Follow Us @agnes_bemoe

Sunday 29 June 2014

THE LUNATIC SIDE of ME [TLSoM]: KEABADIAN

June 29, 2014 0 Comments
Aku tahu, 
Waktu bukanlah sahabat terbaikku,
Namun, aku yakin,
Di suatu keabadian lain 
-yang aku tak tahu dimana tempatnya-
Engkau adalah milikku
Seutuhnya
Selamanya
...



Pembatuan, 23 Juni 2014
Agnes Bemoe

THE LUNATIC SIDE of ME [TLSoM]: 27 JUNI

June 29, 2014 0 Comments
:: 27 Juni ::

Sumpah,
Menjadi ayah membuatmu seribu kali jauh lebih tampan
Padahal wajahmu kuyu, tak tidur semalaman
Rambutmu awut-awutan, tak berbentuk, acak-acakan

Namun sinar di matamu,
Tak ada bintang yang bisa mengalahkan...

Sumpah, 
Engkau jadi jauh lebih tampan
Ketika menggendong untuk pertama kalinya
Bintang paling benderang
Di kedua tanganmu
...



Pekanbaru, 27 Juni 2014
Agnes Bemoe

Tuesday 10 June 2014

You Were The Only One Who Saw Me When I Was Invisible - Why I Dedicate My Book To Her

June 10, 2014 0 Comments


Kumcer terbaruku, “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” sudah terbit. Segera diburu ke Gramedia terdekat ya. Lalu, lihat di halaman pertama. Bukaaan, bukan judul dong, setelahnya lagi…. Ya! Ada halaman dedikasi dan di halaman itu aku nuliskan nama temanku yang kepadanya aku dedikasikan bukuku ini.

Rasanya tidak bisa habis mengucapkan terima kasih sama temanku, mentorku, sparring partnerku dalam bergossip (hihihi…) ini. 

Bantuannya spontan, sepertinya tidak takut tersaingi (cieeh… emang bisa?! :p) Sepertinya tidak sempat memikirkan untung ruginya kalau membantu orang. Dan sepertinya yang dibantunya adalah orang yang dikenalnya luar dalam (siapa tau saya mesin kan? Hahaha….)

Kumcer “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” ini adalah salah satu yang saya “todongkan” padanya untuk dibaca dan diberi masukan. Seratus persen nodong, karena kirim naskah dulu ke beliau baru bilang minta tolong jadi first-reader. Keliatan nodongnya kan? Yet, beliau sepertinya tidak keberatan direpotkan dengan membaca naskahku ini. Padahal proyek beliau menumpuk. Mana masih mengurusi tiga orang pria tampan di rumahnya lagi….

Dan kalau sekarang naskah yang ditodongkan itu sudah jadi buku, maka amat sangat layak kalau namanya saya terakan di halaman dedikasi. Mudah-mudahan di lain waktu saya bisa berterima kasih secara lebih layak.

Ngomong-ngomong, siapa sih beliau? *bukan quiz* wkwkwk…

Sila intip namanya yang cantik di Kumcer “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars”. Yaps! Benar, she was the only one who saw me when I was invisible… Tons of thanks, dear….

***

Pekanbaru, 11 Juni 2014
Agnes Bemoe

BEHIND THE SCENE [BTS]: BO & KAWAN-KAWAN DI PETERNAKAN KAKEK ARS

June 10, 2014 6 Comments
PITA DAN BO




Membicarakan “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” mau tidak mau harus menyinggung buku pertama saya, judulnya “Pita, Si Pipit Kecil”. Buku bilingual ini terbit secara indie pada 1 Desember 2010. “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” sebenarnya kelanjutan dari “Pita, Si Pipit Kecil”.

Tanggal 1 Juli 2010 secara resmi saya bukan lagi seorang guru. Saya langsung mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu, apa saja, asal tidak menganggur di hari itu. Kegiatan pertama yang terlintas adalah menulis. Jadi, pukul 8.00 persis saya sudah ada di balik laptop.

