Follow Us @agnes_bemoe

Sunday 24 May 2015

Bersahabat dengan HNP

May 24, 2015 4 Comments
Persis dua bulan sejak saya berobat ke Pak Yuyun, seorang akupunkturist di Jakarta.
Sejak pulang dari tempat Pak Yuyun, saya merasakan perubahan yang cukup signifikan. Malahan, sehari setelah berobat saya kuat jalan-jalan ke mall (yang mana agak mustahil bagi saya di waktu-waktu sebelumnya). Namun demikian, saya tidak mau buru-buru senang. Saya memutuskan untuk menunggu sampai beberapa waktu. Saya takut kecewa.

Selama sebulan setelahnya saya merasakan badan saya enakan. Bangun tidur tidak lagi sakit, jalan tidak sakit, batuk dan bersin juga tidak sakit. Saya lebih kuat duduk, baik untuk menulis maupun menyetir. Saya sudah ingin menuliskan kemajuan ini ketika saya kembali merasakan sakit. Itu hampir sebulan setelah saya berobat ke Pak Yuyun.

Waktu itu, merasa agak sehat, saya melanjutkan kegiatan mengedit naskah yang sudah lama saya tinggalkan dan sudah berulang kali ditagih oleh para penulis naskah (mereka tidak tahu kalau saya sakit). Selain itu, saya juga mencoba menulis naskah cerita anak-anak untuk sebuah penerbit.

Entah bagaimana cara saya mengetik/duduk, saya kembali merasakan nyeri di pinggang sampai ke telapak kaki. Saya memutuskan untuk istirahat total. Mencegah stress yang bisa memicu depresi, saya menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik, nonton film, dan ngobrol dengan teman baik saya (lewat dunia maya, tentunya). Puji Tuhan, setelah semingguan istirahat, nyeri pun hilang. Selanjutnya, saya praktis tidak lagi merasakan nyeri (kecuali kemarin waktu saya ke Gramedia. Mungkin saya kelamaan di sana :p).

“SEMBUH” BUAT PENDERITA HNP
 Tanpa bermaksud mengecilkan semangat, mengecilkan perjuangan sesama HNP-ers, buat saya sembuh total dari HNP itu “nyaris mustahil”. Saya beri tanda kutip karena frasa ini butuh penjelasan.
Saya percaya pada kesembuhan. Namun, sepertinya saya harus punya pandangan lain terhadap HNP. Kondisi syaraf saya sudah “cacat”. Yang bisa dilakukan adalah semaksimal mungkin mengupayakan supaya kecacatannya tidak bertambah parah. Untuk itulah saya berenang (untuk menguatkan otot punggung dan perut) dan menjaga posisi badan termasuk tidak mengangkat beban terlalu berat (untuk mencegah syaraf semakin teriritasi).

Berenang dll bukan obat untuk kesembuhan. Ini untuk membantu memperkuat otot, memperkecil potensi iritasi, dan karenanya meminimalisir kecacatan. Upaya ini harus saya lakukan terus menerus tanpa mengenal kata “sembuh” (kalau sudah baikan lalu berhenti). Tidak heran kalau Ari Wijaya, salah seorang penderita HNP yang mendirikan sebuah grup, menamakan grup-nya “Bersahabat dengan HNP”. Saya memang harus melihat Mr. HNP ini sebagai sahabat saya. Saya harus mulai belajar hidup dengannya dan mengakrabinya. Walaupun tetap yakin bisa sembuh total, saya tetap memposisikan diri sebagai yang “selalu berusaha sembuh” supaya tidak kecewa dan frustrasi.

Tentu saja HNP dapat sembuh total. Caranya dengan operasi. Namun, bagi saya, operasi sangat tinggi biayanya.
dr. Syafruddin

