Follow Us @agnes_bemoe

Saturday 22 October 2016

MENULIS CERITA PENDEK ANAK A LA SAYA

October 22, 2016 0 Comments
Seminggu yang lalu saya dimintai oleh mantan guru Bahasa Indonesia SMA saya membuat format cerita anak. Saya yakin sepuluh ribu persen, beliau lebih mampu membuatnya daripada saya. Namun sebagai (mantan) murid yang baik, saya buatkan juga.
Berikut ini bukan teori karena saya tidak punya secuil degree pun dalam bidang penulisan cerita anak. Yang akan saya sampaikan adalah yang sehari-harinya saya lakukan bila menulis cerita anak. Saya lebih sering menulis cerita anak untuk pembaca target berusia 4 sampai 12 tahun. Maka, pada ruang itulah saya berbicara.
 
Buku anak pertama yang saya tulis. Berisi 10 cerita motivasi (bilingual) 

UNSUR INTRINSIK
Sama seperti cerita pada umumnya, cerita anak juga dibangun atas adanya konflik, karakter, alur, setting, tema, sudut pandang, gaya bahasa, serta amanat. Lalu, apa bedanya dengan cerpen bukan anak-anak? Ary Nilandari –seorang pakar cerita anak- punya istilah yang unik tentang ini. Menulis cerita anak berarti penulis (yang biasanya sudah bukan anak-anak lagi) harus bersedia “jongkok dan melihat dunia dari kaca mata anak”.

LILA MENCARI TETES AIR HUJAN
Agnes Bemoe

Hari itu hujan turun deras sekali. Brush! Brush! Brush! Begitu bunyinya. Tetes airnya berkelap-kelip di udara sebelum jatuh menimpa tanah. Indah sekali! Namun, lama kelamaan tetes hujan semakin sedikit. Tes! Tes! Tes! Lebih menyedikit lagi. Tik! Tik! Tik! Akhirnya berhenti!
Lila terperanjat melihat air hujan yang berhenti menetes. Ia berlari keluar dan melihat langit. Langit cerah. Tidak berawan apalagi hujan.
Lila menunggu satu hari. Hujan tidak turun. Dua hari, tiga hari, sampai satu minggu. Huh! Kemana perginya hujan?

Lila lalu memutuskan untuk mencari Tetes Air Hujan.
Ia menempuh perjalanan panjang sampai ke luar kota. Di tepi kota ada persawahan yang luas menghijau. Di sana ia bertemu Orang-Orangan Sawah.
“Bapak Orang-Orangan Sawah, di manakah Tetes Air Hujan?” Lila membungkuk dengan hormat.
“Di Gunung Ratu banyak air hujan,” jawab Orang-Orangan Sawah.

Lila berjalan lagi. Kali ini ia menuju ke Gunung Ratu. Ia bertemu Naga Ungu.
“Paman Naga, di manakah Tetes Air Hujan?”
Naga Ungu menunjuk ke atas. “Di atas awan ada Tetes Air Hujan,” serunya sambil menyemburkan api.
Lila minta tolong pada Datuk Angin untuk membuatkan sebuah tangga menuju ke langit. Lila lalu memanjat tangga angin itu. Di langit Lila bertemu Tuan Awan.
“Tuan Awan, di manakah Tetes Air Hujan?”
Tuan Awan tertawa sambil menempuk-nepuk perutnya yang gendut.
“Anak manis, tunggulah di rumahmu. Tidak berapa lama lagi Tetes Air Hujan akan datang.”
Lila terdiam sejenak.
“Hmm… berapa lama aku harus menunggu?”
“Hitunglah sampai enam kali Ibu Bulan Purnama muncul di langit. Oke?”
Lila mengangguk-angguk senang. Ia mencium pipi Tuan Awan lalu pamit pulang.
***
( “Hujan! Hujan! Hujaaan!” Gramedia Pustaka Utama, 2014)