Kebetulan di saat yang sama, saya sedang punya banyak hal untuk dicurhatkan. Entah bagaimana curhatan saya itu terluahkan dalam bentuk cerita anak. Catatan: saya tidak pernah membayangkan diri saya sebagai penulis cerita anak. Saya belum pernah menulis cerita anak sebelumnya. Saya lebih banyak menulis artikel pendidikan atau puisi/cerpen dewasa.

Nah, dengan membiarkan kepala saya dibawa oleh takdir, jari-jari saya mengetikkan sejumlah cerita anak. Paling tidak sehari satu cerita. Ceritanya tentang apa? Tentang seekor burung pipit yang menerima perlakuan tidak adil dan kejam dari Raja Kishin dan antek-anteknya (sebetulnya bukan konsumsi anak-anak ya? :D ). Pita diusir dari istana Raja Kishin. Ia mengembara di Hutan Kumalama. Dalam pengembaraannya ia bertemu banyak teman dan membagikan kebaikan serta kebijaksanaan bagi teman-temannya.

Waktu cerita-cerita itu saya unggah di facebook, beberapa teman bilang “bagus”. Beberapa lagi menyemangati untuk diterbitkan. Singkat cerita, sepuluh dari beberapa cerita Pita itu saya terbitkan secara indie di Penerbit LeutikaPrio.

DARI MANA IDENYA?




Seperti saya katakan di atas, cerita-cerita Pita sebenarnya curcol saya. Kegetiran saya melihat orang (dewasa) tidak segan melakukan hal-hal rendah (memfitnah, menuduh semena-mena, atau bersikap sombong dan sok kuasa, bahkan sampai membunuh karakter seseorang) hanya demi kekuasaan atau kedudukan. Orang dewasa yang saya maksud ini bahkan ada di lingkungan pendidikan dan dekat dengan kehidupan rohani spiritual.

Sudut pandang saya langsung teralih pada para korbannya. Bagaimana kalau para korbannya tidak punya kekuatan mental untuk menghadapi situasi sulit seperti itu? Dan, yang lebih mencemaskan saya lagi, bagaimana kalau korbannya adalah anak-anak? Apakah mereka siap? Sebagai seorang (mantan) guru, saya tahu persis, sekolah tidak persis betul mempersiapkan anak-anak untuk hal-hal seperti ini.

Ada pada situasi ini membuat saya seperti kedatangan ide. Berbagai cerita sepertinya langsung menari-nari di kepala saya, minta ditulis. Dan memang langsung saya tulis. Asli, benar-benar ditulis mentah, tanpa tahu bagaimana sebaiknya struktur tulisan untuk anak-anak. FYI cerita di Pita, satu cerita bisa sampai 1.200 kata! Setelahnya baru saya tahu bahwa untuk anak sebaiknya jumlah kata berkisar antara 500 – 600 kata.
Selain itu, bahasanya juga masih berat sekali untuk anak-anak. Okelah, there always be the first time for everything kan? :D

KE PENERBIT MAYOR
Waktu sudah mengenal penerbit mayor, saya berniat menerbitkan sisa cerita yang belum sempat terbit. Saya kirimkan lima buah cerita. Tokohnya saya ubah, tidak lagi seekor pipit kecil di sebuah rimba, melainkan tokoh hewan-hewan laut (penyu laut, cumi-cumi, barakuda, dll).

Ceritanya juga saya lengkapi dengan permainan untuk mengenali emosi a la buku Emotional Intelligence – Daniel Goleman. Kebetulan, waktu masih menjadi guru, saya sering menuliskan artikel pendidikan. Artikel-artikel itu sebenarnya “perpanjangan” (atau potongan) dari buku-buku pendidikan yang saya baca, salah satunya buku-buku Emotional Intelligence Daniel Goleman. Nah, beberapa dalil dalam buku Daniel Goleman inilah yang saya sisipkan di masing-masing cerita.

