Follow Us @agnes_bemoe

Thursday 22 April 2010

MEMBANGUN JEJARING DALAM DUNIA PENDIDIKAN

April 22, 2010 0 Comments
LATAR BELAKANG:
Perubahan merupakan hal yang tak bisa dihindari. Ini sebenarnya sudah diramalkan jauh-jauh hari sebelum millennium ini berganti. Tahun 70-an Alfvin Tofler mengingatkan kita semua bahwa akan terjadi perubahan-perubahan besar yang akan mempengaruhi dan mewarnai perobahan pola dan tata cara kehidupan manusia akibat kemajuan teknologi. Tahun 80-an John Naisbitt dan istrinya Patricia Aburdene mengingatkan bahwa dunia sedang berubah dari “masyarakat industri” ke “masyarakat informasi”. Oleh karenanya keduanya menganjurkan agar kita melakukan pembentukan kembali perusahaan agar dapat hidup sesuai dengan lingkungan dan zaman informasi.

Perubahan di atas memberikan sejumlah besar peluang dan juga bersamaan dengan itu ancaman persaingan yang lebih tajam. Dalam situasi ini, menurut Alvin Tofler, hanya perusahaan atau organisasi yang mampu beradaptasi (adaptive organization) saja yang akan “survive”. Ciri khas pola persaingan saat ini adalah: 1) Cepat dan tepat dalam mengambil keputusan dan kebijakan, 2) Perang kualitas (war of quality).
Oleh karenanya strategi manajemen pun harus diarahkan agar mampu menciptakan hasil yang mempunyai “competitive advantages” (nilai atau manfaat lebih dalam persaingan)

PEMBENTUKAN NETWORK ORGANIZATION
Pembentukan network organization merupakan salah satu jawaban dari kebutuhan organisasi untuk berubah sesuai tuntutan jaman. Secara mendasar network organization meliputi network internal dan network eksternal.

Network eksternal memiliki beberapa bentuk kerja sama, seperti network proyek, perjanjian lisensi dan royalty, franchising, kerja sama dengan supplier, vendor, maupun konsultan, dan bentuk-bentuk joint venture lainnya. Sedangankan Network internal bercirikan “flat” dan mengijinkan adanya keterbukaan. Network internal dapat dibentuk dalam organisasi yang tidak terlalu terpaku pada hirarki. Selain itu, strategi yang mendasari terbentuknya struktur tersebut haruslah fleksibel dan memiliki suatu contigency plans tersendiri untuk mengantisipasi ketidakpastian masa depan.

Internal network yang berkualitas membutuhkan komunikasi, baik vertical, horizontal, dan lateral, yang efektif dan efisien. Selain itu, untuk menjawab tantangan masa depan, organisasi harus memiliki visi yang jelas. Dalam hal ini kepemimpinan sangat diperlukan, terutama dalam mendistribusikan visi organisasi, menjalankan fungsi sebagai agen perubahan, dan sebagai service provider.

DUNIA PENDIDIKAN DALAM TANTANGAN
Apa yang dihadapi oleh dunia bisnis berlaku juga di dunia pendidikan melalui lembaga pendidikan. Pendidikan juga dituntut sanggup bersaing di arena yang tidak ramah, penuh tantangan dan tuntutan.
Ada 3 tuntutan dunia pendidikan:
1) Kualitas,
2) Harga,
3) Pelayanan ramah, cepat, dan akurat.

Dalam dunia yang semakin mengglobal, muncul fenomena persaingan yang semakin global. Bersamaan dengan itu muncul juga kerja sama atau aliansi strategis yang mengglobal juga. Kerja sama bertujuan untuk memperkecil resiko kegagalan.

Hammel dan Prabalad (1994)berkata, “Dampak terpenting dari terciptanya perdagangan bebas dunia (baca over-competitive) adalah semakin globalnya pasar barang dan jasa. Dalam pasar global, tidak hanya persaingan menjadi semakin ketat, tetapi juga ketidakpastian dan kompleksitas semakin meningkat. Dengan demikian resiko kegagalan perusahaan di pasar global pun akan meningkat pula”. Penilaian ini juga ditujukan kepada organisasi/institusi pendidikan.

