BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: Menyusur Chairil
MEINE WELT
December 18, 2017
0 Comments
Judul Buku: Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta
Penulis: Sergius Sutanto
Penyunting: Esti Ayu Budihabsari
Penerbit: Qanita, Cetakan I, Oktober 2017
Genre: Fiksi Biografi
Seperti yang disampaikan di lembar awal, buku ini adalah novelisasi kehidupan penyair besar Indonesia, Chairil Anwar. Novel 432 halaman ini memuat kisah hidup Ninik, panggilan Chairil semasa kecil, dari kecil hingga wafatnya. Seperti yang dijanjikan di tagline-nya juga, novel ini mengulik pemberontakan bathin penyair kelahiran Medan ini. Pemberontakan bathin yang membawanya melesat sebagai penyair besar di satu pihak tapi menggerus sisi personal dan sosial si penyair di pihak lain. Pemberontakan yang menyulut ironi demi ironi dalam kehidupan tokoh sastra Angkatan 45 ini.
Secara umum, saya sudah pernah membaca sepotong-sepotong kisah hidup Chairil Anwar. Bila hanya untuk sekedar tahu, saya merasa sudah cukup tahu. Namun demikian novel ini tidak lantas jadi membosankan buat saya. Ketrampilan Sergius Sutanto menyadur potongan sejarah menjadi lembar fiksi membuat saya bertahan membacanya. Menggunakan kalimat pendek-pendek, Sergi tampil hangat dan manusiawi, tidak kaku dan dingin. Kehangatan dalam rangkaian kalimat-kalimat pendeknya itulah yang membuat novel biografi ini enak dibaca.
Biarpun setiap genre punya tingkat kesulitan tersendiri dan tidak adil bila diperbandingkan, saya rasa, saya pribadi akan menghindari menulis novel biografi karena tingkat kesulitannya yang tinggi. Penulis tidak bisa begitu saja meluahkan imajinasinya karena yang ditulis adalah tokoh riil. Akan ada ekspektasi yang tinggi terhadap keakuratan atas tokoh dan kehidupannya. Saya ingat bertahun -tahun lalu pernah membaca sebuah review atas film Frida Kahlo. Kritik paling kuat adalah ketidakmiripan karakter Frida dengan aslinya. Ini menimbulkan penolakan oleh penonton di negara asal Frida, Meksiko.
Memahami tingkat kesulitannya yang tinggi ini, saya salut, ada penulis yang mau berkutat di dalamnya. Ini jadi semacam angin segar buat dunia bacaan di Indonesia. Sergi pun menuliskannya tidak hanya (relatif) akurat, namun lancar dan indah, seperti yang saya sebutkan sebelumnya.
Bahwa ini bukan buku sejarah (non-fiksi), akan kita temukan di beberapa bagian. Sergi tidak melemparkan semua fakta sejarah dalam tulisannya. Awalnya saya kurang paham. Namun kemudian saya malah mendukungnya. Memenuhinya dengan serangkaian informasi sejarah malah potensial membuat novel ini membosankan.
Namun demikian, ada beberapa bagian yang saya rasa perlu diperdalam. Salah satunya adalah kematian Toeloes bin Manan, ayah Chairil. Untuk tokoh sepenting ayahnya -yang dikagumi sekaligus dibenci oleh Chairil- moment kematian yang cuma diangkat berdasarkan cerita Uda Husni, pedagang nasi kapau dari Bukittingi, rasanya kurang memadai. Saya membayangkan adanya ledakan emosi yang lebih kuat, mengingat ayahnya itulah pangkal kegalauan dan kelabilan Chairil.
Namun demikian, novel ini sangat asyik dibaca. Teknik flashback di prolog-nya keren, menurut saya. Dari awal, saya merasa sedang menonton film, dan bukan membaca buku. Saya kurang tahu, ini hal yang bagus atau bukan, yang jelas saya tidak keberatan.
Novel semacam ini sangat langka di Indonesia. Selain Iksaka Banu, saya tidak tahu siapa lagi yang mau bertungkus lumus di genre ini. Karenanya, saya bersemangat sekali membacanya. Saya menyarankan novel ini jadi bacaan wajib anak-anak SMA. Ini novel yang membantu anak memahami tokoh dan sejarah dengan lebih menyenangkan. Secara khusus untuk situasi Indonesia yang sedang diancam pertikaian dan perpecahan oleh ide kilafah, novel ini sangat bagus untuk mengingatkan, betapa mahalnya harga kemerdekaan (silakan baca di bagian pembantaian Rawa Gede).
Akhirnya, salut untuk Sergius Sutanto, penulisnya, sangat ditunggu buku-buku berikutnya.
