Follow Us @agnes_bemoe

Thursday 8 November 2012

Nangkring Bersama Bobo, Coreng, Upik, dll... WOW!

November 08, 2012 0 Comments


Setelah Si Kuncung, Bobo adalah teman masa kecilku.

Bobo, Coreng, Upik, Emak, Bapak, Bibi Titi Teliti, Bibi Tutup Pintu, Paman Gembul. Lalu, Paman Kikuk, Husin, dan Asta. Lalu Ratu, Nirmala, Okky. Lalu Bona dan Rongrong. Semua itu karakter yang lekat banget dalam ingatanku.

Waktu aku memutuskan untuk jadi penulis dan menulis cerita anak, Majalah Bobo tentu saja jadi target utamaku.

Ternyata, impianku terkabul! (Bahasanya klise buanget yah...:p). Bobo No. 31 yang terbit minggu ini, 8 November 2012 memuat cerita anak karyaku. Judulnya "Pedro Punya Teman".



WOOOOWWW!!!

It is really something!

Segenap memori masa kecil tiba-tiba menyeruak waktu majalah itu sampai di tangan.

Well, mudah-mudahan ini masih akan terus berlanjut. Persahabatanku dengan Bobo masih akan terus dengan tulisan-tulisanku mejeng di sana. Amiiiiiiiiiin! :)

***

Pekanbaru, 9 November 2012
Agnes Bemoe

Friday 2 November 2012

Tulisan Gokilku :D

November 02, 2012 0 Comments
Ternyata eh ternyata, aku juga bisa gokil yah :D

Tulisan gokilku terpilih di audisi menulis Kisah Gokil di Sekolah, Gradien Mediatama.

Pengumumannya ada di -----> link ini



Weh, aku seneng banget! Aku harus berterima kasih sama salah seorang penulis gokil yang namanya Dian Kristiani nih (penulis BOG dan LOL, Gradien Mediatama). Dian yang nyemangatin, ngasi ide, dan nguprek-nguprek tulisanku.

Aku yang merasa super garing dan boring jadi tergugah juga buat ikutan. Hasilnya, masuk ke 20 cerita yang dibukukan (dari seratusan? Lupa!) Buanggaaaa... Jadi inget Blanche Deveraux: "Damn, I'm good!" wkwkwkw!!

***
Salam Gokil,
Pekanbaru, 3 November 2012
Agnes Bemoe

Mudah-mudahan Bersedia Merendahkan Diri

November 02, 2012 0 Comments

Kemarin ndenger kabar dari teman, pengurus di yayasan itu sudah dipilih. Syukurlah.

(Sebenernya ini bukan urusanku sih, tapi, ngeliat masih buanyak temenku yang sangat menderita, tertekan, karena manajemen pengurus lama, aku jadi ikut-ikutan concern.)

Prestasi pengurus lama sebenernya nggak jelek-jelek amat. Kalo dibuat rata-rata maka bisa dapat ponten 7 :D --deuh, yang mantan guru!

Yang jadi masalah adalah angka rata-rata itu didapat dari nilai-nilai yang ekstrim banget deviasinya :p

Pengurus lama (atau tepatnya Manusia Setengah Dewa aja ya alias MSD) ini sudah memerintah sekitar 15 tahun. Yang sepuluh tahun pertama bisa dibilang nilainya 8 ato sembilan gitu. MSD yang memperkenalkan pembangunan karakter karyawan, setelah sebelumnya lebih banyak pembangunan fisik. Banyak pelatihan dan seminar, membuat guru naik ke kelas yang lebih intelektual.

MSD membawa pola pikir baru, membawa paradigma baru: dari hanya bekerja, bekerja, bekerja ke berpikir, bekerja (atau, secara spiritual: aksi - refleksi - aksi). Dari point ini MSD sungguh layak mendapat kredit.

Sedihnya, semuanya berubah 180 derajat setelah ada kejadian demonstrasi guru.

Enggak tau kesambet dimana, sejak usainya demonstrasi guru, MSD berubah jadi korup banget (korup dalam makna sebenarnya ya, bukan masalah uang aja). Seolah-olah merasa nggak ada lagi yang bisa melawannya karena demonstran udah 'kalah' ( mereka selalu menggembar-gemborkan bahwa mereka bisa mengalahkan aksi demonstran, biyuuuh... padahal sebenarnya mereka yang babak belur dibuat para demonstran itu. Aksi berhenti bukan karena dikalahkan tapi karena para demonstrannya satu per satu keluar dari yayasan :p)

Nah, seolah merasa nggak ada lagi yang menghalangi, keluarlah bentuk aslinya MSD. Egonya nggak lagi ditutup-tutupi! Semuanya harus menghamba padanya seorang! Yang menolak, pecat! Contoh hidupnya: aku :D

Sementara itu yang dikumpulkan sebagai orang dekatnya adalah orang-orang penjilat: di bawah nggak bisa kerja apa-apa, tapi penjilat ke atas. Nggak peduli guru/kepsek sebrengsek apa, yang penting di depan MSD mereka pinter menghamba.

