Follow Us @agnes_bemoe

Friday 25 April 2014

ADA NAMAKU DISEBUT

April 25, 2014 0 Comments

Mariano, Dumai 31 Agustus 2001 - Pekanbaru 26 April 2013
Seekor anak anjing berlari-lari di lapangan.
"Mami! Kita kejar kupu-kupu yuk!"
"Kejarlah! Tapi jangan digigit ya, kasihan kupu-kupunya..."

Seekor anak anjing berlari-lari tepi jalan tanah.
"Mami, aku tunjukkan sesuatu yang mami pasti suka!"
Ia lalu menuntun maminya ke sebuah hutan kecil.
Kabut putih di atas perdu. Burung nyanyi kesana kemari.
"Mami suka kan?"
"Iya! Bagus ya... Nino pinter cari tempat bagus."

Seekor anjing remaja menunggu maminya pulang dengan wajah bersalah.
"Mami, aku sangka ini mainan..."
Maminya hanya tertawa kecil. Melihat CD, kabel, remote control yang porak poranda.
Hancur lebur dengan gigitan.
"Mami yang salah. Naruhnya sembarangan..."

Seekor anjing remaja lagi-lagi bermain dengan barang-barang maminya.
Kali lalu sebuah handphone. Lalu tas Hermes KW sekian. Lalu, kamera digital.
Lagi-lagi, maminya hanya tertawa kecil.
"Mami nggak bisa nelpon lagi deh. Mami juga nggak bisa motret-motret..."
"Itu bukan mainan ya, Mi?"
"Nggak papa... mami juga yang salah. Naruhnya sembarangan..."

Seekor anjing muda, tampan, dan gagah. Menunggui maminya pulang kerja sampai malam hari.
Seekor anjing muda, tampan, dan gagah. Memilih berkelahi untuk menjaga maminya.
Seekor anjing muda, tampan, dan gagah. Mengusap air mata maminya.
Seekor anjing muda, tampan, dan gagah. Menemani maminya mengetik di rumah.

Seekor anjing lanjut usia, tiba-tiba ingin selalu dipeluk maminya. Rebah di pangkuan maminya dan meminta dielus-elus perutnya.

Seekor anjing berlari-lari di taman surga. Kabut putih di atas perdu. Burung nyanyi kesana kemari.

"Siapa namamu?" tanya seorang malaikat.
"Nino. Mariano."
"Border collie ya? Sebutkan pedigree-mu..."
Dengan suara mantap, Nino menjawab:
"Aku anak mamiku. Jenisnya manusia."

------ Di surga, namaku disebut...

***


Mengenang 1 tahun perginya Mariano.

dari mami yang masih berantakan ditinggal olehmu

Pekanbaru, 26 April 2014
Agnes Bemoe

Tuesday 22 April 2014

SAYA? DEPRESI?

April 22, 2014 2 Comments
Hadiah dari Yovita Siswati

Heran. Itu yang langsung menyambar kepala saya waktu dokter menyatakan ada kemungkinan saya depresi. Oleh karenanya beliau merujuk saya pada seorang psikiater.
Depresi?
Dari sekian juta penyakit yang ada di dunia, depresi mungkin yang terakhir terpikir oleh saya bisa menjangikit saya. Saya merasa bukan tipe orang yang mudah menyerah. Saya juga tidak terlalu neko-neko dalam menjalani hidup. Stress mungkin. Tapi, depresi?

Setengah hati, saya menemui dr. Anggreni Ang, SpKJ, psikiater yang dirujuk dokter. Untuk yang belum mengetahui, sejak awal November 2013 saya menderita HNP (Herniated Nucleus Pulposus). Tentang itu saya menceritakannya di tulisan berikut ini: Please, Jangan Tiru Kebodohan Saya

Saya, adik saya, dan dr. Ang

Sekali lagi saya katakan setengah hati saya menemui psikiater. Saya tidak kawatir dianggap gila. Tidak. Saya tahu bedanya depresi dan gila. Hanya saja, saya anggap hal ini berlebihan sekali. Kedua, saya malas membayangkan harus membuka diri di depan orang yang belum saya kenal. Saya orang yang enggan membicarakan diri saya kecuali pada orang yang sudah amat sangat dekat dengan saya.
Dokter Ang yang saya temui ternyata ramah sekali. Padahal, suaranya jauh dari lemah lembut. Cenderung ‘cetar membahana’. Namun, atmosfer yang ditimbulkannya sangat bersahabat. Hal itu menimbulkan rasa nyaman pada diri saya. Kekakuan saya mencair. Ikut pula mencair nafsu untuk menyangkal bahwa saya menderita depresi. 

Hadiah dari Nana Lystiani
Iya, awalnya saya denial. Ketika ditanya apakah saya merasa ingin mati, saya jawab: “Dokter, waktu SMA saya patah hati rasanya juga pingin mati. Tapi kan bukan berarti saya depresi.” Saya juga mengatakan bahwa kurang lebih empat tahun yang lalu saya mengalami permasalahan yang lebih berat namun saat itu saya tidak depresi. Dan masih banyak hal lagi yang saya pertanyakan. Untunglah yang saya hadapi adalah seorang profesional. Pelan-pelan beliau membuka pikiran saya. Tentu saja saya tidak bisa menjabarkan secara rinci di tulisan ini karena pembicaraan itu adalah rahasia dokter dan pasien (sudah saya bocorkan dua yang di atas). 

Akhirnya pertanyaan demi pertanyaan saya jawab dengan terus terang. Dan, kalau anda membaca tulisan saya di link yang saya berikan di atas, anda akan tahu bahwa berbicara dengan psikiater sangat membantu pulihnya kesehatan saya. Tentu saja saya juga diberi obat untuk membantu kesembuhan.

Hadiah dari Fidelis R. Situmorang
Dari konsultasi dengan psikiater saya mendapat beberapa point yang akan selalu saya ingat dan ingin saya bagi dalam pointers yang random di bawah ini:

