Follow Us @agnes_bemoe

Friday, 27 September 2019

PAK KETOPRAK, APA SAJA SIH ISINYA?

September 27, 2019 0 Comments


Hai!
Saya akan memaparkan “isi perut” Pak Ketoprak ya. Apa saja sih isinya?

1.       JELLY JOSS!


Adi dilarang jajan jeli. Kata ibu, kandungan zat pewarna dan pemanis buatan dalam jeli membuat Adi sakit. Padahal, Adi ingiiiin sekali makan jeli.

Adakah jeli yang sehat? Apakah Pak Ketoprak bisa membantunya? Apa hubungannya dengan kapal layar?

2.       NASI GORENG DALAM SELIMUT

Lauk untuk sarapan Bondan digondol Si Belang. Si Belang cuma menyisakan nasi buat Bondan. Aduuh, padahal Bondan sangat lapar.

Untung ada Pak Ketoprak. Tapi, eh, kenapa Pak Ketoprak malah bikin selimut? Bondan kan lapar, bukan ngantuk.

3.       KEJUTAN BOLA-BOLA COKELAT

Kue Ulang Tahun Jamila hancur berantakan. Oh, tidak! Bagaimana mungkin merayakan ulang tahun tanpa kue ulang tahun?

‪Pak Ketoprak bersedia membantu dengan syarat Jamila harus tersenyum. Lho, kok disuruh senyum sih?

4.       KIPAS ANTI LAPAR

Hujan deras. Ayah dan Ibu belum pulang. David dan Pieter kelaparan... howaaa!

Pak Ketoprak datang membawakan... kipas! Iya, kipas!

5.       NETTA VERSUS NELLA

Netta dan Nella itu saudara kembar. Namun mereka berbeda sekali. Neta suka makan buah sedangkan menurut Nela buah-buahan itu ‘meh’.

Apakah Pak Ketoprak bisa mengubah pandangan Nela ini? Eh, kalian Tim Netta atau Tim Nella?

6.       HARI ES LOLI

Hari Minggu adalah kesempatan bagi Fidelis untuk membeli es loli. Sayangnya, hari itu tukang es loli tidak datang.

Pak Ketoprak datang menawarkan bantuan tapi Fidelis kurang yakin. Memangnya Pak Ketoprak bisa bikin es loli seenak es loli langganannya, begitu pikir Fidelis. Hmm... bisa ga ya?

7.       TUMPENG UNTUK NENEK

Nenek selalu membuat tumpeng bila Ita berulang tahun. Ita ingin membalas dengan membuatkan tumpeng juga buat Nenek di hari ulang tahun Nenek. Tapi, ia kebingungan sendiri. Membuat tumpeng kan rumit....

Untung Pak Ketoprak menyempatkan datang sebelum menuju istana Presiden untuk suatu tugas maha penting.

8.       PESTA POPSICLE

Ibu Desi dan anak-anak Panti Asuhan “Rumah Riang” sedang syukuran atas gedung baru panti asuhan. Itu syukuran yang sangat sederhana.

Pak Ketoprak tentu tidak tinggal diam. Dibantu oleh Ekky, Andri, Tere, Rendy, Mila, & Rara mereka membuat popsickle dari pisang. Wow! Bagaimana caranya?


Nah, itu semua isi cerita dalam buku PAK KETOPRAK. Di akhir setiap cerita ada resepnya. Jadi, setelah baca ceritanya, bisa praktik deh!
Tapi, bukan itu saja lho isinya. Ada banyak aktivitas seperti mewarnai, berhitung, main maze, TTS, atau mencocokkan kata bahasa Inggris.

Seru apa seru banget?

Makanya, buruan cari di TB Gramedia ya.

***

Pebatuan, 27 September 2019
@agnes_bemoe


FIGHTING THE DEMON INSIDE ME: KOK TAU KALAU DEPRESI?

September 27, 2019 0 Comments

Saya tidak tahu.

Bahkan ketika dokter Ang mengatakan saya terkena depressi, saya tidak percaya. Saya menolak dan ngeyel. Saya TIDAK MUNGKIN kena depressi, kata saya. Saya tidak takut dianggap gila. Saya hanya heran karena saya bukan orang yang neko-neko yang potensial terkena depresi. Hihihiiii… kalo saya ingat lagi, kalik dokter Ang sudah pingin ngegaplok saya ya saat itu. Dan, kalau saya ingat lagi juga, betapa minimnya pengetahuan saya saat itu tentang depresi termasuk penyebabnya.

Awalnya sekali, dokter Icap Hosein, dokter yang merawat saya waktu terkena HNP (Herniated Nucleus Pulposus) alias syaraf kejepit, dll yang menduga akan hal ini. Beliau mengatakan dengan halus, mungkin saya ini terkena psikosomatis. Beliau lalu merujuk saya pada dokter Ang.

Dokter Ang lalu menjelaskan banyak hal yang akhirnya membuat saya (dengan terpaksa) menerima bahwa saya terkena depresi. Saya menjalani serangkaian sessi dengan dokter Ang dan Mbak Ratna (psikolog di RS Santa Maria Pekanbaru) selain minum obat-obatan. 