Ilustrasi "Lila Mencari Tetes Air Hujan" oleh Clay Illustration

Bagi orang dewasa, hujan berhenti tidak menimbulkan rangsangan apapun dalam pikiran mereka. Namun, bagi anak-anak yang sedang penuh dengan rasa ingin tahu, berhentinya hujan menimbulkan pertanyaan besar dalam diri mereka: kemana si hujan. Melihat dunia dengan kaca mata anak ini yang pertama-tama harus ditanamkan dan terus menerus dilatih. Jangan sampai, kita menjejalkan ide orang dewasa dalam format cerita anak. Cerita anak seharusnya menjadi kerajaan bagi dunia anak, dimana anak-anak menjadi raja atau ratunya.
Dalam kaitannya dengan hal itu, penggunaan bahasa menjadi amat penting. Kalimat pendek-pendek dan sederhana (kalimat efektif) akan lebih menarik bagi anak. Bahasa yang efektif menjadi tuntutan standar karena biasanya ruang untuk menulis juga dibatasi jumlah katanya. Saya pribadi membatasi satu cerita hanya 500 kata, mengikuti beberapa lomba yang pernah saya ikuti (termasuk Singtel Asian Picture Book Award). Majalah Bobo dan Kompas Minggu Anak memberi ruang 500 – 700 kata.

Kumpulan Kisah Santo Santa, Penerbit Genta (Imprint Penerbit BIP Gramedia), 2013

Yang paling penting (dan membuat saya tergila-gila menulis cerita anak) adalah ruang imajinasi. Anak-anak yang sehat dan cerdas pasti punya imajinasi yang “liar dan aneh” (pernah perhatikan anak anda bicara sendiri dengan mobil atau bonekanya? Luar biasa sekali melihat pikiran mereka yang melompat ke sana kemari dengan cetusan-cetusan ceritanya). Kalau cerita yang kita tulis berada di bawah standar imajinasi anak, bisa diduga anak (yang cerdas) akan bosan.
Pernah baca buku-buku cerita anak karya Clara Ng? “Padi Merah Jambu”, misalnya? Atau buku-buku Roal Dahl? “Charlie and The Chocolate Factory”? Atau serial “Pippi Langstrump”? Masa kecil anda sangat luar biasa kalau sempat membaca buku-buku itu. Itu buku-buku yang sangat memanjakan imajinasi anak-anak.
 Menulis cerita anak memberi ruang pada penulisnya untuk “berpikir secara liar” (sehingga buat saya sangat menyenangkan). Saya bisa membuat tokoh berbentuk segi empat berwarna kuning (ingat Sponge Bob?) atau saya bisa mengambil kecoa (binatang yang aslinya menjijikkan itu) sebagai tokoh utama (Oggy and the Cockroaches). Ini privilege yang tidak saya dapati ketika menulis cerita dewasa.
Menulis cerita anak juga berarti harus terampil merajut amanat sehingga tidak terkesan menggurui, berkotbah, apalagi indoktrinasi. Anak-anak yang cerdas tidak akan mau membaca cerita-cerita seperti itu.

Buku saya "Nino, Si Petualang Ciik" diresensi oleh Majalah Bobo, 2014


BONEKA RASA JUS JERUK
Noni melap keringatnya. Matahari bertambah panas. Suaranya juga habis karena berteriak-teriak dari tadi. Diliriknya tempat jus jeruknya. Masih terisi penuh. Huh, Noni mengeluh dalam hati. Dari tadi baru dua gelas yang terjual. Ternyata sulit sekali berjualan jus jeruk. Apakah ini berarti boneka beruang impianku tidak bisa kudapatkan ya…
Noni bukan penjual jus jeruk. Ia berjualan jus jeruk karena ia ingin punya uang. Dengan uang itu ia ingin membeli sebuah boneka beruang yang dilihatnya di mall. Bila minta dibelikan, pasti mama tidak akan setuju. Papa dan mama hanya akan membelikan buku atau peralatan sekolah. Ketika itulah muncul ide di kepala Noni untuk berjualan jus jeruk.
Mama dan papa memang tidak melarang tapi mereka sempat mengingatkan bahwa berjualan itu tidak mudah.
“Papa dan mama tidak keberatan, Noni. Tetapi, berjualan itu tidak mudah lho. Kamu harus menyiapkan jus jeruknya. Kamu juga harus memperhitungkan baik-baik harganya berapa, supaya kamu tidak merugi.”
“Harus siap mental juga, karena tidak selalu jualan kita langsung laris…” sambung mama.
Noni teringat perkataan papa dan mamanya itu. Ternyata, perkataan papa dan mama benar. Sudah sesiangan Noni menyiapkan jualannya. Sesiangan pula ia sibuk menjajakan jus jeruknya. Ternyata, hanya laku dua gelas.