  1. Depresi bisa menyerang siapa saja. Tidak ada satu orang pun kebal akan depresi. Beberapa karakter tertentu mungkin lebih rentan daripada yang lainnya tapi tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim tidak akan mungkin depresi.
  2. Biarpun menjadi religious sangat membantu tapi depresi tidak bisa dikaitkan dengan religiousitas seseorang. Banyak yang mengatakan “Itulah kalau kurang beriman, gampang depresi”. Penilaian seperti itu sama sekali tidak berdasar.
  3. Permasalahan yang memicu stress dan berujung pada depresi bisa sangat bervariasi. Stressor bagi si A atau mayoritas orang belum tentu memicu depresi si B. Depresi sangat unik.
  4. Saya terkena depresi karena mengalami penyakit. Depresi itu diperparah karena saya mencari informasi dari internet secara tidak benar. Ini tips dari dokter bila kita hendak mencari informasi dari internet: ketahuilah dulu nama penyakit dari dokter yang merawat, baru cari informasinya di internet. Jangan menduga-duga sendiri atau mencari dari gejalanya. Yang saya lakukan, dan ternyata sangat keliru, adalah merasakan gejala kemudian mencari informasi tentang gejala itu. Contohnya, saya merasakan kesemutan yang luar biasa. Saya cari informasi tentang “kesemutan”. Hasilnya, saya malah lebih stress lagi karena gejala itu mengarah ke banyak penyakit, termasuk kelumpuhan. Itu berlaku untuk semua gejala. Gejala mengarahkan kita pada kemungkinan penyakit. Oleh karenanya, bila mencari informasi, mulailah dari penyakitnya.
  5. Sangat penting mengenali gejala depresi. Depresi adalah akumulasi stress yang tidak terkelola dengan baik. Jadi, kenali juga gejala stress. Dalam kasus saya, saya tahu bahwa saya stress kalau asam lambung naik (saya tidak punya penyakit maag).
  6. Ada beberapa tingkatan depresi, dari ringan sampai berat. Pada kasus saya, saya terkena depresi ringan. Namun demikian, ringan bukan berarti bisa diabaikan. Bila tidak ditangani pasti berlanjut ke berat dan semakin sulit disembuhkan.
  7. Gejala depresi: dokter menjelaskan tentang penyebab dan gejala depresi. Saya kemudian searching lebih jauh di internet. Salah satunya di link berikut ini: Gejala Umum Depresi. Percaya atau tidak, saya merasakan 8 dari 10 gejala yang ada di situ!
  8. Ini yang amat sangat penting: bila anda merasa ada tanda-tanda seperti di atas jangan ragu atau malu meminta pertolongan ahli. Depresi berat sampai bunuh diri atau membunuh orang lain adalah akumulasi stress dan depresi ringan yang tidak tertangani dengan baik.
  9. Yang ini juga penting: keluarga hendaknya saling memperhatikan dan peka satu sama lain. Bila melihat gejala-gejala yang mencurigakan dari salah satu anggota keluarga segeralah mencarikan pertolongan untuk anggota keluarga. 
  10. Masih terkait dengan nomor 9 di atas: peranan keluarga (orang dekat) amat sangat signifikan. Keluarga yang supportif dan positif akan sangat membantu pemulihan orang yang menderita depresi. Hindari sikap judgmental, hindari perasaan malu karena punya saudara “gila”. Yang anda hadapi adalah orang sakit yang membutuhkan pertolongan. Dalam kasus saya, dukungan orang dekat membuat saya memilih untuk fight. Tidak heran kalau kepulihan saya relatif cepat. 
  11. Berpikir positif adalah mantra ajaib yang membantu seorang depresan untuk cepat pulih. Biarpun judulnya ‘mantra’, berpikir positif ini adalah proses tidak ringan yang harus setiap saat dilatih. Melatih berpikir positif ini harus terus menerus, biarpun kita sudah dinyatakan sembuh. Membangun pola pikir positif saya lakukan dengan mencari sebanyak mungkin teman yang suka memancarkan energi positif.
  12. Mendekatkan diri dengan Tuhan, memupuk iman, juga akan sangat membantu.
  13. Perbanyak melakukan kegiatan-kegiatan yang menenangkan, misalnya mendengarkan musik, melukis, atau apa saja yang bisa membuat kita tenang. Saya membaca sambil mendengarkan musik. Dan, Tuhan memang Maha Baik. Saat saya butuh banyak bacaan ada saja teman-teman yang mengirimkan buku bacaan.
  14. Terakhir, jangan pernah merasa malu kalau kita pernah terkena depresi. Saya pribadi tidak malu. Malah saya bagikan kepada banyak orang, supaya lebih banyak yang berhati-hati. Kata dokter Ang: “Saya pernah depresi. So what?” Setuju, dok!


Hadiah dari Sri Widiyastuti
Akhir-akhir ini di televisi gencar diberitakan caleg gagal yang menderita depresi berat. Beberapa bulan sebelum ini saya mendengar berita ada seorang ibu yang membunuh anaknya sendiri karena depresi. Beberapa tahun yang lalu juga ada pemberitaan tentang seorang ibu yang membunuh ketiga anaknya. Ibu ini juga menderita depresi berat. Catatan, ibu ini seorang lulusan S-2 dari sebuah perguruan tinggi negeri ternama.

Artinya apa? Stress dan depresi tidak bisa diabaikan begitu saja. Menyalahkan apalagi mengolok-olok yang sedang menderita depresi tidak akan membantu si penderita. Sikap itu juga tidak akan membantu anda sendiri kalau sekiranya suatu saat anda atau salah satu orang di dekat anda terkena.

Yang terpenting adalah, bila anda penderitanya: jangan ragu untuk mencari pertolongan. Bila anda bukan penderitanya, jangan ragu untuk melatih kecerdasan berempati anda. Dengan demikian, kita sama-sama bisa mengatakan: “Depresi? So what gitu loh!”


Hadiah Kuis dari Penerbit BIP

Hadiah dari Chandra Wening
***

Pekanbaru, 23 April 2014
Agnes Bemoe

Sunday 20 April 2014

THE LUNATIC SIDE of ME [TLSoM]: ES KRIM COKELAT

April 20, 2014 0 Comments
Photography by Agnes Bemoe

Berpuluh tahun yang lalu, 
Di depan gerai es krim di kotaku,
Seorang gadis kecil berdiri 
menatap sekotak es krim cokelat di etalase toko
“Mau es krim, Ma…”
Sambil menelan ludah ia menatap lekat etalase
“Tidak boleh, sayang. Cokelat membuat asmamu kambuh. Kamu tidak mau sakit kan, sayang?”
Ia menelan ludah. Lagi.
“Sedikit saja, Ma…”
Ibunya tetap menggeleng.
“Ada yang bisa kita makan, ada yang tidak.”
Ia terdiam. Bibirnya mengatup rapat.
“Siapa yang membuat cokelat, Mama?”
“Cokelat dari pohon cokelat, sayang. Pembuatnya tentu Tuhan. Kenapa memangnya?”
“Kalau begitu, aku benci sama Tuhan. Kenapa Ia membuat sesuatu yang enak tapi tidak bisa kunikmati.”
Ibunya hanya mengelus rambut keritingnya.

***

Aku menatap fotomu. Lama sekali.
Kenapa engkau harus seperti es krim cokelat di masa kecilku?
Begitu indah, sekaligus begitu jauh dari jangkauku.

Aku -sekali lagi- benci padaMu, Tuhan. Kenapa engkau menciptakan seseorang yang begitu kucintai tanpa bisa kumiliki.
Kali ini,
Tidak ada yang mengelus rambut keritingku.


Pekanbaru, 20 April 2014
Agnes Bemoe
12:47

THE LUNATIC SIDE of ME [TLSoM]: KANGEN

April 20, 2014 0 Comments
Gereja Jago Ambarawa. Photography by Dewa Ayu


Tuhan, 
Aku kangen DiriMu
Sudah lama aku tidak ke RumahMu
Aku kangen sentuhan dingin air suci di dahiku
Aku kangen duduk bengong menatap lampu merah kecil di samping sakristi
Aku kangen menatap Bunda Maria yang manis
Aku kangen mengomel-ngomel padaMu dalam doaku

Aku kangen pada seorang suster tua yang berdoa Rosario sampai terangguk-angguk
Aku kangen pada seorang anak kecil berpipi bulat, yang selalu berjalan menerima berkat dengan sikap sopan sekali. Kedua tangan gemuknya tertangkup di dada.
Aku kangen mendengar suara organ.
Aku kangen ikut menyanyi sekuat-kuatnya dengan suaraku yang cempreng.

Aku kangen memasang lilin di depan Bunda Maria
Aku kangen pada keheningan konsekrasi, ketika kuangkat tanganku, menyembah Tubuh dan DarahMu.
Dan, yang paling aku kangeni adalah Hosti. Merasakan kelembutanMu di telapak tanganku.

Tuhan,
Kapan aku bisa ke RumahMu lagi?
Mengapa Engkau tega, membuatku tak bisa menemuiMu?
Tidakkan Engkau juga kangen padaku?
Atau, sudah tak sayang lagikah Engkau padaku?
Tuhan, Engkau dimana?
Kenapa diam saja?


Habis, kamu nyerocos terus. Padahal ada yang mau Kusampaikan padamu…

Apa itu, Tuhan?