Saat itu juga saya baru tahu bahwa depresi itu masalah klinis. Sama seperti kalau kita pilek, berarti ada virus di hidung dan tenggorokan yang bisa digempur dengan obat-obatan. Nah, bila sedang depresi berarti kondisi kimiawi otak mengalami gangguan. Dalam hal ini obat-obatan tertentu bisa membantu mengembalikan kondisi kimiawi otak itu. DISCLAIMER: ini penangkapan saya yang super sederhana tentang proses pengobatan ini ya. Kalau pembaca ingin tahu lebih jelas TANYAKAN LANGSUNG pada dokter/psikolog.

Saya uraikan di sini hanya untuk meng-counter anggapan bahwa depresi itu lebay dan caper. Depresi tidak bisa dibuat-buat seperti lebay dan caper. Mau ada penonton mau tidak, orang yang terkena depresi akan merasakan gejalanya. Beda dengan orang caper yang menikmati sekali diperhatikan oleh audiens-nya, orang yang depresi (saya sih) malah semakin ketakutan atau kelelahan atau malu dan ga sempat mikir berapa jumlah penonton dan atau pose yang bagaimana seperti orang-orang yang lebay dan caper. (Khusus untuk lebayer dan caperer ini saya perlu tuliskan tersendiri kalik ya. They are killing another person who had suffered a lot dengan tingkah mereka yang tidak bertanggung jawab itu. Kalau beragama maka percayalah, bertingkah seperti itu adalah dosa.)

Btw, kalau ada yang mau tanya-tanya, silakan lho. Itu malah membantu saya menggali lagi peristiwa serangan negeri api ini… hehehe….

Bersambung lagi yaa....



***

Pebatuan, 27 September 2019
@agnes_bemoe


Tuesday, 24 September 2019

FIGHTING DEMON INSIDE ME: Preambule

September 24, 2019 0 Comments

Saya ingin menuliskan masa-masa saya terkena depresi. Untuk dokumentasi saya pribadi dan syukur-syukur bisa jadi semacam “teman” buat siapa saja yang mengalaminya.

Oh ya, ada S&K-nya… hihihi….
Catatan ini tidak runtut menurut kronologi kejadiannya. Inginnya runtut tapi ternyata sulit. Sulit sekali. Percayalah, karena saya sebenarnya tipe penulis yang sangat runut. Jadi, saya tulis saja yang masih atau tiba-tiba teringat oleh saya. Jadi, kalau membingungkan, harap maklum.

Saya didiagnosa oleh seorang psikiater dari RS Santa Maria Pekanbaru bernama dr. Anggraeni Ang. Saya terkena mild depression. Itu di tahun 2014.  Jadi, ini bukan self-diagnose ya. Perlu saya pertegas karena ada saja orang jahat yang sinis terhadap apa yang saya post di facebook (beberapa kali saya post kondisi saya di fb). Biasa, saya dianggap lebay, caper, dan self-diagnose (itu istilah mereka) tentang kondisi saya. 

Sekaligus, ini nih yang mendorong saya untuk menuliskan kisah saya ini. Saya yakin, karena mulut-mulut jahat ini, ada buanyaakkk sekali penderita yang memilih diam. Open up lebih seringnya memancing komentar jahat dari orang-orang yang tidak punya perasaan (yang herannya merasa diri mereka waras 100%)

Enggak takut dikucilkan? Dihindari? Nanti karyanya ga ada yang mau terima lho. Dst, dll. Banyak yang dengan kebaikan hatinya memberi masukan: sebaiknya saya jangan open up.

Begini, duluuu awal-awal, saya pingin langsung menuliskannya dengan maksud sebagai katarsis tapi ternyata TIDAK BISA. Hihihii… maaf nih, pakai huruf kapital. Memang tidak bisa. Seperti macet otak saya dan malah membuat mood saya jadi ambruk. Saya biarkan deh. Nah, terakhir-terakhir ini, saya ingin menuliskannya lagi. Lumayan bisa, tidak bikin mood mendadak sontak berubah ke low vibration. Tapiii ya itu, sulit untuk runtut dan runut.

Belum menjawab pertanyaan ya, kenapa ngeyel dituliskan… hihihi…. Saya “ngeyel” untuk kesehatan pikiran saya sendiri. Dengan menuliskan saya ingin menguraikan apa yang ada di pikiran saya tentang kejadian yang saya alami ini. Jadi, ini sepenuhnya untuk kesehatan mental saya sendiri. Saya berharap pihak-pihak yang bekerja sama dengan saya bisa mengerti dan mau melihat karya saya dari sudut pandang karyanya. Artinya, kalau buku yang saya tulis memang beneran bagus, terima dong… hehehe….

Yang kedua, ya itu tadi, kita hidup di masyarakat yang SAKIT. Orang-orang tidak segan-segan menghajar penderita depresi dengan ejekan, sindiran, sampai tuduhan macam-macam. Karenanya, saya kok yuakinn, ada yang menjalani penderitaannya dalam diam. Karena, lebih “aman dan nyaman” biarpun dalam tanda kutip. Sejatinya, tidak ada kenyamanan dan keamanan kalau seseorang menderita sendirian. Nah, saya mau jadi semacam suara deh. Saya mengalaminya jadi saya sedikit banyak tahu bagaimana rasanya (bukan mereka-reka).

Last but not least, yang paling penting nih, saya menulis ini bukan untuk cari tenar. Please deh, saya merasa sudah cukup tenar lho. Google aja deh nama saya… xixixixi… #Plak Kalau boleh, saya TIDAK “HARUS” menuliskan ini. Lebih enak menulis cerita anak atau novel. Lebih nyaman. Menuliskannya –serius- membuat saya teringat lagi hal-hal yang tidak mengenakkan. Dan itu tidak setara dengan “ketenaran” (kalau emang sensasi yang mau saya cari). Saya tidak post ini di fb. Jadi benar-benar yang “berjodoh” dengan tulisan inilah yang akan membacanya. Long story short, saya tidak cari tenar ya. 

Oh iya, sebelum panjang lebar, ketika kena serangan negeri api pertama kali kata dokter saya kena serangan ringan. Yang mana bikin saya begidig, kalau yang ringan aja begini, gimana yang sudah kronis yah?
Nah, sekarang ini saya rasanya sudah tidak berada di red-zone lagi. Namun, saya merasa belum sepenuhnya pulih. Saya merasa saya ada di orange-zone.



Itu sedikit preambule-nya… hihihi…
Dilanjutkan lain waktu ya.  

***

Pebatuan, 24 September 2019
@agnes_bemoe

Tuesday, 17 September 2019

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: BELAJAR MENGHARGAI DARI KACAMATA SID

September 17, 2019 0 Comments


Judul                     : The Tree Boy
Pengarang              : Srividhya Venkat
Illustrator              : Nayantara Surendranath
Diproduksi oleh      : Pickle Yolk Books
Tahun Terbit          : 2018
ISBN                      : 978-93-5267-814-3

Dari sejumlah picture book yang saya beli di AFCC 2019 lalu, mungkin ini adalah yang least favorite. Maaf. Saya kesulitan menikmati ceritanya. Kemungkinan besar ada perbedaan selera dan gaya bercerita. Namun demikian, saya mendapati pelajaran yang sangat berguna buat saya melalui buku ini: sebaiknya kita tidak mengecilkan orang lain bagaimanapun kondisi orang itu. Belajarlah untuk berada dalam “sepatunya”. Menghargai orang lain tanpa membeda-bedakan, itulah pelajaran besar yang saya dapat dari buku ini.

Biarpun saya kurang bisa menikmati ceritanya, saya salut dan terkagum-kagum akan ilustrasinya. Ilustrasi inilah saya rasa bagian terbaik dari buku ini. Saya malah membolak-balik buku ini untuk menikmati ilustrasinya dan bukan membaca ceritanya.





***

Pebatuan, 18 September 2019
@agnes_bemoe

Sunday, 15 September 2019

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: MAEVE MELAWAN KANKER

September 15, 2019 0 Comments

Judul                     : Brave Maeve
Pengarang          : Joanne Poon
Illustrator            : Liew Hooi Yin
Penerbit              : Landmark Books Pte Ltd
Tahun Terbit      : 2013
ISBN                      : 978-981-4189-43-9


Tersebutlah kisah seorang gadis kecil bernama Maeve. Dia tidak berbeda dengan teman-temannya. Hanya saja dia mempunyai semacam “batu” di dalam tubuhnya. Batu itu tumbuh dan berkembang membuat Maeve merasa kesakitan. Biarpun batu itu akhirnya dibuang, tumbuh lagi “anak-anak batu” di dalam tubuh Maeve.

Buku ini berkisah tentang perjuangan Maeve memahami, menerima, dan kemudian berusaha melawan penyakit kanker yang ada dalam dirinya. Catatan, kisah Maeve ini berdasarkan kisah nyata, yakni kisah putri penulisnya sendiri.

Lagi-lagi, topik tokoh dengan penyakit berat adalah topik yang tidak mudah. Saya berterima kasih pada penulisnya yang bersedia membagikan cerita tentang puterinya ini. Pasti amat sangat tidak mudah melakukannya. Tidak hanya “sekedar” berbagi, penulis mampu menyajikan cerita yang indah, manis, tidak mendramatisir suasana, dan yang terpenting aura positifnya terasa sekali. Penulis sungguh menghargai dan mencintai tokohnya, yang kebetulan puterinya, dengan penggambaran karakter yang apa adanya namun tabah dan tangguh. Sungguh luar biasa!

Saya juga menghargai pilihan penulis menggunakan “batu” untuk menggambarkan sel-sel kanker. Saya termasuk yang lebih setuju buku-buku semacam ini bukan menjadi buku yang informatif (kognitif) tetapi afektif. Lebih baik pembaca kecil menangkap nuansanya dan mampu menempatkan diri dalam sudut pandang penderita daripada dia hanya tahu dan hafal dengan persis apa itu penyakit kanker tapi gagal ikut merasakan penderitaan temannya.

Penulis juga menggunakan perumpamaan untuk menggambarkan proses kemoterapi, yang mana menurut saya dari sudut pandang membuat cerita ini menjadi segar dan punya jiwa. Auranya yang positif dan optimis adalah hal yang harus digarisbawahi, di-highlight, dan ditebalkan dari buku ini. Itulah kelebihan utama buku ini. Walaupun demikian, secara umum, ini adalah buku yang bagus sekali untuk mulai memperkenalkan anak-anak kita –baik yang terkena kanker ataupun tidak- tentang penyakit yang sekarang semakin ganas menghinggapi manusia ini.  

Untuk ilustrasinya sendiri, menurut selera pribadi saya, good but not great. Saya hargai ilustrator mampu menggambarkan proses-proses medis dengan sederhana dan tepat.

Akhirnya, saya rekomendasikan buku ini untuk orangtua, guru, dan terutama anak-anak untuk membacanya. Semoga pengalaman bersama Maeve yang pemberani ini membuat kita mampu memahami perjuangan kita juga.

***

Pebatuan, 16 September 2019
@agnes_bemoe

PERPUSTAKAAN SEBAGAI TEMPAT REKREASI

September 15, 2019 0 Comments
Saya dan KOPRAL JONO
di depan National Library Building Singapura, AFCC 2019

Pasti di Indonesia juga ada. Saya aja yang ga tau.

Event AFCC Singapura kemarin kan (5-8 September 2019) venue-nya di National Library Building. Saya tuh terheran-heran melihat cairnya suasana perpustakaan ini (ncen ndesit). Kayak mall aja.

Orangtua membawa anak-anaknya ke ruang baca anak-anak. Di sana anak-anak baca buku dengan bebas atau ikut dalam pembacaan cerita. Ortunya dengan sabar nungguin.

Di bagian lain ada sejumlah opa-oma, duduk di depan layar komputer. Mereka baca koran. Konon, mereka rutin ke perpustakaan untuk baca koran digital.

Ada juga pasangan remaja. Biasa deh, duduknya dempetan dan share headset gitu. Tapi masing-masing baca buku.

Dan tentu saja beberapa jenis orang yang random, yang semuanya sepertinya menikmati sekali datang ke perpustakaan baca buku.

Saya intip buku-bukunya (terutama buku anak) memang keren-keren. Buku-buku novel klasik maupun terkini ada semua. Picture book-nya juga asyik-asyik. 


Tempat duduk pun banyak disediakan. Tempat duduknya nyaman berbentuk sofa. Ruang bacanya juga luas.

Dan, kayaknya, petugasnya nyaris tak kelihatan. Selain security di lantai 1, sepertinya minim petugas. Mungkin para pembacanya ini bisa dipercaya dengan buku-buku ini ya? Atau, kamera CCTV? 😃

Di Indonesia, saya sempat menikmati perpustakaan itu di perpustakaan SD (Santa Maria Blitar dan Sang Timur Pasuruan) dan Ruang Baca IKIP Sanata Darma (sekarang univ.). Itulah tempat2 saya ke perpustakaan untuk rekreasi bukan cari referensi.

Perpustakaan paling serem adalah sebuah perpustakaan yang tidak boleh disebutkan namanya. Daftarnya pun harus lewat surat RT/RW! Bah! KTP ga cukup 😃

Lalu, pengunjung tak boleh bawa tas dll. Jadi dompet, laptop, dll harus digotong pakai tangan. Ribet.

Itu belum seberapa dengan buku-buku koleksinya. Mumet saya membaca judul-judulnya! 😃

Mudah2an akan lebih banyak perpustakaan di Indonesia yang bisa jadi tempat rekreasi. Membaca jadi kegiatan rekreatif harian. Amin.


***

Pebatuan, 15 September 2019
@agnes_bemoe

BOOK THROUGH MY EYES: MEMBICARAKAN MASALAH PELECEHAN SEKSUAL DALAM BUKU

September 15, 2019 0 Comments



Judul                     : Jun and the Octopus
Pengarang          : Ekkers
Illustrator            : Lim An-ling
Penerbit              : Singapore Children’s Society
Tahun Terbit      : 2019
ISBN                      : 978-981-14-1502-9

Jun adalah seorang anak laki-laki yang tinggal bersama orangtuanya di sebuah kampung di tepi pantai. Jun ingin sekali bisa berenang seperti teman-temannya. Sayangnya, orangtuanya terlalu sibuk untuk mengajarinya. Saat itulah Paman Mok –orang yang sering membantu keluarganya- menawarkan bantuan untuk mengajari Jun berenang. Tak dinyana pelajaran berenang dengan Paman Mok ternyata berubah menjadi pengalaman paling tidak menyenangkan dalam hidup Jun.

Buku ini menceritakan kekalutan, ketakutan, dan perjuangan Jun menghadapi pengalaman tidak mengenakkan karena perlakuan tidak pantas Paman Jun.

Saya mau membicarakan hal yang “mudah” dulu: ilustrasinya. Bila anda membaca buku ini anda pasti termanja oleh ilustrasinya yang kaya dan dalam. Kelihatan sekali ilustrasi dikerjakan dengan penuh pemikiran dan matang, namun tanpa mengurangi unsur artistiknya. Salut.

Buku ini berbicara tentang topik pelecehan seksual atas anak-anak. Ini topik yang sangat sangat sangat tidak mudah. Tidak mudah dituliskan dan juga tidak mudah dibacakan atau dibicarakan dengan anak. Namun demikian, saya rasa buku ini menjalankan tugasnya dengan baik sebagai semacam pengantar bila orangtua ataupun guru sudah merasa siap berbicara dengan anak-anaknya tentang hal ini.

Oh ya, tentu saja, buku ini lebih tepat kalau dibaca(kan) bersama dengan orang dewasa yang matang dan bijaksana. Dalam catatannya, penyusun buku ini pun tidak berpretensi untuk menjadikan buku ini sebagai jawaban instan buat pembaca kecilnya. Pendampingan orangtua dengan bijaksana sangat dibutuhkan.

Apakah buku ini vulgar? Sama sekali tidak! Penulis menggambarkan hal-hal yang sensitif dan kurang menyenangkan yang dialami Jun dengan halus namun pembaca tetap mendapatkan nuansanya. Menurut saya penulis dengan baik sekali menyeimbangkan antara menyampaikan cerita yang baik dan menarik dengan menyampaikan informasi tentang pelecehan seksual. Lagi-lagi, salut!

Buku ini ternyata diterbitkan oleh Singapore Children’s Society, suatu organisasi sosial oleh masyarakat sipil untuk kepentingan anak-anak. Dan ini juga “salut” yang berikutnya. Bahwa permasalahan pelecehan seksual pada anak dipikirkan dengan begitu matang sehingga dicarilah jalan yang tepat dan berterima untuk anak-anak dalam hubungannya dengan pelecehan seksual pada anak. Salah satu caranya adalah dengan penerbitan buku cerita. Pointnya adalah permasalahan dibicarakan bukan sebaliknya, ditekan untuk tidak dibicarakan dengan alasan tidak pantas. Sangat sangat salut!

Perilaku melecehkan secara seksual jelas perbuatan tidak pantas. Karenanya, hal ini amat sangat perlu diangkat dan dibicarakan karena korbannya sudah mulai merambah pada anak-anak. Pelecehannya tidak pantas tapi membicarakannya adalah hal yang amat sangat layak dan perlu. Bila orang dewasa berhenti membicarakannya, anak-anak akan tumbuh besar tanpa informasi yang benar tentang kejahatan ini. Dan ini amat sangat membahayakan.  
Kalau Anda orangtua, guru, atau siapa saja yang punya keprihatinan khusus akan masalah pelecehan seksual, silakan baca buku ini. Saya pribadi memperoleh inspirasi dan pemahaman tersendiri tentang bagaiamana menulis cerita bertema sensitif (karena saya seorang penulis). Mungkin Anda bisa memetik manfaat sesuai dengan bidang Anda. Namun demikian, tanpa memandang apapun profesi Anda, saya sangat menyarankan Anda ikut membaca dan semoga suatu saat membacakan dan membicarakannya dengan anak-anak/murid Anda.

***

Pebatuan, 15 September 2019
@agnes_bemoe



Saturday, 14 September 2019

BEHIND THE SCENE [BTS]: PAK KETOPRAK KOKI AJAIB

September 14, 2019 0 Comments


Naskah PAK KETOPRAK KOKI AJAIB (PKKA) ini sebenarnya naskah yang sudah lama banget. Saya tulis di tahun 2012!

Waktu itu idenya saya dapat dari nonton Master Chef Australia kesukaan saya. Keseringan nonton acara masak ini, saya terpikir tentang sebuah cerita mengenai chef/koki dan dunia kuliner. Saya tulislah beberapa cerita tentang itu dengan tokoh sentral seorang koki bernama “Koki Kiko”. Koki Kiko ini punya kokimeter yang mampu mendeteksi siapa saja yang membutuhkan pertolongannya. Dalam waktu sekejap ia sudah akan berada di tempat tersebut untuk membuat masakan yang dibutuhkan. Kumpulan cerita ini awalnya saya beri judul “Koki Kiko Koki Ajaib”.

Setelah cerita jadi, naskah ini malah saya simpan. Entahlah, saya merasa kurang pede… hehehe…. Sempat saya coba tawarkan ke sebuah penerbit tapi tidak ada tanggapan. Herannya, saya tak begitu kecewa karena niat saya sebenarnya mau menyimpan dulu, mengendapkan siapa tahu masih bisa diperbagus.

Tahun berlalu, beberapa buku saya terbit sejak saya menuliskan Koki Kiko ini. Jujur, karena beberapa buku lain terbit ini saya jadi agak “lupa” pada Koki Kiko. Sampai di tahun 2015 saya coba tawarkan pada Penerbit Grasindo. Oleh Grasindo naskah ini diterima. Yeay! Maka selanjutnya adalah mencari illustrator.

Saya berhasil mendapatkan seorang illustrator yang gaya ilustrasinya di portofolio saya suka. Sayangnya, kerja sama ternyata tidak bisa berjalan baik sehingga Koki Kiko akhirnya tertunda lagi. Tidak tanggung-tanggung, tertundanya sampai 2 tahun sejak tahun 2016 diilustrasi… hehehe….


Tahun 2018 Koki Kiko “dibangkitkan” lagi. Kali ini oleh penerbit konsepnya diubah, bukan lagi kumpulan cerita tapi buku aktivitas. Tak hanya itu saja, cerita yang tadinya 5 buah, ditambah menjadi 8. Oke deh, singsingkan lengan baju. Saya pun mulai mengotak-atik naskah Koki Kiko ini. Puji Tuhan, naskah berbentuk buku aktivitas jadi.

Lalu… eng ing eng… ilustrasi! Untungnya, kali ini penerbit (Mbak Editor) yang berinisiatif mencari illustrator. Dan, ternyata ilustratornya adalah illustrator yang sudah saya kenal: InnerChild Std. Yeay!

Koki Kiko pun diilustrasikan dan selesai dengan bagus dan lancar. Ketika sudah 98% selesai, judul diubah karena ternyata sudah banyak buku yang menggunakan nama “Koki Kiko”. Setelah putar-putar mencari nama, diketemukanlah nama “Pak Ketoprak” sebagai ganti “Koki Kiko”. Lengkapnya “Pak Ketoprak Koki Ajaib”.



Btw, sebenarnya, selain terinspirasi dari sebuah acara reality show masak-memasak di TV, buku ini juga terinspirasi dari ibu saya sendiri: Fransisca Waldetrudist Parera Bemu. Beliau itu suka dan pintar masak. Seratus delapanpuluh derajat bedanya dengan saya >,< Saya cuma suka posting masakan… hihihi…. Nah, saya tidak pintar masak tapi bisa menulis. Saya tulislah sesuatu yang “close to my mother’s heart”, yaitu buku tentang kuliner ini. Salah satu ceritanya, “Tumpeng untuk Nenek” sebenarnya adalah persembahan khusus saya buat ibu saya itu.

Selain ibu saya sendiri, sosok lain yang saya ingat ketika menuliskan naskah ini adalah Ibu Stephani, guru PKK saya waktu SMA (di SMA Cor Jesu, Malang). Beliau ini mengajarkan ketrampilan “kecil-kecil” yang ternyata sangat bermanfaat. Dua dari delapan resep masakan di buku ini saya contek dari ajaran Ibu Stephani; Rice Omelet (Nasi Goreng dalam Selimut) dan Sweet Ballers (Kejutan Bola-Bola Cokelat). Melalui tulisan ini dan buku ini saya ingin mengucapkan terima kasih pada Ibu Stephani atas kemurahanhatinya membagikan ketrampilannya kepada murid-muridnya.

Lalu, ada apa saja sih di buku PKKA?
Yang jelas ada ceritanya… hehehe… lalu ada berbagai aktivitas seperti mewarnai, bermain kata, bermain maze, atau mengisi TTS. Pokoknya, pembaca kecilnya bakalan ‘sibuk’ deh! Di akhir setiap cerita akan ada resepnya. Jadi, setelah membaca, bisa langsung praktik memasak deh! Ringkasan isi PAK KETOPRAK bisa dibaca di sini ya.




September 2019 ini PKKA terbit. Syukur kepada Allah. Tujuh tahun perjalanannya dari naskah ke rak toko buku. Semoga perjalanan selanjutnya dari toko buku ke rumah-rumah pembacanya lancar ya.

Terima kasih kepada Penerbit Grasindo yang memberikan kesempatan kepada naskah ini. Terima kasih kepada Ibu Maria Silabakti yang sudah memoles naskah ini sehingga menjadi lebih baik. Terima kasih kepada InnerChild Std. untuk ilustrasinya yang imut. Terima kasih Tuhan. Terima kasih alam semesta.

Semoga “Pak Ketoprak Koki Ajaib” diterima dengan baik oleh para pembaca kecilnya ya.

***

Pebatuan, 14 September 2019
@agnes_bemoe

Friday, 13 September 2019

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: MEMBANGUN EMPATI PADA PENDERITA PENYAKIT MENTAL MELALUI CERITA

September 13, 2019 0 Comments

Judul              : Grey Bear Days
Pengarang    : Sabrinah Morad
Illustrator      : Wen Dee Tan
Penerbit         : Sabrinah Ahmad Morad
Tahun Terbit : 2016
ISBN               : 978-967-14460-0-3



Little Bee sangat menyayangi Mama. Tentu saja, Mama pun mencintai Little Bee. Mereka berdua sering melakukan kegiatan bersama seperti berkebun atau membuat kue. Namun, kegiatan favorit Little Bee adalah duduk di pangkuan Mama sambil mendengarkan Mama membacakan buku.

Sayangnya, suatu hari seekor beruang abu-abu yang sangat besar datang dan mengganggu kehidupan Mama. Mama tidak lagi bisa berkebun, memasak, dan membacakan cerita untuk Little Bee. Hari-hari dimana Beruang Abu-Abu datang adalah hari-hari menyedihkan bagi Little Bee.

Buku ini bercerita bagaimana Little Bee menghadapi Mama dan Beruang Abu-Abu yang tidak mau beranjak dari Mama.

Topik depresi menurut saya topik yang sangat sensitif dan karenanya tidak mudah untuk dituangkan dalam bentuk cerita (paling tidak, buat saya). Karena itu, saya sangat kagum pada penulis “Grey Bear Days” yang menurut saya mampu mengolah tema ini menjadi cerita yang halus, lembut, namun tepat sasaran.

Pertama-tama, melalui ceritanya penulis menunjukkan empatinya, baik pada Little Bee maupun pada Mama. Penulis tidak mendramatisir atau men-judge (atau bahkan berkotbah dengan dalil agama). Penulis sepenuhnya membiarkan cerita mengalir apa adanya.

Yang kedua, penulis mampu menggambarkan penyakit sesensitif depresi dengan analogi seekor “beruang abu-abu”. Bagi pembaca kanak-kanak, hal ini cukup membuat mereka merangkai asosiasi tentang apa itu depresi (empati) tanpa harus tahu atau menghafalkan definisi (kognisi). Dan itu yang lebih penting.

Salut juga saya berikan untuk ilustratornya. Ilustrasi di buku ini selaras dengan ceritanya; halus, manis, dan lembut namun menohok di beberapa tempat. Jujur, saya sempat terdiam menyaksikan beberapa ilustrasi yang ada di buku ini. Benar juga bahwa gambar/ilustrasi adalah ribuan kata.

Yang berikutnya, apakah tepat mengenalkan penyakit mental seperti depresi pada anak-anak? Menurut saya, tepat sekali. Saya tidak punya data tapi saya yakin tidak sedikit anak yang hidup dengan orang dewasa di sekitarnya yang menderita penyakit mental. Buku ini bisa menjadi “teman” bagi anak-anak itu. Buku ini juga bisa menjadi jembatan bagi anak-anak lain untuk membangun sikap empatik pada teman mereka. Sikap ini bisa memutus rantai judgmental yang biasanya hinggap pada orang dewasa bila mereka berurusan dengan penderita penyakit mental.

Saya sangat menyarankan para orangtua dan guru untuk punya dan membacakan buku ini untuk anak atau para muridnya. Tentu saja jangan biarkan anak-anak membaca sendirian karena anak-anak pasti punya banyak pertanyaan. Namun, dari pertanyaan-pertanyaan itulah kita bisa bersama-sama Little Bee berjuang “melawan si Beruang Abu-Abu”.

***

Pebatuan, 12 September 2019
@agnes_bemoe


PACU JALUR DAN ATUK TENAS EFFENDI

September 13, 2019 0 Comments
Tengku Nasruddin Effendi (Alm)

Mau tidak mau teringat akan Atuk terkasih, Tenas Effendi.

Tahun 2014 kalo tak salah, saya memberikan buku saya, "Nino, Si Petualang Cilik" pada Atuk Tenas Effendi (yang kemudian langsung dibacanya dengan seksama seperti yang terlihat di foto).

Pesan Atuk waktu itu: budaya Riau adalah budaya air; sungai, rawa, laut. Harus menulis tentang itu. Pesan Atuk itu saya jadikan semacam janji buat diri saya sendiri, supaya suatu saat kalau menulis lagi tentang budaya Riau saya akan menulis tentang tradisi berbasis budaya perairan.

Puji Tuhan, semesta menyambut baik.

Tahun 2017 saya terpilih dalam program penulisan tradisi Nusantara oleh Kemdikbud. Dan, saya menulis tentang Pacu Jalur yang adalah tradisi masyarakat di sekitar Sungai Kuantan di Riau. Tahun 2019 ini versi soft copynya sudah bisa diunduh. Silakan unduh di sini. 



Jujur, ada keinginan buat melipir ke Pasir Putih, ke kediaman Atuk untuk "pamer" ( ) Saya yakin, beliau pasti senang sekali. Sayangnya, sudah tak bisa pamer ya... hehehe... Tapi saya yakin, beliau tetap senang.

Mengirim doa yang banyak sekali buat Atuk Tenas Effendi terkasih. Semoga Atuk beristirahat dalam damai. Sudah tunai janji saya sama Atuk ya. Mudah-mudahan lain waktu bisa menulis tradisi berbasis air lainnya lagi.

***

Pebatuan, 13 September 2019
@agnes_bemoe

PACU JALUR KEMERDEKAAN

September 13, 2019 0 Comments
:: Seri Pengenalan Budaya Nusantara


Tahun 2017 lalu saya menjadi salah satu dari dua penulis Riau yang dipilih untuk program Kemdikbud yang disebut "Seri Pengenalan Budaya Nusantara", Program ini mengumpulkan tradisi-tradisi Nusantara dan menuliskannya kembali ke dalam bentuk cerita berinformasi.
Saya menuliskan tentang tradisi PACU JALUR dari Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuantan Singingi terletak persis di perbatasan Provinsi Riau dan Sumbar, jauhnya 3 - 4 jam perjalanan darat dari kota Pekanbaru).

Pacu Jalur adalah tradisi lomba perahu tradisional masyarakat di daerah Kuantan (daerah di tepian Sungai Kuantan). Tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun ini tetap dijalankan sampai sekarang dengan semangat dan kemeriahan yang tidak berkurang.

Jujur, bangga sekali lho saya, yang "Kuantan Sasek" ini ( ), bisa menuliskan tentang tradisi kebanggaan masyarakat Kuntan-Singingi. Semoga melalui buku ini anak-anak Indonesia di mana saja berada bisa mengenal salah satu tradisi unik dan seru ini.

Sekaligus, saya ingin mengucapkan ribuan terima kasih buat Mbak Wigati IsYe yang banyak (sangat banyak) membantu mulai dari awal perencanaan penulisan ini (Ingat ga, Mbak Isye, kita ‘meeting’ awal di Soto Budhe… hahaha…), mendampingi saya mencari data (termasuk hal yang tersulit yaitu menembus para narasumber yang lain), sampai pada proses akhir penulisannya.
Terima kasih juga untuk Bpk. Yaslan Hadi yang bersedia menjadi narasumber. Bapak Yaslan Hadi adalah seorang Pawang Jalur, tokoh penting dalam proses pembuatan dan lomba jalur. Semoga Bapak selalu sehat ya.

