Follow Us @agnes_bemoe

Showing posts with label menjadi guru. Show all posts
Showing posts with label menjadi guru. Show all posts

Wednesday, 11 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 2.1 : GA PUNYA DUIT...

May 11, 2011 0 Comments


Kalo ngomongin guru, pasti langsung dikaitkan dengan gajinya yang super duper minim. Kata orang overjobbed – underpaid. Teman saya punya istilah lain yang lebih "serem", yakni P 9 (P Sembilan); Pergi Pagi-Pagi, Pulang Petang-Petang, Penghasilan Pas-Pasan… Bahkan ternyata kemudian ada yang menambahkan, bukan P 9, tapi P 13: Pergi Pagi-Pagi, Pulang Petang-Petang, Penghasilan Pas-Pasan, Potong Pendapatan, ‘Pala Pening! hahahahaha…. Memelas amat!

Hampir tujuh belas tahun menjadi guru di sebuah yayasan pendidikan swasta, saya tidak bilang saya ini kaya. Tapi, tidak juga saya merasa miskin. Ketika saya pertama kali menjadi guru, tahun 1993, gaji saya sebenarnya cukup untuk saya sendiri yang melajang dan tanpa tanggungan (adik atau orang tua). Pada saat itu, saya malah sempat memberikan les pada anak-anak SD, yang honornya saat itu cukup besar. Saat itu, gaji yang diberikan kepada kami para gurunya, saya anggap cukup layak lah…

Bermewah-mewah tentu tak bisa, tapi, untuk ukuran kota kecil di tempat saya bekerja, status guru dengan gaji seperti itu ternyata cukup memiliki gengsi tersendiri… (Saya pertama kali ditempatkan di Bagansiapiapi –sebuah kota kecil di Utara Propinsi Riau, kota yang dahulu terkenal sebagai penghasil ikan nomor satu di Indonesia-Pen) dan setahun kemudian dipindahkan ke Duri, masih di yayasan yang sama. Namun, perlu saya akui, perilaku boros sayalah yang membuat saya tidak punya tabungan, sementara sebenarnya gaji saya masih berlebih untuk kebutuhan saya… (hiks! Ketauan deh!).

Tahun 1998 terjadilah bencana ekonomi. Masyarakat menyebutnya “krismon” (krisis moneter). Gaji kami memang tidak dikurangi (dan syukur-syukur saya masih memiliki pekerjaan, sementara begitu banyak orang di tempat kerja lain yang di-PHK saat itu!). Namun, penghasilan itu jadi sangat ngepas untuk hidup satu bulan, bahkan untuk saya yang lajang…

Ini karena harga-harga melonjak hampir sepuluh kali lipat! Beras yang biasanya Rp. 1.000,- sekilonya melompat tinggi menjadi Rp. 10.000,- Saya tak pernah tahu bagaimana mereka yang sudah berkeluarga mengelola keuangannya. Yang jelas, saat itu saya rasakan, beraaaat sekali jadi guru, dalam hal minimnya penghasilan yang saya terima tiap bulan…

Tahun itu, entah dengan pertimbangan apa, saya diangkat menjadi kepala sekolah. Berkaitan dengan gaji, tentu orang mengira gaji saya menjadi gaji terbesar, minimal di sekolah yang saya pimpin. Namun kenyataannya, gaji guru-guru saya malah jauh lebih besar dari pada gaji saya. Mengherankan ya? Ini karena sistem penggajian di yayasan kami menerapkan bahwa guru yang mengajar mendapatkan honor kelebihan jam mengajar (dari jam mengajar wajib). Sedangkan saya, karena tidak lagi masuk mengajar di kelas, otomatis tidak lagi mendapat honor kelebihan mengajar.

Lalu, tunjangan struktural sebagai kepala sekolah?? Aah… malu saya menyebutkannya! Yang jelas, take home pay saya dengan bapak-ibu guru saya berbeda, dalam artian, saya lebih kecil…. (Aduuuuh… malunya… cuman keren doang jabatannya kepsek, tapi duitnya ga ada… hehehehehe…). Cuman, enaknya, saat itu saya dapat rumah dinas, lengkap dengan perabot, dan penggantian biaya listrik.

Empat tahun kemudian, saya tidak lagi menjadi kepala sekolah, dan dipindahkan ke Pekanbaru (sekali lagi, masih di yayasan yang sama). Tentu saja, gaji saya bertambah, karena sekarang saya masuk mengajar di kelas, dan mendapat honor kelebihan mengajar. Apalagi, di sekolah ada kegiatan les sore untuk anak kelas 3 SMA, dimana saya juga jadi salah seorang guru lesnya. Maka berarti, lumayan ada tambahan untuk penghasilan saya. Saya mulai nyicil beli sepeda motor, dan kemudian juga mengambil satu rumah kecil dari BTN.

