Follow Us @agnes_bemoe

Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Friday, 23 November 2018

[Cerpen]: MAMA

November 23, 2018 0 Comments


Biarpun aku memanggilnya “Mama”, beliau bukan ibu kandungku. Bukan ibu tiri atau hubungan lain yang membuatku harus menyebutnya “Mama”. Dulu sekali, aku sempat menjalin hubungan dengan anaknya. Kalau jodoh tidak bermain curang sebenarnya aku bisa menyebutnya “Mama Mertua”.

Hubunganku dengan anaknya terputus. Bukan, bukan karena pertengkaran atau hal negatif lainnya. Hanya karena LDR yang kejam. Juga, kami masih sama-sama muda sehingga mungkin sama-sama tidak yakin untuk memperjuangkan cinta kami. Mungkin juga bahkan tidak yakin ada “cinta” saat itu... hahaha....

Seharusnya, setelahnya semuanya menjadi mudah.
Nyatanya, tidak. Paling tidak, buatku.
Seperti yang terjadi pada hampir semua orang, facebook mempertemukan orang-orang yang tadinya terpisah jauh sekali, termasuk kami. Jujur nih, awalnya aku enggak berkawan lagi -biarpun hanya di fb- dengannya. Tidak, aku tidak marah atau sakit hati. Hanya enggan saja.

Lalu, ketika kali kesekian ia mengirimkan permintaan pertemanan, aku berpikir, mengapa tidak. Bukannya sudah tidak ada apa-apa lagi di antara kami. Apalagi, dia juga sudah menikah, dan pernikahannya bahagia. Mengapa tidak membangun pertemanan yang baik?

Nyatanya, pertemanan yang baik bullshit.
Aku juga heran pada diriku yang lemah ini. Sekaligus juga agak marah. Aku sudah bertekad menghadapinya seperti kalau menghadapi saudara sendiri: ceria dan ketawa-ketiwi. Namun, shits do happen!

Aku tidak sanggup menganggapnya hanya saudara. Teringat kembali masa ketika kami masih bersama. Teringat kembali setiap detiknya. Dan itu berat rasanya. Buatku.

Apalagi, dia bukan orang yang brengsek. Sebaliknya, dia orang yang lemah lembut yang berbeda sekali dengan aku yang pecicilan. Apalagi, seperti kusebutkan di atas, kami berpisah bukan karena pertengkaran atau ketidakcocokan. Kami berpisah ketika masih sama-sama saling mengasihi.... Tentu saja, kenangan terakhirku tentangnya adalah kenangan yang indah. Jujur, tidak bisa kutemukan hal yang kurang baik tentangnya atau tentang hubungan kami.

Dan di luar dugaanku (jujur nih, aku tidak merencanakannya), cinta yang kusangka sudah punah dan mati, perlahan merayap keluar dari reruntuhan hati.


Bisa diduga, aku cuma bisa menanggapinya dengan air mata. Setiap saat terputar ulang kenangan akannya. Seperti movie marathon di kepalaku. Dan itu mendera hatiku.

Aku protes pada Tuhan (tentu saja). Kenapa, Tuhan. Kenapa Engkau pisahkan. Cinta kami begitu indah, tulus, dan sederhana. Banyak orang yang tak saling cinta ternyata bersatu dalam rumah tangga. Kenapa kami yang jelas-jelas saling mengasihi tak kau izinkan bersama. Lalu, kenapa sekarang Kau pertemukan kami kembali? Tuhan, kalau Engkau berniat menghancurleburkan hatiku, Engkau sukses besar!


Ketika sedang sangat hancur itulah aku “bertemu” Mama. Aku melihat beliau jelas sekali. Beliau hanya berdiri sambil tersenyum. Awalnya, aku merasa itu hanya mimpi biasa. Mungkin karena aku sedang mengingat-ingat masa lalu. Namun, pikiranku berubah ketika kuceritakan mimpiku itu pada adik kekasihku (masih kusebut ‘kekasih’, boleh ya. Hanya karena aku masih menghasihinya saja bukan karena kami kembali menjadi kekasih). Ketika kuceritakan detil baju yang dipakai Mama, adikku itu terkejut. Itu benar-benar baju yang dimiliki dan dipakai Mama. Waduh. Giliran aku yang kaget. Pasti ini bukan sembarang mimpi. Tapi apa maksudnya ya....

