TETANGGA SEBELAH TEMBOK
MEINE WELT
January 27, 2016
4 Comments
Tidak
ada yang aneh di sekolah hari itu. Kegiatan rapat dengan guru-guru pengawas UN
berlangsung lancar. Selain materi rapat tidak rumit, guru-guru yang hadir
sebagai pengawas UN sebagian besar guru-guru senior yang sudah cukup makan
garam tentang UN ini.
Saya
sedang memimpin rapat dengan antusias ketika Lina, yang bertugas membantu saya
di bagian konsumsi, muncul di pintu. Wajahnya yang tegang membuat saya tidak
enak hati. Lina memberi isyarat ingin berbicara dengan saya. Sungguh, melihat
raut wajahnya, seolah-olah saya melihat sebuah papan besar bertuliskan: “Cepat,
Bu! Situasi gawat nih!” tertempel di dahinya.
Ketika
bapak Kepala Sekolah saya sedang berbicara, saya keluar ruangan.
“Mati
kita, Bu! Mati kita!”
Iya, oke, jangan mati
dulu. Ada apa ini?
Jawaban
Lina memang potensial bikin saya “mati”: baru saja datang telepon dari pihak katering
yang kami mintai jasanya untuk menyediakan konsumsi rapat pagi ini. Catatan,
untuk rapat dengan pihak luar, saya selalu memesan makanan di katering profesional.
Harganya lebih mahal namun kualitas makanan terjaga.
Ternyata
tadi pagi mobil katering yang mengantar makanan mengalami kecelakaan. Kurang
jelas bagaimana detilnya yang jelas itu berarti hidangan untuk sekitar
enampuluhan orang ikut melayang.
Segera
saya menelepon balik ibu pemilik katering. Saya mengucapkan ikut prihatin atas
musibah yang sedang mereka alami dan meyakinkan beliau untuk tidak terlalu
mencemaskan makanan yang kami pesan.
Setelah
menutup pembicaraan dengan ibu pemilik katering, saya segera menyadari bahwa
saya menghadapi masalah yang lebih nyata: bagaimana dengan konsumsi rapat. Memesan
makanan secara mendadak tentu tidak mungkin. Tidak ada katering yang siap
dengan makanan sejumlah itu.
Dikejar
waktu, pikiran saya langsung melayang ke para penjual makanan di dekat sekolah.
Ada beberapa yang sudah buka lapak pada jam itu, di antaranya adalah lapak sate
Padang yang letaknya persis di dinding sekolah.
“Tapi,
makanannya begitu lho, Bu,” kata Lina yang tahu benar standar saya untuk
menjamu tamu.
Saya
mengangkat bahu.
“Okelah,
bisa kita coba.”
“Jadi,
kita pesan di sana aja, Bu?”
Saya
mengiyakan.
Sambil
berharap-harap cemas, saya menunggu kedatangan Lina. Entah berapa lama kemudian, Lina muncul
bersama seorang berbadan gempal yang saya kenali sebagai abang penjual sate
Padang. Bersama mereka ikut dibawa enam puluh porsi sate Padang!
Lina
dan timnya mengatur agar sate itu dihidangkan di piring kaca yang bagus milik
sekolah. Kuahnya diletakkan di mangkok kaca yang besar, juga milik sekolah.
Sekilas, tidak ada yang percaya kalau hidangan itu berasal dari gerobak jualan
makanan di dekat sekolah. Apalagi, rasanya enak: ketupatnya lembut dan
dagingnya padat mantap.
Konsumsi
rapat UN hari itu terselamatkan.
Ketika
menerima kuitansi pembelian sate Padang barulah saya tahu nama penyelamat saya.
Anto Fals. Itu nama yang tertulis di kuitansi. Hehehe… mengingatkan saya pada
Iwan Fals, penyanyi idola saya.
Hubungan
saya dengan Bang Anto Fals berlanjut. Untuk kegiatan-kegiatan pertemuan
guru-guru, saya jadi ketagihan pesan sate Padang pada Bang Anto Fals, si tetangga
sebelah tembok sekolah saya.
Simulasi Tabungan Taseto Mapan Bank BTPN |
***
Pekanbaru, 28 Januari 2016
Agnes Bemoe