Akibatnya, sekolah amburadul, guru-guru yang masih mau baik-baik bekerja malah tertekan sama yang suka njilat. Anak-anak juga jadi bingung ngeliat kelauan guru-gurunya :( Singkat cerita, nggak ada pendidikan, nggak ada spiritualitas. Yayasan dan sekolah-sekolah dibawa ke titik terendah dimana hanya yang menjilat yang selamat, yang dekat yang naik pangkat!

Nggak heran, kalo guru-guru yang masih normal ingin sekali adanya peubahan di kepengurusan. (Yang nggak normal yang malah sueneng dengan kepengurusan lama :p). Aku dengar, mereka malah menggalang Doa Novena bersama agar diberi kepengurusan baru yang lebih baik. Gusti, sampe segitunya mereka mengharapkan perubahan...

Nah, semoga pengurus baru ini bisa bekerja seperti yang diamantkan Injil hari ini: merendah, supaya ditinggikan. Bukan sebaliknya, meninggikan diri, tapi hasilnya malah karakter, sifat, perilaku yang rendah.

***

Pekanbaru, 3 November 2012
Agnes Bemoe

Thursday 4 October 2012

Kepsek Prikitiew dan Sertifikasi

October 04, 2012 0 Comments

Siang yang damai mendadak sontak ricuh. Apa pasal? Bapak Guru OR tiba-tiba datang dan bilang bahwa guru-guru yang sudah ikut Sertifikasi harus ngumpulkan berkas. Hari itu terakhir!

Puyeng! Berkas sertifikasi bukanya sedikit!

Seorang guru: “Kok mendadak???!!!!!”
Bapak Guru OR: “Bukan mendadak. Suratnya sudah lama.”
Semua guru: “Lantas?????!!!!!” (lebay ya… hihihi… a la sinetron gituh!)

Selidik punya selidik ternyata surat tertahan di Bapak Kepsek Yang Terhormat. Glegg!! Dari hari nyampenya sampe detik ini Bapak Kepsek nggak ngerasa perlu untuk neruskan surat itu. (Ya iyalah, surat itu nggak penting buat dia! Alias, dia nggak dapat keuntungan apa-apa dari ngasih surat itu!)

Hadeeeh, pak Kepsek… segitu melaratnya kah engkau, sampe-sampe ngeliat orang nambah rejeki dari Sertifikasi aja langsung kumat sirikmu! @#$%%^^&**(()!!!

Untungnya, pas hari itu Bapak Guru OR lagi ada urusan di Dinas Pendidikan. Ketemu sama ibu-ibu yang ngurusi Sertifikasi. Dan untungnya ibu itu berbaik hati menanyakan berkas guru-guru SMA Prikitiew.

Alhasil, siang-siang nan bolong, sibuklah para guru ngurus berkas sertifikasi, di sela-sela kesibukan ngajar dan nyiapkan kegiatan sekolah. Kehebohan ini tentu aja diselingi dengan caci maki sebagai nyanyian latarnya… xixixi…

Guru A: mudah-mudahanlah keselak tiang jemuran si Bapak tuh!
Guru B: nanti kalo Sertifikasi turun, untuk guru-guru lain kita belikan nasi bungkus ya, untuk Bapak itu, kita kasih, tapi kita ludahi dulu… (hih! Sadis juga nih guru! >,<)
Guru C: nggak selamat, mampus kau!!!!

Trus, dari antara hujan caci maki to the max itu, muncul sebuah suara.

Guru D: Tuhan, semoga Bapak ini masuk surga…
Semua guru: HAAAA?????!!!!
Guru D (masih tetep kalem): kalo bisa, sekarang. Amin!

BWAHAHAHAAHAHAH!!!!

***
Pekanbaru, 4 Oktober 2012
3:52
Agnes Bemoe

Guru Agama Hilang!

October 04, 2012 0 Comments
Barusan dapat cerita dari teman.

Suatu pagi di SMA Prikitiew.
Murid: Buk, kelas kami kosong, nggak ada guru.
Guru Piket (ngelirik jam, mbatin dalam hati, udah 20 menit nih!): Pelajaran apa?
Murid: Agama

Akhirnya guru piket nyari Guru Agama ke seantero sekolah. Pusing? Nggak! Guru Piket udah tau tempat ngendon Guru Agama, jadi udah nggak pusing lagi nyarinya :D

Bener kan? Di dapur sekolah Guru Agama lagi ngobrol, ngupi-ngupi mesra sama Bapak Kepsek. Aneh? Enggakk! Udah biasa kok kalo yang berdua tuh... :D

Guru Piket: Bapak masuk kelas kan? Sudah 20 menit lho Pak.
Guru Agama (cuek): Oh, ya?

