Follow Us @agnes_bemoe

Tuesday 30 September 2014

Rumah Sakit (Lagi)_Bagian 2

September 30, 2014 0 Comments
Melihat kondisi nyeri yang seolah melumpuhkan saya, dr. Icap memutuskan untuk memberikan suntikan SNRB (Selevtive Nerve Root Block) seperti yang pernah saya jalani Januari lalu.

Kamar 600D RS Santa Maria Pekanbaru


HORROR BERNAMA MRI
Seperti kali lalu, sebelum suntik saya harus menjalani pemeriksaan MRI.

Yang banyak orang tidak tahu, saya sebenarnya sangat takut berada di ruang yang sangat sempit. Lift, pesawat, atau kamar mandi masih bisa saya tolerir. Tapi, masuk ke kapsul seperti MRI benar-benar tantangan buat saya.

Pada pemeriksaan MRI yang pertama sebenarnya saya sudah merasa enggan. Syukurlah tidak terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan. Berdasarkan hal itu saya memberanikan diri mengikuti MRI untuk kedua kalinya biarpun saya merasa sangat tidak nyaman.

Berbeda dengan MRI pertama, kali ini kaki duluan yang masuk. Jadi kepala masih bisa menyembul sedikit keluar kapsul.

Saya tidak tahu di menit ke berapa saya mulai merasakan teror itu. Rasanya tidak nyaman sekali! Rasanya ingin melepaskan semua ikatan di tangan lalu lari keluar mencari udara segar. Saya mencoba menghibur diri dengan membisikkan "sebentar lagi selesai", "sabar, tinggal sebentar lagi". Namun, usaha menipu diri sendiri itu tidak berlangsung mulus. Saya merasa sangat tidak betah di dalam kapsul itu. Rasanya sudah berabad-abad, dan siksaan itu belum kunjung reda.

Saya mencoba merilik ke atas, mencari udara segar sambil memastikan saya tidak terhimpit. Terus terang, saya sudah dalam keadaan super tidak nyaman.

Rupanya operator MRI menyadari hal ini. Ia langsung menghentikan proses pemeriksaan. Dengan penuh kesabaran dan kelemahlembutan dia menanyakan permasalahan saya.
"Nggak papa Bu, Ibu tenangkan diri. Ditunggu kok Bu. Tenang, Bu. Tarik napas dalam-dalam."

Saya tanya, berapa lama lagi MRI ini berlangsung.
"Empat menit lagi, Bu." Lalu ia kembali menenangkan saya.
Saya pikir, empat menit sama dengan satu buah lagu (selama proses MRI kita dipasangi headphone untuk mendengarkan lagu). Saya menarik napas dalam-dalam. Satu lagu kayaknya tidak masalah buat saya. Maka saya menguatkan hati.
"Bener, Bu, sudah siap?" Tanya operator. Saya mengangguk.
Maka, empat menit terakhir saya jalani dengan sukses.

Waktu digendong keluar dari MRI ke bed, suster yang mendampingi saya heran karena badan saya basah kuyub. Dari kepala sampai kaki. Benar-benar kuyub dengan keringat dingin.

Sejak detik itu saya bersumpah tidak akan mau lagi masuk ke tabung MRI.

***

Pembatuan, 1 Oktober 2014
@agnes_bemoe


Sunday 28 September 2014

Rumah Sakit (Lagi)

September 28, 2014 0 Comments
Sebulan terakhir ini waktu saya habis di rumah sakit.

Tanggal 21 Agustus 2014 saya masuk RS untuk operasi pengangkatan lemak di punggung kanan. Lemak itu sudah menumpuk selama kurang lebih duapuluh lima tahun. Saya biarkan karena tidak berbahaya. Namun, pembicaraan dengan seorang ibu mengubah pikiran saya. Suaminya juga mengalami penimbunan lemak. Bedanya, lemak pada suaminya mendesak ke dalam dan mempengaruhi kerja paru-paru.
Dr. Purbaya dengan "Hujan! Hujan! Hujaaan!"

Kawatir terjadi sesuatu yang buruk, akhirnya saya nurut juga, mau operasi. Operasi yang dilaksanakan keesokan harinya oleh dr. Purbaya berjalan sangat lancar. Hanya perlu istirahat satu malam, tanggal 23 Agustus sore saya sudah pulang.

Nah, ternyata the drama has just begun.