PENGERTIAN “NETWORK” ATAU “NETWORKING”
Definisi “network” dalam sosiologi menurut Subandono, dalam tulisannya “Network Organization: Kajian Aspek Sumber Daya Manusia” (1995:34), adalah kaitan (linkage) antara individu dengan individu, atau individu dengan kelompok yang berkomunikasi (communicate), berinteraksi (interact), berbicara satu sama lain (speak), berbagi satu sama lain tentang ide-ide (sharing ideals), informasi (informations) atau sumber daya (resources). Sedangkan pengertian mengembangkan jejaring (networking) menurut Dianne Darling dalam bukunya “Networking for Career Success” (seperti dikutip Human Capital, 2006:46), adalah seni membangun dan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan.

Yang paling penting adalah bahwa dalam proses menuju dan menciptakan “network” tersebut hendaknya ada komunikasi yang menciptakan saling keterkaitan (linkage) antara satu dengan yang lainnya atau dengan kelompoknya (cluster) atau antar kelompok. Jadi, yang paling menentukan dalam “networking environment” adalah “communication”. Dengan kata lain, berkomunikasi (communicating) atau lebih luasnya lagi berinteraksi (inter-acting) adalah kunci keberhasilan dan lancarnya networking tersebut.

Reputasi dan kepercayaan sangat penting dalam jejaring. Reputasi dibangun melalui sikap efektif, bekerja baik, ketulusan, dan tahu menghormati orang lain. Eksekutif (pimpinan) harus sadar akan pentingnya komunikasi dan interaksi. Sadar bahwa, komunikasi dan interaksi tersebut tidaklah tumbuh dan langsung berjalan begitu saja. Merekalah yang bertanggung jawab untuk merancang (design) struktur organisasi sedemikian rupa agar memberikan jalan dan kesmpatan untuk berkomunikasi (way and opportunity to communicate).

NETWORK DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Network dalam dunia pendidikan juga dapat dikaji dari segi internal dan eksternal. Dari segi internal misalnya hubungan
(a) antar yayasan dalam suatu majelis,
(b) antar sekolah dalam satu yayasan,
(c) antar warga dalam satu sekolah.

Sedangkan network eksternal misalnya:
(a) sekolah/yayasan swasta dengan Pemerintah/Dinas Pendidikan,
(b) sekolah/yayasan swasta dengan sekolah negeri/swasta lainnya,
(c) sekolah/yayasan swasta dengan perguruan tinggi, baik negeri atau swasta,
(d) sekolah/yayasan swasta dengan media massa/cetak,
(e) sekolah/yayasan dengan rumah sakit/klinik, dengan kepolisian, dengan komunitas RT, dengan alumni, dengan penerbit, dsb.

Pertimbangan dasar atau motivasi seseorang atau organisasi membangun jejaring adalah: kesadaran akan kebutuhan kerja sama atau dengan kata lain kesadaran akan kekurangan pribadi dalam pencapaian tujuan sendiri atau bersama. Apabila proses pengembangan baik, maka akan menghasilkan sinergitas organisasi.

BAGAIMANA MEMBANGUN JEJARING
Untuk memulainya:
1. Mulailah membuat daftar teman, kolega kerja, anggota keluarga.
2. Mulailah membangun komunikasi
3. Yang paling penting: bangunlah kepercayaan.
4. Kartu nama, nomor telpon/HP, website, dll. adalah sarananya
5. Jejaring dapat juga dibangun dengan orang yang sama sekali tidak dikenal atau tidak dikenal, misalnya ketika bertemu di pesawat, bis, bandara, dst. Ketika anda berkomunikasi, anda telah menyelesaikan salah satu langkah penting dalam membangun jejaring.

Berikut cara membangun jejaring menurut Human Capital (2006:46-47):
1. Tetapkan tujuan.
a. Tetapkan tujuan penting untuk mengetahui apa yang ingin diraih
b. Buatlah tujuan dengan SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, Timed)
c. Terbuka terhadap peluang yang muncul tiba-tiba yang bukan merupakan fokus rencana atau tujuan. Yang penting bangunlah jejaring dengan strategi yang disengaja atau tidak

2. Pengelompokan yang spesifik: mulailah mengelompokkan mereka secara spesifik, misalnya jejaring tetangga, alumni, jejaring bisnis, dst. Gali informasi lebih jauh melalui mereka. Dalam menyusun data jejaring perhatikan 3 hal berikut:
a. Bersikap bijak dalam 3 hal: politik, agama, dan gender. Berhati-hati, dan hindari sikap mengasingkan orang.
b. Fokus pada kualitas.
c. Peliharalah informasi jejaring agar tetap terorganisasi dengan baik, khususnya yang paling mutakhir.