Aku ada di hatimu



Pekanbaru, Paskah 2014
20 April 2014
Agnes Bemoe

P.S: Terima kasih untuk seorang teman baik yang mengingatkanku bahwa Dia ada dihatiku. 

Monday 14 April 2014

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: ESTAFET IMAN

April 14, 2014 0 Comments
Judul Buku : Mukjizat dalam Kitab Suci (Miracles from the Bible)
Penulis         : Yovita Rini Siswati
Penyunting : Putri Sastra
Ilustrator      : Tjio Benson
Penerbit       : Penerbit Genta (Imprint Penerbit BIP)
Genre          : Fiksi Anak Kristiani



Kekristenan dibangun dari repihan-repihan iman para Rasul yang melihat sendiri karya Kristus. Para Rasul lalu menyebarkannya pada orang-orang yang tidak bertemu langsung dengan Kristus. Dan akhirnya, kekristenan sampai ke seluruh penjuru dunia melalui kisah dari mulut ke mulut tentang kasih Kristus.

Bagaimana iman kristiani ini dijaga agar tetap hidup? Salah satunya adalah dengan terus menyebarkan berita tentang Kristus. Dari sudut pandang ini, saya sangat menghargai terbitnya buku ini. Apalagi buku ini ditujukan untuk anak-anak, ladang paling potensial untuk penanaman iman. Sedikit sekali katekse yang dituliskan untuk anak dengan bahasa dan atmosfer anak. Padahal seharusnya sejak anak-anaklah iman kristiani sudah dikenalkan dan ditanamkan.

Buku ini berisi sepuluh kisah mukjizat yang dilakukan Yesus semasa hidupnya. Diawali tentu saja dengan mukjizat pertama, Perkawinan di Kana. Yovita Siswati, menuliskannya kembali dengan bahasa yang luwes dan sederhana. Ini saya yakin mampu membuat anak “menikmati” indahnya mukjizat Tuhan Yesus dan tidak sekedar tahu. Yovita juga memberi kesempatan anak-anak untuk mempelajari Bahasa Inggris melalui buku bilingual ini. Dan, bahasa Inggris yang digunakan pun bahasa yang baik dan benar, jauh dari tipe “terjemahan a la google terjemahan”. Ini menjadi nilai tambah tersendiri buat para pembaca kecil.

Yang membuat jadi lebih menarik tentu saja ilustrasi-ilustrasinya yang imut. Saya yakin, anak-anak pasti suka! Kualitas ilustrasinya juga bagus dengan pewarnaan yang kaya. Dan seperti mengerti benar kebutuhan anak-anak untuk merasa ditantang, Yovita melengkapi buku ini dengan “Tanya Jawab” dan “Permainan”. Pasti anak-anak akan sangat asyik menikmati buku ini.

Bagian favorit saya adalah doa pendek di setiap akhir cerita. Doa itu begitu sederhana, begitu manis, begitu indah, begitu reflektif, begitu tulus! Saya membayangkan wajah-wajah polos yang mendaraskan doa itu. Wah… heavenly!

Berbicara kembali tentang estafet pewartaan iman, saya rasa semua orang tua Katolik harus merasa terpanggil untuk melakukannya. Buku ini akan sangat membantu orang tua untuk mengenalkan Yesus dan karyaNya pada anak-anak. Saya juga merekomendasikan buku berkaver menarik ini pada guru-guru Bina Iman Anak dan guru Agama Katolik. Para guru pasti terbantu dengan buku yang sangat kaya, menarik, dan lengkap ini.

Saat ini umat Katolik di seluruh dunia memasuki Pekan Suci. Buku pertama dari 3 seri ini pasti akan sangat cocok menjadi hadiah Paskah bagi anak-anak. Dengan demikian anak mengerti arti pengorbanan Kristus sampai Ia melakukan mukjizatnya yang terakhir, yakni bangkit dari mati.

Selamat memasuki Pekan Suci.

***

Pekanbaru, 15 April 2014
Agnes Bemoe

Saturday 12 April 2014

THE LUNATIC SIDE OF ME [TLSOM]: BESAME MUCHO

April 12, 2014 0 Comments
Bésame, bésame mucho
Que tengo miedo a perderte
Perderte después

Suara lembut Andrea Bocelli merasuki kupingku
Menyelinap di sudut-sudut hatiku
Meremukkan sendi-sendi tulangku
Nyeri

Benar, hasian, aku takut setelah ini aku akan kehilanganmu
Aku-sangat-takut-kehilanganmu.
Bisakah kau mendengarkannya?
Aku-sangat-takut-kehilanganmu.

Orang bilang, kita tidak akan bisa kehilangan kalau tidak pernah memiliki. Tidak buatku. Kutahu pasti engkau bukan punyaku. Namun, ketakutan akan kehilanganmu begitu nyata di setiap detak jantungku.

Bésame, bésame mucho
Hanya emoticon kecil, tak bermakna bagi yang lain. Namun, percayalah, membuatku bergetar hebat. Lenyap dalam lembah kelembutan yang hangat.
Bésame mucho, bésame mucho…
Kutenggelam dalam gelegak malam. 

Quiero tenerte muy cerca
Mirarme en tus ojos
Verte junto a mi

Sangat ingin kudekat denganmu. Melihat diriku ada di bening matamu. Mendapati diriku di pelukmu. Dekat dengan hatimu. 

Piensa que tal ves mañana
Yo ya estaré lejos
Muy lejos de ti

Sayang, esok datang begitu cepat. Datang dengan membawa mimpi terburukku: jauh darimu. Merontokkan harapku untuk selalu dekat denganmu. Esok adalah puisi malang yang tak pernah selesai bagiku.

Esok membiarkanku melepaskanmu pergi dari genggam jemariku. Ku hanya mampu menatap nanar pada bayang tubuhmu.

Bésame, bésame mucho
Kubisikkan itu, pada setiap embun malam.
Kuharap salah satunya, mampir di ujung jemarimu.

***

Pekanbaru, 13 April 2014
Agnes Bemoe

Catatan: 
Besame Mucho” adalah lagu yang liriknya ditulis oleh Consuelo Velazquez, dinyanyikan pertama kali oleh El Trio Los Panchos. Lagu ini sering dinyanyikan ulang, diantaranya oleh Julio Iglesias, Diana Krall, dan Andrea Bocelli.

Hasian” dalam bahasa Batak Toba berarti “sayang/kesayangan”.

HE and I MOMENT [HaIM]: ROSARIO di PESTA NAMA SANTA AGNES

April 12, 2014 0 Comments

Tanpa bermaksud pamer, perlu saya sebutkan bahwa saya punya kegiatan doa rutin sehari-hari. Saya mengawali hari dengan membaca Kitab Suci menurut kalender Liturgi dilanjutkan dengan doa Rosario. Jika berada dalam situasi khusus,saya  menambahkan doa-doa lain seperti Doa melalui St. Antonius a Padua, Litani Santo Rafael, Doa melalui St. Yudas Tadeus, dll. 

Berdoa Angelus pada jam 6, 12, dan 18 setiap hari. Lalu berdoa Novena 3 X Santa Maria pada pukul 12 tengah malam. Setiap Jumat Pertama dalam bulan saya ke gereja dan berpuasa. Saya melakukan puasa katolik, yaitu makan satu kali dalam 24 jam. Saya bersyukur atas kemewahan waktu yang diberikan Tuhan oleh saya, sehingga saya bisa memanfaatkannya untuk berdoa.

Apa maksud saya memerinci semua kegiatan doa saya? 