Noni terduduk dengan lemas. Huh! Ternyata berjualan itu memang tidak mudah, keluhnya. Terbayang kembali boneka beruang yang besar dan lucu. Boneka itu nampak semakin jauh dari angan-angannya….
“Hai, Noni! Kamu berjualan apa?” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Noni. Ternyata itu adalah suara Tante Ningsih, yang rumahnya tidak jauh dari rumah Noni.
“Jus jeruk, Tante. Enak, segar, dan murah!” Noni jadi bersemangat. “Gulanya gula asli, Tante. Pasti manis dan sehat!”
“Wah, wah, wah, pintar benar kamu berpromosi!” Tante Ningsih tertawa. “Tante coba satu gelas deh….”
Dengan sigap Noni melayani menuangkan satu gelas jus jeruk.
“Hm… segar!” Tante Ningsih meneguk jus jeruknya sampai habis. “Apakah bisa dibungkus? Tante mau membelikan untuk Tommy dan Heidi.”
“Bisa, Tante!” Kembali, dengan sigap Noni membungkuskan jus jeruk pesanan Tante Ningsih.
Tante Ningsih membayar pesananannya kemudian berlalu. Sementara itu, Noni menyimpan baik-baik uang dari Tante Ningsih di sebuah kotak plastik. Sejenak, timbul kembali semangatnya. Ia berteriak-teriak, menjajakan dagangannya.
Sampai sore, jus jeruk Noni ternyata belum habis. Dengan kecewa, Noni mengemasi jualannya. Benar kata papa, berjualan itu tidak mudah, pikir Noni masygul.
“Bagaimana hasilnya, Noni?” Tanya mama.
Noni menghela napas.
“Tidak habis terjual Ma, walaupun ada beberapa pembeli hari ini….”
“Wah, hebat itu! Kamu kan baru pertama berjualan. Orang-orang kan belum banyak yang tahu bahwa ada yang berjualan jus jeruk di sini.” Mama menghibur Noni.
Noni mengangkat bahu.
“Atau, kelihatannya kamu mau berhenti saja, tidak jadi berjualan jus jeruk lagi?” tantang mama.
Noni terperanjat. Ia memang kecewa, tetapi berhenti? Tentu tidak!
“Tidaklah Ma! Aku kan belum mulai, kok mau berhenti!”
Mama tertawa mendengarnya.
Tiba-tiba terdengar suara telepon bordering. Mama bergegas menuju meja telepon untuk menjawabnya.
Noni pun segera beranjak untuk mencuci gelas-gelas yang tadi terpakai. Tiba-tiba terdengar suara mama di belakangnya.
“Kejutan, Noni!”
Noni mengangkat kepalanya.
“Tadi Tante Ningsih ikut membeli jus jerukmu ya?”
“Iya, Ma. Kenapa?”
“Tante Ningsih mau pesan 30 gelas untuk besok sore. Kamu siap mengerjakannya?”
Noni terbelalak senang.
“Siaaa, Bosss!” serunya.

Sampai beberapa hari Noni masih melanjutkan jualannya. Terkadang banyak pesanan, terkadang tidak ada. Tetapi Noni tetap semangat. Lama kelamaan uangnya sudah cukup untuk membeli boneka beruang yang besar dan lucu itu.
“Ayo, papa antarkan membeli boneka,” ajak papa.
Noni menggeleng.
“Tidak, Papa. Terasa sulitnya mencari uang, bahkan untuk lima ratus rupiah sekalipun. Aku tak mau membeli boneka. Uangnya mau kusimpan saja…”
Mendengar ini, papa tertawa. Mama memeluk Noni sambil mengusap kepalanya.
***
(Pernah dimuat di Kompas Minggu, Maret 2013)

Pesan entrepreneurship sangat kuat di sini. Namun, pesan itu dirangkaikan dalam bentuk pengalaman Noni. Pembaca dibiarkan merasakan dan mengambil kesimpuannya sendiri. Akan berbeda sekali keasyikannya kalau diceritakan bahwa ayah dan ibu Noni berkotbah panjang lebar mengenai entrepreneurship.

