Judul Buku : Why Me, Lord – Bulir-Bulir Derita sebagai Mutiara Hidup
Penulis : Dedeh Supantini
Penerbit : Penerbit Obor, Jakarta
![]() |
Why Me, Lord - Dedeh Supantini |
Tidak ada satu
manusiapun yang tidak pernah mengalami penderitaan. Intensitasnya bisa sangat
subyektif dan variatif. Respons manusia terhadap penderitaan pun bisa bermacam
ragam. Namun, satu hal yang layak kita sadari adalah tidak satu orang pun dari
kita yang kebal terhadap penderitaan.
Buku kecil bertajuk “Why Me, Lord – Bulir-Bulir Derita sebagai
Mutiara Hidup” ini memaparkan pengalaman penulisnya, Dedeh Supantini,
sebagai seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta di Bandung. Dalam
kesehariannya, dr. Dedeh bertemu dengan banyak sekali pasien yang bergumul
dengan penderitaan mereka. Pertemuan dengan pasien dan penderitaan mereka
itulah yang “dikunyah” oleh dr. Dedeh dan kemudian disampaikan kembali kepada
para pembaca.
Saya menghindari
membaca buku-buku sejenis dengan beberapa alasan yang sangat pribadi. Pertama,
buku-buku tersebut terlalu berat buat saya sekarang ini yang sedang “terlalu
peka radarnya terhadap cerita/berita penderitaan”. Kedua, beberapa buku (tulisan)
yang saya coba baca biasanya berhenti pada kegiatan mendramatisir penderitaan;
mengemas penderitaan menjadi semacam hiburan. Karenanya, itu menjadi tulisan
yang tidak hanya tidak menarik, tetapi juga kejam dan kering.
Puji Tuhan, saya
menemukan hal yang berbeda. Buku ini sangat empatik memandang orang-orang yang
sedang menderita. Empati, inilah kelebihan buku ini. Inilah yang dibutuhkan
oleh para pembaca. Dan, penulis sangat memahaminya. Terbukti, pemaparan dan
penjelasannya sangat empatik dan jauh sekali dari kesan menghakimi.
Buku ini juga tidak
meremehkan para penderita. Tidak menggampangkan. Buku ini memandang kita, para
pembacanya, dengan pengertian dalam akan apa yang kita alami. Berapa banyak
dari kita yang bertemu dengan orang-orang yang mudah saja bilang: “ah, itu
karena kurang iman!”, “berdoa sajalah, beres!”, dan kalimat-kalimat sejenis.
Biarpun menghiasi tulisannya dengan banyak doa dan kutipan kitab suci, dr.
Dedeh tidak sepatah kata pun menggiring pembaca ke pemikiran bahwa “berdoa
sajalah, beres!”. Terkadang, seseorang yang sedang menghadapi situasi sulit “hanya”
butuh teman. Buku ini hadir sebagai teman tersebut.
Ketiga, buku ini
memposisikan dirinya sebagai teman bagi pembacanya. Penulis membagi-bagi “proses
penderitaan” (ini istilah saya) ke dalam beberapa tahapan. Setiap tahapan
diolah, dibicarakan, dan direnungkan tersendiri. Dalam sudut pandang saya
sebagai pembaca, seolah-olah pembaca ditemani dengan sabar dan perlahan-lahan untuk
menjalani dan memahami apa yang sedang berlangsung dalam dirinya. Dalam posisi
sebagai teman itulah buku ini kemudian memberi kekuatan ekstra (empowering) bagi pembacanya. Saya rasa,
elemen inilah yang sering hilang dari buku-buku motivasi (yang best seller sekalipun).
Buku-buku seperti ini
bisa jadi sangat bagus isinya tapi membosankan pemaparannya. Syukurlah, hal itu
tidak terjadi dalam buku kecil bersampul biru ini. Penulis menyelipkan
puisi-puisi, kutipan kitab suci, dan doa yang mencairkan tulisan. Bahasa yang
digunakan oleh penulis juga ringan dan lancar. Biarpun topiknya berat, pembaca
tidak akan merasa berat membacanya.
Satu-satunya keberatan
saya atas buku ini adalah pada bagian pembukaannya. Ada banyak sekali kata
pengantar, pendahuluan, serta endorsement
yang menurut saya menjadi sedikit terlalu banyak. Ibarat sebuah three courses meal yang kebanyakan appetizer-nya. Biarpun appetizer itu semuanya lezat rasanya, pembaca
bisa jadi “kekenyangan” sebelum masuk ke main
course.
Namun, selain itu, saya
sangat merekomendasikan buku ini untuk siapapun, dalam segala umurnya (remaja
atau dewasa). Saya bahkan berharap setiap rumah tangga mau mengkoleksi buku ini
seperti mereka mengkoleksi buku pintar atau ensiklopedi. Buku ini bisa jadi panduan
dan panutan sepanjang masa. Saya juga berharap sekolah-sekolah (minimal
menengah atas) mau mengkoleksi buku ini di perputakaannya dan mengadaptasikan
isinya ke dalam bimbingan atau retret di sekolahnya. Setiap kita tidak kebal
dari penderitaan, maka, bersyukur sekali kita punya “teman” yang mengerti dan
memahami kita menjalaninya. Buku ini adalah salah satunya.
Pekanbaru,
16 Oktober 2016
Agnes
Bemoe
No comments:
Post a Comment