================================================
Di Dumai saya punya seorang murid, bernama: Ryan (nama samaran, Pen).
Anaknya ganteng. Nama aslinya sebenarnya bagus sekali, diambil dari judul sebuah lagu. Tapi, anaknya nuakiiiiilll banget! Guru-guru sampai males berhubungan dengan anak yang satu ini. Pemarah, pelawan, dan tukang berkelahi! Semakin ditegur, semakin melawan.
Ryan tentu saja bermasalah dengan hampir semua guru, termasuk sama saya. Sulit saya ceritakan satu persatu sangking banyaknya. Pokoknya perlakuan yang paling kurang ajar pun pernah ia tunjukkan, termasuk: meludah di depan saya! Kalo mau nuruti emosi, rasanya sudah pengen saya cekik anak ini…
Saya memilih untuk menahan diri. Saya tahu, ia berusaha memancing kemarahan saya. Berharap kalau saya marah, kemudian kalap, kemudian melakukan sesuatu yang memalukan, seperti berteriak-teriak atau menangis, misalnya. Saya tidak mau terpancing untuk menjadi emosi tidak karuan terhadap Ryan. Cara seperti ini sudah sering dilakukannya dan berhasil pada beberapa guru soalnya.
Kesenangannya adalah membuat guru kehilangan kendali. Biarpun saya punya kewenangan untuk mengeluarkan Ryan dari sekolah namun, sedikitpun saya tidak tergoda untuk menendangnya dari sekolah saya. Saya berharap bisa ‘merangkul’ Ryan.
Saya meluangkan waktu untuk mengenali latar belakang Ryan. Tentu saja saya dibantu oleh Guru BP dan Wakasek Kesiswaan. Ayah Ryan ini adalah seorang preman di sebuah pasar di kota Dumai. Bukan sekedar preman kecil-kecilan yang arealnya adalah parkiran, tapi preman besar dengan ‘pelanggan’ besar juga! Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Ryan punya seorang kakak perempuan yang sekolah di sekolah saya juga. Berbeda dengan Ryan, kakaknya ini baik dan santun.
Menurut informasi yang saya dengar, ayahnya menghadapi keluarganya sama seperti beliau menghadapi dunia kepremanannya. Artinya, kekerasan fisik dan mental memenuhi atmosfer dalam keluarga.
Suatu saat, Ryan berkelahi dengan kawannya. Karena perkelahian ini dan juga serangkaian kenakalan yang lain, ia kena schorsing (catatan: sistem pemberian sanksi berdasarkan pelanggaran kumulatif). Proses schorsing memang melalui Wali Kelas dan Wakil Kepala Urusan Kesiswaan.
Setelah proses schorsing, saya ajak Ryan untuk bicara. Pertama-tama tentu Ryan menunjukkan sikap menentang dan sok-sok an, tapi saya tak peduli. Saya tahu, bahwa di rumah dia adalah anak yang kenyang dengan pukulan dan hantaman, dan bukan kasih sayang, makanya saya yakin banget, sikap menentangnya itu hanyalah kamuflase dari kegersangan hatinya.
Saya bertahan dengan sikap saya. Saya tidak marah ataupun menyalahkan dirinya. Saya tunjukkan peta permasalahannya serta di mana posisi Ryan. Saya selipkan dengan tanggapan positif dari para guru tentang dirinya. Ya, biarpun seringkali marah-marah, para guru punya tanggapan positif atas Ryan. Ryan cerdas dan pandai main bola. Iseng, saya katakan, bahwa namanya yang adalah judul lagu itu kebetulan isinya sangat bagus. Ternyata, dia juga tahu bahwa namanya berasal dari judul sebuah lagu. Syukurlah, kali ini kecerdasannya membantunya.
Pembicaraan itu sepertinya bisa dipahaminya. Sifatnya berubah, dari congkak menjadi menyimak. Singkatnya, akhirnya Ryan mau menerima bahwa dirinya dischors. Yang tidak bisa menerima adalah: bapaknya!
Saya sedang menulis di kantor saya, ketika tiba-tiba bapaknya menerobos (bukan bermaksud lebay, karena benar-benar menerobos) ke kantor saya. Orangnya tinggi, tampak masih muda untuk jadi ayah seorang remaja, rambutnya gondrong, berhem bahan jin dengan kancing yang terbuka memperlihatkan dadanya, dan berkalung emas panjang di lehernya! Hwaduh!
Dengan suara yang meledak-ledak, dan kata-kata yang … begitulah… bapak Ryan berkeras anaknya tidak boleh dischors.
Entah dari mana saya mendapatkannya, namun, saya ingat, saya tenaaaang sekali menerima bapak itu. Tanpa menggunakan kata-kata kasar, saya tetap berkeras bahwa Ryan harus menerima schorsing. Bapak itu menuduh saya dendam pada Ryan. Namun, dengan tenang saya menyampaikan bahwa sanksi dari sekolah sama sekali tidak didasari oleh rasa dendam. Sanksi itu diberlakukan sesuai dengan proses dan prosedur yang sudah sama-sama disepakati oleh orang tua.