Lalau Bapak Guru Agama bangkit dengan enggan, ngelirik kopinya yang masih belum habis dan gossipnya yang belom selesai dengan Bapak Kepsek tercinta…

=============================

Yang mbaca pasti pada mikir. Gawat nih Bapak Kepsek dan Guru Agama. Pasti nggak panjang umurnya deh. Pasti kena gampar sama para boss di yayasan. Habis, jam mengajar malah ngerumpi berduaan di dapur.
Hweits! Nuduh sembarangan luh!

SEBALIKNYA! Yang beginian ini yang malah umur panjang. Terlebih-lebih yang dua orang ini, ini permata hatinya yayasan lho! Anak emak dan anak emas, apple in the eyes, kencono wingko! Wes, apa lagi ya sebutannya.

Gak penting ngajarnya jungkir balik, nggak penting tukang terlambat, nggak penting nggak bisa kerja.  Yang penting pinter-pinter ngomong besar di depan yayasan, pinter-pinter muji-muji yayasan, soale yayasanny juga paling seneng dipuji-puji, dan mau aja disuruh ngelakukan kerjaan kotor buat yayasan, semisal bikin laporan palsu tentang guru/karyawan yang nggak disukai yayasan… Simbiosis mutualisma dueh!

Alhasil, murid-murid di SMA Prikitiew akan selalu kehilangan Guru Agama :D

***

Pekanbaru, 4 Oktober 2012
2:55
Agnes Bemoe

Wednesday 26 September 2012

PECAAAAAAAATTTTSSS!!!

September 26, 2012 0 Comments
Beberapa temenku curhat: seriiiiiiiiing banget kepsek-kepsek mereka ngomongin masalah pecat. Dikit-dikit ‘pecat’. Dikit-dikit ‘pecat’. Lama-lama menjadi bukit deh… 

Contohnya nih:  
Ibu Kepsek: Baik-baik kerja, ini periuk nasi kita. Kalo tak baik-baik yayasan marah nanti. (Kedengarannya agak bagusan ya? Tapi cobak deh kalo ndengernya pagi-siang-sore-malem. Muntah jugak kan?)  

Pak Kepsek: Bapak Ibuk jangan macam-macam. Yayasan bisa ambil tindakan apa pun juga atas bapak ibuk. Apalagi yang sudah sertifikasi, bisa dua penghasilan sekaligus hilang! (Ini udah dipersingkat, dari pidato lima jam yang nggak jelas ujung pangkalnya) Deuh! Eh, belom semua. 

Ibuk Yang Terhormat: Kantor ini harus dianggap rumah sendiri. Kalau tidak, tidak akan transferan nanti tanggal 30. (Heloooww… nyambung gak sih, Buk? Dong dong dong! Tong tong tong! Glong glong glong!)  

Manusia setengah dewa (setengahnya lagi bawang pritilian!): Sampai dengan jam 12 tengah malam tanggal 12, kami masih punya hak untuk pecat karyawan! *jengjreeeng…. Musik latar a la film pocong pergi ke pasar… 

Apakah para guru itu udah segitu durhakanya sampai-sampai gak ada kata lain selain ‘pecat’? Kayaknya sih enggak, guru-guru sekarang malah manis-manis. 

Herannya, yang nggak pernah bikin administrasi, yang ngajarnya amburadul, yang nilep uang anak dan uang milik yayasan, malah nggak dipecat… Hlo! Jadi, maksut e apa toh? 

Wokeh, this brings me to a particular time, long long long looooooooooong ago… 

Para yang mulia ini juga pernah ngeluarin perintah yang sama. PECAT. Tertulis malah, pake stempel, te te de. Pokok e lengkap, resmi. Prosesnya juga pake rapat ripit yang gimana gitu. Yang dipecat adalah empat orang guru yang saat itu dituduh sebagai dalang demonstrasi. Woah… gagah ya? Hasilnya? Keputusan PHK mentah di Disnaker. Mentah dengan sukses! (Nahan ketawa…) 

Berikutnya: Masih para yang mulia yang sama, ngeluarin berlembar-lembar surat untuk memecat guru-guru yang mogok mengajar. Ada banyak tuh, puluhan! Aku ingat, nge-print suratnya aja sampe encok! Lagi-lagi, hmm… hebat banget nih, bisa mecat orang se-RT. Hasilnya? Lagi-lagi mentah dengan sak sukses suksesnya di Disnaker. (Mulai cekikikan…) Keputusan-keputusan pecat ini malah kemudian jadi tekanan balik. Pengurus didesak oleh semua pihak untuk tidak lagi mecat orang. (Gubraaakkk!! Bwahahahahahahahaha….!!! Aduh, bener-bener cucian deh lu…) 

Waktu keadaan sudah mulai mereda, pengurus mem-PHK seorang guru. Gurunya nggak terima, naik banding ke Disnaker. Tetep PHK sih, tapi dengan uang kompensasi yang jauh lebih tinggi. 