CARA SAYA BERSAHABAT DENGAN HNP
HNP memberikan pengaruh luar biasa dalam hidup saya; fisik dan mental. Secara fisik saya sempat bed-rest berbulan-bulan. Secara mental saya terkena depresi. Menyadari bahwa saya harus hidup berdampingan dengan HNP entah sampai kapan, maka saya mulai menata diri.
Ini adalah beberapa hal yang saya lakukan dalam persahabatan saya dengan HNP:
  1.  Berenang, 3 kali seminggu. Berenang tidak hanya menguatkan otot badan saya saja tapi juga mengurangi stress. Kata orang, air adalah wahana pengurang stress. Manfaat lain, di kolam renang saya berekenalan dengan orang baru. Ini baik untuk kebutuhan saya untuk bersosialisasi. Ujung-ujungnya, mengurangi stress juga.
  2. Pijat Refleksi, ini saya lakukan seminggu sekali. Manfaat yang saya rasakan sama seperti berenang; badan saya terasa ringan, stress saya berkurang, saya bisa tidur nyenyak, makan banyak.
  3. Latihan Pernapasan dan Meditasi Ringan, ini saya lakukan setiap hari di pagi hari. Terus terang, ini adalah latihan yang berat. Sering kali saya “gagal”. Tapi saya berkeras melakukannya setiap pagi. Manfaat yang saya rasakan adalah saya lebih tenang, tidak gampang takut (kalau depresi kambuh, saya mudah ketakutan).
  4. Senam HNP, saya lakukan dua hari sekali. Baru sebulan ini saya mempraktikan senam HNP (saya cari dari internet). Terasa memang saya lebih kuat dalam beraktivitas. Merasakan manfaatnya, saya malah merencanakan mau mengikuti yoga khusus untuk low-back pain. Mudah-mudahan kuat! :D
  5. Menata lingkungan saya, ini lebih ke manfaat secara mental. Saya bukan orang yang pemilih atau super sensitive dalam berteman. Tapi entah kenapa, semenjak terkena depresi, saya kurang kuat menghadapi pemikiran atau pembicaraan negatif cenderung toxic. “Lingkungan” pertama yang saya tata tentu saja diri saya sendiri. Saya berjuang keras menghindari berpikir negatif, berpikir tegang, atau mellow. Saya menghindari bacaan-bacaan atau tontonan-tontonan yang potensial membuat saya cemas atau mellow. Saya tidak kuat menonton tayangan berita tentang kecelakaan dan kematian. Saya juga tidak bisa membaca novel-novel mellow (padahal beberapa di antaranya favorit saya). Sudah hampir sebulan ini saya meng-unfriend beberapa teman di fb. Pemikiran sektarian dan selalu memicu permusuhan yang tertuang dalam status mereka tidak cocok untuk kondisi saya sekarang. Fb saya sekarang “monoton” dan “sepi”. Tapi, saya tidak lagi tegang dan terhenyak dikagetkan oleh status-status negatif. Termasuk juga saya jadi pemilih dalam berteman dengan sesama penderita penyakit. Jangan salah sangka, bukannya saya “berdarah dingin” tidak mau berempati dengan sesama yang sakit. Ada yang mengeluh secara proporsional lalu berupaya mencari cara mengatasinya. Namun, ada juga yang mengeluh tidak ada habisnya. Lalu, bukannya menjalani atau melakukan terapi/pengobatan/atau kondisi sakitnya dengan tenang dan dewasa, malah asyik membicarakan penyakitnya. Seolah-olah yang bersangkutan “senang” dengan kondisi sakitnya karena dengan begitu bisa jadi “selebritis” biarpun sesaat. 
    Sr. Maristella, JMJ
  6. Menikmati Hidup Saran ini sudah sering didengungkan. Namun bagi saya (yang selalu over-thinking dan ribet) alangkah susahnya menikmati hidup, terutama saat saya tidak bisa kemana-mana dan tidak bisa berbuat apa-apa. Saya diingatkan tentang hal ini persis ketika saya berobat ke psikolog. Bukan, bukan oleh psikolognya, tapi oleh seorang kakak asrama di Duri yang secara kebetulan saya temui di depan ruang praktek ibu psikolog. “Satokkin hidup i, ndang pola dipikiri sude!” begitu kata kakak asrama saya yang boru Batak ini. Artinya kira-kira: hidup ini sebentar saja, jadi jangan diberatkan dengan pikiran yang bukan-bukan. “Hidup itu, Dik, senang-susah-senang-susah, lalu mati.” Dia menyarankan saya untuk melakukan apa yang saya suka: berdandan, jalan-jalan, mau makan bakso ya beli bakso, mau karaoke ya pergi ke karaoke, dll. Intinya, nikmati hidup. Saya rasa, saya harus mulai mencoba hidup dengan cara itu. Selama ini, terus terang, pikiran saya tersedot oleh sakit saya. Saya jadi malas lalu takut melakukan apa-apa. Saya malas keluar rumah, malas tampil rapi, takut nyetir, takut jajan (kawatir mengganggu keuangan), dll. Mencerna berulang kali kata-kata kakak asrama saya itu, saya pikir, mungkin itu yang seharusnya saya lakukan. Kerjakan apa yang ingin saya kerjakan dan harus mulai melatih diri saya untuk lebih rileks, tidak over-thinking.
  7.  Bersyukur, Bersyukur, Bersyukur. Banyak hal “sepele” sehari-hari yang tidak pernah saya syukuri. Saya bersyukur sudah bisa lebih mandiri (mengambil makan-minum sendiri sampai menyetir sendiri, dll). Saya bersyukur masih bisa berobat, baik kedokteran modern maupun alternatif. Saya bersyukur masih bisa “bersenang-senang” (jajan bakso/rujak/gado-gado, atau jalan-jalan ke Alam Mayang, atau main gitar sambil bernyanyi, dll). Saya bersyukur dipertemukan dengan dokter-dokter yang baik yang memberikan saran profesionalnya dengan luar biasa bertanggung jawab (harusnya saya punya tulisan tersendiri tentang ini). Dari awal sakit sampai sekarang saya dipertemukan dengan dokter yang baik: dr. Syafruddin, dr. Elly Anggraini Ang, dr. Juwanto. Saya bersyukur dipertemukan dengan Suster Maristella, JMJ yang kata-katanya meneguhkan dan menguatkan iman saya yang ambrug berkeping-keping (hasyahh… lebay ya…) Saya bersyukur atas orang-orang baik yang ada di sekeliling saya. Entah bagaimana saya kalau yang di dekat saya bukan orang-orang yang sekarang ini. Mereka merawat saya dengan luar biasa sabar dan tetap ceria. Saya juga bersyukur atas para sahabat dari dunia maya yang terus menerus memberi support. Menghitung begitu banyak berkat itu membuat saya merasa “kaya” J
dr. Elly Anggraini Ang