Tanggal 5 November 2013 saya jatuh sakit. Silakan baca kisah lengkapnya di link berikut ini.
Selama sakit itu, mulai dari hari pertama, saya tidak bisa berdoa. Entah mengapa, lesap keinginan untuk berdoa. Iman saya terkalahkan oleh sakitnya badan. Itu berlangsung sampai bulan Januari. Saya melewatkan waktu selama itu tanpa satu doa pun! Bahkan di malam Natal dan Tahun Baru (apalagi persis di malam Natal saya demam tinggi). 
Sementara itu penyakit saya tidak juga kunjung sembuh. Dan, yang mengherankan setelah rontgen dan MRI, dokter menyatakan tidak menemukan sesuatu yang salah di badan saya. Dengan demikian, dokter tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau hanya memberi saya obat pereda nyeri. Saya sendiri heran dengan hasil itu. Saya benar-benar merasakan kesakitan luar biasa, mengapa hasil pemeriksaan alat canggih mengatakan sebaliknya? Lalu saya harus berbuat apa?

Tanggal 21 Januari adalah hari Pesta Nama Santa Agnes, santa pelindung saya. Pagi itu, melalui layar tablet, saya melihat kembali album foto “Kumpulan Kisah Santo Santa”, buku yang saya tulis dua tahun sebelumnya. Di sana ada gambar Santa Agnes. Entah bagaimana, tiba-tiba timbul dorongan untuk berdoa Rosario.

Saya minta diambilkan Rosario. Rosario saya sampai sudah penuh dengan semacam jamur-jamur kecil berwarna keputihan karena lama tidak digunakan. Saya pun berdoa. Saya minta tolong pada Bunda Maria dan Santa Agnes untuk berdoa bagi kesembuhan penyakit saya. Saya juga minta tolong pada Santa Germaine de Pibrac yang pesta namanya persis di tanggal kelahiran saya, 15 Juni.

Sorenya, saya harus ke dokter karena obat habis. Saya sudah pasrah seandainya memang harus tergantung obat seumur hidup. Sore itu, dokter lagi-lagi memeriksa hasil MRI. Ada empat lembar hasil dengan negatif-negatif kecil di dalamnya yang tidak saya mengerti. 
Lagi-lagi, dokter menyatakan tidak ada kelainan di badan saya. Surat dari dokter yang menangani MRI juga menyatakan hal yang sama. Saya kembali pasrah. Tergantung dari obat, mungkin itulah hidup saya ke depan.
Lalu, tiba-tiba dokter menyuruh saya mendekat ke layar.
“Ibu, ibu lihat ini deh!”
Saya melongokkan kepala ke gambar yang ditunjuk oleh dokter. Dokter menjelaskan ada semacam tekanan kecil di saraf bagian lumbal (tubuh bagian bawah). Tekanan itu keciiil sekali! Hanya kurang lebih 1 mm. 
“Coba ibu bandingkan dengan yang lain. Kalau yang lain kan bulat sempurna, yang ini ada semacam tonjolan.”
Iya, benar. Setelah mengamati beberapa saat saya baru bisa melihat apa yang dilihat oleh dokter.
“Pantas sulit dideteksi karena kecil sekali,” demikian kata dokter. 
Dokter lalu menyarankan saya untuk melakukan suatu tindakan yang namanya Selective Nerve Root Block (SNRB). Ke syaraf saya yang bermasalah itu akan disuntikkan semacam obat. 
Saya? Langsung bersemangat dan girang sekali! Syukurlah akhirnya diketemukan juga biang keladinya. Bagaimana kalau saya tetap dinyatakan “sehat” secara medis padahal kenyataannya saya merasa sangat kesakitan.

Dengan dibantu oleh dokter, saya lalu mengurus administrasi untuk keperluan tindakan SNRB itu. Sambil mengurus, tak putus senyum di bibir saya. Terima kasih, Santa Agnes. Terima kasih, Bunda Maria. Terima kasih juga Santa Germaine de Pibrac. Sepuluh juta ribu persen saya yakin, doa Rosario di hari pesta nama saya itulah yang menuntun saya pada jalan kesembuhan!

Sekali lagi, tanpa bermaksud pamer, setelah hari itu saya mencoba kembali pada rutinitas doa saya. Semua doa saya copy-paste ke Blackberry jadi saya tidak perlu berat-berat memegang buku doa dan tetap bisa membaca tanpa lampu.

Pelan-pelan, saya juga mencoba memegang Kitab Suci yang berat dan membaca semampunya. 
Saya lupa mengisahkannya di awal tulisan. Biasanya, setelah membaca Kitab Suci, saya suka sekali “iseng” membuka secara acak dan membaca Kitab Mazmur. Mazmur memang doa favorit saya. Ketika pertama kali membuka Kitab Suci setelah hampir dua bulan tidak memegangnya, saya menemukan bahwa gambar penanda Kitab Suci menunjuk pada Mazmur 38: “Doa Pada Waktu Sakit”. Itu berarti bahwa Kitab Mazmur “iseng” terakhir yang saya baca sebelum sakit adalah mazmur tersebut. 

Gambar penanda yang saya gunakan pun ternyata gambar Beato Padre Pio yang di dalamnya ada Novena Kepada Hati Kudus Yesus. Padre Pio sendiri dikenal sebagai salah seorang perantara rahmat untuk kesembuhan. Astaga! Allah sebenarnya sudah memberikan peringatan sekaligus “perlengkapan” untuk berjuang kepada saya! Saya saja yang buta, tulis, dan bisu!

Saya menuliskan dan membagikannya untuk saudara dan saudari dengan harapan saya sendiri tidak akan pernah lupa dan tidak lagi jatuh pada lubang yang sama. Allah menyapa melalui kesusahan hidup. Saya ingin selalu menjawabnya dengan doa.

SELAMAT HARI MINGGU PALMA!

***

Pekanbaru, 13 April 2014
Hari Minggu Palma
Agnes Bemoe

Monday 7 April 2014

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: (BABY) MOMMY GOKIL

April 07, 2014 4 Comments
Judul Buku : Baby Gokil
Penulis : Yovita Rini Siswati
Penyunting : Flo
Ilustrator : Teguh Adimarta
Penerbit : Gradien Mediatama
Genre : Non Fiksi – Komedi




Balita yang tidak bisa diam, banyak tanya, banyak “bereksperimen”, melakukan “kenakalan” itu rasanya lumrah. Saking lumrahnya, para ibu luput melihat hal itu sebagai fase “gokil” dalam arti fun dan menyenangkan.

Sebagai pembaca, saya pertama kali menunjuk hidung saya sendiri. Saya dulu merawat keponakan berumur 2 tahun bernama Edo. Membaca kisah-kisah baby Nitya saya seperti ditarik ke masa duapuluh lima tahunan yang lalu. Banyak sekali “kenakalan” yang mirip.

Contohnya peristiwa Nitya di gereja.

Dulu, kalau Edo berteriak-teriak dengan ributnya, omanya selalu bilang: “Stop! Stop! Sakit kupingku!” sambil menempelkan kedua tangannya menutupi telinga. Suatu hari, kami ke gereja. Entah bacaan Injilnya apa, yang jelas saat itu romo berkotbah dengan penuh semangat. Suaranya membahana kemana-mana. Bisa tebak kejadian berikutnya kan? Edo, lari ke tengah gereja mendekati altar, sambil teriak: “Top! Top! Tatit tupintuuu!” Saya dan omanya Edo langsung kabur sambil menyambar anak itu!