Untuk meyakinkan bapak itu bahwa saya tidak dendam, saya sampaikan bahwa sampai kemarin pun saya masih ajak Ryan berbicara, dan pembicaraan kemarin itu berlangsung dengan sangat baik. Tidak ada percikan emosional yang muncul, dan bahkan Ryan menyadari kekeliruannya serta menerima sanksi sebagai konsekuensi perbuatannya. Bapak Ryan masih memaksa saya dengan berbagai cara yang tentu saja intimidatif.
Kalau digambarkan lagi, saya, perempuan bertubuh kurus kering berhadapan dengan seorang pria galak garang yang sepertinya tidak segan berbuat kasar. Tapi, saya tetap tenang (sekali lagi saya masih heran, kok saya bisa setenang itu), saya sama sekali tidak terpancing untuk berbicara secara emosional, dan tentu saja saya tetap pada keputusan sekolah untuk schorsing.
Karena tidak berhasil menekan saya, dengan kesal, akhirnya bapak Ryan berkata: “Sudahlah kalau begitu!” Kemudian dengan gubrak-gubruk, beliau keluar dari kantor saya. Saya pun, untuk sopan santun, sempat mengantar beliau sampai di pintu. Yang membuat saya kaget, ternyata Ryan ada di depan kantor saya, duduk di tempat duduk tamu! Wah, berarti dia mendengar semua isi pembicaraan itu (Kantor saya kecil, dan waktu itu pintu dibuka).
Saya ingat, Ryan hanya tertunduk sambil mengantar ayahnya pulang. Ryan tetap dischors. Setelah schorsing, sikap Ryan saya rasakan agak berubah. Bila berpapasan dengan saya, ia lebih banyak tertunduk. Padahal biasanya, ia dengan pongahnya berjalan melewati saya. Selanjutnya saya ingat, ia juga tidak terlalu banyak membuat ulah. Saya tidak tahu, apa yang membuat ia seperti itu.
Namun harapan saya, ia menangkap sinyal cinta yang saya dan bapak ibu guru yang lain coba kirimkan padanya.
Cerita tentang Ryan ini tidak pernah saya ceritakan pada orang lain. Satu-satunya orang yang saya beri cerita ini adalah murid saya yang bernama Michael (nama samara-Pen).
Waktu itu, saya menjadi wali kelasnya di kelas I SMA. Hampir samalah, Michael juga suka melawan, tak bisa ditegur, de el el. Dan biasa, suatu saat ia berkelahi dengan teman sekelasnya, dan juga kena schors. Sama juga, ia tidak bisa menerima kalau dirinya kena schors.
Saya panggil dia, dan kami bicara berdua. Dengan marahnya dia bilang: “Cobalah kalau ibu yang dibegitukan orang! Apa ibu juga bisa menahan marah!?” Maksudnya tentu saja, ia menjadi marah dan berkelahi karena merasa dilecehkan oleh kawannya.
Saya perlu ceritakan, bahwa dalam proses schors saya tahu bahwa Michael juga memiliki ayah yang super keras. Minim sentuhan dan kasih sayang. Jadi, saya paham betul kalau Michael juga menjadi anak yang keras.
“Michael, ibu belum pernah ceritakan hal ini pada siapapun. Tapi, kalau Michael bilang ibu belum pernah dihina orang, nah, biar ibu ceritakan ini ya…”
Saya lalu bercerita bagaimana saya selalu dilecehkan oleh Ryan. Namun, tetap saya mau melihat hal yang baik pada diri Ryan, karena saya tahu Ryan sendiri menderita bathinnya. Saya tidak tahu, namun, tampaknya Michael mendengar dan mengolah cerita saya. Ia nampak terdiam. Ia memang tidak mengatakan apa-apa.
Saya juga tidak berani berharap banyak. Jujur, agak malu juga, buka rahasia di depan anak murid seperti itu… Namun, di luar dugaan saya, sejak itu ia pun jadi agak lain pada saya. Bila sebelumnya ia selalu menunjukkan sikap menentangnya, sekarang ia jadi lebih ramah pada saya. Saya masih menjadi gurunya ketika ia naik ke kelas II SMA. Namun, saya ingat, selama tahun itu kami tidak pernah bermasalah. Bahkan, kami malah suka juga saling bercanda-canda … Saya nggak mau ge-er, tapi mudah-mudahan pembicaraan dari hati ke hati kamilah yang membuat diapun jadi orang yang lebih menyenangkan.
Inilah kisah tentang Ryan, salah seorang murid saya di Dumai. Kisah tentang dia ternyata menyentuh seorang murid saya yang lain. Sekarang, saya mendapati bahwa dia menjadi guru. Semoga dia bisa memberikan pengabdian terbaiknya buat anak-anak muridnya. Amin.
Pekanbaru, 27 Juni 2012
Agnes Bemoe
No comments:
Post a Comment