes_bemoe

Wednesday 25 January 2017

BEHIND THE SCENE [BTS]: Dkisah Dseru dari Dinoland

January 25, 2017 3 Comments

Sejak menulis “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” (terbit 2014) saya sudah tertarik pada ide untuk menyadur buku “The 7 Habits of Most Effective People” karya Stephen R. Covey menjadi cerita anak, seperti yang saya lakukan pada Bo yang idenya saya ambil dari “Emotional Intelligent” karya David Goleman.

Entah kenapa, pada Bo, ide itu lancar sekali. Saya dengan mudah menemukan banyak cerita untuk ditulis. Bahkan ketika editor minta tambahan cerita, saya sama sekali tidak kesulitan. Lain halnya tentang “The 7 Habits”. Kepala saya blank. Padahal saya merasa menguasai materi yang disampaikan Stephen R. Covey dalam bukunya itu (saya pernah memberikan seminar kecil untuk guru-guru berdasarkan buku ini). Ada beberapa kali saya mencoba membangun cerita, semuanya tidak memuaskan.

Akhirnya ide ini saya tinggalkan.

Lalu, suatu saat di tahun 2015, saya tergerak untuk membaca ulang buku “The 7 Habits”. Saat itu saya sedang sakit dan menghabiskan banyak waktu hanya dengan membaca. Saya baca ulang buku itu bukan karena saya mau menuliskannya kembali. Saya baca sekedar baca. Herannya, setelah membaca ulang buku ini, saya seperti ‘kedatangan’ beberapa cerita! Hore! Akhirnya!

DARI MANA DATANGNYA DINOSAURUS, DAVII, DAN DIMITRI?
Saat itu saya sedang ‘jatuh hati’ pada seorang anak laki-laki berusia 5 tahun. Anak itu, dengan segala kecerdasan dan kelucuannya sungguh membuat saya ‘tak berdaya’. Saya lalu terpikir untuk menulis sesuatu yang bisa jadi sebuah persembahan buatnya. Dia suka membaca. Dan, berdasarkan pengamatan saya, buku-buku bacaan yang ada sekarang kurang berpihak pada anak laki-laki. Banyak tokoh dan cerita dibuat dengan atmosfer anak perempuan (terus terang, saya pun menyadari hal ini terjadi pada diri saya sebagai penulis). Karenanya, saya memutuskan membuat cerita yang cowok banget

Dalam pikiran saya, anak laki-laki biasanya suka dinosaurus, suka bola, suka main musik, suka ngeyel, serba ingin tahu, tidak mau kalah, dll. SAYA MOHON MAAF, saya tidak sedang bersikap bias-gender karena saya pribadi tidak setuju hal itu. Saya yakin, banyak anak perempuan yang punya karakteristik seperti itu. Saya hanya bermaksud menyederhanakan untuk kepentingan cerita ini.
Baiklah, kembali ke Davii. Maka, saya bangun tokoh Davii yang tinggal di Dinoland (karena ia seorang dinosaurus), suka main bola, main gitar, menyanyi, dll. Di sekeliling Davii adalah teman dekatnya, Dimitri; kawan-kawan bermain bolanya Dozo, dkk; serta tentu saja adik bayi laki-lakinya Dixie.

Sejak detik pertama menuliskannya saya sudah berkata: ini akan jadi cerita yang cowok banget! Tujuannya jelas, karena saya ingin menyenangkan seorang cowok kecil yang saya sebutkan di atas tadi.

Ya, buku ini saya persembahkan untuk kesayangan saya David Situmorang dan Bastian Situmorang. Sayang sekali, bagian ini dihilangkan dalam buku jadi. Mudah-mudahan kali berikutnya saya (penulis) diberi kesempatan menerakan dedikasi bukunya.

KENAPA JUDULNYA ANEH?
Dkisah Dseru dari Dinoland terdengar aneh ya? Kenapa? Hihihi… untuk bagian ini, baca sendiri di bukunya ya. Biar terasa serunya hidup ini bersama Davii, Dixie, Dimitri, Dozo, Dean, Damien, Pak Darian, Paman Dull de Drost, DiMadino dari Dino United, Don Quixote si Doberman, dkk!

KE PENERBIT
Ini juga peristiwa yang unik banget untuk saya. Desember 2015 naskah ini saya ajukan ke penerbit. Sekitar dua minggu setelahnya saya mendapat balasan, isinya menanyakan tentang ide-ide Stephen R. Covey yang saya gunakan di naskah itu. Setelah saya jelaskan, jadi deh, naskah ini diterima. Wah! Kejutan buat saya. Untuk naskah cerita bergambar, inilah rekor penerimaan paling cepat yang pernah saya alami. Puji Tuhan deh!

Mencari illustrator pun tidak makan waktu lama. Saya dibantu oleh Anastasia Fransiska. Saya belum pernah bekerja sama dengannya. Namun, saya tertarik melihat ilustrasi-ilustrasi karyanya di akun facebook-nya. Ada satu karyanya tentang dinosaurus yang keren banget. Dari situlah saya merasa mungkin gaya itu yang cocok dengan naskah Dinoland milik saya.

Bekerja sama dengan Siska memberi saya pengalaman belajar yang menyenangkan. Selain professional (menghargai waktu, mudah dihubungi, mencoba memahami pendapat klien, berkomunikasi dengan baik, dll), ada satu hal yang saya pelajari dari Anastasia Fransiska, yaitu bekerja dengan sistematis dan terorganisir. Buat saya, ini membantu saya (penulis) untuk memahami produk ilustrasi yang dibuat illustrator.

Saya juga suka illustrator yang mampu menginterpretasikan cerita ke dalam ilustrasinya. Biarpun saya memberikan panduan ilustrasi, terkadang seringnya saya butuh kreativitas visual (karena memang saya lemah sekali dalam hal ini). Ada beberapa potongan cerita yang ilustrasinya adalah ide Siska sendiri dan kemudian saya setujui karena hasilnya lebih bagus daripada ide saya.
Pendek kata, saya bersemangat sekali dengan ilustrasi di buku Dkisah Dseru dari Dinoland ini!

TERBIT!
Januari 2017 lalu, ketika iseng ke Gramedia Sudirman Pekanbaru, saya mendapati Dkisah Dseru dari Dinoland sudah nagkring di rak buku. Wah! Kejutan Tahun Baru yang menyenangkan!
Saya berterima kasih kepada Gramedia Pustaka Utama yang percaya pada naskah ini, kepada Kak Anastasia Mustika Wijaya, mbak Ramayanti, dan mbak Yuniar Budiarti. Tentu saja saya berterima kasih pada Anastasia Fransiska untuk ilustrasinya yang luar biasa. Last but not least saya berterima kasih pada David Situmorang, muasal semua cerita dalam Dkisah Dseru dari Dinoland. God bless you!
Semoga buku ini diterima anak-anak Indonesia ya! IHS


Pembatuan, 26 Januari 2017
@agnes_bemoe