3. Evaluasi kontak anda. Berikut adalah beberapa kriteria penialain kontak anda:
a. Seberapa mudah orang tersebut dihubungi?
b. Akankah ia menelpon balik dengan segera (dalam tempo 48 jam)?
c. Apakah saya diperlakukan dengan hormat, sopan; apakah saya merasa nyaman?
d. Apakah yang saya peroleh darinya: umpan balik yang sangat berharga atau kritikan?
e. Apakah pengetahuan dan keahliannya berguna untuk saya?
f. Apakah ia mempunyai akses terhadap orang lain yang bisa membantu saya?
g. Apakah yang dapat saya berikan kembali? Adakah seseorang yang bisa saya kenalkan dengannya?

4. Ada 3 cara mengelola orang dalam jejaring yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan nilai Anda:
a. Berpikir realistis tentang kualitas kontak anda: fokus kepedulian terhadap hubungan strategik dan terbatas pada yang bagus saja lebih baik daripada orang dalam basis data yang besar namun tidak memberikan kontribusi positif.
b. Lepaskan hubungan satu arah: kita mengetahui siapa saja orang yang menghubungi kita, kapan merasa perlu saja. Tetapkan batas toleransi Anda terhadap orang-orang ini dan berapa lama orang ini perlu dipertahankan.
c. Tangani hubungan tidak sehat dengan hati-hati. Berkomunikasilah secara positif dan produktif dengan mereka, dan batasi pengaruh negatifnya, atau hanya pada saat benar-benar dibutuhkan.

Keberhasilan suatu organisasi menurut Wibowo S.S. dalam tulisannya “Tiga Pilihan Orientasi Menuju Efektivitas Komunikasi Organisasi” (1996:30), akan menciptakan peristiwa komunikasi yang efektif, termasuk di sini peran besar jejaring, akan membawa dampak pada kinerja dan performa organisasi itu secara keseluruhan dalam memberikan manfaat dan kepuasan baik menyangkut publik internal (shareholder) maupun publik eksternal (stakeholder). Bila ditanya: Untuk kepentingan siapa sekolah membangun jejaring? Jawaban yang tepat dan spesifik untuk itu adalah untuk kemajuan murid kita.


Pekanbaru, 23 April 2010
Disarikan dari Tulisan dengan judul yang sama oleh Patrice, Pemandu Program Pelatihan & Pengembangan SDM pada Yayasan Pendidikan Kalimantan (Yayasan Kongregasi Murid-Murid Tuhan) Pontianak.
Sumber: Educare, Nomor 3/IV/Juni 2007

WASPADA BURNOUT

April 22, 2010 3 Comments

Mungkin saya termasuk orang yang terlambat mengenal kata “burnout” ini. Saya membacanya pertama kali dari Kompas Minggu, beberapa bulan yang lalu. Karena masih penasaran, saya gugling istilah ini di internet. Yang membuat terkejut adalah ketika saya mendapati bahwa ternyata profesi guru merupakan salah satu profesi yang rentan dengan gejala ini! Berikut dalam tulisan ini saya mencoba menyarikan kembali tulisan tentang burnout tersebut.

Burnout adalah istilah psikologis untuk menami suatu kondisi kelelahan jangka panjang dan disertai dengan berkurangnya minat. Burnout merupakan suatu respon terhadap tekanan pekerjaan yang membuat seseorang merasa tidak berdaya, putus asa, lelah, letih, dan frustrasi. Penyebabnya ditengarai adalah waktu bekerja yang ekstra panjang, beban tugas yang melampaui kapasitas individual, serta kurangnya waktu beristirahat yang berkualitas.