Memupuk kecerdasan emosional inilah yang menurut saya sangat kurang diperhatikan dalam sistem pendidikan formal. Di dalam keluarga, kita sepertinya belum sepakat tentang bagaimana mendidik anak (contoh sederhana: dalam hal buang sampah, TIDAK semua keluarga mengajarkan hal ini, apatah lagi bila bicara kecerdasan emosional). Ini lebih mendorong saya untuk menuliskan cerita-cerita ini.

Saya ingin para pembaca kecil bisa mengidentifikasikan diri mereka dengan masing-masing tokohnya. Bila kebetulan mereka menjadi sasaran perlakuan kurang menyenangkan, mereka mendapat contoh bagaimana mengambil tindakan yang tepat. Bila kebetulan mereka bukan yang menjadi sasaran, paling tidak mereka bisa ikut merasakan atau berempati. Empati adalah salah satu indikator kecerdasan emosional yang sejak dini harus dilatih.

Atas dorongan dari Dian Kristiani (tidak perlu saya jelaskan siapa), saya mengirimkan lima cerita tersebut ke Penerbit BIP. Syukurlah konsepnya diterima. Hanya saja dengan beberapa pertimbangan, karakternya diganti, tidak menggunakan hewan laut. Disarankan untuk mengganti dengan hewan di peternakan atau di hutan. Karena hewan di hutan sudah tertuang dalam PITA maka saya memilih hewan di peternakan: sapi, kambing, kuda, domba, ayam, itik, keledai, bahkan tikus dan kecoak. Saya memasukkan tokoh manusia yaitu Kakek Ars, pemilik peternakan.

Sebagai tokoh sentral saya memilih seekor sapi yang saya beri nama Bo. Tidak ada alasan khusus kenapa harus sapi dan harus Bo. Tercetus begitu saja. Saya pikir, cute juga nama Bo.

Disarankan juga menambah cerita menjadi delapan. Usulan ini malah menimbulkan ide di kepala saya: kenapa tidak dibuat setting negara empat musim, masing-masing musimnya dua cerita. Jadi seolah-olah sepanjang tahun ada cerita. Ini menggambarkan bahwa setiap saat kita pasti menghadapi tantangan.

Maka, saya tulis tiga cerita tambahan dan merevisi cerita sebelumnya. Salah satu ide untuk cerita tambahan saya dapatkan dari… usulan seorang pembaca kecil PITA! Iya benar. Saya punya teman fb, Vincensia Naibaho namanya. Ia punya seorang putri bernama Liwen. Setelah selesai membaca PITA ia tanya pada mamanya: kenapa tidak dibuat cerita tentang Pita yang menolong seseorang (atau seekor) yang buta? Wah, ide itu langsung saya tangkap. Dan jadilah cerita “Yuk, Nyanyi!” –cerita pertama di “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars”- Terima kasih Liwen atas usulan idenya. Bangga sekali bisa memenuhi permintaan seorang pembaca cilik.



Pendek cerita, cerita tambahan dan revisi diterima.

Langkah selanjutnya: illustrator.
Saya bersyukur sekali kenal dengan InnerChild Std (Kang Dwi dan mbak Maya cs). Tanpa banyak kesulitan ilustrasi dibuat oleh InnerChild Std. Hasilnya juga imuuut banget! Saya sampai amazed sendiri! Melihat previewnya saja sudah ternganga-nganga, apalagi melihat dummy-nya. Dan, apalagi melihat bukunya langsung!

LEMBAR DEDIKASI
Lembar ini adalah lembar yang saya usulkan di last minute. Last, but not least pastinya. Sebagai penulis baru saya tentu masih segan mengajukan penambahan halaman, dll. Padahal keinginan untuk mendedikasikan buku ini pada seseorang sudah terbit sejak pertama kali diajukan ke penerbit.

