Follow Us @agnes_bemoe

Thursday 22 July 2010

PERANAN KEPALA SEKOLAH DALAM AKREDITASI SEKOLAH

July 22, 2010 5 Comments
PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM AKREDITASI SEKOLAH

Saya tergolong orang yang apatis dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, termasuk Akreditasi Sekolah. Apalagi, saya pernah mengalami sendiri, ketika sekolah yang saya pimpin waktu itu (tahun 2000) diakreditasi. Sekolah saya memang mendapat predikat DISAMAKAN (yang pada saat itu merupakan jenjang tertinggi), sehinga sebagai sebuah sekolah baru, bisa langsung mengadakan Ujian Akhir Nasional sendiri. Namun, mendapat prestasi bagus tidak menghalangi pandangan saya tentang beberapa hal yang perlu dikritisi. Menurut saya, proses akreditasi sekolah saat itu tidak mencerminkan bagaimana dinamika sekolah yang sesungguhnya. Saat itu sebagian besar butir pemeriksaan adalah administrasi Kepala Sekolah. Saya merasa, sekolah jauh lebih kompleks daripada sekedar administrasi kepala sekolah.

AKREDITASI SEKOLAH, YANG DULU DAN SEKARANG
Tahun 2010 ini kebetulan sekolah saya tempat saya bekerja sekarang*) akan menjalani Akreditasi Sekolah. Saya berangkat dengan pemikiran yang sama, bahwa akreditasi ini pasti tidak jauh berbeda dengan yang pernah saya alami dulu. Namun, pendapat saya berubah ketika saya mulai mempelajari petunjuk teknis pelaksanaan Akreditasi Sekolah. Terdapat beberapa perubahan yang mendasar dalam akreditasi sekolah yang sekarang ini.
Perubahan yang paling terasa mengejutkan buat saya adalah pada peranan kepala sekolah. Pada akreditasi sebelumnya kepala sekolah memiliki peran sentral karena hampir sebagian besar yang dinilai adalah administrasi yang dikerjakan oleh kepala sekolah. Bila sebuah sekolah memiliki kepala sekolah yang menguasai administrasi dan kemudian tertib menjalankan administrasi itu, maka bisa dipastikan sekolah itu akan mendapat nilai yang baik. Pada akreditasi yang sekarang ini titik berat peranan bergeser dari kepala sekolah ke para wakil kepala sekolah dan guru.
Pada akreditasi yang sekarang ini sekolah harus bisa memenuhi 8 standar, yakni Standar Isi, Standar Proses, Standar Pengelolaan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pembiayaan, Standar Sarana dan Prasarana, dan Standar Penilaian. Delapan standar itu sama sekali bukan kerja tunggal kepala sekolah. Dari ke-delapan standar itu, lima diantaranya adalah pekerjaan yang banyak melibatkan guru di dalamnya. Standar-standar itu adalah Standar Isi, Standar Proses, Standar Pengelolaan, Standar Kompetensi Lulusan, dan Standar Penilaian. Sedangkan tiga standar yang lain adalah tanggung jawab kepala sekolah dan para wakil, yang pada porsi tertentu juga membutuhkan keterlibatan guru.
Perbedaan berikutnya adalah terletak pada cara menjawab kuesioner. Pada akreditasi sebelumnya pertanyaan diajawab dengan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ oleh kepala sekolah, ataupun dengan membuat centang di bawah kolom ‘ada’ atau ‘tidak ada’. Sedangkan pada akreditasi yang sekarang sekolah tidak cukup hanya menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ saja. Sekolah akan dinilai menurut jenjang A, B, C, D, dan E untuk setiap butir pertanyaan. Setiap jenjang mewakili rentang sekor tertentu. Repotnya, sekolah harus melengkapi jawaban tersebut dengan bukti fisik yang sah dan berterima. Dari jawaban yang disertai dengan bukti fisik itulah sekolah kemudian akan dinilai. Perlu diketahui bahwa bukti fisik ini berupa sekian tumpuk (bahkan gunung) berkas yang tidak mungkin disiapkan oleh kepala sekolah sendirian, apalagi dalam waktu singkat.
Selanjutnya yang saya rasakan berbeda adalah pada pembimbingan dari Dinas Pendidikan setempat kepada sekolah. Tahun 2000 dulu, waktu saya mengalami akreditasi sekolah, saya seperti orang buta dilepaskan di tengah kota. Benar-benar bingung karena tidak arahan khusus. Dengan demikian saya harus banyak bertanya, baik pada sekolah induk, maupun pada bapak/ibu kepala sekolah se-yayasan yang sudah menjalani akreditasi. Seingat saya, memang sama sekali tidak ada pembimbingan dari Dinas Pendidikan setempat dalam proses akreditasi itu, walaupun sekolah saya menjalin hubungan yang baik dengan Dinas Pendidikan setempat. Namun, hal yang berbeda saya temui sekarang. Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru ternyata sangat aktif dalam memberikan bimbingan melalui Pengawas Sekolah. Asal sekolah mau terbuka dan menjalin hubungan yang baik dengan Dinas Pendidikan setempat sekolah akan terbantu dalam “mengalahkan” akreditasi yang memang berat ini.
Satu hal lagi yang berbeda adalah adanya keharusan menyiapkan bukti fisik, wawancara, dan visitasi kelas. Bila pada akreditasi sebelumnya, asesor hanya akan menanyai kepala sekolah, dengan sedikit meminta bukti, sekarang tidak lagi. Asesor akan meminta bukti fisik untuk semua kegiatan yang disebutkan, bahkan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya. Bukti fisik tidak lagi hanya berupa papan data, namun juga sampai pada foto-foto kegiatan/barang. Asesor juga akan melakukan wawancara langsung dengan guru ataupun pihak-pihak lain yang diperlukan, selain juga melakukan visitasi kelas. Dengan kata lain, dalam proses akreditasi sekolah yang sekarang ini kepala sekolah tidak lagi menjadi sumber informasi satu-satunya bagi para asesor.

PERANAN KEPALA SEKOLAH
Apakah berarti kepala sekolah berkurang tugas dan peranannya dalam proses akreditasi yang sekarang ini? Tidak sama sekali. Sebaliknya, kepala sekolah pada saat ini harus membuktikan kemampauannya yang lain, yakni kemampuan kepemimpinannya dalam mengkoordinasikan kerja yang cukup kompleks dan membutuhkan partisipasi segenap warga sekolah ini.
Kepala sekolah dituntut untuk memiliki cukup kecerdasan intelektual sehingga mampu bekerja mulai dari tataran visi sampai pada implementasi. Kedelapan standar yang ditetapkan itu benar-benar berangkat dari hulu ke hilir, dari tataran perencanaan sampai pada pelaksanaan. Akan sangat baik sekali bagi sekolah itu, bila memiliki kepala sekolah yang mempunyai visi dan menerjemahkan visinya menjadi program kerja, dan kemudian mampu mengajak segenap warga sekolah untuk bersama-sama mengimplementasikan program kerja. Kepala sekolah juga dituntut memiliki keceradasan emosional menghadapi tekanan akreditasi sekolah yang tidak ringan. Perlu disadari bahwa persiapan akreditasi sekolah tidak hanya meliputi persiapan fisik, namun yang lebih penting adalah proses pengelolaan manusia yang bekerja di dalamnya.
Selain hal-hal yang sangat fundamental di atas, saya menyarankan agar kepala sekolah memperhatikan beberapa hal “kecil” berikut ini:
1. Ke dalam: Komunikasi-Kerjasama-Koordinasi
Akreditasi sekolah merupakan kerja yang tidak ringan, yang harus ditanggung oleh segenap warga sekolah. Akreditasi sekolah bukan pekerjaan satu atau beberapa orang. Sehingga, semua pihak harus berpartisipasi secara aktif bahkan proaktif. Satu saja pihak tidak mau terlibat, maka rusaklah seluruh kerja berat semua warga sekolah. Ibaratnya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Untuk itu sangat dibutuhkan kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, dan berkoordinasi.
Asumsinya tentu harus ada atmosfer yang mendukung terbentuknya komunikasi yang sehat, kerja sama yang penuh semangat, dan koordinasi yang cepat serta tepat. Dan ujung-ujungnya, di sinilah peran kepala sekolah sangat menentukan. Kepala sekolah yang hanya terbiasa memerintah (apalagi dengan cara-cara dan kata-kata yang kasar) pasti akan langsung mematikan atmosfer ini. Kepala sekolah yang terbiasa menjadi boneka manis bagi instusi di atasnya pasti tidak terlatih untuk mengambil insiatif yang cepat dan tepat. Kepala sekolah yang tidak punya wibawa pada wakil kepala sekolah atau guru pasti tidak akan mampu melakukan koordinasi dan komunikasi yang sehat. Ini akan sangat mengancam proses persiapan akreditasi sekolah.
Kerja menghadapi akreditasi bukan hanya kerja menulis di atas kertas, namun, seperti yang saya uraikan di atas, merupakan kerja berat dari hulu sampai hilir. Diakui atau tidak, kepala sekolah memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam memompa semangat anak buahnya dalam menghadapi kerja yang tidak ringan ini. Di saat seperti ini kepala sekolah benar-benar harus ing madya mangun karsa. Harus bisa memahami benar bagaimana membangun dan memelihara kerja sama dalam kelompok. Kemampuan kepemimpinan kepala sekolah akan sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Saya sendiri menemukan buktinya pada situasi di sekitar saya. Sebuah SMA di kota Pekanbaru pada akreditasi terakhir hanya memperoleh nilai B. Padahal sekolah itu tergolong sekolah favorit. Tahun kemarin, ketika kepala sekolah berganti, dan kembali diadakan akreditasi, SMA ini bisa mendapatkan predikat A. Gedung tetap sama, guru-guru juga tidak jauh berbeda, namun, pergantian kepala sekolah ternyata memberi sumbangan yang signifikan bagi prestasi sekolah tersebut.