GEJALA
Burnout tidak terjadi dalam semalam. Oleh karenanya perlu dikenali gejala-gejalanya. Berikut ini adalah beberapa tanda bahwa seseorang terkena burnout:
  1. Rekan kerja terasa mengganggu. Seseorang yang terkena burnout menunjukkan tanda-tanda menjadi lebih rewel dan mudah marah saat menghadapi rekan kerja lain, yang biasanya memiliki hubungan akrab. Perlu diwaspadai karena kondisi tersebut barangkali lebih dari sekadar dinamika antarpribadi yang terjadi.
  2. Datang terlambat, pulang lebih awal. Bila seseorang karyawan yang biasanya rajin, selalu tepat waktu dan tidak pernah menyia-nyiakan waktu kerja, tiba-tiba menunjukkan gejala yang berbeda, maka kemungkinan ia sedang mengalami gejala burnout. Ia seolah-olah merasa tidak nyaman berada di sekolah.
  3. Bersikap apatis. Seseorang yang mengalami kejenuhan biasanya kehilangan motivasi untuk melakukan sesuatu, serta tidak memiliki kebanggaan ketika berhasil menyelasaikan suatu pekerjaan dengan baik. Ia juga merasa gagal, dan tidak memiliki hasrat untuk menghadapi tantangan padahal mungkin selama ini ia selalu bersikap penuh antusias. Ia sulit berkonsentrasi pada tugas-tugas dan merasa kewalahan dengan beban kerja.
  4. Kehilangan hubungan dengan rekan kerja. Orang yang sedang berada dalam kondisi burnout biasanya tidak lagi tertarik menjalin hubungan sosial dengan rekan kerja. Yang tadinya sering makan siang bersama, hang out di waktu luang, serta berpartisipasi dalam berbagai acara, sekarang kehilangan minat untuk bersosialisasi.
  5. Sakit fisik. Merasa lelah, sakit kepala, otot tegang, serta mengalami kesulitan tidur di malam hari. Tanda-tanda fisik ini merupakan indikator umum stres akibat pekerjaan, dan dapat berubah menjadi masalah fisik yang serius. Ia juga mengalami gangguan pencernaan, sakit kepala, dan jantung berdebar-debar.

BURNOUT PADA GURU
Seperti yang saya kemukakan di awal tulisan, profesi guru ternyata rentan sekali dengan burnout ini. Kebanyakan orang, sebelum mereka menjadi guru, mengira menjadi guru itu mudah. Tetapi, begitu mereka terjun dalam bidang ini, mereka menemukan bahwa tuntutan sebagai pendidik profesional di sekolah kadang sulit dan penuh tekanan. Tekanan-tekanan itu bisa berasal dari tuntutan penyelesaian administrasi, kemampuan mengelola kelas, tekanan dari atasan, sampai pada tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan gaji gurunya.

Sebagai seorang guru, saya mengakui bahwa tuntutan pembuatan administrasi sebagai guru ini tidak bisa dikatakan sedikit. Untuk mengajar satu bidang studi pada satu jenjang seorang guru harus membuat Program Tahunan, Program Semester, Silabus, dan RPP. Membuat Program Tahunan dan Program Semester tidak sulit. Namun, tidak demikian dengan pembuatan Silabus dan RPP. Guru harus merancang pembelajaran mulai dari hulu sampai hilir. Hal ini cukup merepotkan, minimal menyita waktu dan pikiran.

Guru juga harus mempunyai daftar nilai, yang berisi kumpulan nilai siswa. Tentunya itu didapatkan setelah selesai mengajar dan memberi ulangan. Artinya lagi, guru harus mempersiapkan serangkaian soal ulangan dan kemudian mengkoreksinya. Beberapa tahun yang lalu, guru hanya perlu mengadakan satu kali ulangan untuk mendapatkan nilai siswa untuk satu topik, namun, sekarang, seiring dengan diterapkannya KTSP, guru harus mengadakan beberapa kali belajar dan ulangan remedi untuk memperbaiki hasil belajar siswa. Itu berarti bahwa proses persiapan bahan mengajar, membuat soal, memberikan ulangan, dan mengoreksinya bisa terjadi berulang-ulang dan berulang-ulang untuk satu topik yang sama. Belum berhenti sampai di situ, seorang guru juga harus melengkapi dirinya dengan Analisis Hasil Belajar Siswa yang pengolahannya cukup rumit. Ini tentu saja dengan asumsi bahwa guru sudah punya Buku Kumpulan Soal dan Buku Daftar Nilai tadi.