Saya masuk RS dalam kondisi agak batuk. Ndilalah teman sekamar saya di rumah sakit menderita sakit paru-paru. Pulang dari RS batuk saya menjadi. Hari Minggu sore, ketika mandi, saya terbatuk-batuk, lalu tiba-tiba zzznngggg!! Ada sengatan tajam di pinggang. Saya langsung keluar dari kamar mandi, tidak sanggup lagi menyelesaikan ritual mandi. Saya langsung menggeletak di tempat tidur dengan badan separoh basah.

HNP saya kumat. Batuk memang salah satu musuh besar HNP.

Tapi, saya tidak menyalahkan teman pasien saya di rumah sakit. Sebelumnya saya sebdnarnya sudah merasakan pegal-pegal (yang seperti biasa, saya abaikan).
Saya rasa pegal-pegal itu akumulasi dari semua "kelincahan" saya sebelumnya dan beberapa faktor pemberat lainnya.

Merasa sudah sehat, saya jadi suka jalan (baca: nyetir). Seperti diketahui, menyetir juga salah satu pantangan penderita HNP. Beberapa waktu sebelumnya saya enggan disuruh nyetir karena selalu kesakitan kalau menginjak kopling. Namun, ketika kendaraan berganti dengan matic, saya malah seperti lupa daratan. Toh nggak sakit ini, pikir saya. Yang tidak menguntungkan adalah ketika memasuki bulan puasa. Akupunktur langganan saya libur demikian juga kolam renang tempat saya rutin berenang.

Lalu, pada hari Raya Idul Fitri saya ikut keliling-keliling bersilaturahmi (catatan: nyetir sendiri).
Masih belum puas, ketika libur Lebaran saya malah jalan ke Bangkinang. Itu sama saja menyetir non-stop sekitar dua jam. Lalu, tentu saja, saya masih harus menulis karena ada beban deadline.

Akumulasi ini semualah yang saya tengarai memicu HNP saya.

Senin, 25 Agustus 2014 sore, dengan memakai brankar (karena saya total tidak bisa duduk dan berdiri) saya memasuki ruang dr. Syafruddin. Bertemu lagi dengan dokter baik hati yang merawat saya sebelumnya.

Dr. Icap (panggilan dr. Syafruddin) langsung menyuruh saya rawat inap.

Eng ing eeng... masuk RS untuk kedua kalinya.

(bersambung, kalau mood... )

***

Pembatuan, 29 September 2014
@agnes_bemoe

Monday 22 September 2014

Herbert

September 22, 2014 0 Comments
Butiran hujan jatuh tepat di pipiku di sore yang basah di Februari itu. Refleks tanganku terayun hendak mengusapnya. Namun, tanganmu ternyata lebih cepat.

"Ih! Kesempatan ya...."
Aku pura-pura protes. Padahal senang bukan kepalang. Aku senang berada di dekatmu. Sangat dekat seperti ini. Dan ternyata, hanya hujan yang bisa membawamu sedekat itu kepadaku.

"Busyeet! Kamu tuh ya!" Kamu terkejut sebentar, lalu tertawa.
Lenganmu merengkuhku, memaksaku merapat ke badanmu. Sementara tanganmu yang satu lagi melindungi kepalaku. Kamu tak peduli akan dirimu sendiri yang kuyub disapu hujan.

Butiran hujan makin keras menepuk kita berdua sampai kita menemukan sebuah kaffe kecil sebagai tempat berteduh. Tuhan, bisikku usil, jangan hentikan hujan sore ini ya.... Aku menyukai setiap tetesnya. Aku menikmati kekawatiran di wajah pria di dekatku ini.

Pria yang tak pernah bilang "Aku sayang kamu", "Aku rindu kamu", ataupun sekedar memanggilku dengan sebutan "Sayang". Sekalipun aku merengek, kamu hanya tersenyum memamerkan lesung pipimu yang menggemaskan. Kalau aku sampai ngambek paling-paling kamu menambahkan dengan sebuah pelukan.

Padahal, kamu adalah penyair terkenal dengan puisi-puisi romantismu! Teman-teman sering mengaku iri. Iri akan keromantisan yang mereka pikir kunikmati setiap detiknya. Andaikan mereka tahu, pikirku kesal.

