Penulis : Fidelis R. Situmorang
Cover : Audy
Penerbit : Penerbit Sinar David
Genre : Novel
Jumlah Halaman : 124 halaman
Tahun Terbit : 1 Juni 2013
Bésame, bésame mucho
Como si fuera esta noche
La última vez
Bésame, bésame mucho
Que tengo miedo a perderte
Perderte después
…
Saya sudah suka lagu itu sejak pertama kali saya dengar dinyanyikan oleh Trio Los Panchos di tahun 70-an sampai dinyanyikan ulang oleh Andrea Bochelli di tahun 2000-an. Awalnya saya tidak mengerti, mengapa saya suka lagu itu. Lama-lama baru saya sadari, irama yang sangat membuai, mendayu-dayu tanpa kecengengan itu membuat saya menikmatinya.
Lalu, apa hubungannya dengan novel “PEJATEN: Dekat di Hatimu”? Sangat dekat. Awalnya saya juga kurang mengerti alur cerita novel ini. Namun, terus terang saya langsung menikmati gaya penceritaannya. Akhirnya, saya malah jatuh hati dengan karya ke-empat dari penulis Fidelis R. Situmorang ini. Jika “Besame Mucho” membuai telinga saya, maka novel ini merangsek masuk ke hati saya lewat kata-katanya.
Seperti juga “Besame Mucho” tema novel “PEJATEN: Dekat di Hatimu” sebenarnya sangat umum. Cinta. Rain dan Riri saling mencintai. Sayang, keduanya tidak bisa saling memiliki. Pergulatan Rain dan Riri inilah yang diurai dalam duapuluh sembilan bab di novel ini. Penulis yang kurang terampil bisa dengan mudahnya terjebak pada klise semata. Untunglah itu tidak terjadi pada novel ini.
Puisi berjudul “Embun” di bagian awal langsung menghentak pembaca dengan kata-kata yang kuat dan dalam.
Embun luruh satu-satu
Di lelap mimpi daun-daun
Di suara hempasan taksi menutup pintu
Di temaram sinar lampu-lampu jalan yang diam melamun
Cinta macam apa yang seperti ini?
Yang tak bisa memiliki dirimu?
Yang mengendap-endap dan menyelinap seperti serangga malam?
Lalu berpisah saat embun-embun mulai jatuh?
…
Saya tercekat membacanya. Saya tak bisa menguraikan alasan logis mengapa. Di lain pihak saya juga tidak ingin imajinasi saya terganggu oleh logika. Saya hanya ingin menikmati. Itu saja. Seperti awalnya saya menikmati “Besame Mucho” tanpa tahu mengapa.
Cerita-cerita selanjutnya mengalir indah sekali, begitu merangsang imajinasi sekaligus begitu membumi. FRS sangat konsisten dengan kemampuannya mengolah kata. Dari kata-kata sederhana tercipta atmosfer yang lembut dan menyentuh. Lima buku FRS yang sudah saya baca, semuanya menawarkan konsistensi kualitas penulisan. Ini membuat saya tidak bosan membaca ulang buku FRS, bahkan menunggu-nunggu buku selanjutnya.
FRS juga sangat konsisten dengan gayanya: romantis, humoris, dan humanis. Jarang sekali saya menemukan penulis yang bisa meramu ketiga sisi ini dengan apik dan pas. Cerita “Mau Jadi Pemain Bola” adalah contohnya. Cerita ini lengkap memotret kemampuan FRS mengangkat sisi romantis sekaligus humanis, tanpa ada kesan salah satu hanya sebagai pelengkap bagi yang lain. Pembaca merasakan ketulusan FRS dalam bercerita. Ini penting, karena beberapa cerita romantis atau humanis tidak jarang jatuh pada cerita cengeng dan memuakkan. Ketrampilan FRS inilah yang membuat saya betah menelusuri kisah cinta Rain dan Riri dari halaman pertama sampai halaman penghabisan.
Hanya saja, harus saya akui bahwa ada beberapa bagiannya yang membuat saya kurang mengerti. Kelegaan Pendeta Guntur setelah membaca surat putus dari Riri membuat saya bingung. Bukan, bukan karena posisinya sebagai pendeta. Sebagai seorang biasa pun hal ini tetap membingungkan saya. Okelah Riri diam-diam menjalin hubungan dengan Rain. Namun toh akhirnya ia mengakui dan menentukan pilihan.
Terus terang, pengungkapan bahwa Pendeta Guntur ternyata juga diam-diam menjalin hubungan dengan gadis lain dan bahkan menganggap itu adalah “doa yang terjawab” membuat saya terguncang.
Hal lain yang kurang saya mengerti adalah cover. Cover menampilkan seorang gadis manis tersenyum ceria sedang duduk di antara dua kursi. Kesan yang saya tangkap, novel ini akan berisi semacam chick-lit. Padahal isinya tidak persis seperti itu. Namun demikian, saya yakin, ini lebih karena kekurang pengatahuan saya tentang seni grafis.
Di luar itu semua, “PEJATEN: Dekat di Hatimu” adalah novel yang luar biasa nikmat. Membuat kita ingin dekat dengan orang yang kita kasihi. Sama seperti lagu “Besame Mucho” yang sangat dekat di hati saya.
Quiero tenerte muy cerca
Mirarme en tus ojos
Verte junto a mi
Piensa que tal ves mañana
Yo ya estaré lejos
Muy lejos de ti
…
***
Pekanbaru, 7 April 2014
Agnes Bemoe
Saya sukaaaa..! Di resensi yg ini Agnes sudah mulai bisa meliuk-liuk dengan asyik. Tidak lurus-lurus dan takut jatuh seperti sebelumnya. Konon, untuk bisa mahir bersepeda, syarat utamanya adalah: berani menyambut jatuh.
ReplyDeleteMantap! Semoga awett..^^
Woaaaa..... senangnya kalo Udo yang suka.... *jingkrak-jingkrak* Oke deh, siap komandan! Lain kali mau ndak takut jatuh, biar sampe bonyok dan benjol pun, tak apalah... Tengkyuuu Udo... *kriiikkk-kriiikkk*
Delete