Lalu, aku mendapati, biarpun nyaris setiap hari aku teringat akan kekasihku itu (dan menangis dengan jeleknya), ada saat-saat ketika aku sudah merasa sangat tidak kuat, Mama hadir....

Terakhir adalah dua hari yang lalu.
Dua hari yang lalu adalah full moon, ‘kan? Nah, bulan menempati posisi penting dalam kenanganku. Melihat bulan yang cantik di awan aku teringat dia. Teringat kami. Teringat cinta kami. Ambruklah aku.... Rasanya remuk hatiku, melihat cinta yang seharusnya bisa kumiliki ternyata lepas dari jangkauanku. Seperti bulan cantik yang terasa dekat namun jauh di ujung alam semesta.

Lalu, untuk kesekian kalinya Mama datang. Mama mengelus-elus kepalaku. Kepalaku yang sengaja kuletakkan di pangkuannya. Ketika terbangun, tambah deras air mataku. Sulit kugambarkan perasaanku. Mama selalu hadir ketika aku sedang rindu berat pada anaknya. Namun, dalam kehancuran perasaanku, ternyata aku punya Mama yang jauh di sana yang masih mengasihiku seolah-olah aku anaknya sendiri. Untuk itulah aku mengucurkan air mataku.


Beliau bukan ibu kandungku. Bukan orang yang bisa kusebut “Mama” karena hubungan kekerabatan. Beliau ibu orang yang kukasihi. Namun demikian, sulit kukatakan kalau beliau bukan ibuku, entah dalam hubungan apapun. Penyertaan dan kasihnya sepertinya melebihi kasih seorang ibu kandung.

Kudoakan kebahagiaannya di alam sana. Aku berjanji –semoga Tuhan merestui- akan sesegera mungkin menaburkan bunga dan berdoa di makamnya. Aku tak bisa egois hanya memonopoli Mama untuk diriku. Mama juga perlu beristirahat dengan tenang. Tapi, Ma, kalau Mama mau datang lagi, sering-sering juga malah aku lebih senang. I love you, Mama. I love you. 

Sekali lagi, Ma, I love you. Rest in most beautiful peace....


***

Pekanbaru, 25 November 2018
@agnes_bemoe


Teruntuk: Mama CPNB

Baca juga di Wattpad: MAMA

Wednesday, 29 June 2016

BELAJAR MENULIS CERPEN DARI SELEKSI #PENTIGRAF

June 29, 2016 0 Comments
Beberapa waktu yang lalu saya mendapat tugas menyeleksi sejumlah cerpen tiga paragraf ( #Pentigraf) di sebuah grup menulis. Di samping beberapa yang lemah, saya membaca banyak cerpen yang bagus-bagus. Lalu, lama-lama, saya merasa menemukan semacam pola pada cerpen-cerpen yang bagus itu. Ujung-ujungnya, saya bersyukur banget mendapat tugas menyeleksi ini. Ini merupakan pengalaman pembelajaran buat saya. Nah, pengalaman itulah yang saya tuangkan di sini.

Gambar diamil dari Google

BEDA ANTARA CERPEN, INFO/BERITA, KOTBAH, DAN CURHAT
Katakanlah, empat orang mendapat ide tentang “kematian”. A membuatnya menjadi semacam info/berita: tokoh bercerita tentang teman masa kecilnya, dari awal pertemanan sampai temannya kemudian meninggal. B membuatnya menjadi semacam renungan tentang kematian diakhiri dengan pesan tentang kehidupan. C membuatnya menjadi semacam luahan perasaannya tentang kematian orang terdekatnya. Dalam konteks menulis cerpen, ketiga jenis tulisan di atas tidak terlalu menarik dibaca. Yang bergaya info/berita terasa kering, tidak ada lompatan emosional yang ditunggu pembaca. Yang bergaya kotbah terasa (maaf) memuakkan. Toh ada banyak penulis renungan yang lebih bagus dan enak dibaca kalau kita memang ingin membaca renungan. Yang bergaya curhat membuat pembaca kelelahan karena merasa “ditumpahi” cerita. Tidak ada alur, tidak ada plot, terkadang (seringnya) dengan bahasa yang tidak efektif a la curhat, belum lagi biasanya ‘lebay’ secara emosional.  
D mengambil ide “kematian” kemudian memikirkan “bagaimana saya membuatnya menjadi menarik”. Ia menyusun alur, menyusun plot, membentuk karakter, menentukan konfliknya, memikirkan endingnya, memikirkan kata-kata yang akan ditulis apakah cukup tepat atau tidak, dan seterusnya seperti yang disarankan teori-teori penyusunan cerita.