Nah, pada last minute itulah saya mengajukan lembar dedikasi ini pada mbak Putri (editor waktu itu). Syukurlah ternyata usulan ini diakomodir.

Buku ini saya dedikasikan untuk seorang penulis terkenal yang selama ini sudah begitu baik hati pada saya, menjadi mentor saya, meng-encourage saya, dan segala yang bisa dilakukan sehingga ulat bulu ini survive di kepompongnya... hehehe...

Ya, bila anda melihat halaman pertama di buku ini, anda akan menemukan nama cantiknya di situ. Anda mengerti sekarang, mengapa nama itu yang saya terakan.

TERBIT!




Awal Juni 2014 kemarin saya sedang jalan-jalan ke Padang. Saya menyempatkan diri ke Gramedia. Betapa terkejutnya saya, “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” ternyata sudah nongkrong manis di rak! Wow!

Mudah-mudahan “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” diterima oleh pembaca ya…. Terima kasih untuk Penerbit BIP, terima kasih untuk InnerChild Std. Terima kasih buat semuanya. God bless us.

***

Pekanbaru, 11 Juni 2014
Agnes Bemoe

Monday 9 June 2014

THE LUNATIC SIDE of ME [TLSoM]: SEJUMPUT DOA

June 09, 2014 0 Comments
Sumber: http://sitilutfiyahazizah.wordpress.com/2013/annual-report/


SEJUMPUT DOA
       :: David Alexander

Bukan sejuta, 
Hanya sejumput doa
Supaya pada suatu masa
Sayap kecilmu merentang 
Membelah awan-awan

Dan engkau, Lelaki Kecilku, gagah berdiri
Persis di sebelah mentari

Bukan sejuta,
Hanya sejumput asa
Bahwa pada suatu rinai hujan yang kita sibakkan,
Sayap kita bersua juga

***

7:37
Pembatuan, 10 Juni 2014
Agnes Bemoe

BOOK THROUGH MY EYES [BTME] : Cinta yang Sangat Perempuan di Dunia yang Sangat Laki-Laki

June 09, 2014 0 Comments
Judul Buku : Mata Likku
Penulis : Christo Ngasi
Editor : Nitzae Hironimus
Desain Cover & Isi : Ragil Sukriwul
Penerbit : Mozaik Books
Genre : Novel
Jumlah Halaman : xvi + 162 halaman
Tahun Terbit : Maret 2014 Cetakan Kedua

Foto milik F.R. Situmorang


Membaca “Mata Likku” seperti makan sirih pinang buat saya: kunyahan-kunyahan awal  adalah pahit, getir, panas bahkan. Seiring memerahnya mulut dan bibir, saya terseret pada tragedi cinta dari negeri Marapu ini, sambil sayup-sayup terdengar ghiliking dan kwuking di belakang saya.   

Cinta dan tragedi. Berapa tragedi dibutuhkan untuk membuktikan ketulusan cinta? Romeo-Juliet, Sampek-Engtay, Layla-Majnun. Roro Mendut-Pronocitro, Siti Nurbaya-Samsulbahri, Srintil-Rasus, Lagaligo-I Da’Batangeng, Jayaprana-Layonsari. Lalu, sayup dari Timur Indonesia, jauh di jantung Pulau Sumba, tempat Marapu memberi pinjaman nyawa, menusuk lagu yang sama, mengalir dari sebuah mata air bernama “Mata Likku”.

Adalah hikayat bertajuk “Odi Lakawa Maghine”, tentang seorang gadis cantik yang dicintai oleh dua pemuda dari dua suku berbeda. Karena tak berdaya menolak cinta kedua pemuda, sekaligus ingin mencegah pertumpahan darah antar dua suku, gadis itu merelakan dirinya dibelah dua. Masing-masing tubuhnya lalu diambil oleh dua pemuda yang mencintainya. Hikayat inilah yang diracik kembali oleh Christo Ngasi dalam Mata Likku:

“Aku ingin mengawali kisah ini, biarkan aku bersuara. Para leluhur, bantulah aku.” seru frater muda ini mengawali tulisannya.