My point is: pengurus ini kenyang dengan keputusan PHK yang semuanya balik mempermalukan diri mereka sendiri! Makanya, kalo sekarang mereka (dan para dayang-dayangnya) itu doyan banget bilang PECAT, bisa dimengerti buanget: 

  1. Mereka lagi ngelampiaskan rasa ketidakberdayannya karena dulunya selalu gagal mecat orang 
  2. Mereka ingin luka di ego mereka terobati… (Aww…) 
  3. Mereka ga punya keutamaan lain selain kekuasaan untuk mecat orang. Mereka bukan orang yang berwibawa, bukan orang yang membuat orang lain respect karena karismanya, gitu deh… 
  4. Dll… hehehe… 

 Ibarat pepatah: di depan anak ayam jadi macan, di depan harimau jadi kucing kurus mandi di papan, terkaing-kaing, terkencing-kencing… (Hlo, kucing ato anjing sih? Konsisten dong!) 

================================  

Betewe eniwey baswey: aku bukannya nggak setuju guru-guru yang demonstrasi diberi sanksi. Yang aku nggak suka: arogansinya itu lho! Sekarang keadaan sudah aman, ngapa sok-sok an bilang ‘pecat’? 

Lagian, tuh sono, dayang-dayangmu dan segala sodaramu yang gak beres kerjanya tuh yang harusnya dipecat. Tapi, mana berani? Soale mereka bermanfaat untuk ngelakukan kerja kotormu kan?

***  
Pekanbaru, 27 September 2012 3:40 
Agnes Bemoe

TAWURAN PERTAMAKU

September 26, 2012 0 Comments
Tawuran (lagi) ya? 
Hmm… jadi teringat jaman dulu. Tahun1999-an kalo nggak salah. Aku kepsek di suatu SMA swasta kecil di Dumai. Sekolah baru, baru 2 taun umurnya. 

Waktu itu guru-guru pada kasak-kusuk. Ternyata mereka dilapori sama anak-anak bahwa Si A, B, C, D, dan E udah ngajak teman-temannya untuk menghadang anak dari SMK “Pujaan Hati” (nama samaran, pokoknya ini SMK Negeri pualing ngetop se-Dumai). 

Awalnya guru-guru cuman ngomongin aja, lalu lama-lama kok jadi tambah serius. Menurut info, gara-garanya ada anak putri SMA kami yang diganguin sama cowok-cowok SMK PH. Konon, mengamuklah cowok-cowok sekolah kami, ngerasa harga dirinya tercabik-cabik. Balas dendam adalah jawabannya. Deuh! 

Alkisah, pembicaraan guru-guru makin lama makin hot sehingga bikin aku takut sendiri. Iya kalo cuman gossip, kalo benar? Akhirnya, aku suruh Wakasek Kesiswaan untuk panggil anak-anak yang dicurigai punya rencana tawuran tadi. Mereka tentu aja nggak ngaku. Awalnya. Tapi, berkat tang dan rante (hihihi… nggak deeng!), pokoknya akhirnya mereka mengaku juga. Masalah itu sudah masalah lama. Awalnya ejek-ejekan kalau ketemu di jalan. Trus nambah nambah nambah… akhirnya, masalah cewek disuitin pun jadi masuk ke ranah harga diri… 

Nah, sekarang, apa yang harus kubuat? Kulirik jam, sudah nyaris jam pulang. Wes, aku mutuskan: anak-anak dan guru TIDAK BOLEH PULANG! *pake mlintir kumis nih… Aku sendiri cabut ke SMK PH, nemuin kepseknya. 

Kepseknya bapak-bapak, orangnya ferlente en masih terhitung muda. Ah, syukurlah. Pikirku, kalo sama yang masih agak mudaan lebih enak ngomongnya. Aku menceritakan bahwa ada kabar kalau anak-anak akan tawuran. Aku nanyakan, enaknya gimana, supaya tawuran ini bisa dicegah. Pokoknya sumthin’ like that lah… Tapi, apa yang terjadi? 

Pak Ferlente (begitu aja ya kita sebut namanya, soalnya aku udah lupa :D) malah ngamuk-ngamuk.  

Pak Ferlente: Ibu jangan macam-macam! (cam… cam… cam… *echo di kupingku sangking kerasnya suaranya). Sekolah ini bukan baru satu dua tahun kayak sekolah ibu! (bu… bu… bu…). Dan selama itu tidak, sekali lagi TIDAK ada perkelahian apalagi tawuran!  

Aku: Tapi, Pak….  