Waktu itu tak terpikir sama sekali bahwa fase balita adalah sesuatu yang istimewa (dan boro-boro membuatnya jadi tulisan!) Oleh karenanya, pagi-pagi saya sudah mau angkat jempol untuk asisten dan juru tik baby Nitya, yaitu Yovita Rini Siswati, ibu si baby gokil ini.
Saya sangat menikmati kelucuan, keusilan, kenekatan, si baby gokil Nitya. Tidak perlu saya jelaskan bahwa saya baca sampai ngakak dengan jeleknya ketika membaca ini:



Gue: Neurons are grey cells in our brain that help us think. Neuron itu sel-sel kelabu di otak yang membantu kita berpikir. 
Nitya: They work all the time?
Gue: Of course, donk. Kalau neuron kita berhenti kerja, kita enggak bisa mikir kan?
Nitya: (sambil merenung) So, Mama… when you are being silly, it means that your neuron is on vacation?

Gue mengangguk hikmat. Sontoloyo.

Belum lagi di bagian Nitya dengan pertanyaan-pertanyaan “aneh bin ajaib”nya atau kesukaannya pada hal-hal mengerikan semacam reptil dan extreme sport. Sampai geleng-geleng kepala sambil terkikik membacanya. Sekali lagi yang harus tegaskan, pertebal, dan garis bawahi bahwa saya luar biasa terhibur dengan buku ini.

Tapi, dasar saya ini tipe-nya suka taking something much too seriously. Buku ini bukan buku parenting tapi saya mendapat banyak hal terkait parenting di sini.

Setelah membaca buku ini saya merenung sendiri. Berapa banyak ibu yang bisa melihat masa eksplorasi anak sebagai hal yang menyenangkan? Berapa yang melihat itu sebagai kenakalan yang menjengkelkan? Berapa ibu yang menganggap pertanyaan-pertanyaan anak adalah “ajaib”? Berapa yang menganggap itu menyebalkan? Berapa ibu yang membiarkan anak menikmati masa kanak-kanaknya “in his/her very gokil way”? Berapa yang buru-buru menjejali balitanya dengan hapalan huruf dan angka karena takut dipermalukan oleh seorang “anak bodoh”? Berapa ibu yang merasa mendapat energi lebih ketika repot mengurusi keperluan anaknya? Berapa yang merasa terbebani oleh kelelahan fisik dan mental dan memilih marah untuk melampiaskannya?

Berdasarkan pemikiran itu, menurut saya yang “gokil” bukan baby Nitya, tetapi ibunya. Kelihatan sekali ibunya memberi ruang seluas-luasnya pada Nitya menjadi Nitya. Ibunya “hanya” mem-back up dengan pengertian, perhatian, dan kasih sayang.

Berdasarkan pemikiran itu juga saya sangat menyarankan agar ibu-ibu muda atau calon ibu untuk membaca buku ini. Buku ini adalah bukti bahwa anak yang life-ready adalah yang menikmati dan terpuaskan kebutuhan masa kanak-kanaknya: bermain, berkhayal, bereksplorasi, bersosialisasi, dll. Sebaliknya, berhenti memanipulasi diri sendiri dengan mengatakan bahwa anak yang “kecil-kecil pandai baca”, “kecil-kecil pandai menghafal 1 buku tebal berbahasa asing”, atau “minum susu ABC” adalah anak yang potensial sukses. Wake up!

Untuk yang bukan ibu-ibu? Buku ini tetap worth it. Sama seperti saya, anda pasti teringat kegokilan anak, kemenakan, cucu, atau anda sendiri sambil membaca buku ini. And that was a lot of fun!
***


Pekanbaru, 8 April 2014
Agnes Bemoe

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: BESAME MUCHO, RIRI

April 07, 2014 2 Comments
Judul Buku : PEJATEN: Dekat di Hatimu
Penulis : Fidelis R. Situmorang
Cover  : Audy
Penerbit : Penerbit Sinar David
Genre : Novel
Jumlah Halaman : 124 halaman
Tahun Terbit : 1 Juni 2013



Bésame, bésame mucho
Como si fuera esta noche
La última vez

Bésame, bésame mucho
Que tengo miedo a perderte
Perderte después


Saya sudah suka lagu itu sejak pertama kali saya dengar dinyanyikan oleh Trio Los Panchos di tahun 70-an sampai dinyanyikan ulang oleh Andrea Bochelli di tahun 2000-an. Awalnya saya tidak mengerti, mengapa saya suka lagu itu. Lama-lama baru saya sadari, irama yang sangat membuai, mendayu-dayu tanpa kecengengan itu membuat saya menikmatinya.


Lalu, apa hubungannya dengan novel “PEJATEN: Dekat di Hatimu”? Sangat dekat. Awalnya saya juga kurang mengerti alur cerita novel ini. Namun, terus terang saya langsung menikmati gaya penceritaannya. Akhirnya, saya malah jatuh hati dengan karya ke-empat dari penulis Fidelis R. Situmorang ini. Jika “Besame Mucho” membuai telinga saya, maka novel ini merangsek masuk ke hati saya lewat kata-katanya.


Seperti juga “Besame Mucho” tema novel “PEJATEN: Dekat di Hatimu” sebenarnya sangat umum. Cinta. Rain dan Riri saling mencintai. Sayang, keduanya tidak bisa saling memiliki. Pergulatan Rain dan Riri inilah yang diurai dalam duapuluh sembilan bab di novel ini. Penulis yang kurang terampil bisa dengan mudahnya terjebak pada klise semata. Untunglah itu tidak terjadi pada novel ini.


Puisi berjudul “Embun” di bagian awal langsung menghentak pembaca dengan kata-kata yang kuat dan dalam.


Embun luruh satu-satu
Di lelap mimpi daun-daun
Di suara hempasan taksi menutup pintu
Di temaram sinar lampu-lampu jalan yang diam melamun
Cinta macam apa yang seperti ini?
Yang tak bisa memiliki dirimu?
Yang mengendap-endap dan menyelinap seperti serangga malam?
Lalu berpisah saat embun-embun mulai jatuh?



Saya tercekat membacanya. Saya tak bisa menguraikan alasan logis mengapa. Di lain pihak saya juga tidak ingin imajinasi saya terganggu oleh logika. Saya hanya ingin menikmati. Itu saja. Seperti awalnya saya menikmati “Besame Mucho” tanpa tahu mengapa.


Cerita-cerita selanjutnya mengalir indah sekali, begitu merangsang imajinasi sekaligus begitu membumi. FRS sangat konsisten dengan kemampuannya mengolah kata. Dari kata-kata sederhana tercipta atmosfer yang lembut dan menyentuh. Lima buku FRS yang sudah saya baca, semuanya menawarkan konsistensi kualitas penulisan. Ini membuat saya tidak bosan membaca ulang buku FRS, bahkan menunggu-nunggu buku selanjutnya.


FRS juga sangat konsisten dengan gayanya: romantis, humoris, dan humanis. Jarang sekali saya menemukan penulis yang bisa meramu ketiga sisi ini dengan apik dan pas. Cerita “Mau Jadi Pemain Bola” adalah contohnya. Cerita ini lengkap memotret kemampuan FRS mengangkat sisi romantis sekaligus humanis, tanpa ada kesan salah satu hanya sebagai pelengkap bagi yang lain. Pembaca merasakan ketulusan FRS dalam bercerita. Ini penting, karena beberapa cerita romantis atau humanis tidak jarang jatuh pada cerita cengeng dan memuakkan. Ketrampilan FRS inilah yang membuat saya betah menelusuri kisah cinta Rain dan Riri dari halaman pertama sampai halaman penghabisan.


Hanya saja, harus saya akui bahwa ada beberapa bagiannya yang membuat saya kurang mengerti. Kelegaan Pendeta Guntur setelah membaca surat putus dari Riri membuat saya bingung. Bukan, bukan karena posisinya sebagai pendeta. Sebagai seorang biasa pun hal ini tetap membingungkan saya. Okelah Riri diam-diam menjalin hubungan dengan Rain. Namun toh akhirnya ia mengakui dan menentukan pilihan.