Selain dari tuntutan administrasi, guru juga harus terampil mengelola kelasnya. Guru harus terampil berhubungan dengan siswanya. Di sinilah tantangan sering muncul. Terutama apabila guru belum terlalu berpengalaman atau belum memiliki kekuatan kepribadian. Tidak jarang malah guru menjadi bulan-bulanan siswa. Guru harus mengadapi sekian banyak siswa, dengan karakter yang berbeda-beda. Guru harus bisa tegas, namun di saat yang sama juga bisa tampil segar dan ceria. Guru dituntut untuk selalu menampilkan dirinya dengan sesempurna mungkin di depan sekian banyak siswanya. Situasi ini terkadang diperparah dengan banyaknya jumlah jam mengajar guru dalam sehari, sehingga dalam sehari mereka hanya berinteraksi dengan siswa, dan tidak sempat bersosialisasi dengan guru lain sebagai pelepasan. Mengelola kelas merupakan suatu pergumulan sendiri yang tidak ringan. Tidak jarang, seorang guru merasa gagal, bukan karena ia tidak mampu dalam bidang studi yang diajarkannya, tetapi karena ketidakmampuanya mengelola kelasnya.

Selanjutnya, atasan merupakan salah satu faktor pemicu burnout ini. Seorang guru akan merasa senang bekerja di bawah seorang kepala sekolah yang mengayomi, adil, responsif, dan bijaksana. Adalah neraka bagi guru bila kebetulan ia mendapatkan kepala sekolah yang memiliki perilaku yang sebaliknya. Ada saja kepala sekolah yang memperlakukan guru-guru dengan tidak baik, menganggap mereka hanyalah “pekerja”, sehingga tidak segan-segan mencerca, menghina, bahkan mempermalukan guru-gurunya. Ia tidak mampu tampil sebagai pemimpin yang bijaksana dan disegani, bahkan sebaliknya, diktator fasis.

Atasan-atasan (dalam hal ini kepala sekolah) yang mentah kepemimpinannya seperti ini yang tidak jarang menyumbangang tekanan yang tidak ringan bagi para guru. Seharusnyalah bila muncul permasalahan seperti ini, atasan dari kepala sekolahlah yang harus turun tangan. Namun, sayangnya, tidak semua atasan kepala sekolah punya cukup konsern pada guru-gurunya, termasuk pada kesehatan mental para gurunya. Seringkali mereka lebih memperhatikan banyaknya uang masuk, daripada kondisi guru-gurunya. Pandangan bahwa “guru harus puas karena sudah diberi uang/gaji” ini tidak hanya sangat melecehkan guru tetapi juga menyesatkan dalam hal penanganan permasalahan guru.

Tidak jarang juga, bila ada guru yang mencoba mengungkapkan aspirasinya berdasarkan pengalaman tidak menyenangkan di sekolah bersama kepala sekolahnya, bukannya mendapat tanggapan positif, tapi sebaliknya, malah dianggap tidak beretika, provokator, iri, pemecah belah, dan lain-lain, yang intinya sudah jauh sama sekali dari esensi permasalahannya. Tekanan pada guru bisa muncul karena rendahkan kualitas pemimpin di sekolah maupun institusi di atas sekolah.

Selanjutnya adalah tekanan “klise” para guru: penghasilan. Penghasilan yang minim seolah-olah melekat pada profesi yang satu ini. Banyak kita dengan kisah dari media massa mengenai para guru yang harus nyambi, karena penghasilannya sebagai guru tidak mencukupi. Sedihnya, terkadang pekerjaan sambilannya itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan profesinya sebagai guru, misalnya: tukang ojek, penjual kacang, bahkan pemulung…

PENCEGAHAN
Pencegahan atas burnout ini bisa dilakukan oleh individu maupun institusi. Untuk institusi, hal-hal berikut ini dapat dilakukan:
  1. Berkonsultasi dengan guru mengenai hal-hal, seperti pengembangan kurikulum atau perencanaan instruksional, yang berdampak langsung terhadap kelas mereka.
  2. Menyediakan sumber daya yang memadai dan fasilitas untuk mendukung para guru dalam praktek pengajaran.
  3. Memberikan deskripsi tugas dan harapan yang jelas.
  4. Menetapkan dan memelihara jalur komunikasi terbuka antara guru dan administrator untuk memberikan dukungan administratif dan umpan balik kinerja yang dapat bertindak sebagai penyangga stres.
  5. Memungkinkan untuk dan mendorong kegiatan-kegiatan pengembangan profesional seperti mentoring dan jaringan, yang dapat menimbulkan rasa keberhasilan dan yang lebih berkembang sepenuhnya identitas profesional bagi guru.

