Follow Us @agnes_bemoe

Tuesday 30 April 2019

JOURNEY TO THE SOUL [JTTS]: Terima Kasih, Ibuk (Perjalanan Ke Sendang Sriningsih Klaten)

April 30, 2019 0 Comments


Oktober 2018 lalu, persisnya tanggal 31, saya mengunjungi Gua Maria Sendang Sriningsih Klaten. Saya sedang ada urusan di Yogyakarta. Sebelumnya, dari Pekanbaru, memang sudah saya niatkan mau ke Sendang Sriningsih Klaten.
Saya punya hubungan yang sangat istimewa dengan Sendang Sriningsih. Dan koplaknya saya, beberapa kali ke Yogyakarta, kok ya tak terpikir untuk kembali ke gua Maria ini. Saya malah lebih sering ke Gua Maria Kerep Ambarawa.
Saya lalu memutuskan, saat itu saya harus memilih Gua Sriningsih. Saya punya “hutang” yang sangat besar pada Ibu Maria Sriningsih dan saya belum “membayarnya”.

SAYA DAN IBU MARIA SRININGSISH
Jadi, tigapuluh tahun sebelumnya, tahun 1988, tiba-tiba saja saya mendapati bahwa saya tidak bisa melanjutkan kuliah karena alasan biaya. Ibu saya sudah mengkonfirmasikannya. Kakak saya sudah akan mencarikan saya kerja, pengganti kuliah.
Pemandangan di Perjalanan Menuju Ke Sendang Sriningsih Klaten

Oke deh, mau bagaimana lagi. Saya sangat suka belajar. Saya suka kuliah. Namun, bagaimana lagi kalau memang biaya tidak ada. Saya pun diam-diam mulai mengepak-ngepak barang saya. Oh iya, saat itu saya tinggal di Asrama Syantikara Yogyakarta dan kuliah di IKIP Yogyakarta.
Dengan maksud untuk berpamitan, saya menemui suster pimpinan, Sr. Benedicte, CB. Saya tidak mau bercerita banyak sebenarnya, tapi, kan ditanya alasannya kenapa keluar, jadi saya ceritakanlah kondisi saya. Saya ingat, Suster Ben waktu itu hanya menyimak dan memberi kekuatan.
Ini kata-kata Sr. Ben yang saya ingat sampai sekarang:
Jangan minta angin diredakan, mintalah sayap yang kuat untuk mampu menghadapi badai.
Mungkin Sr. Ben mengutip dari seseorang tapi tetap, saat itu saya sangat terbantu untuk tidak down.
Sr. Ben membolehkan saya menghabiskan sisa semester itu di Syantikara. Dan, saya minta pada Suster untuk merahasiakan ini sampai saya benar-benar keluar. Okesip, Suster setuju. Itu kalau tak salah di bulan-bulan Januari atau Februari 1988.


Datanglah bulan Mei 1988.
Di kampus para mahasiswa katolik IKIP Yogyakarta mengadakan acara ziarah ke Sendang Sriningsih Klaten. Saya memutuskan untuk ikut. BUKAN, bukan untuk ‘ngalap berkah’. Suwer. Saya hanya terpikir, itu mungkin terakhir kali saya berkumpul dengan teman-teman katolik di kampus. Apa salahnya saya menikmatinya.
Saya lupa tanggal persisnya, pokoknya kami, para mahasiswa katolik IKIP Yogyakarta akhirnya pergi ke Sendang Sriningsih. Saya bersama Florentina dan Alexius, teman sejurusan Bhs. Jerman. Waktu itu kami naik truk. Iya, truk, dari Yogyakarta ke Klaten. Jalan masuk ke Gua Maria Sriningsih masih jalan tanah dan gelap banget. Belum ada listrik dan lampu jalanan.
Oke deh, pendek cerita, setelah mendaraskan Rosario dan mengikuti Jalan Salib, sampailah kami di Gua Maria Sendang Sriningsih. Gua itu saat itu hanya diterangi dengan obor. Oh ya, sewaktu mendaraskan Rosario, persis di peristiwa ke-empat, Rosario saya putus. Dalam kegelapan saya tentu sulit menemukan putusan Rosario itu. Dengan sedih saya bepikir, mungkin ini pertanda….
Nah, sampailah kami di depan Gua Maria.
Saya lihat, Florentina dan Alex langsung tekun berdoa. Ndilalah, saya kok malah kelu ya. Orang Jawa bilang: ketenggengen. Sepertinya tak bisa bicara apa-apa. Tak tahu harus berkata apa. Bahkan sekedar berdoa ‘nyuwun’ begitu pun kok ya tak terpikir oleh saya. Jadilah, saya pulang dari Sendang Sriningsih relatif tidak ngomong apa-apa, apalagi nyuwun. Murni rosarioan tok.



Balik ke Yogyakarta dan waktu pun berlalu. Tak terasa sudah bulan Juni. Artinya sebentar lagi nyawa saya di Yogykarta akan tercabut karena ujian semester sudah dekat.
Lalu, di suatu hari di bulan Juni yang cerah itu (hihihi…) Suster Ben berteriak-teriak memanggil nama saya: “Beeem! Bemoe!” (Iya, di asrama saya dipanggil ‘Bemoe’, padahal itu nama Bapak saya! Haduh, Susteeer!)
Suster tanya apakah saya mau kalau ditawari jadi guru. Saya sangka, ada tawaran untuk jadi guru les. Jadi, saya bilang, mau. Suster tanya lagi, kalau tugasnya di Sumatera, mau? Saya bingung. Jauh amat kasi les sampai ke Sumatera?
Ternyata, ada seorang pastor, namanya P. dr. Johanes Halim, Pr. Beliau ketua yayasan sebuah yayasan pendidikan katolik di Riau, namanya Yayasan Prayoga Perwakilan Riau. Beliau ke Yogyakarta memang mencari guru/calon guru untuk yayasannya. Jadi, tawarannya adalah sebuah ikatan dinas untuk saya; kuliah saya dibiayai lalu saya nantinya bekerja untuk yayasan itu. Suster Ben menanyakan, apakah saya mau kalau seperti itu.
Mau?
TENTU SAJA saya mau!
Nah, so the rest is history! Saya lulus, semuanya biaya kuliah dan biaya hidup ditanggung oleh P. Johanes Halim. Saya berkarya di Yayasan Prayoga Perwakilan Riau.