Wah, kalau ditanya masa itu, bueraaat….! Cicilan sepeda motor yang sekian ratus ribu masih ditambah lagi dengan angsuran rumah, dan masih ditambah lagi dengan biaya kontrak rumah! Gak ada kata lain: berat! Apalagi, tahun itu saya mendapat rejeki dua orang anak yang dipercayakan pada saya.

Terasa lebih berat lagi, karena kebetulan, murid-murid yang saya ajar di sekolah itu sebagian besar adalah dari kalangan pengusaha. Pada jaman itu, mereka sudah ramai bermobil ke sekolah (sementara saya nyicil sepeda motor aja dengan separuh bengek!). Ketika orang belum banyak menggunakan HP, murid-murid saya ini sudah rame dengan HP segala tipe… Wah, memang seperti langit dan bumi, kondisi ekonomi saya sebagai guru, dengan murid-murid yang saya ajar…

Terus terang saya ceritakan di sini, mungkin kalau hitung-hitungan akuntansi a la manusia, maka rasanya MUSTAHIL saya bisa membiayai sekian banyak pengeluaran. Bayangkan, angsuran sepeda motor, rumah, kontrakan, masih lagi menyekolahkan dua orang anak!
Namun demikian, nyatanya, pelan tapi pasti, angsuran motor bisa selesai tepat waktu. Kemudian enam bulan setelah akad rumah, kami pindah ke rumah BTN tersebut, berarti berkurang lagi biaya untuk membayar kontrakan. Dan, biaya sekolah untuk dua anak saya itu, ternyata mendapat keringanan yang edan-edanan dari pengurus yayasan saat itu. (Karena bukan anak kandung, maka dua anak saya itu tetap harus membayar uang sekolah. Bila mereka anak kandung saya, uang sekolah mereka dibebaskan). Hhh… lega rasanya…

Namun, lagi-lagi, saya dipindahkan, tak jauh-jauh sih, dari SMA ke kantor pengurus. Waktu itu saya disuruh membantu mengerjakan administrasi. Saya suka pekerjaan saya, namun, konsekuensinya bagi keuangan saya adalah: gaji saya berkurang… hhh… lagi-lagi deh…

Apalagi, saat itu, ada pergantian kepengurusan yayasan. Bila dengan pengurus yang lama, uang sekolah anak saya langsung mendapat keringanan yang ringan buangeeeet, tanpa saya perlu “mengemis”, maka sekarang, anak saya tetap harus bayar dengan jumlah sama seperti orang luar. Biaya uang sekolah anak saya saja mencapai sepertiga dari gaji saya… Akhirnya, memang, dengan segala macam upaya, saya berhasil juga memperoleh sedikit keringanan uang sekolah. Ini tentu saja sangat membantu, walaupun di lain pihak, saya tetap harus mengetatkan pengeluaran.

Tapi, ternyata semua ada hikmahnya. Benar, ini bukan klise. Tapi saya hayati benar.

---bersambung---

Agnes Bemoe

Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=teacher&imgurl

Monday, 9 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 1. KOK JADI GURU??

May 09, 2011 0 Comments


Guru adalah cita-cita saya sejak kecil. Kalo’ kawan-kawan menuliskan “insinyur” atau “dokter” untuk kolom cita-citanya, maka saya ingat, saya akan menyebutkan “guru”. Tentu saja, saya tidak tahu, seberapa serius saya saat itu, namun nyatanya, sampai SMA saya tidak pernah mengganti cita-cita saya.

Kakek dari ibu adalah seorang guru, demikian juga ibu saya. Sementara ayah saya seorang jaksa. Mungkin, karena guru jugalah sosok orang dewasa yang pertama yang saya kenal setelah ayah dan ibu saya, makanya saya ingin jadi guru. Orang tua saya sendiri tak pernah risau dengan keinginan saya menjadi guru. Paling tidak, misalnya pun ternyata mereka tidak setuju, mereka tidak pernah mengungkapkannya. Yang sempat membuat mereka agak keberatan adalah ketika saya sempat bilang, saya ingin studi filsafat!

Kesukaan saya pada filsafat berangkat dari kesukaan saya membaca. Saya pembaca segala, termasuk buku-buku berbau filsafat. Ketika saya membaca buku-buku filsafat, kok rasanya begitu mengasyikkan. Makanya saya terpikir untuk studi filsafat.