EKSEKUSI IDE
Saya rasa, tujuan untuk membuat menjadi menarik inilah yang membedakan. Ada banyak penulis berhenti pada menulis, titik. Pokoknya menulis, tanpa peduli apakah tulisannya menarik untuk dibaca atau tidak. Penulis cerpen memikirkan dengan cermat eksekusi atas ide yang didapatnya. Ia mengolah ide sedemikian rupa sehingga tulisannya jadi semacam hidangan yang lezat dan bukan sekedar kumpulan beras, lauk mentah, dan bumbu-bumbu (lalu mengharap pembaca mengunyah sendiri).  Ia memulai dengan efisien (tidak bertele-tele). Ia bercerita dengan lancar dan memikat. Ia menggiring pembaca pada ending yang sedap. 
Bicara tentang eksekusi, mengandaikan ada proses wajib yang dilalui penulis. Proses itu bernama rewriting (membaca dan menulis ulang): setelah mendapat ide dan menuliskannya, penulis membaca kembali sambil memperbaiki tulisannya. Seringnya ini perlu dilakukan berulang-ulang sampai penulis benar-benar puas akan hasilnya.

TATA TULIS YANG DISIPLIN
Selain eksekusi yang memikat, saya mendapati bahwa cerpen-cerpen yang asyik dibaca ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya salut pada penulis yang menulis dengan tertib seperti ini. Kata Sutardji Calzoum Bachri: “seindah-indahnya bahasa, akan rusak juga bila dipakai oleh orang yang tak peduli dan lalai.” Bahasa Indonesia itu bahasa yang indah dan unik. Yang mengaku penulis seharusnya lebih getol mempertahankannya ketimbang merusaknya.
Apakah Bahasa Indonesia yang baik dan benar lantas membuat tulisan kaku? Tidak tuh. Dalam konteks seleksi #Pentigraf ini baca saja tulisan Tengsoe Tjahjono, Krismariana Widyaningsih, atau Wrini Harlindi. Ini hanyalah tiga orang di antara banyak penulis yang menulis dengan tertib dan tulisannya enak dibaca. Ada penulis yang memilih gaya jenaka dalam menulis dan mampu menulis dengan tertib tanpa bersembunyi di balik alasan kejenakaan (gokil). Coba baca tulisan Theresia Anik Soetaryo atau Fidelis R. Situmorang.

PENUTUP
Sekali lagi saya bersyukur mendapat tugas menyeleksi cerpen-cerpen ini. Terpapar dengan bacaan yang bagus dan menarik membuat saya seperti bersekolah dengan gratis. Namun demikian, “kunyahan” saya tentang cerpen yang bagus ini adalah yang paling tepat untuk “pencernakan” saya. Saya yakin, teman-teman pembaca punya “kunyahan” tersendiri yang lebih baik untuk diri teman-teman sendiri. Yang penting, tetap semangat menulis. (db)

Pembatuan, 30 Juni 2016
@agnes_bemoe

Apa itu "Cerpen Tiga Paragraf" dapat dibaca di blog Tengsoe Tjahjono di sini.


Tuesday, 13 May 2014

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: SEMBILAN CERITA

May 13, 2014 0 Comments
Judul Buku         : Dongeng untuk Nara
Penulis                 : Denny Ketip
Editor                 : Y. Wibowo
Penerbit                 : BE Press
Genre                 : Kumpulan Cerpen
Jumlah Halaman : 76 halaman, 13 X 19 cm
Tahun Terbit         : 2014



Hidup sehari-hari sesungguhnya narasi yang tak ada habisnya. 