2. Keluar: Jejaring
Beberapa yayasan dan sekolah saya ketahui sangat alergi berhubungan dengan pihak luar, seperti Dinas Pendidikan setempat. Saya juga bukan orang yang setuju bila Dinas Pendidikan terlalu mendikte kebijakannya pada yayasan/sekolah, namun di lain pihak, menarik diri sama sekali juga bukan merupakan tindakan bijaksana. Yang sering saya temui adalah yayasan/sekolah yang sama sekali tidak mau menjalin hubungan dengan Dinas Pendidikan setempat. Salah satu akibatnya adalah pada proses Akreditasi Sekolah.
Sejauh yang saya alami, informasi-informasi tentang Akreditasi Sekolah banyak diperoleh dari Dinas Pendidikan setempat. Bila kita mau menjalin silaturahmi, maka tidak hanya informasi saja, melainkan sampai kepada edukasi/pembimbingan yang sistematis dan mendalam tentang akreditasi akan kita dapatkan.
Akan sangat bagus juga kalau sekolah menjalin hubungan dengan Badan Akreditasi Nasional setempat. Walaupun mungkin tidak semendetail dari Dinas Pendidikan, namun informasi yang berguna tetap didapat.
Dalam hal ini, tentu saja sosok yang diharapkan mampu menjalin hubungan dengan banyak pihak adalah kepala sekolah. Kepala sekolah yang luwes dan pandai bergaul akan memberikan poin tambahan bagi sekolah. Sebaliknya kepala sekolah yang kuper malah akan membuat sekolahnya menjadi seperti katak dalam tempurung.

Proses akreditasi yang terkini ternyata malah menuntut peran yang lebih dari seorang kepala sekolah, tidak hanya sebagai administrator, tetapi lebih jauh lagi sebagai inspirator, motivator, fasilitator. Oleh karenanya, perlu sangat hati-hati dalam penunjukkan kepala sekolah. Kalau kepala sekolah tersebut dipilih oleh institusi yang lebih di atasnya, maka institusi ini harus benar-benar serius dalam penunjukkan seorang kepala sekolah. Akan sangat beresiko bagi segenap warga sekolah kalau kepala sekolah ditunjuk bukan atas dasar kompetensi dan prestasi. Jikalau memang mempedulikan kelangsungan hidup sekolah, institusi di atasnya pasti akan mengalahkan pertimbangan ego, kedekatan, nepotisme dan lain sebagainya di atas pertimbangan prestasi dan kompetensi dalam penunjukkan kepala sekolah.
Berkaitan dengan akreditasi,saya teringat kata-kata Drs. Alman, Bapak Pembina Sekolah yang membimbing kami dalam persiapan akreditasi sekolah: “Bila kita tidak serius, maka empat tahun ke depan kita akan menanggung malu.” Yang saya tangkap, keseriusan tentu juga termasuk dalam hal penunjukkan kepala sekolah. (db)

Pekanbaru, 25 Juni 2010
Agnes Bemoe

*) Artikel ini ditulis ketika saya MASIH menjadi guru (Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum/Ketua Tim Akreditasi) pada SMP Santa Maria Pekanbaru. Sekarang, ketika saya mengunggahnya, saya TIDAK LAGI menjadi guru (Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum/Ketua Tim Akreditasi) pada SMP Santa Maria Pekanbaru. Dengan demikian pernyataan di artikel di atas yang menyebutkan bahwa “…sekolah saya tempat saya bekerja sekarang…” adalah relevan bagi situasi pada saat saya MULAI menuliskan artikel ini. (Agnes Bemoe)

Tuesday 6 July 2010

Classroom, Today_GOOD BYE

July 06, 2010 4 Comments
At last, I have to say “Good Bye” to all my students (and all my ex-students). Although the sentence I wrote prior was such a simple sentence, it really took me days to write it. Hard for me to say good bye to thing I live for, for the last seventeen years.

The most interesting in being your teacher was I learnt a lot, from you, my students. So, thanks for being the “real teacher” of my life. God bless you all. You’re always be my students in my heart.

Pekanbaru, Jully 7th 2010