***
Pebatuan, 19 Desember 2017
Agnes Bemoe
Penulis: Sergius Sutanto
Penyunting: Esti Ayu Budihabsari
Penerbit: Qanita, Cetakan I, Oktober 2017
Genre: Fiksi Biografi
Seperti yang disampaikan di lembar awal, buku ini adalah novelisasi kehidupan penyair besar Indonesia, Chairil Anwar. Novel 432 halaman ini memuat kisah hidup Ninik, panggilan Chairil semasa kecil, dari kecil hingga wafatnya. Seperti yang dijanjikan di tagline-nya juga, novel ini mengulik pemberontakan bathin penyair kelahiran Medan ini. Pemberontakan bathin yang membawanya melesat sebagai penyair besar di satu pihak tapi menggerus sisi personal dan sosial si penyair di pihak lain. Pemberontakan yang menyulut ironi demi ironi dalam kehidupan tokoh sastra Angkatan 45 ini.
Secara umum, saya sudah pernah membaca sepotong-sepotong kisah hidup Chairil Anwar. Bila hanya untuk sekedar tahu, saya merasa sudah cukup tahu. Namun demikian novel ini tidak lantas jadi membosankan buat saya. Ketrampilan Sergius Sutanto menyadur potongan sejarah menjadi lembar fiksi membuat saya bertahan membacanya. Menggunakan kalimat pendek-pendek, Sergi tampil hangat dan manusiawi, tidak kaku dan dingin. Kehangatan dalam rangkaian kalimat-kalimat pendeknya itulah yang membuat novel biografi ini enak dibaca.
Biarpun setiap genre punya tingkat kesulitan tersendiri dan tidak adil bila diperbandingkan, saya rasa, saya pribadi akan menghindari menulis novel biografi karena tingkat kesulitannya yang tinggi. Penulis tidak bisa begitu saja meluahkan imajinasinya karena yang ditulis adalah tokoh riil. Akan ada ekspektasi yang tinggi terhadap keakuratan atas tokoh dan kehidupannya. Saya ingat bertahun -tahun lalu pernah membaca sebuah review atas film Frida Kahlo. Kritik paling kuat adalah ketidakmiripan karakter Frida dengan aslinya. Ini menimbulkan penolakan oleh penonton di negara asal Frida, Meksiko.
Memahami tingkat kesulitannya yang tinggi ini, saya salut, ada penulis yang mau berkutat di dalamnya. Ini jadi semacam angin segar buat dunia bacaan di Indonesia. Sergi pun menuliskannya tidak hanya (relatif) akurat, namun lancar dan indah, seperti yang saya sebutkan sebelumnya.
Bahwa ini bukan buku sejarah (non-fiksi), akan kita temukan di beberapa bagian. Sergi tidak melemparkan semua fakta sejarah dalam tulisannya. Awalnya saya kurang paham. Namun kemudian saya malah mendukungnya. Memenuhinya dengan serangkaian informasi sejarah malah potensial membuat novel ini membosankan.
Namun demikian, ada beberapa bagian yang saya rasa perlu diperdalam. Salah satunya adalah kematian Toeloes bin Manan, ayah Chairil. Untuk tokoh sepenting ayahnya -yang dikagumi sekaligus dibenci oleh Chairil- moment kematian yang cuma diangkat berdasarkan cerita Uda Husni, pedagang nasi kapau dari Bukittingi, rasanya kurang memadai. Saya membayangkan adanya ledakan emosi yang lebih kuat, mengingat ayahnya itulah pangkal kegalauan dan kelabilan Chairil.
Namun demikian, novel ini sangat asyik dibaca. Teknik flashback di prolog-nya keren, menurut saya. Dari awal, saya merasa sedang menonton film, dan bukan membaca buku. Saya kurang tahu, ini hal yang bagus atau bukan, yang jelas saya tidak keberatan.
Novel semacam ini sangat langka di Indonesia. Selain Iksaka Banu, saya tidak tahu siapa lagi yang mau bertungkus lumus di genre ini. Karenanya, saya bersemangat sekali membacanya. Saya menyarankan novel ini jadi bacaan wajib anak-anak SMA. Ini novel yang membantu anak memahami tokoh dan sejarah dengan lebih menyenangkan. Secara khusus untuk situasi Indonesia yang sedang diancam pertikaian dan perpecahan oleh ide kilafah, novel ini sangat bagus untuk mengingatkan, betapa mahalnya harga kemerdekaan (silakan baca di bagian pembantaian Rawa Gede).
Akhirnya, salut untuk Sergius Sutanto, penulisnya, sangat ditunggu buku-buku berikutnya.
***
Pebatuan, 19 Desember 2017
Agnes Bemoe