Terus terang, pengungkapan bahwa Pendeta Guntur ternyata juga diam-diam menjalin hubungan dengan gadis lain dan bahkan menganggap itu adalah “doa yang terjawab” membuat saya terguncang.


Hal lain yang kurang saya mengerti adalah cover. Cover menampilkan seorang gadis manis tersenyum ceria sedang duduk di antara dua kursi. Kesan yang saya tangkap, novel ini akan berisi semacam chick-lit. Padahal isinya tidak persis seperti itu. Namun demikian, saya yakin, ini lebih karena kekurang pengatahuan saya tentang seni grafis.


Di luar itu semua, “PEJATEN: Dekat di Hatimu” adalah novel yang luar biasa nikmat. Membuat kita ingin dekat dengan orang yang kita kasihi. Sama seperti lagu “Besame Mucho” yang sangat dekat di hati saya.


Quiero tenerte muy cerca
Mirarme en tus ojos
Verte junto a mi
Piensa que tal ves mañana
Yo ya estaré lejos
Muy lejos de ti


***
Pekanbaru, 7 April 2014
Agnes Bemoe


Sunday 6 April 2014

THE LUNATIC SIDE OF ME [TLSOM]: Diam-Diam

April 06, 2014 0 Comments


Diam-diam aku menyukai obat pemberian dokterku. Obat itu tidak hanya membunuh nyeri di badanku. Ia membawaku jauh. Kabut biru, awan putih, padang rumput dengan bunga-bunga kuning. Dan, pemandangan yang paling indah di sana adalah: dirimu.

Diam-diam aku menyukai obat pemberian dokterku. Obat itu tidak hanya membunuh nyeri di badanku. Ia memberanikanku untuk mengulurkan sekuntum rindu untukmu.

Berapa mimpi harus kulewati untuk bisa dekat denganmu?
Tolong sebutkan, berapa mimpi, sebelum kurejam rinduku sendiri.

***

Pekanbaru, 7 April 2014
Agnes Bemoe
Buat: Hasianku

Friday 4 April 2014

THE LUNATIC SIDE OF ME [TLSOM]: Waktu

April 04, 2014 0 Comments
Photo Credit: Agnes Bemoe


Bersamamu,
Waktu seakan berpacu. Ingin kuhabiskan waktuku, hari ini dan selamanya, hanya denganmu, bisikku
Waktu dan hari esok ternyata bukan milik kita
Jawabmu, sambil menggenggam erat tanganku.


Malam yang lembut menemani kita
Mengurai cerita hidup yang indah dan tak pernah tertebak ini


Waktu adalah ketika kau mulai mencari hidup dan menggali mutiara dari remah-remahnya.
Waktu adalah ketika kau kembali ke kampung halamanmu, mencari akar jati dirimu.
Waktu adalah ketika kau mulai menciptakan siapa ibumu.
Waktu adalah malam-malam yang remuk ketika kau memperjuangkan cinta kekasihmu.
Waktu membawamu pulang ke sebuah pintu kayu setengah terbuka, yang di depannya kau termangu.


Waktu adalah saat kau teringat bermain gasing atau panjat tembok
Dengan adik kecilmu
Ternyata waktu kita berdua di dunia ini tidak lama ya, dik
Katamu, padanya.

Adik kecilmu, kebanggaanmu, dipanggil pulang ke Rumah Bapa, persis dua bulan yang lalu.
Ada embun aneh di sudut matamu ketika kau mengatakan itu.


Ingin sekali aku mengusap embun di matamu. Memindahkan kedukaannya untukku saja. Namun, tampaknya waktu juga yang menawarkan kebijakannya:
Hidup yang hari ini dan hidup yang akan datang adalah sungguh sama-sama sangat berarti – lagi-lagi, itu katamu.


Berdua denganmu, sungguh, waktu bagai melesat jauh.
Lalu,
“Sudah malam, istirahatlah, hasian. I love you.”
Bibirmu mendarat di kepalaku
Hangat menjalari sekujur tubuhku

Dan,
Waktu bagiku,
Rindu yang membeku


***

Pekanbaru, 5 April 2014 dini hari
Agnes Bemoe

Catatan: sebagian kata-kata dari pusi ini dikutip dari note-note tulisan Fidelis R. Situmorang.

Wednesday 2 April 2014

PLEASE, JANGAN TIRU KEBODOHAN SAYA! (Bagian 3)

April 02, 2014 19 Comments
Tulisan ini adalah tulisan ke-3 dari tiga tulisan. Tulisan-tulisan sebelumnya bisa dibaca di sini dan selanjutnya di sini

Once Upon a Time There Was a Little Monster Named Chair…
Awalnya, kursi, yang biasa saya pakai untuk mengetik, rusak. Dengan pertimbangan untuk berhemat saya memutuskan menggunakan kursi plastik (yang biasanya untuk teras) dan menumpukkan sejumlah bantal.


Sampai berbulan-bulan mengetik dengan kursi itu, saya tidak merasakan apa-apa. Sampai suatu saat saya merasa pinggang saya pegel. Tapi, saya tidak menganggapnya serius karena begitu berbaring rasa pegal itu hilang. Itu terjadi selama dua hari. Lalu, berikutnya semua terjadi begitu cepat. Hari ketiga saya merasakan pegal-pegal di pinggang diikuti pegal yang luar biasa di pantat sebelah kanan.

Saya masih keras kepala dengan terus mengetik dalam keadaan merasa pegal. Catatan: saat itu saya mengetik dari jam 9 pagi sampai 6 sore, hanya berhenti makan dan mandi!
Sorenya, saya mencoba untuk duduk karena mau makan malam. Tiba-tiba saya merasakan sengatan nyeri yang tak tertahankan di pantat kanan. Saya langsung terlompat sambil menjerit. Sakit luar biasa.


Saya pun menggeletakkan diri. Itulah kejadian di tanggal 5 November 2013. Kejadian yang menyeret saya sampai tergeletak empat bulan dan dirawat psikiater sampai dua bulan.

Ketika merasa sudah bisa duduk, saya membeli sebuah kursi. Harganya “hanya” sekitar 1 juta-an. Teman-teman tahu berapa biaya berobat saya? Suntik, rawat inap, visit dokter, terapi, obat, sampai dengan gaji driver hampir duabelas kali harga kursi! (Saya tidak punya asuransi kesehatan). Teman-teman sudah bisa melihat kebodohan saya kan?

I am officially dumber than the dumbest!

Belum lagi kerugian immaterial (idih!) yaitu tawaran menulis yang tidak bisa saya selesaikan. Ada lomba yang tidak bisa saya ikuti. Saya sungguh merana melihat serangkaian kegiatan yang akan diadakan oleh Yayasan Litara dan SCBWI di tahun 2014: bisa tidak ya saya berpartisipasi?

Yang menyedihkan, ketika sahabat sekaligus adik saya, Yenny Mulyani, meninggal, saya tidak bisa pergi untuk ikut mengantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir. It was horribly devastating….

Yang ironis, saya ini sebenarnya tipe orang yang lebih suka bersiap-siap dan terkadang berlebihan mempersiapkan diri. Bila hendak bepergian di tas saya ada tissue basah, tissue kering, obat migren, fresh care, bolpen, kipas, sampai dengan panties! Waktu masih naik sepeda motor, sepeda motor saya lengkap sekali dengan jas hujan, jaket, penutup mulut, dan kaca mata, entah itu musim kemarau atau musim hujan. Saya tipe orang yang tidak segan mengeluarkan uang untuk mendapatkan yang lebih baik. Saya lebih suka barang yang bermerek karena takut cepat rusak. Lalu, dalam kejadian ini saya seperti orang yang abai dan acuh sehingga mendapat masalah. Padahal, that was so not me!