Lalu, aliran puitis –nyaris seperti prosa liris- “Mata Likku” membanjiri imajinasi. Kaya dengan tradisi Sumba, cerita ini berpusat pada seorang pemuda gagah dan tampan dari suku Mbuka Regha. Nani namanya.Tumbuh sebagai pemuda gagah, Nani tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berpetualang mencari cinta. Laura, gadis cantik berkulit langsat bermata binar yang dilihat Nani di mata air Mata Likku membuat pemuda itu merasakan panas dinginnya cinta untuk pertama kalinya. Biarpun sudah diingatkan bahwa tidak mungkin bisa menyunting Laura -karena sejarah kelam antara dua keluarga mereka- Nani, seperti umumnya orang yang sedang kasmaran, memilih untuk meletakkan sebentar akal sehatnya.  

“Mengapa kami yang harus menanggungnya, Ayah! Kami tak tahu apa-apa tentang semua ini. Biarlah masa lalu itu pergi. Ayah, aku mencintainya.”

Dan seperti semua pemuda yang merasa bisa membalikkan dunia begitu saja ia berkata lantang:

“Ayah, kalau mimpi ayah seperti itu aku ingin menghijaukan ulang padang itu. Aku ingin merindangkan pepohonan itu kembali dan ingin membuat air itu jernih layaknya cermin. Aku ingin mengobati luka lama itu dan mencabut patok kedengkian itu. Akulah Nani, putramu. Aku minta restu ayah agar Marapu mengizinkan aku untuk memiliki perempuan itu,” (Hal. 19)

Cinta Nani tidak bertepuk sebelah tangan. Laura memberi isyarat. padang sabananya menanti kuda-kuda helaan Nani. Keduanya langsung tahu pada pandang pertama bahwa getar  dawai hati mereka ada di nada yang sama. Yang mereka berdua tidak ketahui tragedi bersisian begitu dekat dengan cinta mereka.


Pada saat yang sama Nani bertemu dengan Ndaido, dan jatuh hati juga pada gadis itu. Tragedi mulai mengalungkan selendangnya ketika Nani tersesat di dua cinta ini. Tragedi makin erat merengkuh ketika ketika Nani mendapati Laura disembunyikan oleh keluarganya, supaya tidak dapat dipersunting Nani. Sementara itu, Nani juga tidak kunjung bisa mendapatkan Ndaido.

Bermaksud mencari Laura, Nani memutuskan pergi ke tanah seberang, ke Liombo Sasak. Di sana ia malah berkenalan dengan Aminah dan menikahinya. Segera setelah melahirkan anak pertama mereka, Aminah meninggal. Kehilangan yang telak buat Nani karena sebelumnya bayi yang dilahirkan Aminah meninggal saat lahir.  Remuk redam, Nani kembali ke Pulau Sumba. Ia mendapati bahwa Laura selama ini ternyata ada di pulau Sumba. Ia tidak kemana-mana seperti yang gencar diberitakan oleh keluarga Laura. Tidak hanya itu saja, Laura ternyata sudah ditunangkan dengan pria lain.Di lain pihak, tanpa Nani ketahui, selama ini Laura menunggu-nunggu kedatangan Nani. Gadis ini menyangka Nani telah melupakan cinta mereka. Dalam keputusasaannya, Laura akhirnya menerima Lero, biarpun ia tidak mencintai pemuda dari Waijewa tersebut. 


Tragedi tidak hanya meluluhlantakkan Nani. Ia juga mengincar Laura. Laura sekarang berada di antara dua pria: Lero atau Nani.
Tragedi tidak menyisakan banyak ruang bagi Laura untuk bernapas. Memilih salah satunya sama dengan membuka pertempuran baru antar dua keluarga. Menolak keduanya, apalagi!

