Judul Buku : Empat Pintu
Penulis : Afifah Rosyad, Intan Raksaprawira, Va Madina, Udo Indra
Penerbit : The AR Publishing, 2017
Jenis : Kumpulan Puisi (Antologi)
“Ada daun jatuh, tulis!”
Begitu kata Saut Sitompul dalam puisinya “Puisi”.
Puisi
sejatinya ungkapan rekaman penulisnya tentang dirinya dan atau hal-hal yang terjadi
di sekelilingnya. Rekaman itu bisa sesederhana sehelai daun yang jatuh atau
sekompleks sebuah perang dan pertikaian. Antologi puisi “Empat Pintu” merekam
dengan jeli segala peristiwa yang dialami atau terjadi di sekeliling para
penulisnya.
Rentang
ragam ini dicerminkan dalam judulnya, Empat Pintu, yang menunjukkan bahwa buku
ini memberi panggung tersendiri bagi kekhasan setiap penulisnya yang berjumlah
empat orang itu. Hal itu menjadikan buku ini seolah kumpulan empat buah buku
kecil yang dijadikan satu.
Dari
keempatnya, most favorite saya adalah
puisi-puisi Intan Raksaprawira di
pintu kedua. Membaca puisi-puisi Intan, saya merasa bertemu dengan harmoni yang
sama. Harmoni itu anehnya diciptakan oleh kata-kata yang ‘tidak sepenuhnya saya
mengerti’ bila harus menggunakan akal namun saya merasakannya.
Saya
suka pada kenyataan bahwa kata-kata yang dirangkaikan Intan seolah mempunyai
sayap yang membawa saya terbang bebas pada penafsiran dan atau indentifikasi.
Intan, bagi saya, merekam dengan jeli apa yang sedang dia alami atau terjadi di
sekelilingnya lalu meramunya menjadi sesuatu yang bisa dirasakan oleh orang
lain (saya). Saya menghargai bahwa Intan tidak menjejali pembacanya dengan
informasi atau pengajaran seperti yang ia inginkan. Intan menuliskannya dan
membiarkan pembaca mengunyah dengan kenikmatan masing-masing. Saya menikmati
kematangan Intan dalam mengolah kata-kata. Kelihatan sekali Intan meluangkan
waktu untuk mengendapkan semua informasi yang dimiliki sebelum akhirnya menuangkannya
dalam sebentuk puisi.
Seperti Natal dan Sabatmu, aku
termangu
Aku enggan pulang
Sejak dulu aku benci mengalah
Benci satu kata pecundang yang
sering kali diputar di kepala,
kekalahan
(Rahim,
Hal. 36)
Apa
kemungkinan makna yang muncul dari kata ‘rahim’, ‘natal’, ‘sabat’? Bisa berjuta
makna. Intan pasti punya makna spesifiknya buat dia sendiri. Bagi saya,
percikan ironi yang tersirat dalam puisi ini sungguh melontarkan saya pada
imajinasi yang bermacam-macam. Dan bagi saya yang hanya seorang penikmat puisi,
itulah keasyikan membaca puisi: pembaca diberi langit maha luas untuk
dijelajahi. Ini adalah satu contoh kecil mengapa saya sangat menikmati
puisi-puisi Intan Raksaprawira.
Bila
ada yang paling saya suka, ada juga my
least favorite poems. Dan itu adalah puisi-puisi Afifah Rosyad di pintu pertama. Afifah terampil merekam hal-hal
yang dialaminya atau terjadi di sekelilingnya. Namun demikian, menurut saya,
puisi-puisi Afifah akan jauh lebih baik bila dituliskan melalui proses
pengendapan dan pematangan. Membaca puisi-puisinya, pembaca langsung tahu apa
yang sedang dibicarakannya. Ini, buat saya, mempersempit ruang interpretasi,
apalagi kalau kebetulan interpretasi akan suatu peristiwa tidak sama dengan
yang dipaparkan oleh puisi. Pembaca jadi penadah informasi, tanpa ruang
imajinasi. Tanpa imajinasi, di mana puisi berdiri?
Di
antara keduanya ada puisi-puisi Va
Madina dan Udo Indra. Tidak
semua puisi-puisi yang mereka tuliskan bisa saya nikmati walaupun terus terang
saya menyukai permainan kata dan bentuk puisi yang mereka tawarkan, terutama
pada puisi-puisi Udo Indra. Coba simak contoh yang satu ini:
TAFSIR
Tanda
Tanya menghadapi Titik.
(Udo
Indra)
Ini
sebentuk puisi yang sangat pendek, hanya satu baris. Memang bukan sesuatu yang
otentik dalam bentuk. Namun demikian, permainan bentuk seperti ini membuat
pembaca lebih lama tercenung untuk menelusuri relung kata-katanya. Dan itu
mengasyikkan.
Demikianlah
“Empat Pintu” bagi saya. Bila anda juga seorang penikmat puisi seperti saya,
tidak ada salahnya anda mengkoleksi buku ini. Bila anda pecinta imajinasi lewat
kata-kata, buku ini adalah teman yang tepat! (db)
***
Pembatuan, 25 Juni 2017
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment