Photo Credit: Agnes Bemoe |
Bersamamu,
Waktu seakan berpacu. Ingin kuhabiskan waktuku, hari ini dan selamanya, hanya denganmu, bisikku
- Waktu dan hari esok ternyata bukan milik kita –
Jawabmu, sambil menggenggam erat tanganku.
Malam yang lembut menemani kita
Mengurai cerita hidup yang indah dan tak pernah tertebak ini
Waktu adalah ketika kau mulai mencari hidup dan menggali mutiara dari remah-remahnya.
Waktu adalah ketika kau kembali ke kampung halamanmu, mencari akar jati dirimu.
Waktu adalah ketika kau mulai menciptakan siapa ibumu.
Waktu adalah malam-malam yang remuk ketika kau memperjuangkan cinta kekasihmu.
Waktu membawamu pulang ke sebuah pintu kayu setengah terbuka, yang di depannya kau termangu.
Waktu adalah saat kau teringat bermain gasing atau panjat tembok
Dengan adik kecilmu
- Ternyata waktu kita berdua di dunia ini tidak lama ya, dik –
Katamu, padanya.
Adik kecilmu, kebanggaanmu, dipanggil pulang ke Rumah Bapa, persis dua bulan yang lalu.
Ada embun aneh di sudut matamu ketika kau mengatakan itu.
Ingin sekali aku mengusap embun di matamu. Memindahkan kedukaannya untukku saja. Namun, tampaknya waktu juga yang menawarkan kebijakannya:
- Hidup yang hari ini dan hidup yang akan datang adalah sungguh sama-sama sangat berarti – lagi-lagi, itu katamu.
Berdua denganmu, sungguh, waktu bagai melesat jauh.
Lalu,
“Sudah malam, istirahatlah, hasian. I love you.”
Bibirmu mendarat di kepalaku
Hangat menjalari sekujur tubuhku
Dan,
Waktu bagiku,
Rindu yang membeku
…
***
Pekanbaru, 5 April 2014 dini hari
Agnes Bemoe
Catatan: sebagian kata-kata dari pusi ini dikutip dari note-note tulisan Fidelis R. Situmorang.
No comments:
Post a Comment