Sulit untuk mengatakan mukjizat itu tidak ada hubungannya dengan Ibu Maria Sriningsih.

Namun demikian, dasar saya ini bebal dan dungu. Baru TIGAPULUH TAHUN setelah peristiwa itu saya menyempatkan diri untuk menjenguk Ibu lagi di Sendang Sriningsih. Padahal ada beberapa kali saya ke Yogyakarta. Kok saya malah ke Kerep dan bukannya mendahulukan Sriningsih. Aduh, Ibu, maafkan saya. (Suwer, saya merasa sangat malu dalam hal ini).

Jadi, ketika ada urusan ke Yogyakarta (setelah dari UWRF di Bali) saya tekadkan ke Ibu Maria di Sendang Sriningsih.


BERTEMU IBU LAGI
Tidak hanya bertekad bertemu Ibu, saya tekadkan untuk hanya mau bilang TERIMA KASIH. Tidak nembung, tidak yang lain-lain.
Maka, saya pun menuju ke Klaten dengan menaiki taksi online.
Perjalanan saya ke Klaten saya ceritakan di sini: Orang Baik Di Mana-Mana


Oh ini toh Gua Maria Sriningsih!
Saya baru lihat area itu dalam keadaan terang saat itu. Waktu dulu saya pergi kan gelap gulita. Lokasinya tenang, hijau, sejuk, indah, ayem. Saya pun sujud di depan Ibu, dan… lagi-lagi tak bisa ngomong apa-apa. Cuman bisa nangis…. Matur nuwun, Ibu. Terima kasih. Pertolonganmu, perantaraan doamu, penyertaanmu, cinta kasihmu yang menyelamatkanku dari drop-out kuliah. Terima kasih telah menjadi Ibu bagiku di saat paling sulit dalam hidupku.


PER MARIAM AD JESUM
Saya tuliskan di blog ini dengan maksud untuk berbagi, siapa tahu ada yang sedang membutuhkan kekuatan doa. Kepada Allah kita berdoa. Namun, Puji Tuhan, dalam iman katolik, Allah menyediakan seorang ibu tempat kita bisa curhat dan mewek dengan jeleknya, seperti kalau kita curhat pada ibu kita sendiri. Dia adalah Ibu Maria. Ibu Maria mendengarkan semua keluh kesah anak-anaknya dan menghantarkannya pada Yesus.
Saya yakin, kisah saya ini bukan kisah pertama yang anda baca tentang penyertaan doa Ibu Maria. Maka, jangan pernah ragu untuk datang kepadaNya melalui ibuNya, Ibu Maria.
Selamat menjalani Bulan Maria di bulan Mei 2019 ini. Per Mariam ad Jesum.


***

Pebatuan, 1 Mei 2019
@agnes_bemoe

Tuesday 2 April 2019

Ini Kata Mas Iksaka Banu tentang "Siapa Mencuri Lukisan Sultan?"

April 02, 2019 0 Comments
Foto millik Iksaka Banu


Sebuah sindikat pencuri barang antik berskala internasional. Sebuah lukisan kuno nan indah di Istana Siak. Seorang mantan satpam. Dua orang kulit putih. Seorang remaja putra berkaki polio, dan seekor anjing pitbull garang (sekaligus lucu) bernama Kopral Jono. Di tangan Agnes Bemoe, semua karakter unik ini dijalin menjadi sebuah kisah detektif remaja ala Lima Sekawan atau Nancy Drew yang mengasyikan.

Membaca buku ini, seolah melemparkan saya kembali ke masa kanak-kanak, saat buku cerita anak Indonesia sedang mengalami masa jaya, berada di tangan para penulis andal yang sangat memahami dunia (dan bahasa) anak-anak, seperti K. Usman, Djokolelono, atau Poppy Donggo Hutagalung. 

Demikian pula buku Agnes Bemoe ini. Di dalamnya, tidak akan kita jumpai kalimat muluk bernada menggurui. Tidak ada kalimat cerewet pamer hitam-putih dogma tentang kebaikan atau kejahatan. Dan yang jelas, tidak merendahkan kecerdasan anak dalam mengikuti 12 bab cerita yang sesungguhnya menuntut kejelian ingatan, bab demi bab ini. Keseluruhan kisah diceritakan lewat sudut pandang remaja, dan diselesaikan dengan cara cerdik khas remaja. “Siapa Mencuri Lukisan Sultan’ merupakan sekuel dari buku ‘Kopral Jono’(2016). 

Saya merekomendasikan buku ini bagi para orang tua yang memiliki putra-putri remaja, sebagai bahan bacaan mengisi liburan pasca ulangan tengah semester, atau akhir pekan mereka.

***

Iksaka Banu, cerpenis dan novelis. Karyanya antara lain: Semua untuk Hindia, Sang Raja, dan Ratu Sekop