Pak Ferlente: Yang masuk sekolah ini semua, sekali lagi semua dites! Bukan seperti sekolah ibu, asal masuk saja!  

Aku: (Langsung tutup kuping, berharap bapak ini meledak saat itu juga dan dia broken into pieces! 

Emangnya dia pikir anak-anaknya itu anak-anak malaikat yang fresh from heaven ya?!) Akhirnya, setelah menyelesaikan pidatonya, Pak Ferlente bilang: Kalau ada masalah di sekolah ibu, tangani sendiri. Jangan libatkan sekolah kami! 

Okelah, aku pulang dengan gondok, malu, marah, jengkel, ….. semua! 

Sampe di sekolah, aku tetep tahan anak. Untungnya, mereka nggak tergantung jemputan, dan mereka bukan tipe anak-anak yang akan dicari oleh ortu, jadi aku nggak perlu okol sama ortu. Di sekolah, interogasi tetap berlanjut. Mereka (anak-anak yang diduga mau memulai tawuran itu) sampe nyembah-nyembah, bilang: enggak bu, kami nggak akan kelahi. Enggak buuuuk… Aku gak peduli! *kejem! Sorenya, setelah beberapa orang guru kusuruh memastikan keadaan jalan raya yang biasanya dilalui anak-anak sudah aman (nggak ada anak sekolahan), barulah anak-anak kulepas pulang. 

***

Beberapa waktu setelah itu (1 – 2 bulan setelahnya, kalo aku nggak salah), terjadi tawuran pertama di Kota Dumai! (Maksudku karena status ‘kota’ untuk Dumai juga baru, jadi apa-apa yang terjadi dianggap yang pertama, ya kan? :D) Iiih… jadi juga anak SMA-mu tawuran? Pasti begitu kata anda yang mbaca. Yee… BUKAAAN! :p 

Yang tawuran adalah anak-anak dari SMK PH dan sebuah sekolah swasta di Dumai! Xixixi… anak-anak malaikatnya yang lulus tes ini itu ternyata mengukir prestasi ya Pak. Pembuka rekor tawuran… :p :p :p 

Pengen rasanya ngeliat kumis tipis Pak Ferlente saat itu. Pasti pada njegrig!  

Pekanbaru, 26 September 
2012 2:05 
Agnes Bemoe

Tuesday 25 September 2012

Bu Adek

September 25, 2012 0 Comments
Kami manggilnya Bu Adek. Nama lengkapnya sih 'Sri Rhaudah Basyaar'. Orangnya cantik dan pinter nari (ya iya, wong guru tari! :D) 
Sebulan lalu (habis Lebaran) aku dapat berita: Bu Adek resign. Alasannya 'mau berobat dan kuliah lagi'. Hmm... iyakah? *curigesien mode ON 

Sudah lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.... (sangking lamanya) aku mendengar berita tentang ketidaknyamanan guru di SMP. Apa sebenernya ini ya, yang jadi pendorong keluarnya bu Adek... *mikir, bertopang dagu... 

Betewe, aku jadi teringat saat-saat bu Adek pertama kali masuk ke YPR. Waktu itu lagi rame-ramenya demonstrasi guru. Guru di SMP pada mogok ngajar. Semua, bukan cuman 1 atau 2 guru. Yang nggak mogok cuman 4 guru dari 60-an guru :D (Aku masih ingat nama-namanya) Nah, jadi saat itu juga yayasan mati-matian nyari guru. Waktu itu aku mbantuin HRD (sapa ya namanya?) karena Buk HRD yang terhormat orang baru + sakit + macem-macem. Aku menawarkan diri untuk mbantu. Dan itu kulakukan voluntarily. Catet: voluntarily

Oke deh, nggak usah nyolot sendiri. Balik ke guru mogok dll. Selain yayasan buka lowongan, aku juga bergerilya nyari guru. Guru-guru yang masih baik hati sama yayasan aku mintain tolong pasang mata, nyarikan guru. Termasuk salah satunya ke Bu Irni. Ibu ini ngajar nari. Bu Irni menjanjikan akan mencarikan guru tari dari sanggar-sanggar. 

FYI aja, jaman itu, nyari guru susah. Guru yang diwawancarai belum-belum udah nanyak: "yayasannya mau ditutup ya bu?" #__# Intinya: guru-guru itu nggak percaya yayasan ini bakalan umur panjang dan mereka takut akan nasib mereka kalo jadi kerja di yayasan. Jadi, begitulah situasinya: guru lama mogok, calon guru takut masuk. Nah! Makanya, aku lebih memilih nyari guru dengan 'gerilya'. 