Ilustrasi "Bo dkk di Peternakan Kakek Ars" oleh InnerChild Std.

BAGAIMANA MEMULAINYA?
Ya mulai tulis saja ide yang sudah ada di kepala. Kalau belum ada ide? Cari ide! Dari mana? Buka mata, lihat sekeliling. Pendeknya, stop whining, start writing.
Salah satu “teknik keledai” yang bisa membantu adalah dengan membaca cerita orang lain dan mengadaptasinya. Perhatikan, adaptasi ya, bukan plagiasi.
Ambil contoh cerita “Lila Mencari Tetes Air Hujan” di atas. Ganti tokohnya (tokoh tidak harus manusia, bisa hewan, bisa sayur mayor, bisa juga tokoh fantasi), ganti settingnya (menjadi musim kemarau, misalnya), ganti konfliknya (menjadi mencari matahari, misalnya). Susun menjadi cerita yang enak dibaca. Tentu saja, ini teknik yang “sangat keledai”. Pada tahap tertentu anda akan sangat tertantang untuk tidak lagi menggunakannya.
Cara lain adalah dengan menuliskan sebanyak mungkin ide-ide yang muncul: tikus yang menjadi detektif, perjalanan ke mars, negeri para peri yang diserbu raksasa, dan lain sebagainya. Perhatikan ide mana yang langsung membuat anda tertarik. Mulailah menentukan tokohnya (karakter), jalan ceritanya bagaimana, konfliknya bagaimana, dan seterusnya. Lalu susun pelan-pelan menjadi cerita.

"Priscilla's Easter Eggs", ilustrasi oleh InnerChild Std.


SELAMAT BERKELANA DI DUNIA CERITA ANAK
Demikianlah serba sedikit yang saya ketahui tentang menulis cerita pendek anak. Tentu jauh dari sempurna karenanya saya akan senang sekali kalau teman-teman mau berbagi ilmu dengan saya.
Last but not least, bila anda tidak pada posisi menulis cerita, saya ajak anda untuk dukung cerita-cerita anak Indonesia dengan membeli buku-buku pengarang Indonesia, memilih buku-buku yang imajinatif dengan pesan universal, serta tidak bosan dan lelah membacakan cerita untuk ananda di rumah.
Cerita Anak saya di Majalah Bobo

*** 
Pekanbaru, 22 Oktober 2016

@agnes_bemoe

Saturday 15 October 2016

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: TEMAN DALAM DERITA

October 15, 2016 0 Comments
Judul Buku                  : Why Me, Lord – Bulir-Bulir Derita sebagai Mutiara Hidup
Penulis                         : Dedeh Supantini
Penerbit                       : Penerbit Obor, Jakarta