MASIH JADI PENULIS?
Daftar kegiatan di atas tidak menunjukkan kegiatan menulis saya. Apa saya masih jadi penulis?
Masih dong!

Hampir dua tahun saya tidak menulis apa-apa. Saya anggap ini fase turun mesin saja. Saya memang harus istirahat. Mudah-mudahan pelan-pelan saya bisa kembali seperti dulu lagi: rutin menulis setiap hari dan menerbitkan buku. Tuhan yang Maha Baik pasti tidak akan membiarkan saya tidak mengerjakan kegiatan yang saya sukai itu.

***
Pembatuan, 25 Mei 2015

@agnes_bemoe

Baca juga: Berobat ke Jakarta 

Monday 4 May 2015

Izinkan Aku Menciummu dengan Sisa Purnama Semalam

May 04, 2015 0 Comments

Aku terjaga waktu bulan masih bergelayut manis di bahu malam. Pucuk-pucuk bambu meniupkan nyanyian di telingaku:

Akan tiba waktunya angin kemarau datang kembali, menderu lembut menemui sabana. Menjemputnya menembus malam-malam berhujan ribuan bintang. Membelainya dengan nyanyi paling mesra. Membisikkan rindu terdalam, persis di jantung buah hatinya.

"Dan engkau tidak akan sendiri lagi,"
"Engkau tidak pernah akan sendiri lagi,"
Rindu tunai sudah.
Rindu menjelma purnama....


Kutunggu waktunya engkau akan datang kembali. Menjemputku pada malam-malam berhujan ribuan bintang. Kita akan saling membisikkan rindu tertahan. Membentangkan satu-satunya semesta yang kita tahu: kau dan aku.

Sampai saat itu tiba
Aku akan selalu mengenangmu dengan penuh cinta

Dan kini, izinkan aku menciummu dengan sisa purnama semalam

Pembatuan, 5 Mei 2015
@agnes_bemoe



Sunday 3 May 2015

Membangun Kecerdasan Emosional Anak Melalui Cerita

May 03, 2015 0 Comments
Review Buku Cerita Anak
Membangun Kecerdasan Emosional Anak melalui Cerita


Judul : Bo dan Kawan-kawan di Peternakan Kakek Ars
Penulis : Agnes Bemoe
Bahasa : Indonesia dan Inggris
Penerbit         : Bhuana Ilmu Populer (BIP) kelompok Gramedia
Tahun : 2014
Kota : Jakarta




Kecerdasan emosional bukan monopoli orang dewasa. Anak-anak, bahkan sejak mereka usia dini perlu dilatih memiliki ketahanan emosional ketika menghadapi situasi sulit. Begitulah kira-kira pesan yang saya tangkap dari kumpulan cerita Bo dan Kawan-kawan (BDKK) di Peternakan Kakek Ars.