Anehnya, pria keras kepala seperti kamu ini bisa lebih gusar daripada diriku sendiri bila ada yang berbuat kurang baik padaku. Pria yang sama yang keras kepala seperti kamu ini bisa jauh lebih kawatir daripada diriku sendiri dan berubah protektif ketika aku sakit. Kamu juga, si pria keras kepala itu,  -dengan caramu yang sambil lalu- bertanya tentang beberapa teman priaku. Hanya perasaanku sajakah, ataukah kamu tidak sekadar bertanya.

Inikah cinta buatmu. Atau apa?
Hujan membuat dadamu dekat denganku tapi tak bisa membuatku tahu apa isi hatimu.

"Pesan apa, Mbak?"

Aku mengerjab-ngerjabkan mata. Mengusir kenangan yang berputar bagaikan film di kepalaku. Butiran hujan deras menerpa jendela. Butiran yang akan selalu membuatku teringat padamu.

Di suatu pagi yang muram dalam butiran hujan, kamu memutuskan untuk menjawab panggilan Tuhanmu. Sakit yang kautahan sekian lama membawamu pergi. Sakit yang juga tak pernah mau kamu ungkapkan. Butiran hujan membawa dirimu, sakitmu, seluruh perasaanmu kembali kepadaNya. Andai kamu sempat tahu bahwa butiran hujan pagi itu ikut juga membawa repihan jiwaku....

Dan, seandainya engkau masih ada, bulan ini seharusnya kita berdua akan merayakan ulang tahunmu bersama-sama, seperti tahun lalu. Perih tiba-tiba menusuk ulu hatiku.

"Mbak, jadi pesan?" Teguran manis waitress kembali mengejutkanku.

"Oh iya, maaf, kopi hitam aja...."

Entah kenapa, kopi kesukaanmu yang kusebutkan dan bukannya moccachino kesukaanku.

Mungkin karena butiran hujan ini terlalu lekat dengan dirimu.

Mungkin karena aku hanya ingin menyembunyikan butiran hujan di hatiku.



***

Pekanbaru, 20 September 2014
Untuk mengenang segalanya,
Agnes Bemoe

Catatan: Kesamaan nama dan peristiwa hanya KEBETULAN yang tidak disengaja

Thursday 4 September 2014

BUTIRAN LUKA

September 04, 2014 0 Comments



Hujan bisa dilihat sebagai apa saja; peristiwa alam, musim paling seru untuk main air hujan, atau saat paling menyebalkan dengan banjirnya.

Hujan bisa memicu romantisme yang manis. Hujan juga dengan kejamnya mampu melumat hati yang sedang remuk direjam cinta.

Hujan, bisa jadi apa saja.

Lalu, jadi apa hujan di ujung pena FRS?

Romantis? Tentu saja. FRS dikenal sebagai penyair yang mampu mengaduk-aduk pembacanya dengan tulisan romantisnya. Baca saja "Hujan Jatuh dari Tangkainya" sebagai contoh.
         
          ...
          Hujan lepas dari tangkainya
          Ketika kurahasiakan rindu dalam hati
          (Hal. 59)

Pembaca setia buku-buku FRS pasti merasakan konsistensi kepiawaian beliau merebut hati pembacanya dengan tulisan romantisnya, termasuk kali ini dengan butiran hujannya.

Bagi FRS, hujan juga memercikkan rasa kemanusiaan. Kisah ayah yang melindungi anaknya dari dinginnya malam berhujan dalam "Maret" (Hal. 8) mau tak mau membuat pembaca sejenak tercenung. Dan jadi lebih tercekat lagi setelah mengetahui bahwa anak yang setiap malam dikeloninya itu ternyata "hanya" sebuah boneka. Boneka pengganti anaknya yang hilang.

Religius? "Januari" (Hal. 1) seolah menyingkapkan pergulatan bathin setiap pemercaya Tuhan tentang kasih sayangNya.

Romantis, humanis, religius. FRS menyapukan butiran hujan dalam setiap ruang itu.

Namun, setelah membaca lima buku FRS sebelumnya dan kemudian membaca buku keenam ini, saya merasa, membaca FRS yang tepat buat saya adalah membaca yang tidak ia tuliskan.
Membaca FRS adalah membaca kesenyapan di setiap lekuk tulisannya.

Termasuk membaca BBH.

Dan, dari buku kecil berkaver lukisan indah ini saya merasakan cipratan butiran luka. Luka mendalam karena ketidakadilan. Luka karena terabaikan oleh negara. Luka karena kekejaman satu manusia atas manusia lain. Bahkan kekejaman atas anak-anak yang tak akan pernah bisa jadi lawan seimbang.