Biarpun novel ini sangat macho: panjang mengulas perjalanan cinta seorang pemuda bernama Nani, namun penyenyelesaiannya ternyata sangat feminin. Penyelesaiannya ada di tangan Laura. Dan ia memilih cara-paling-perempuan: mengorbankan diri. Laura membiarkan tubuhnya dibelah dua, masing-masing untuk kedua pemuda yang sudah dijanjikan cintanya.

Pengorbanan untuk harga diri. Harga diri sebagai persembahan paripurna bagi lelakinya. Harga diri yang  akan jadi kebanggaan yang diceritakan lelakinya. Harga diri yang nantinya akan dijunjung keluarga besar, turun temurun.  -Sejurus, saya teringat akan Dewi Shinta. Istri Rama ini rela dibakar sebagai bukti kemurnian dirinya setelah beberapa waktu disekap oleh Rahwana.-

Harga diri, membuat seutas nyawa jadi tak lagi berharga. Tapi, harga diri ini yang diyakini membuat kepala setiap ayah dan ibu akan tetap tegak bila membicarakan anak-anak perempuan mereka. Tidak hanya itu saja, harga diri ini membuat setiap lelaki bangga alang kepalang menerima pengorbanan demikian mutlak.

Dengan ini hikayat Mata Likku diakhiri.

Salam dari Sumba


Dan dengan ini pula saya menyadari, bahwa selama membaca novel ini, saya sudah digiring ke alur yang keliru. Ini ternyata kisahnya perempuan
Ini bukan tentang sepak terjang Nani mencari cinta. Awalnya (dan sampai detik ini) saya marah berat melihat Nani mengangguk takzim pada paham “pria cenderung berpoligami” (Baca bab “Pergolakan Bathin” dan “Ciuman Terakhir”). Awalnya saya kesal karena Nani menebar cinta pada hampir semua perempuan yang ditemuinya. Nani sama sekali bukan tokoh hero buat saya!

Saya kecele! Abaikan Nani. Sebab novel ini punya heroin: Laura.

Laura adalah Mata Likku yang sebenarnya. Darinya mengalir kekuatan air: segar, bening, jernih, menghidupkan, menyejukkan. Air melewati jutaan bebatuan untuk memurnikan dirinya. Air menyerap kehangatan matahari dan mengembalikannya pada peminum pertama di setiap subuh. Air mengalir menuruti lekuk bumi. Ada yang mencerca dengan mengatakan mereka tak berpendirian dan mau merendahkan diri. Namun, dengan jadi seperti itulah sabda alam terlantunkan dengan merdunya. Laura mencerap semua kebijakan tanah Marapu dengan sempurna. Simak waktu ia menari dan bersyair di malam terakhirnya:


Yo Maingge mala maingge
Yemi ina Leiro ana
Kimattu bolo matta
Ba mateguwe koka
Yo Maingge mala maingge
Yemi bapa baba ana
Kitanga bolo wiwi
Bazedaguwe koka


(Mama dan Bapa datanglah bersama-sama, 
Untuk menemani aku malam ini saja,
Besok aku akan berduka dan mati
Karena satu cinta)


Ia mengembalikan semua pada alamnya, pada ayah dan ibunya (dan juga pada sanak keluarganya). Ia adalah air, bagian tak terpisahkan dari alam. Dan ke alam, ia kembali.


Lalu, tinggallah saya sebagai pembaca yang berang. 
Mengapa hanya Shinta yang membakar diri? Siapa suruh Rama meninggalkannya begitu saja di hutan? Adakah jaminan Rama tidak melirik-lirik perempuan lain? Mengapa Laura yang merasa perlu bertanggung jawab dan membagi dirinya sama besar? Sementara Nani tidak merasa perlu melakukan hal yang sama. Mengapa para pria perkasa itu tidak mencegah Laura melakukan tindakan setragis membelah dirinya? Mengapa tidak ada yang mau mengalah? Puaskah mereka mendapat potongan tubuh gadis yang konon mereka cintai? Terakhir, benarkah Laura yang mereka cintai? Ataukah mereka sebenarnya hanya mencintai ego mereka sendiri?