Buku cerita anak BDKK yang ditulis oleh Agnes Bemoe (AB) mengisahkan delapan cerita menarik tentang persahabatan yang terjalin antara Bo Sapi, Penny Kutilang, Titi-Tata-Teti Bebek, Pepe Domba, Lily Ayam, Obi Anjing Gembala, Angelita Itik, dll., di sebuah peternakan milik Kakek Ars. Bagaimana keseruan kisah-kisah mereka menghadapi persaingan, kecurangan teman, sikap mementingkan diri sendiri, dan rasa rendah diri karena memiliki kekurangan, dijalin melalui pribadi-pribadi yang saling berinteraksi. Penulisnya (AB) menggambarkan tokoh-tokoh dalam ceritanya melalui sekumpulan hewan hewan lucu. Karakter hewan menurut AB dianggap lebih menarik (cute) buat anak-anak dan membuat anak-anak tidak merasa terlalu digurui. Namun demikian, anak-anak tetap bisa mengidentifikasikan diri mereka dengan karakter-karakter itu, tulis Agnes dalam pesannya.

Kisah pertama diawali dengan Penny Kutilang yang murung. Penny sejak lahir sudah tidak bisa melihat (buta). Waktu Penny diajak main oleh Bo Sapi, Penny tidak mau. Bo tahu bahwa Penny memiliki suara yang merdu. Lalu ia mengajak Penny bernyanyi dan mendahului menyenandungkan lagu-lagu. Awalnya Penny tidak peduli. Mungkin saja burung kecil masih sedih. Tetapi karena Bo tak kenal lelah mengajaknya bernyanyi, akahirnya Penny mau juga bernyanyi. Rupanya nyayian mereka berdua didengar oleh kawan-kawan hewan yang lain. Mereka memuji suara merdu si burung mungil Penny, Suaramu bagus ....” (hal. 12). Kawan-kawannya ingin diajari bernyanyi, dan Penny dengan senang hati mau mengajari mereka menyanyi.

Hari itu di peternakan Kakek Ars, Bo, Penny dan teman-teman bergembira. Meskipun Penny tidak bisa melihat, tapi memiliki suara yang merdu. Bo memang bijaksana. Ia mau mengajak Penny dan kawan-kawan melupakan kekurangan mereka. Ini adalah pesan yang bagus untuk memotivasi anak-anak suaya lebih mengembangkan talenta mereka masing-masing ketimbang memikirkan kekurangannya. Selain itu, sosok Bo yang pantang menyerah juga menjadi pendidikan karakter yang baik bagi anak-anak kita.

Ada lagi cerita tentang si Obi Anjing Gembala yang dicurangi Frans, temannya yang membuat surat palsu utuk Kakek Ars atas nama dirinya. Frans menulis bahwa ia tidak bisa mengikuti pemilihan regu anjing penjaga karena kakinya sakit (hal. 26). Bagaimana sikap Obi yang dicurangi? Dia memang marah tapi tidak membalas kecurangan temannya. Ia belajar menahan diri atas nasihat si Bo. Tak  ada gunanya marah-marah ketika kita menerima perlakuan buruk. Suatu saat kebenaran akan terungkap, hibur Bo (hal. 31). Akhirnya dia dipakai kembali oleh Kakek Ars sebagai anjing penjaga setelah Frans tidak sanggup menggembalakan domba-domba milik Kakes Ars.

Anak-anak yang secara fisik kurang menarik, boleh dihibur melalui kisah persahabatan Angelina dan Bo. Angelina adalah itik yang merasa dirinya kurang cantik dan gendut, sehingga pada suatu malam ia hendak pergi dari peternakan Kakes Ars. Angelina sudah tak tahan karena Loretta Angsa dan teman-temannya selalu mengejek Angelina jelek dan gendut. Untunglah Bo yang baik hati dan mau berasahabat dengan siapa saja, melihat Angleina dan mengajaknya duduk, lalu berbicara dari hati ke hati. Bo mengatakan bahwa tidak ada salahnya kalau Angelina gendut, apalagi dia itik yang baik hati. Tetapi Angelina masih belum percaya. Ia berdalih bahwa menjadi anak gendut dan jelek itu tidak enak, seperti yang kerap dibilang oleh Loretta. Lalu Bo menyanggah, Mengapa kamu begitu percaya pada perkataan Loretta?” Bo lantas mengibur Angelina dengan sebuah cerita rekaan; tentang Vicky Kelinci yang tidak bisa mengerjakan PR Menulis. Sahabatnya yang bernama Angelita membantu Vicky sampai bisa bisa menulis. Bukan hanya Vicky, Angelita juga membantu Ari dan Ira Ayam, membantu kakek Ars, dan yang lain sehinga banyak sekali yang suka pada Anglita. Tapi Angelita termakan oleh pendapat teman-teman yang tidak menyukainya daripada yang menyayanginya (hal. 132-134).