Ketika saya SMA, Bu Ratna, Guru BP kami, terkejut setengah mati, waktu tahu saya mau studi filsafat. Beliau langsung memanggil saya dan mengajak saya bicara. Maksud beliau tentu sangat baik, yaitu menguji apakah saya benar-benar serius dengan pilihan saya. Beliau khawatir, saya cuma asal pilih saja, trus kemudian nanti kecewa. Rupanya, tidak hanya beliau saja yang terkaget-kaget. Suster Inggrid, OSU, suster asrama saya yang juga guru Agama di sekolah, juga ikut-ikutan kaget. Dan lucunya, pertanyaan mereka hampir sama:
“Mau jadi suster ya….?” Hahahahaha…. Tentu saja tidak. Saya cuman suka filsafat, dan ga ada hubungannya dengan mau jadi biarawati…

Di sekolah “heboh”, ga kalah hebohnya juga di rumah. Seperti yang saya ceritakan, orang tua saya yang biasanya demokratis, kali ini agak sedikit kenceng.
Mereka menunjukkan ketidaksetujuannya, biarpun tidak langsung. Saya ingat, ayah saya yang super demokratis pun dengan hati-hati menjelaskan ketidaksetujuannya atas pilihan saya itu. Negosiasi untuk menentukan pilihan setelah lulus SMA ini berlangsung cukup alot sampai akhirnya kami terpaksa kompromi. Kesepakatan dibuat, untuk jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) jurusannya adalah jurusan yang disetujui oleh orang tua, sedangkan untuk SIPENMARU saya dibebaskan memilih yang saya suka. Di jalur PMDK saya memilih keguruan; bahasa Inggris di pilihan pertama, dan bahasa Jerman di pilihan kedua. Ini sebetulnya hasil pemikiran licik saya; karena menurut saya pasti lebih susah jebol PMDK daripada SIPENMARU. Saya berencana, nanti kalau tidak jebol PMDK, saya akan ambil jurusan Filsafat di SIPENMARU.

Nasib berkata lain: saya lolos PMDK, Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman di IKIP Yogyakarta! Saya kuliah keguruan, dan akhirnya jadilah saya guru, sampai sekarang…
Balik lagi ke masalah pertanyaan “Kok jadi guru?”, saya ingat, dari kecil saya juga sudah menerima pertanyaan itu; maksudnya tentu ada sambungannya, “kok bukan insinyur, atau dokter, atau pilot, de el el…” seperti umumnya anak seusia saya. Tentu saja saya tidak punya jawaban yang pasti untuk itu.

Ketika saya SMA, bahkan seorang guru saya juga menanyakan pada saya:
“Memang serius ya, mau jadi guru …?” demikian guru saya bertanya. Selanjutnya, guru bahasa Inggris saya itu, menunjukkan koleksi ensiklopedi yang dia miliki. Saya ingat, saya sedang main ke rumahnya ketika itu. “Ini semua yang beli ayah saya. Gaji guru gak akan mungkin bisa membeli semua ini…”
Intinya, dengan caranya tersendiri beliau menjelaskan bahwa jadi guru ga akan bisa kaya. Ga bisa beli macem-macem…

Dan, saya waktu itu, tentu saja masih sangat sangat sangat naïf, untuk bisa memahami apa yang guru saya coba katakan. Sama sekali secuil pun tidak pernah terlintas di kepala saya tentang biaya hidup, apalagi gaya hidup, yang semuanya butuh duit. Di pikiran saya hanya satu: menjadi guru.

Bicara tentang mau atau tidak jadi guru, memang tidak semua orang dari sononya pengen jadi guru. Seperti kisah dua orang ibu guru kembar berikut ini. Sri Rosiati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian), ibu kembar yang terkenal lewat sekolah Kartininya ini juga tidak sengaja masuk ke dalam dunia pendidikan, dan “nyebur” jadi guru. Untuk sekedar ngingetin, ini kisahnya:

Sekitar delapan tahun lalu, Rosi dan Rian berdialog dengan Jamin, salah seorang warga di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Saat itu, Jamin bertugas sebagai keamanan di wilayah tersebut. Rosi dan Rian menitipkan kendaraannya yang saat itu mogok.

"Waktu itu kita ingin memberi imbalan kepada Pak Jamin, tapi ia menolak. la menyarankan agar kami memberikan bantuan kepada warga saja," kata Rosi.
Setelah melihat kondisi wilayah di bawah jembatan layang tersebut, Rosi dan Rian melihat bahwa warga di wilayah itu amat miskin. Kecuali itu, anak anak dari keluarga itu juga banyak yang tidak bersekolah. Karena itu, pasangan kembar kelahiran Februari 1950 itu sengaja membangun sarana pendidikan bagi warga perkampungan kumuh di wilayah Jakarta Utara tersebut.

Selain didasari rasa kemanusiaan sebagai seseorang yang beruntung hidup di atas garis kemiskinan, inisiatif Rosi dan Rian mendirikan sekolah darurat juga atas dasar perhatiannya terhadap masalah pendidikan di Tanah Air.

"Kita melihat banyak anak di sini tidak punya kesempatan sekolah. Bayangkan, anak usia 10 tahun ada yang sudah menjadi pelacur. Nah, kita sebagai seorang yang berada, kenapa nggak mencoba untuk memberikan kesempatan," ujar Rosi.