Saya tidak dalam posisi mengkotbahi orang lain. Namun, saya ingin pengalaman buruk saya ini menjadi lampu kuning buat teman-teman penulis. Sepertinya pekerjaan sebagai penulis rentan dengan beberapa penyakit tertentu kalau kita tidak berhati-hati.

... and the dumb princess live happily ever after.

Cerita Detektif yang seru! "Chiroptera"
kiriman Sri Widiyastuti
Melalui tulisan ini saya juga mau berterima kasih pada teman-teman penulis yang bersimpati, tidak segan-segan berbagi informasi, membantu memulihkan cara berpikir saya, dan yang jelas ikut berdoa buat kesembuhan saya. Semua nama teman-teman tidak mampu saya tuliskan di artikel ini namun saya ingat dalam doa-doa saya.

Secara khusus saya mau berterima kasih pada Dian Kristiani yang dengan gayanya yang khas selalu membuat saya riang dan entah bagaimana pemikiran saya yang ruwet bisa terurai setiap kali selesai ngobrol dengan beliau (saya curiga beliau adalah psikiater yang menyamar!).

Serial "39 Karakter Pemenang" dari Chandra Wening

Buat Watiek Ideo yang bersedia berbagi pengalaman dan tips-tips pengobatan herbalnya. Sampai sekarang saya masih mengkonsumsi “buah bermata banyak”. Buat Pradikha Bestari yang juga menenangkan saya dengan sharing pengalaman mama beliau. Untuk Elisabeth Lisa Gunawan yang gambar-gambarnya tentang Natal memuaskan kerinduan saya pada Natal, terutama saat saya tidak bisa merayakan Natal. Untuk Dian Iskandar yang sharing-nya tentang Aam entah bagaimana membuat saya merasa tidak sendirian. Terima kasih Aam. Untuk Sri Widiyastuti yang bersedia ngobrol dengan saya dan mengirimkan buku detektifnya yang seru dan menghibur banget! Untuk Chandra Wening yang memberikan dua buku serial "Karakter Pemenang" yang super cute!


Buku-buku seru kiriman Yovita Siswati

Untuk Yovita Siswati yang berbagi buku-buku yang luar biasa, tidak hanya menghibur tetapi sepertinya mengingatkan saya bahwa semuanya ada di tangan Tuhan. Suwer, membaca buku “Mujizat Kitab Suci” yang dikirim oleh Yovita, saya merasa “tersindir” (secara positif). Buku yang sebenarnya ditujukan untuk anak-anak itu telak membuat saya bertelut. Untuk Fidelis R. Situmorang yang entah bagaimana status, novel yang dituliskannya, dan obrolannya di inbox sangat menenangkan hati saya.

Novel "Pejaten" dan "Pulang" karya Fidelis R. Situmorang yang bikin sakaw...

Saya tidak mau berlebay-ria dengan penyakit saya. Saya tidak bermaksud mendulang rasa belas kasihan semata (bahkan, saya tidak mau dikasihani).
Tujuan saya menuliskannya hanya satu: janganlah sebodoh saya!
 
TAMAT

***

Pekanbaru, 3 April 2014
Agnes Bemoe

PLEASE, JANGAN TIRU KEBODOHAN SAYA! (Bagian 2)

April 02, 2014 0 Comments
Tulisan ini adalah bagian ke-2 dari 3 tulisan. Bagian 1 sila baca di sini.

DEPRESI?
Ketika tiba waktunya kontrol, saya bacakan ringkasan jurnal saya (mungkin sepanjang kariernya sebagai dokter, baru kali ini dr. Syafruddin bertemu dengan pasien yang membacakan jurnal).


dr. Syafruddin H. SpOT (K) Spine dengan "Aubrye dan The Three Musketeers"

Awalnya dokter menyarankan untuk operasi. Here we go. Tapi, memang sebelum kontrol saya sudah berbicara banyak dengan orang yang sangat baik pada saya. Menurutnya, uang bisa dicari, tapi kalau badan tidak sehat, tidak bisa cari uang. Dengan pemikiran tersebut saya sudah menyerah sekiranya harus operasi.

Ketika suster sedang membantu menanyakan biaya operasi, dll, tiba-tiba dr. Syafruddin nyeletuk: “Atau ibu saya rujuk dulu ke dokter Ang, beliau seorang psikiater. Sepertinya ibu depresi.” Dokter menjelaskan bahwa psikiater bukan berarti gila dan seterusnya. Tidak, saya juga tidak sepicik itu. Saya hanya heran. Saya? Depresi? Lebay amat?

Namun, saya manut juga. Saat itu juga saya berbicara dengan dr. Anggraini Ang, SpKJ. Pendek cerita, dokter Ang membantu saya melihat dengan paradigma lain. Selama sakit, diam-diam saya melihat “ayam hanya dari pantatnya” sehingga yang kelihatan hanya “tahi ayam”. Hal ini menyebabkan saya tidak mampu melihat hal lain dari si ayam tersebut (Catatan: ini bukan kata-kata dokter Ang, saya membuat semacam metaforanya).

Yani, dr. Ang, saya, dan "Kumpulan Kisah Santo Santa"

Penjelasannya adalah bila otak kita terus berpikir bahwa kita sakit maka syaraf akan terpicu untuk “sakit”. Ini menimbulkan lingkaran setan karena kita merasa mendapat bukti bahwa kita sakit.
Artinya, sebenarnya setelah disuntik, kondisi badan saya sudah sembuh. Namun tentu saja tidak bisa kembali ke 100% di empat bulan yang lalu. Pemulihannya tentu bertahap. Sementara saya menganggap sembuh itu berarti kembali ke kondisi saya semula. Perbedaan inilah yang membuat saya merasa kecewa dan memicu depresi.

Saya sempat ngeyel pada dokter Ang (P.S. ngeyel is my middle name): saya pernah mengalami permasalahan yang lebih berat mengapa saat itu saya tidak depresi? Dokter Ang menjelaskan bahwa stressor yang berujung pada depresi tidak punya kelas. Yang berat buat si A bisa jadi ringat buat si B. Semua bergantung pada cara pandang kita masing-masing terhadap permasalahan.

Saya akui, kengeyelan saya takluk di bawah penjelasan dokter Ang. Saya merasa menemukan “AHA moment” dimana saya bisa melihat dengan sudut pandang yang lebih luas.

DUDUK! YEAY!
Lalu, seperti sulap, keesokan harinya saya bangun dan mencoba pelan-pelan duduk. Tidak sakit. Saya bangun dan berjalan. Tidak kesemutan. Bah! Semua gejala yang secara teliti saya tuliskan dalam jurnal lesap satu persatu! Astaga, saya mengalami sendiri the power of mind over body.


Saya mencoba duduk berbaring di tempat tidur sambil mengetik. Bila terasa nyeri, saya berhenti. Karena kata dokter, saya sudah bisa duduk, tetapi harus bertahap. Setiap pagi juga saya berjalan pelan-pelan di depan rumah sambil melihat anak-anak saya berlarian kesana kemari. Yang terpenting saya selalu menjaga pikiran saya untuk selalu positif dan optimis. Kedengarannya sederhana. Namun, dalam keadaan sakit, saya pribadi merasa sulit berpikir positif. Saya jadi super sensitif (padahal sehari-harinya saya sudah sensitif).