Why Me, Lord - Dedeh Supantini


Tidak ada satu manusiapun yang tidak pernah mengalami penderitaan. Intensitasnya bisa sangat subyektif dan variatif. Respons manusia terhadap penderitaan pun bisa bermacam ragam. Namun, satu hal yang layak kita sadari adalah tidak satu orang pun dari kita yang kebal terhadap penderitaan.
Buku kecil bertajuk “Why Me, Lord – Bulir-Bulir Derita sebagai Mutiara Hidup” ini memaparkan pengalaman penulisnya, Dedeh Supantini, sebagai seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta di Bandung. Dalam kesehariannya, dr. Dedeh bertemu dengan banyak sekali pasien yang bergumul dengan penderitaan mereka. Pertemuan dengan pasien dan penderitaan mereka itulah yang “dikunyah” oleh dr. Dedeh dan kemudian disampaikan kembali kepada para pembaca.
Saya menghindari membaca buku-buku sejenis dengan beberapa alasan yang sangat pribadi. Pertama, buku-buku tersebut terlalu berat buat saya sekarang ini yang sedang “terlalu peka radarnya terhadap cerita/berita penderitaan”. Kedua, beberapa buku (tulisan) yang saya coba baca biasanya berhenti pada kegiatan mendramatisir penderitaan; mengemas penderitaan menjadi semacam hiburan. Karenanya, itu menjadi tulisan yang tidak hanya tidak menarik, tetapi juga kejam dan kering.
Puji Tuhan, saya menemukan hal yang berbeda. Buku ini sangat empatik memandang orang-orang yang sedang menderita. Empati, inilah kelebihan buku ini. Inilah yang dibutuhkan oleh para pembaca. Dan, penulis sangat memahaminya. Terbukti, pemaparan dan penjelasannya sangat empatik dan jauh sekali dari kesan menghakimi.
Buku ini juga tidak meremehkan para penderita. Tidak menggampangkan. Buku ini memandang kita, para pembacanya, dengan pengertian dalam akan apa yang kita alami. Berapa banyak dari kita yang bertemu dengan orang-orang yang mudah saja bilang: “ah, itu karena kurang iman!”, “berdoa sajalah, beres!”, dan kalimat-kalimat sejenis. Biarpun menghiasi tulisannya dengan banyak doa dan kutipan kitab suci, dr. Dedeh tidak sepatah kata pun menggiring pembaca ke pemikiran bahwa “berdoa sajalah, beres!”. Terkadang, seseorang yang sedang menghadapi situasi sulit “hanya” butuh teman. Buku ini hadir sebagai teman tersebut.
Ketiga, buku ini memposisikan dirinya sebagai teman bagi pembacanya. Penulis membagi-bagi “proses penderitaan” (ini istilah saya) ke dalam beberapa tahapan. Setiap tahapan diolah, dibicarakan, dan direnungkan tersendiri. Dalam sudut pandang saya sebagai pembaca, seolah-olah pembaca ditemani dengan sabar dan perlahan-lahan untuk menjalani dan memahami apa yang sedang berlangsung dalam dirinya. Dalam posisi sebagai teman itulah buku ini kemudian memberi kekuatan ekstra (empowering) bagi pembacanya. Saya rasa, elemen inilah yang sering hilang dari buku-buku motivasi (yang best seller sekalipun).
Buku-buku seperti ini bisa jadi sangat bagus isinya tapi membosankan pemaparannya. Syukurlah, hal itu tidak terjadi dalam buku kecil bersampul biru ini. Penulis menyelipkan puisi-puisi, kutipan kitab suci, dan doa yang mencairkan tulisan. Bahasa yang digunakan oleh penulis juga ringan dan lancar. Biarpun topiknya berat, pembaca tidak akan merasa berat membacanya.
Satu-satunya keberatan saya atas buku ini adalah pada bagian pembukaannya. Ada banyak sekali kata pengantar, pendahuluan, serta endorsement yang menurut saya menjadi sedikit terlalu banyak. Ibarat sebuah three courses meal yang kebanyakan appetizer-nya. Biarpun appetizer itu semuanya lezat rasanya, pembaca bisa jadi “kekenyangan” sebelum masuk ke main course.
Namun, selain itu, saya sangat merekomendasikan buku ini untuk siapapun, dalam segala umurnya (remaja atau dewasa). Saya bahkan berharap setiap rumah tangga mau mengkoleksi buku ini seperti mereka mengkoleksi buku pintar atau ensiklopedi. Buku ini bisa jadi panduan dan panutan sepanjang masa. Saya juga berharap sekolah-sekolah (minimal menengah atas) mau mengkoleksi buku ini di perputakaannya dan mengadaptasikan isinya ke dalam bimbingan atau retret di sekolahnya. Setiap kita tidak kebal dari penderitaan, maka, bersyukur sekali kita punya “teman” yang mengerti dan memahami kita menjalaninya. Buku ini adalah salah satunya.

Pekanbaru, 16 Oktober 2016

Agnes Bemoe