Rupanya, kehadiran sekolah darurat itu mendapat respons positif masyarakat sekitar. Lima Sekolah Darurat Kartini yang didirikan Ibu Kembar ini, mampu menampung banyak anak miskin. Di Rawa Bebek saja, misalnya, tak kurang dari 350 siswa ditampung di sekolah tersebut.
Sumber: http://www.sampoernafoundation.org/content/view/161/48/lang,id/




Sebelum mengenal sepak terjang kedua ibu kembar yang sangat luar biasa ini, saya pernah mengenal sebuah kegiatan sosial sejenis. Kali ini di Jogjakarta, sekitar tahun 1984 ketika saya masih mahasiswa di Jogja. Di sana ada sekelompok frater-frater (calon pastor, Pen) yang menetap di Kolsani (Kolese Santo Ignatius de Loyola) Jogjakarta, yang punya kegiatan memberikan pengajaran pada anak-anak pemulung di daerah Pingit, Jetis. Para frater ini setiap hari mengunjungi anak-anak pemulung di daerah tersebut. Mereka mengajari anak-anak itu pelajaran-pelajaran SD, seperti membaca, berhitung, dan menulis. Tidak formal-formalan, ruang belajar pun memakai rumah keluarga atau tanah kosong, dengan penerangan lampu strongking. Tidak tahu persis, apa yang membuat mereka mau bersusah-payah menjadi guru, mengajari anak-anak pemulung yang jelas-jelas terbelit dengan seribu satu kesulitan; terutama kesulitan ekonomi dan sosial.

Saya tidak tahu, berapa banyak orang seperti ibu Kembar Rosi dan Rian ataupun para frater di Jogjakarta ini. Tapi, mungkin jumlahnya kalah banyak dengan kelompok yang akan saya sebutkan ini.

Beberapa rekan kerja saya mengaku, bahwa sebetulnya mereka tidak ingin jadi guru. Makanya mereka juga tidak tertarik untuk kuliah di keguruan. Namun, persaingan kerja yang keras dan ketat, serta beberapa sebab yang lain, menggiring mereka kemudian terpaksa dan coba-coba melamar jadi guru… dan ternyata… diterima…

Agak menyedihkan ya… motivasi awal ini… Saya teringat, bahwa beberapa teman kuliah saya juga mengaku, bahwa mereka sebetulnya tidak ingin masuk ke keguruan, tetapi karena tidak jebol di jurusan lain, maka mereka terpaksa pilih keguruan. Whew… Memang selanjutnya tidak sedikit yang akhirnya menemukan kecocokan menjadi guru, dan kemudian berkarya dengan penuh dedikasi.

Lucunya, di lain pihak, tidak sedikit juga teman-teman saya yang kuliah keguruan, eeh… akhirnya malah terus terjun di bidang lain; ada yang jadi Marketing Manajer di sebuah perusahaan pengolahan tuna; ada yang membuka bisnis sendiri; ada yang bekerja di perusahaan penerbitan terkenal, ada juga yang menjadi aktivis di LSM, dan lain-lain…

Maka, “Kok jadi guru?” bisa macam-macam jawabannya…

***

--- bersambung ---

Agnes Bemoe


Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=teacher&imgurl

Sunday, 8 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_KATA PENGANTAR

May 08, 2011 0 Comments


Saya hanya ingin menuliskan pengalaman dan perasaan saya sebagai guru. Tidak ada maksud lain, apalagi yang berbau menjelek-jelekkan profesi guru ataupun orang lain. Sebaliknya, saya berharap kisah-kisah yang ada di buku ini bisa menjadi inspirasi bagi guru dan calon guru.

Buat yang sudah menjadi guru*), terkadang perjalanan (menjadi guru) terasa begitu berat dan melelahkan. Mudah-mudahan sebagian kisah-kisah ini bisa membantu bapak-ibu menemukan lagi motivasi yang lebih murni untuk menjadi guru. Sedangkan bagi para calon guru, mudahan-mudahan buku ini bisa memberikan gambaran yang komprehensif tentang bagaimana menjadi guru, dan bisa mejadi panduan dalam menentukan serta memantapkan langkah untuk menjadi guru.

Kisah yang ada di sini tentu saja kisah nyata yang saya alami bersama orang-orang di sekeliling saya, namun nama orang-orang yang terkait tentu saja saya samarkan. Saya juga mengutip dari kisah-kisah sesama guru di Indonesia, dengan harapan dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh dan berimbang.
Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat dan dapat dinikmati.

Pekanbaru, Pebruari 2010
Agnes Bemoe


*) Tulisan ini dibuat ketika saya masih menjadi seorang guru

Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=teacher&imgurl=