Kisah rekaan yang disampaikan Bo ternyata menyadarkan Angelina itik sehingga ia tidak jadi pergi. Bo yang baik hati dan bijaksana berhasil membangun sikap peraya diri sahabatnya itu.

Pesan penting dari cerita ini adalah memupuk perilaku yang baik itu lebih bermanfaat daripada memikrkan penampilan yang cantik (hal. 137).



Aman dari Unsur Kekerasan
Saya bukan pembaca atau penyuka buku (cerita) anak. Apalagi penulisnya(. Saya ‘melihat’ buku BDKK dari sudut pandang pembaca yang --meski tidak berada dalam dunia anak-anak-- memberi penghargaan yang sebesar-besarnya kepada para bapak dan ibu, para guru, pengasuh, dan pendamping anak. Sebelumnya banyak hal yang tidak saya pahami tentang dunia anak. Bahasa yang sederhana namun kaya dengan visualisasi dan tidak perlu pemaparan detil adalah beberapa hal baru yang saya pelajari di sini.

Kumpulan cerita Bo dan Kawan-kawan memberikan banyak pesan moral yang baik. Dikemas dalam suatu bangunan cerita dengan tokoh sentral si Bo Sapi dan tokoh-tokoh pendampingnya (Kakek Ars dan sekumpulan hewan) di sebuah peternakan. Agnes menulis BDKK untuk pembaca anak-anak usia 7-12 tahun. Melalui cerita ini mereka dilatih memiliki keberanian, kejujuran, kepatuhan, sikap pantang menyerah, dan karakter-karakter positif lainnya sebagaimana yang saya tulis di bagian awal.

Satu lagi yang tidak kalah pentingnya adalah, tidak ada unsur kekerasan dalam isi cerita. Saya menemukan beberapa buku cerita anak yang meskipun dipersonifikasi dari tokoh binatangtetapi mengadopsi unsur kekerasan. Misalnya pertarungan fisik.

Dari sisi kemasan, buku ini cukup mewah; berwarna dan menggunakan kertas kualitas bagus. Apakah buku BDKK ditujukan kepada anak-anak dari kalangan kelas menengah ke atas? Agnes Bemoe (AB) menjelaskan bahwa BDKK tidak diarahkan kepada  kelompok masyarakat tertentu. Sebab, keberadaan buku-buku di Indonesia, terlepas dari kemasan, sudah dianggap barang sekunder dan mewah. Di pihak lain menurut Agnes, biasanya golongan masyarakat kelas menengah ke ataslah yang lebih dulu punya kesadaran untuk membaca dan membeli buku. Kemasan dibuat bagus untuk menarik minat pembaca karena anak-anak masih ada dalam tahap visual.

Daya tahan dan konsentrasi anak yang terbatas mungkin hanya sanggup kalau anak membaca satu judul/cerita sehari. Jadi, BDKK bisa dinikmati oleh anak-anak untuk satu minggu pelajaran. Di setiap akhir cerita ada lembar aktivitas yang bermanfaat melatih kecerdasan kogntif anak.


Membudayakan Mentoring Penulis Cerita Anak
Ada satu nama yang disebut oleh AB pada halaman depan bagian dalam sesudah lembar judul: Dian Kristianti. Dian adalah sesama penulis cerita anak yang pernah menjadi mentor AB. Saya takjub karena dunia mentoring juga meluas di kalangan penulis cerita anak. Semoga mentoring pencipta karya untuk anak semakin membudaya. Sehingga tersedia bacaan, tontonan, dan lagu-lagu bermutu untuk anak-anak di setiap generasinya. Kelak anak-anak akan kembali ke dunianya, tidak lagi ditawan oleh karya-karya orang dewasa lewat berbagai tayangan di media-media populer. (erna manurung).



Erna Manurung
Pemerhati Masalah Sosial
Tinggal di Kendari