Itu yang pertama saya rasakan setelah membaca sembilan cerita di buku kumpulan cerpen Denny Ketip ini. Sembilan cerpen di dalamnya menceritakan hal-hal “biasa” yang ada di sekitar kita. 

Ambil kisah pertama, “Mbah Diem”, yang mengambil konflik umum: bertabrakannya sistem kepercayaan tradisional dengan tsunami modernisasi. Di posisi manapun kita duduk sambil membaca cerita ini, di kafe dengan secangkir cappuccino atau di terminal bis antar kota antar provinsi, kita merasakan konflik yang mirip. Siapa yang tidak pernah merasakan kegamangan akibat perbenturan antara ruang tempat kita berasal dengan ruang kemana kita -mau tak mau- pergi?

Atau cerpen “Suatu Malam”. Cerpen ini menggambarkan romantisme kehidupan orang susah. Siapa dari kita yang tidak pernah bertemu dengan situasi yang mirip, atau bahkan mengalaminya sendiri? Me-reframe kondisi pahit menjadi manis. Duka menjadi indah. Loser goes to winner.

Sembilan cerpen ini seperti kamera. Memotret hidup sehari-hari apa adanya, lalu diproses begitu saja tanpa bantuan teknologi fotografi. Alamiah. 
Sembilan cerpen menyebar terserak tanpa satu pengikat. Namun, apa juga pentingnya suatu pengikat? Bukannya bisa saja jatuh pada aksesoris semata? Seperti bros di baju wanita, dipakai oke, tidak juga tidak apa-apa. 

Sembilan cerita, harus saya akui sebagian besarnya sangat saya nikmati. 
Favorit saya adalah “Sebait Puisi”. Cerita tentang seorang pria brengsek yang menemukan tambatan hatinya ketika ia sedang teruburu-buru dan berdoa asal-asalan di gereja. Ternyata, wanita yang digila-gilainya tak bisa dimilikinya karena wantia itu seorang biarawati.  Saya suka dengan cara penceritaannya yang lugas mengalir lancar. Tidak bertele-tele. Tidak juga menjual kecengengan a la orang yang sedang kasmaran. Walaupun demikian, saya bisa merasakan kekecewaan si aku waktu tahu ia tidak bisa memiliki wanita pujaannya. Isapan kretek yang dalam yang dilakukan si aku secara berulang kali sudah cukup mewakili perasaannya, tanpa perlu kata-kata panjang lebar. 

Cerita berikutnya “Mata Hatimu Menopang Tanganku” juga mencuri hati saya. Ceritanya sangat kuat dan menyentuh. Lagi-lagi memotret kehidupan sehari-hari yang penuh dengan ketidakmudahan tanpa berlebay-ria. Menurut saya, ini cerpen paling kuat di kumpulan cerpen ini. 

Sembilan cerita, memang tidak semuanya bisa saya pahami. Ada yang ilustrasinya terlalu panjang, menurut saya (Mbah Diem). Atau endingnya terlalu mudah (Satu Malam untuk Patra), masih menurut saya. Namun, saya juga tidak berpretensi bisa memahami semua yang saya baca. Saya tidak ingin subyektivitas berlebihan menguasai diri saya.
Yang secara obyektif mengusik saya adalah penerapan tata tulis setiap cerpennya. Saya pikir sembilan cerita ini memerlukan proses editing di bagian ini. 

Di luar itu semua sembilan cerita di kumcer “Dongeng untuk Nara” sangat beruntung karena terbungkus oleh kaver yang sangat menarik. Gambar bulu dalam gradasi warna cokelat sangat memancing imajinasi.

Akhirnya, saya rekomendasikan sembilan cerita ini untuk siapa saja yang suka melibatkan diri dalam hidup sehari-hari yang penuh cerita ini. Hidup sehari-hari sesungguhnya narasi yang tak ada habisnya. Sembilan cerita di “Dongeng untuk Nara” membuktikannya. 

***

Pekanbaru, 13 Mei 2014
Agnes Bemoe