Terima kasih juga untuk Bpk. Dedi Erianto, S. Sos., yang pengetahuannya tentang Pacu Jalur luar biasa luasnya. Tidak hanya itu saja, Bpk. Dedi juga dengan murah hati memberikan informasi tentang Kota Kuantan Singingi pada umumnya dan spot-spot budayanya seperti Hutan Kota Pulau Bungin, Desa Wisata, dll.
Terima kasih kepada Bapak Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Kuantan Singingi yang menerima kami dengan baik dan ramah, serta menyambut baik rencana penulisan tradisi Pacu Jalur ini.

Terima kasih pada mas Rhomi Ab dan Mas Syafrizal Pangean atas keramahan dan antusiasmenya. Semoga kapan-kapan bisa bertemu lagi.

Tentu saja, saya juga berterima kasih pada Kang Dwi InnerChild Std yang ilustrasinya membuat cerita “Pacu Jalur Kemerdekaan” menjadi lebih seru. Ilustrasinya imut dan detil. Pembacanya pasti dengan mudah mendapat gambaran apa itu jalur, dll.

Last but not least, terima kasih pada Mbak Pradikha Bestari, editor baik hati yang memoles cerita saya menjadi jauh lebih smooth dan enak dibaca. Terima kasiiih, Mbak Dhika.

Terima kasih kepada semua saja yang telah ikut mencurahkan perhatian dan kerjanya untuk cerita “Pacu Jalur Kemerdekaan” ini. Versi soft copy-nya bisa diunduh di tautan ini ya. Silakan baca, ditunggu kritik dan sarannya.

***

Pebatuan, 13 September 2019
@agnes_bemoe

Wednesday, 11 September 2019

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: TEMUKAN CARAMU BERSINAR

September 11, 2019 0 Comments


Judul               : Murphy, See How You Shine! A Story That Celebrates the Gifts within Us
Pengarang       : Chen Wei Teng
Illustrator        : Quek Hong Shin
Penerbit           : Notion Press Singapura
Tahun Terbit    : 2017

Murphy adalah seekor anjing buta yang diadopsi oleh Candy. Candy sangat menyayangi Murphy, demikian juga Murphy terhadap Candy. Candy merawat Murphy dengan penuh kasih sayang, sebaliknya, dengan caranya, Murphy menjaga Candy. Anjing ini ternyata mampu mendeteksi kadar gula yang menurun drastis pada seseorang. Hal ini sangat bermanfaat karena Candy ternyata pengidap Diabetes Tipe 1. Murphy membantu mengingatkan Candy bila kadar gula dalam tubuh Candy menurun.

Dengan hubungan yang saling membutuhkan dan saling memberi ini keduanya tampak tidak mempunyai masalah. Namun demikian, Murphy merasa masih ada yang kurang dalam dirinya. Buku ini lalu menceritakan bagaimana Murphy akhirnya menemukan cara ia dapat bersinar sesuai dengan jati dirinya.

Pertama-tama, salut atas ditulisnya buku ini. Chen Wei Teng, penulisnya, adalah seorang pendidik yang memang menuliskan buku ini bagi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Buku ini kelihatan sekali ditulis dengan cermat dan sepenuh hati. Bahkan, font pun dipilih yang cocok bagi anak-anak dengan kesulitan belajar.

Kisah Murphy, si anjing buta pendeteksi diabetes, diceritakan dengan sederhana, manis, dan lancar. Saya menghargai bahwa penulis tidak mendramatisir kondisi Murphy biarpun pembaca mampu merasakan kesulitan dan kesedihan Murphy di beberapa tempat.

Berikutnya, yang membuat buku ini tambah menarik adalah minimnya (nyaris tidak ada) uraian panjang lebar tentang apa itu Diabetes Tipe 1. Di beberapa buku, hal ini menyebabkan buku bacaan menjadi kering dan dingin, seperti text book. Buku ini mampu menjaga diri untuk tetap jadi fiksi yang menarik. Yang juga menarik adalah tidak adanya tidak adanya kecenderungan untuk mengkotbahi pembaca ciliknya, misalnya tentang bagaimana memperlakukan penderita diabetes. Hal-hal semacam itu muncul secara alamiah dari atmosfer cerita. Pembaca dapat melihat bagaimana Murphy bersikap terhadap Candy dan sebaliknya.

Buku ini juga nyaman dibaca oleh anak-anak dari beragam agama. Tidak ada ajaran agama tertentu yang ditonjolkan dalam buku ini. Dan ini baik sekali sehingga semua anak –dari golongan apapun- bisa merasa nyaman membaca buku ini dan memetik manfaat darinya.

Last but not least tentu saja adalah ilustrasinya. Ilustrasinya imut, innocent, dan manis. Para pembaca kecil pasti akan langsung jatuh hati pada wajah lucu Murphy.

Sulit saya menemukan kelemahan pada buku ini. Bagi saya, buku ini ten out of ten. Tidak mengherankan kalau buku ini memperoleh Gold Award Moonbeam Children’s Book Awards untuk kategori Picture E-Book di tahun 2018. Buku ini juga memperoleh rating 5 bintang dari Readers’ Favourite di tahun yang sama.  

Bagi orangtua yang memiliki anak-anak yang mengalami kesulitan belajar, saya menyarankan menggunakan buku ini. Walaupun demikian, buku ini sangat tepat dibaca oleh anak-anak secara umum. Saya jamin, mereka akan menemukan pengalaman tumbuh dan berkembang bersama sahabat atau orang terdekat lewat kisah Murphy ini.  

***

Pebatuan, 10 September 2019
@agnes_bemoe