Bagi guru sendiri sebagai individu, burnout dapat diatasi dengan cara sebagai berikut:
  1. Guru perlu mengevaluasi kembali pilihannya sebagai guru. Jika guru merasa mengalami burnout terkadang ia harus mengambil keputusan apakah ia dapat atau ingin melanjutkan pekerjaannya sebagai guru. Pertimbangan tersebut hendaknya merupakan pertimbangan yang menyeluruh, termasuk juga mempertimbangan tentang kesempatan kerja, keuangan pribadi, serta tuntutan keluarga. Namun demikian, ia juga harus member perhatian pada kesehatan mentalnya.
  2. Guru juga harus berani mengurangi komitmen di tempat kerja dan di rumah serta belajar mengatakan tidak, terutama untuk tugas-tugas yang di luar batas kemampuan.
  3. Guru perlu mempelajari keterampilan mengelola stres. Melakukan pekerjaan yang tidak terlalu banyak tuntutan, ataupun meluangkan waktu untuk hobi. Guru juga perlu meluangkan waktu lebih banyak dengan teman sesama guru. Terkadang obrolan ringan di ruang guru dapat meredakan stress. Tidak lupa pula guru perlu meluangkan waktu lebih banyak dengan keluarga.
  4. Perbanyak istirahat dan mengkonsumsi makanan sehat.
  5. Pindah ke sekolah lain yang memiliki atmosfer yang lebih menyenangkan.

Burnout merupakan suatu gelaja kelelahan akut yang disebabkan kurang harmonisnya jumlah tekanan dengan kemampuan mengelola tekanan itu sendiri. Guru sebagai sebuah profesi ternyata sangat rentan dengan kondisi ini. Oleh karenanya, guru, selaku individu, perlu mempelajari langkah-langkah untuk mengurangi stress, perlu memahami benar apa tujuannya sebagai guru, dan harus berani mengevaluasi dan mengambil keputusan berkaitan dengan profesinya sebagai guru.

Institusi sebagai tempat guru berkarya hendaknya juga harus mulai merasa bertanggung jawab terhadap kesehatan mental para gurunya. Dengan ini semua diharapkan guru dapat bekerja dengan lebih maksimal, sehingga kualitas pengajaran dan pendidikan dapat ditingkatkan. (db)

Sumber:
http://www.ericdigests.org/2004-1/burnout.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Burnout_%28psychology%29
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2010/04/15/brk,20100415-240754,id.html
Mengenali Lima Gejala Job Burnout – Yulia Rahmawati – ehow.com

Sumber Gambar:
http://www.google.co.id/imglanding?q=angry teacher&imgur

Pekanbaru, 22 April 2010

Friday 16 April 2010

Classroom, Today: "Kenapa...?."

April 16, 2010 0 Comments

Seorang murid saya bertanya: "Bu, kenapa kami dilarang-larang berulang tahun dengan lempar-lempar telur, tapi kok guru-guru boleh?"

Kalo anda kebetulan seorang guru, pasti sering mendengar protes semacam ini, yang intinya: "kenapa guru boleh, kenapa murid tidak". Dalam beberapa kasus, kadang-kadang ini memang cara murid untuk membenarkan perilaku mereka. Pikirnya, kalo guru boleh, kok mereka ga boleh....

Mengenai ulang tahun sendiri, murid-murid saya memang sering merayakannya dengan cara melempari yang berulang tahun dengan telur mentah, tepung, air, dll, sehingga yang berulang tahun ini "babak belur" dibuatnya. Sebelnya, Ga hanya halaman sekolah jadi amis, karena belepotan telur mentah, tapi juga perasaan sayang, melihat bahan makanan seperti telur dan tepung cuman jadi bahan mainan... Sekolah tentu saja melarang hal-hal semacam ini, dan itulah reaksi pertama mereka.
"Apalagi, guru-guru itu pasang foto-foto mereka (yang lagi "disiksa") di facebook". Itu tambahan dari protes mereka. Hehehe... dasar anak! Ga pernah mau kalah!