Luka karena perasaan gagal dan ditinggalkan. Luka karena perasaan kecil berhadapan dengan garangnya hidup. Luka atas banyaknya pertanyaan yang mencekatkan lidah.

Luka seperti ini bukan luka baru. Selalu bisa menganga lagi setiap kali kita jalan menyusuri hidup hari ini.

BBH mengajak saya untuk berdamai dengan luka hari ini. BBH menawarkan untuk membalut luka sebagai "Tuhan sedang melukis satu lagi kebaikan untuk panjenengan." (Uban, hal. 66).

Itu cipratan butiran hujan FRS buat saya. Entah bagi anda.

***

Pekanbaru, 4 September 2014
Agnes Bemoe














Wednesday 3 September 2014

Cintamu

September 03, 2014 0 Comments
Memetik cintamu, diantara bulir-bulir cahaya rembulan
Hangat yang kurasakan di sini
Adalah nyanyi pucuk-pucuk cemara
Waktu peri malam mengayunkan tongkatnya
Menaburkan bintang-bintang
...

RS Santa Maria, 600D
26 Agustus 2014

To: Fito

19:09

Embun

September 03, 2014 0 Comments

          : Fito



Dan bila esok pagi
Engkau mendapati
Embun tersenyum cantik
Di pucuk-pucuk dedaunan

Ketahuilah
Cintaku ada bersama
Setiap kilaunya

Kumohon,
Tataplah sambil tersenyum
Karena
Cintaku sedang membelai matamu
Sepuas-puasnya

Hanya itu yang kupunya
Sebelum matahari
Melelehkanku selamanya
...


600D RS Santa Maria
3 September 2014
18:55

Hujan

September 03, 2014 0 Comments
"Aah...! Hore! Hiyaa!"
Temanku itu melompat-lompat kegirangan. Wajahnya sumringah dihiasi senyum lebar hampir memenuhi seluruh mukanya. Tingkahnya sudah sama persis dengan anak-anak kecil di bawah sana yang sedang asyik mandi hujan.
Anak-anak berkulit tembaga, bertelanjang dada, lari kesana kemari menendangi genangan air. Mencipratkannya pada temannya sambil berteriak a la Indian maju perang.

"Hiyaaa! Kenaa! Hahaha...!" Temanku ikut-ikutan berteriak. Seolah-olah dia yang ikut main hujan-hujanan. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.

"Kamu kenapa sih, kok cemberut? Cheer up, man!" Temanku memandang sekilas ke arahku, lalu kembali menikmati permainan hujan anak-anak. Solah ia tidak mau ketinggalan sedetik pun moment seru di depannya. Seolah-olah dia sedang nonton pertandingangan sekelas World Cup.

"Apa yang di-cheer up-in?"

"Kita. Mereka." Temanku menunjuk dadanya sendiri lalu menunjuk anak-anak itu dengan pandangan seolah-olah ia sedang berbicara dengan seorang debil.

Aku langsung jatuh kasihan padanya. Temanku ini memang terkenal naif.
"Sadarlah, my man! Kita ini hanya hujan buatan, bukan sebenar-benar hujan. Kita sengaja dibuat oleh manusia yang pintar agar bumi tidak kering.

Dan, anak-anak yang kau banggakan itu hanya akan memujamu selagi hujan yang sebenarnya tidak turun.

Akan ada waktunya hujan yang asli benar-benar turun. Butirannya jauh lebih deras, lebih segar, lebih menantang untuk dimainkan. Saat itu, mereka bahkan tidak ingat pernah ada hujan buatan macam kita. Kita hanya pengganti, my man. Sepanjang yang kutahu, tidak pernah ada manusia menunggu hujan buatan. Jadi, apa yang akan di-cheer up-kan dengan jadi pengganti?"

Temanku itu terdiam. Lama sekali.
Aku lega. Bersyukur telah melindunginya dari perasaan ge-er yang terlalu dalam. Aku tak mau ia terluka.

"Mungkin memang aku egois." Katanya kemudian, dengan sangat pelan. Aku mengangguk, menepuk-nepuk bahunya.

"Aku tidak melakukannya untuk kebahagiaan mereka. Aku melakukan untuk diriku sendiri. Sekali dalam hidupku, aku ingin dianggap berarti."

Kali ini, aku tak berani menepuk bahunya.

***

Kamar 600D RS Santa Maria Pekanbaru
4 September 2014
08:30