Colek sana colek sini. Desak sana desak sini... hihi... termasuk Bu Irni aku tanyain terus, 'mana guru tarinya?" Eh, suatu pagi yang indah, muncullah seorang ibu yang cantik rupawan. Dandannya modis, senyumnya manis. Ternyata ini dia orangnya: bu Sri Raudhah Basyar alias bu Adek. Bicara-biciri sama aku, trus aku teruskan ke yang maha kurawa Ibu HRD Yang Terhormat. Singkat kata, bu Adek diterima. 

Legaaa... satu orang guru masuk. Masih nyari puluhan guru lagi.. xixixi... Eh, ternyata bu Adek orangnya asyik. Kreatif, seneng mencoba sesuatu yang baru, selalu maunya lebih lagi lebih lagi. Sound familiar ya... ya iyalah! Akyu juga kayak gitu... hehehe... Mungkin karena itulah kami cocok. Bedanya, bu Adek ramah dan ceria. Aku sudahlah jelek, galak, hidup lagi...! wkwkwkwk! 

Setiap ada 17-an atau Sumpah Pemuda atau 10 November Bu Adek nggak pernah enggak bikin pagelaran tari dengan anak-anak. Padahal sekolah juga nggak minta lho. Beliau berinisiatif. Hasilnya, acara jadi meriah. Anak-anak senang. Event-event itu jadi berkesan. Kalo ada lomba, nggak pake ba-bi-bu lagi Bu Adek mbikin tari dan nyiapkan anak-anak. Wes, pokoknya menurutku enak banget kerja sama sama bu Adek. 

Selama kerja sama dengan bu Adek aku jarang ngerasa gondok (psst... kecuali musim mid, ujian, ato rapotan, itu memang musim gondok nasional). Mungkin-mungkin bu Adek yang musti sering ngelus dada karena aku yang .... ehem! ehem! (jahat, maksudnya... hihihi..) Cumaaaan, memang sejak kepsek ganti dari Pak Mul ke Yth. Ibu Kepsek, SMP seperti pindah dari pelukan domba ke mulutnya harimau dan buaya sekaligus. Sejak itu orang-orang sering mengeluh. Who doesn't? Seperti budak di jaman Firaun. Seperti jewish di jaman Hitler. You name it lah... 

Nah, nah, nah, waktu aku sudah out dari udara SMP, aku nggak pernah dengar lagi keluhan guru-guru SMP. Hanya beberapa gelintir aja yang masih suka curhat via BBM ato inbox fb. Terus terang, aku lega. Oooh... berarti keadaan udah berubah. Syukurlah... Makanya, bak petir di siang bolong rasanya waktu dengar bu Adek resign. What's wrong? What happened? Kalo nggak ada apa-apanya, masak iya keluar? Maksudku, bu Adek yang aku tau bukan tipe orang suka duduk-duduk mawon di rumah (biarpun secara finansial beliau mampu). Sejak awal bu Adek bilang: "Ini eksistensi Adek, bukan uang yang Adek cari..." 

Aku kembali ke masa 6 tahun lalu. Waktu yayasan susah banget cari guru. Guru lama mogok, calon guru enggan masuk. Menurutku, kesediaan bu Adek jadi guru dalam situasi itu adalah blessing buat sekolah dan yayasan. Bayangkan, yang sekarang petantang petenteng jadi Ibu Kepsek Yth. dulunya dimintai tolong ngangkut tim dari yayasan dengan mobilnya aja ENGGAN. Alasannya nggak searah. Artinya apa, ketika susah, dia milih untuk aman. Nah, ini, yang udah bersedia jadi guru, mengajarnya pun baik, disayang juga sama anak-anak, mengapa...? *duh, gak sanggup ngomongnya... 

Orang gampang lupa. Mungkin untuk yang seperti itu harus ada gegar otak langsung dari Tuhan, supaya ingat lagi. 

Btw, bu Adek, terima kasih karena dulu mau menanggapi ajakan bu Irni. Makasih karena selama kerja sama, aku selalu teringat hal yang baik dan menyenangkan. Jangan kawatir, langit itu luas, jadi selamat 'tabang hambua'! Kita ketemu dalam kreasi-kreasi kita yaaa.... Mmuahh! 

***  

Pekanbaru 
26 September 2012 11:25 
Agnes Bemoe

Tuesday 26 June 2012

From Bad Boy to Teacher

June 26, 2012 0 Comments
Seminggu yang lalu saya pergi ke Duri. Di sana bertemu dengan salah seorang mantan murid. Dia ini dulunya super duper nakal. Di Duri ternyata dia menjadi GURU. Saya jadi tertarik untuk sedikit bernostalgia tentang dia :) 

================================================
Di Dumai saya punya seorang murid, bernama: Ryan (nama samaran, Pen). 

Anaknya ganteng. Nama aslinya sebenarnya bagus sekali, diambil dari judul sebuah lagu. Tapi, anaknya nuakiiiiilll banget! Guru-guru sampai males berhubungan dengan anak yang satu ini. Pemarah, pelawan, dan tukang berkelahi! Semakin ditegur, semakin melawan. 