Apakah cinta selalu identik dengan pengorbanan? Apakah cinta, kehormatan, dan harga diri menginginkan ada yang menderita? Tanya sang petutur cerita di akhir cerita.

Saya ingin merusak line yang indah itu dengan pertanyaan:

Apakah cinta selalu identik dengan pengorbanan di pihak perempuan? Apakah cinta, kehormatan, dan harga diri menginginkan perempuan menderita?

Ini bisa saja jadi litani pertanyaan maha panjang. Sampai akhirnya saya berusaha memahami bahwa membaca kearifan lokal masa lalu dengan kacamata masa sekarang bisa jadi sangat membingungkan. Ini adalah cinta yang sangat perempuan di dunia yang sangat laki-laki.

Namun demikian, bila keberangan saya akan konten dikesampingkan, harus saya akui bahwa kisah Nani-Laura-Ndaido-Aminah-Lero ini sangat menarik. Dituturkan dengan bahasa puitis yang mengulik rasa. Saya harus beri tabe pada Fr. Christo Ngasi. Ungkapan interpretasinya atas hikayat lama sangatlah indah. Saya bersyukur bisa mengenal salah satu hikayat asli Nusantara lewat novel ini. Salut dengan perhatiannya akan kekayaan tradisi susastra leluhurnya, yang juga jadi kekayaan Indonesia. Latar budaya Sumba membuat seluruh ceritanya menjadi super eksotis. Balutan dendam turun temurun atas terebutnya sepotong tanah sebagai tanda harga diri membuat tragedi cinta ini terasa lebih menggigit. 

Seperti mengunyah sirih pinang, kesegarannya terasa setelah seluruh komponenennya: daun sirih, bunga sirih, pinang, dan kapur tercampur merata, terkunyah halus di mulut. Lalu tanpa sadar memerahkan mulut dan bibir. Lalu, para rambu memekikkan ghiliking dan para umbu menimpa dengan kwuking, memecahkan langit Sumba yang memerah. 

(Tidak seperti cinta dan dunia, sirih pinang tidak pernah mengenal laki-laki atau perempuan.)


***


3:45
Pembatuan, 10 Juni 2014
Agnes Bemoe

Catatan:
Ghiliking: teriakan kegembiraan perempuan Sumba. Bunyinya melengking, mirip suara burung.
Kwuking: teriakan kegembiraan laki-laki Kodi (Kodi = nama suatu daerah di Sumba, terkenal akan berasnya)

Tuesday 3 June 2014

THE LUNATIC SIDE of ME [TLSoM]: PELUKMU

June 03, 2014 0 Comments
Photography: Agnes Bemoe



Seperti padang sabana menjaga kuda-kuda
Seperti tiang layar menanti camar
Seperti horison menjemput senja

Benar,
Dekapmu,
Hanya ϑi situ,
Kuingin lemparkan selendang sutra. 

Dan mayapada
Luruh ϑi kecup jingga
... 


Pekanbaru, 4 Juni 2014 
01:10
Agnes Bemoe

Sunday 1 June 2014

[THE LUNATIC SIDE of ME]: JUNI

June 01, 2014 0 Comments
Photography: Agnes Bemoe


Jangan menangis,
kataku pada embun yang barusan jatuh

Langit menyusup,
merangsek pelan malam-malam hangat yang kita percayakan pada Mei

Merajut pita-pita jingga
Menyimpul mentari di lekuk gelungnya

          : semesta menumpahkan banyak bunga
            waktu sang penyair mendendangkan puisinya

Jadi,
lepaskan saja air mata di samuderanya
Juni sudah tiba

***

Pekanbaru, 1 Juni 2014
Agnes Bemoe