Sebagai guru, pertanyaan murid seperti ini tentu menyulitkan saya, karena memang yang dilarang malah "dicontohkan" oleh guru-guru mereka sendiri. Walaupun demikian, tetap pada para siswa saya sampaikan bahwa perbuatan tersebut tidak dibenarkan, baik oleh siswa maupun guru. Dengan diskusi kecil di kelas, saya dan anak-anak menemukan bahwa "jangan melakukan sesuatu karena contoh (yang kebetulan tidak baik), tapi lakukan sesuatu karena perbuatan itu memang baik, berguna, bermanfaat, dan beretika"

Selesai? Nggak juga, karena mungkin maksud anak-anak itu bukan sekedar larangan, tapi KETELADANAN. Protes-protes semacam itu lebih mengingatkan saya sebagai guru untuk terus menerus mengisi suasana sekolah dengan keteladanan, dan bukan sekedar perintah boleh-tidak boleh...

Kalau saya mau murid-murid saya tidak terlambat, maka saya harus lebih dulu tidak terlambat. Kalau saya mau murid-murid saya rapi, maka saya juga harus tampil rapi.
KETELADANAN, itu yang saya pelajari di ruang kelas saya, hari ini..

Sumber Gambar:
http://www.google.co.id/imglanding?q=teacher%20cartoon&imgurl=http://public.sd43.bc.ca/middle/PittRiver/jaibatchand_homework/Site%2520Pictures/Teacher_Cartoon.jpg&imgrefurl=http://public.sd43.bc.ca/middle/PittRiver/jaibatchand_homework/&usg=__VnJhXxmZCPpCMfRRYSUeT5C4IXs=&h=198&w=250&sz=13&hl=id&sig2=S9VzLb3lTaVpq6Ir28AdOw&itbs=1&tbnid=4GaR2z6Fld_b5M:&tbnh=88&tbnw=111&prev=/images%3Fq%3Dteacher%2Bcartoon%26hl%3Did%26client%3Dfirefox-a%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official%26gbv%3D2%26tbs%3Disch:1&ei=7jDJS7BojbmsB9uLgbUJ&client=firefox-a&rls=org.mozilla:en-US:official&gbv=2&tbs=isch:1&start=0#tbnid=4GaR2z6Fld_b5M&start=1

Wednesday 14 April 2010

MENUMBUHKAN SIKAP BAIK PADA ANAK

April 14, 2010 0 Comments
I. DISIPLIN
Disiplin mencakup segala sesuatu yang kita lakukan sebagai guru untuk mengajar anak-anak bagaimana membuat keputusan-keputusan secara lebih baik. Disiplin adalah mengajar anak bagaimana membuat pilihan-pilihan yang lebih baik tentang tingkah laku mereka. Disiplin mengajar anak untuk berpikir. Disiplin mengjar anak-anak bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk memilih bagaimana mereka bertindak. Definisi ini sama sekali berbeda dengan pendapat bahwa disipilin itu hukuman. Disiplin berarti mengajarkan pengambilan keputusan.

Disiplin ditanamkan dengan kerja sama, dan bukan kekuasaan. Kalau guru menghendaki siswa menjadi pembuat keputusan yang bertanggung jawab, maka guru harus mengajarkan pengendalian diri kepada mereka. Kalau guru memaksakan kendali, para siswa tidak akan pernah belajar untuk menguasai pengendalian. Mereka tidak mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan ketrampilan-ketrampilan menguasai diri. Suatu saat, mereka akan lepas kendali.

II. PUSATKAN PADA TINGKAH LAKU YANG BAIK
A. Sorotilah tingkah laku yang baik
  1. Gunakan umpan balik positif
  2. Gunakan tingkah laku yang sebaliknya. Pertama, tentukan dulu tingkah laku (buruk) yang perlu dirubah, kemudian tunjukkan tingkah laku yang berlawanan.
  3. Berikan “imbalan”. Selain dengan komentar “hebat! Bagus!”, bisa ditambahkan “Kamu harus bangga pada dirimu sendiri!”
  4. Beri pujian secara spesifik, pujilah tingkah lakunya, bukan orangnya
  5. Gunakan dorongan. Ajaklah siswa untuk berpikir tentang tingkah lakunya dan dorong dia untuk mengambil keputusan yang paling baik. Beri dukungan terhadap cara-cara yang ia gunakan

B. Jangan pernah memberi “es-krim” gratis
Jangan pernah memberikan “privilese” pada siswa secara cuma-cuma. Amati perilaku baiknya, dan kemudian berikan privilese tersebut

C. Buatlah komitmen, dan terapkan secara konsisten serta kreatif.
Membuat komitmen membuat anak terlibat dalam pengambilan keputusan, dan mengajarkan anak untuk bertanggung jawab

D. Bersikap proaktif
Ajak anak berbicara tentang kemungkinan/resiko bila ia terus dengan tingkah lakunya yang kurang baik. Paparkan pilihan-pilihan yang tersedia baginya. Ungkapkan harapan-harapan Anda selaku gurunya.