Ryan tentu saja bermasalah dengan hampir semua guru, termasuk sama saya. Sulit saya ceritakan satu persatu sangking banyaknya. Pokoknya perlakuan yang paling kurang ajar pun pernah ia tunjukkan, termasuk: meludah di depan saya! Kalo mau nuruti emosi, rasanya sudah pengen saya cekik anak ini… 

Saya memilih untuk menahan diri. Saya tahu, ia berusaha memancing kemarahan saya. Berharap kalau saya marah, kemudian kalap, kemudian melakukan sesuatu yang memalukan, seperti berteriak-teriak atau menangis, misalnya. Saya tidak mau terpancing untuk menjadi emosi tidak karuan terhadap Ryan. Cara seperti ini sudah sering dilakukannya dan berhasil pada beberapa guru soalnya. 

Kesenangannya adalah membuat guru kehilangan kendali. Biarpun saya punya kewenangan untuk mengeluarkan Ryan dari sekolah namun, sedikitpun saya tidak tergoda untuk menendangnya dari sekolah saya. Saya berharap bisa ‘merangkul’ Ryan. 

Saya meluangkan waktu untuk mengenali latar belakang Ryan. Tentu saja saya dibantu oleh Guru BP dan Wakasek Kesiswaan. Ayah Ryan ini adalah seorang preman di sebuah pasar di kota Dumai. Bukan sekedar preman kecil-kecilan yang arealnya adalah parkiran, tapi preman besar dengan ‘pelanggan’ besar juga! Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Ryan punya seorang kakak perempuan yang sekolah di sekolah saya juga. Berbeda dengan Ryan, kakaknya ini baik dan santun. 

Menurut informasi yang saya dengar, ayahnya menghadapi keluarganya sama seperti beliau menghadapi dunia kepremanannya. Artinya, kekerasan fisik dan mental memenuhi atmosfer dalam keluarga. 

Suatu saat, Ryan berkelahi dengan kawannya. Karena perkelahian ini dan juga serangkaian kenakalan yang lain, ia kena schorsing (catatan: sistem pemberian sanksi berdasarkan pelanggaran kumulatif). Proses schorsing memang melalui Wali Kelas dan Wakil Kepala Urusan Kesiswaan. 

Setelah proses schorsing, saya ajak Ryan untuk bicara. Pertama-tama tentu Ryan menunjukkan sikap menentang dan sok-sok an, tapi saya tak peduli. Saya tahu, bahwa di rumah dia adalah anak yang kenyang dengan pukulan dan hantaman, dan bukan kasih sayang, makanya saya yakin banget, sikap menentangnya itu hanyalah kamuflase dari kegersangan hatinya. 

Saya bertahan dengan sikap saya. Saya tidak marah ataupun menyalahkan dirinya. Saya tunjukkan peta permasalahannya serta di mana posisi Ryan. Saya selipkan dengan tanggapan positif dari para guru tentang dirinya. Ya, biarpun seringkali marah-marah, para guru punya tanggapan positif atas Ryan. Ryan cerdas dan pandai main bola. Iseng, saya katakan, bahwa namanya yang adalah judul lagu itu kebetulan isinya sangat bagus. Ternyata, dia juga tahu bahwa namanya berasal dari judul sebuah lagu. Syukurlah, kali ini kecerdasannya membantunya. 

Pembicaraan itu sepertinya bisa dipahaminya. Sifatnya berubah, dari congkak menjadi menyimak. Singkatnya, akhirnya Ryan mau menerima bahwa dirinya dischors. Yang tidak bisa menerima adalah: bapaknya! 

Saya sedang menulis di kantor saya, ketika tiba-tiba bapaknya menerobos (bukan bermaksud lebay, karena benar-benar menerobos) ke kantor saya. Orangnya tinggi, tampak masih muda untuk jadi ayah seorang remaja, rambutnya gondrong, berhem bahan jin dengan kancing yang terbuka memperlihatkan dadanya, dan berkalung emas panjang di lehernya! Hwaduh! 

Dengan suara yang meledak-ledak, dan kata-kata yang … begitulah… bapak Ryan berkeras anaknya tidak boleh dischors. 

Entah dari mana saya mendapatkannya, namun, saya ingat, saya tenaaaang sekali menerima bapak itu. Tanpa menggunakan kata-kata kasar, saya tetap berkeras bahwa Ryan harus menerima schorsing. Bapak itu menuduh saya dendam pada Ryan. Namun, dengan tenang saya menyampaikan bahwa sanksi dari sekolah sama sekali tidak didasari oleh rasa dendam. Sanksi itu diberlakukan sesuai dengan proses dan prosedur yang sudah sama-sama disepakati oleh orang tua. 