Ketika kontrol lagi ke dokter (baik dokter Syafruddin maupun dokter Ang) saya sudah bisa duduk di kursi berhadapan dengan para dokter itu. Biasanya saya berdiri. Dengan dokter Ang saya disuruh berbaring sambil bercerita.

Dokter Ang menyatakan kemajuan saya cukup signifikan. Yang saya sangat senang adalah ketika beliau bilang saya ini seorang fighter, makanya kemajuannya pun memuaskan. Horee! Fighter is my other middle name! :D

Sekarang saya masih dalam perawatan dokter Ang karena menurut beliau kondisi ini bisa turun naik (dan memang benar!). Saya juga masih harus kontrol ke dokter Syafruddin. Tapi, kondisi saya sekarang ini jauuh lebih baik daripada empat bulan yang lalu.

Lalu, dimana letak kebodohan saya? Sepertinya teman-teman mesti baca artikel berikutnya deh. #PLAKK!

bersambung... ke sini

***

Pekanbaru, 3 April 2014
Agnes Bemoe

PLEASE, JANGAN TIRU KEBODOHAN SAYA! (Bagian 1)

April 02, 2014 0 Comments
Sudah sekitar satu minggu ini saya bisa duduk di kursi dan mengetik. Apa hebatnya dengan ini?

INI HEBATNYA
Sudah sekitar empat bulan, persis mulai tanggal 5 November 2013, saya hanya bisa terkapar di tempat tidur. Bangun dan mau baring pun membuat saya meraung. Duduk, tidak bisa sama sekali. Saya bisa berjalan dengan cara menyeret kaki kanan (bagian yang terasa sakit). Berdiri hanya kuat sekitar 15 – 30 menit. Tidur pun susah karena setiap kali membalikkan badan saya merasa kesakitan. Pekerjaan-pekerjaan kecil seperti mengenakan pakaian dalam membuat saya menjerit (bukan lebay, memang sakit!). Bahkan, batuk atau buang angin pun menimbulkan “nyuut” yang cukup signifikan.
Awalnya saya mengira dengan dioleskan obat pereda sakit pasti akan sembuh sendiri. Biarpun sudah banyak yang menyarankan untuk berobat, saya tetap berkeras. Satu bulan setelahnya baru saya mengalah. Saya sedih melihat anak-anak saya (baca: doggies) terkurung di rumah tidak bisa lari (biasanya setiap pagi saya lari pagi dengan mereka).

PENGOBATAN
Tanggal 2 Desember 2013 saya mulai terapi. Bagaimana saya bisa ke rumah sakit? Naik mobil (dengan driver), di mobil saya tergeletak di kursi belakang.
Setelah dua kali sesi terapi dan tidak ada perubahan, saya disarankan untuk rontgen. Hasil rontgen menunjukkan bahwa tidak ada yang salah di badan saya. Lalu, setelah dua kali lagi sesi terapi, therapist saya merujuk saya pada dokter spesialis orthopedy.

Awalnya, oleh dr. Syafruddin H. SpOT (K) Spine saya diberi obat.  Ajaib, obat itu membuat nyeri reda. Namun, sepuluh hari kemudian, ketika obat habis, nyeri itu datang lagi! Dr. Syafruddin lantas menyarankan saya menjalani MRI. Hasil MRI lagi-lagi menunjukkan tidak ada yang salah dengan badan saya! Dokter tentu saja tidak bisa mengambil tindakan apapun kalau tidak ada sesuatu yang salah. Akhirnya, dr. Syafruddin kembali memberi saya obat sambil menyarankan saya berenang untuk membantu memulihkan. Sementara itu saya masih juga mengikuti terapi, yang mana setiap kali selesai terapi saya malah mau menangis kesakitan dan bukannya nyaman.

Sepertinya Tuhan belum mau berhenti ngerjain saya. Tanggal 23 Desember 2014 sepulang dari terapi, saya muntah-muntah hebat. Asam lambung naik, pertanda stress. (Saya tidak punya sakit maag, tapi kalau stress memang saya selalu mengalami peningkatan asam lambung). Saya tidak bisa makan karena selalu muntah bila mencium bau makanan.
Tanggal 24 Desember 2013 malam, ketika umat Kristen seluruh dunia mengikuti misa Natal, saya terbaring dalam keadaan demam tinggi, mual, dan muntah-muntah. Baru tanggal 3 Januari 2014 saya pulih dari peningkatan asam lambung.

By the way, sudah sampai pada bulan Januari. Artinya, sudah dua bulan saya tergeletak di tempat tidur. Tanggal 21 Januari 2014 saya kembali kontrol. Ketika itu saya sudah pasrah. Bila memang harus tergantung obat seumur hidup .

SELECTIVE NERVE ROOT BLOCK
Sore itu, dr. Syafruddin kembali meneliti hasil MRI saya. Lama beliau mengamati, lalu tiba-tiba beliau menunjukkan sesuatu yaitu ada semacam tekanan di salah satu syaraf di tulang belakang bagian bawah (lumbar). Tekanannya tidak besar, tidak sampai menghimpit, hanya sekitar 1 mm. Menurut dokter, saya terkena HNP (Herniated Nucleus Pulposus). Dokter lalu menyarankan saya untuk disuntik SNRB (Selectie Nerve Root Block). Beliau menjelaskan secara detail proses penyuntikannya: intinya, ke syaraf yang bermasalah itu disuntikkan obat. Mengetahui bahwa saya familiar dengan internet beliau pun menyarankan saya mempelajari prosedur ini lewat internet.

Bagian merah adalah bagian dimana saya merasa nyeri luar biasa


Tanggal 29 Januari 2014 saya disuntik. Sempat menginap di rumah sakit 1 malam, lalu pulang. Hari pertama di rumah, saya langsung mencoba duduk di tempat tidur (bersandarkan bantal yang buanyak sekali). Apa yang terjadi, nyeri menyebalkan itu muncul kembali! Saya mencoba berdiri. Tungkai saya nyeri ditambah rasa panas sekujur tungkai. Selanjutnya, setiap kali bangun saya merasakan kesemutan luar biasa.

Saya drop!

Ternyata, disuntik pun tak membawa hasil! Berarti saya harus operasi (itu yang dikatakan dokter dan yang saya baca lewat internet). Saya tidak takut operasi. Saya takut bagaimana pembayarannya. Jelas, saya tidak punya uang untuk operasi.

Sejak hari itu, saya tidak berani bergerak. Saya takut melukai syaraf saya. Kepanasan karena udara gerah pun saya tidak berani bangun dan menghidupkan kipas angin.

Saya juga membuat jurnal. Setiap nyeri yang saya alami saya catat. Setiap kesemutan yang saya alami juga saya catat. Saya membaca melalui internet tentang “kesemutan” yang hasilnya membuat saya tambah panik. Ada ancaman kelumpuhan dan segala macam “hanya” karena kesemutan.

Bersambung… ke sini


***

Pekanbaru, 3 April 2014
Agnes Bemoe

Tuesday 1 April 2014

THE LUNATIC SIDE OF ME [TLSOM]: Jika

April 01, 2014 0 Comments
Photo Credit: Agnes Bemoe

Jika, seribu tahun lagi, engkau tiba-tiba mengingatku
Aku ingin engkau ingat
Bahwa kata terakhirku untukmu adalah
“I love you”


Jika, seribu tahun lagi engkau tiba-tiba mengingatku
Aku ingin engkau tahu
Bahwa hatiku masih terbawa olehmu


Luka ini tak kunjung sembuh
- Mencintai, tapi tak bisa memilikimu –
Namun, dalam seribu tahun pun
Lebih baik kuterluka
Daripada melupakanmu


***
Pekanbaru, 2 April 2014
05:05
Buat: Hasianku