Untuk meyakinkan bapak itu bahwa saya tidak dendam, saya sampaikan bahwa sampai kemarin pun saya masih ajak Ryan berbicara, dan pembicaraan kemarin itu berlangsung dengan sangat baik. Tidak ada percikan emosional yang muncul, dan bahkan Ryan menyadari kekeliruannya serta menerima sanksi sebagai konsekuensi perbuatannya. Bapak Ryan masih memaksa saya dengan berbagai cara yang tentu saja intimidatif. 

Kalau digambarkan lagi, saya, perempuan bertubuh kurus kering berhadapan dengan seorang pria galak garang yang sepertinya tidak segan berbuat kasar. Tapi, saya tetap tenang (sekali lagi saya masih heran, kok saya bisa setenang itu), saya sama sekali tidak terpancing untuk berbicara secara emosional, dan tentu saja saya tetap pada keputusan sekolah untuk schorsing. 

Karena tidak berhasil menekan saya, dengan kesal, akhirnya bapak Ryan berkata: “Sudahlah kalau begitu!” Kemudian dengan gubrak-gubruk, beliau keluar dari kantor saya. Saya pun, untuk sopan santun, sempat mengantar beliau sampai di pintu. Yang membuat saya kaget, ternyata Ryan ada di depan kantor saya, duduk di tempat duduk tamu! Wah, berarti dia mendengar semua isi pembicaraan itu (Kantor saya kecil, dan waktu itu pintu dibuka). 

Saya ingat, Ryan hanya tertunduk sambil mengantar ayahnya pulang. Ryan tetap dischors. Setelah schorsing, sikap Ryan saya rasakan agak berubah. Bila berpapasan dengan saya, ia lebih banyak tertunduk. Padahal biasanya, ia dengan pongahnya berjalan melewati saya. Selanjutnya saya ingat, ia juga tidak terlalu banyak membuat ulah. Saya tidak tahu, apa yang membuat ia seperti itu. 

Namun harapan saya, ia menangkap sinyal cinta yang saya dan bapak ibu guru yang lain coba kirimkan padanya. 

Cerita tentang Ryan ini tidak pernah saya ceritakan pada orang lain. Satu-satunya orang yang saya beri cerita ini adalah murid saya yang bernama Michael (nama samara-Pen). 

Waktu itu, saya menjadi wali kelasnya di kelas I SMA. Hampir samalah, Michael juga suka melawan, tak bisa ditegur, de el el. Dan biasa, suatu saat ia berkelahi dengan teman sekelasnya, dan juga kena schors. Sama juga, ia tidak bisa menerima kalau dirinya kena schors. 

Saya panggil dia, dan kami bicara berdua. Dengan marahnya dia bilang: “Cobalah kalau ibu yang dibegitukan orang! Apa ibu juga bisa menahan marah!?” Maksudnya tentu saja, ia menjadi marah dan berkelahi karena merasa dilecehkan oleh kawannya. 

Saya perlu ceritakan, bahwa dalam proses schors saya tahu bahwa Michael juga memiliki ayah yang super keras. Minim sentuhan dan kasih sayang. Jadi, saya paham betul kalau Michael juga menjadi anak yang keras. 

“Michael, ibu belum pernah ceritakan hal ini pada siapapun. Tapi, kalau Michael bilang ibu belum pernah dihina orang, nah, biar ibu ceritakan ini ya…” 

Saya lalu bercerita bagaimana saya selalu dilecehkan oleh Ryan. Namun, tetap saya mau melihat hal yang baik pada diri Ryan, karena saya tahu Ryan sendiri menderita bathinnya. Saya tidak tahu, namun, tampaknya Michael mendengar dan mengolah cerita saya. Ia nampak terdiam. Ia memang tidak mengatakan apa-apa. 

Saya juga tidak berani berharap banyak. Jujur, agak malu juga, buka rahasia di depan anak murid seperti itu… Namun, di luar dugaan saya, sejak itu ia pun jadi agak lain pada saya. Bila sebelumnya ia selalu menunjukkan sikap menentangnya, sekarang ia jadi lebih ramah pada saya. Saya masih menjadi gurunya ketika ia naik ke kelas II SMA. Namun, saya ingat, selama tahun itu kami tidak pernah bermasalah. Bahkan, kami malah suka juga saling bercanda-canda … Saya nggak mau ge-er, tapi mudah-mudahan pembicaraan dari hati ke hati kamilah yang membuat diapun jadi orang yang lebih menyenangkan. 

Inilah kisah tentang Ryan, salah seorang murid saya di Dumai. Kisah tentang dia ternyata menyentuh seorang murid saya yang lain. Sekarang, saya mendapati bahwa dia menjadi guru. Semoga dia bisa memberikan pengabdian terbaiknya buat anak-anak muridnya. Amin.  

Pekanbaru, 27 Juni 2012 
Agnes Bemoe