E. Memberi Motivasi
  1. Tekankan pada keberhasilan
  2. Tumbuhkan minat pada pelajaran yang anda bawakan
  3. Ciptakan suasana hangat di ruang kelas
  4.  Manfaatkan humor

F. Tumbuhkan harga diri, karena harga diri penentu motivasi
Anak dengan harga diri yang sehat dapat mengendalikan tingkah laku mereka. Mereka yakin tentang keputusan-keputusan mereka. Anak-anak yang percaya diri lebih cenderung menyukai kesuksesan. Mereka merasa nyaman dengan diri mereka. Mereka dapat menerima kritikan yang membangun. Anak yang punya harga diri tidak akan terpengaruh untuk menjadi nakal.

Sebaliknya, anak-anak dengan harga diri yang tidak sehat punya rasa hormat yang rendah terhadap dirinya. Mereka biasanya memiliki kesulitan belajar. Mereka merasa tidak aman. Mereka tidak mempunyai ketekunan. Mereka terlalu peka terhadap apa yang dipikirkan orang lain. Mereka selalu menyalahkan orang lain kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka. Mereka takut gagal, sehingga tidak mau mencoba.
Sebagai guru, Anda juga harus berani tampil apa adanya (manusiawi), serta mendorong siswa-siswi anda untuk menerima diri mereka apa adanya (kekurangan maupun kelebihan).

Ajarkan para siswa Anda untuk menghargai segala sesuatu di sekelilingnya. Ajari alternatif-alternatif pada mereka. Ajari untuk menghadapi kegagalan

III. MEMINIMALKAN SIKAP MENENTANG
Secara umum terdapa 4 watak anak, yakni anak sensitif, anak aktif, anak responsif, dan anak reseptif.

1. Anak sensitif butuh didengar dan dimengerti. Ia membutuhkan empati dan pengakuan. Namun, guru harus menghindarkan diri untuk bersikap sebagai “penolong”. Guru harus menyadarkan bahwa mereka bukanlah satu-satunya orang yang “menderita”. Beri pesan bahwa ia diterima, dan adakalanya beri ruang baginya untuk menenangkan perasaannya.

2. Anak aktif tertarik pada perbuatan, tindakan, dan hasil. Ia memotivasi diri dan kooperatif. Anak seperti ini perlu punya kerangka. Bila tidak, ia akan lepas kendali dan menolak otoritas. Anak perlu tahu apa yang akan dikerjakan, apa rencananya, apa aturannya, dan siapa “bos”nya. Untuk memperkecil penolakan anak aktif, tempatkan ia di barisan paling depan, atau minta dia memimpin sesuatu. Anak aktif butuh banyak pengakuan atas suksesnya, dan maaf atas kesalahannya.

3. Anak Responsif. Anak seperti ini suka bersosialisasi dan terbuka. Ia termotivasi sendiri untuk melihat, mendengar, merasakan, dan mengalami segala sesuatu yang ditawarkan oleh kehidupan. Anak seperti ini tidak terlalu suka pada keteraturan. Ia membutuhkan kebebasan untuk melakukan tindakannya sendiri. Kekacauan merupakan bagian dari proses belajarnya. Anak-anak seperti ini butuh pengalihan perhatian, misalnya dengan mengerjakan sesuatu yang lain, kemudian diarahkan kembali pada tugas utamanya. Atau anak diajak untuk menemukan hal menarik dari apa yang sedang dikerjakannya. Guru harus bisa menciptkan harmoni, kemudian mengundang anak untuk berpartisipasi

4. Anak Reseptif. Anak reseptif lebih memperhatikan aliran kehidupan. Ia ingin tahu apa yang terjadi berikutnya dan perlu tahu apa yang menurut perkiraan akan terjadi. Bila ia mengerti aliran kehidupan ini, ia lebih mudah menjadi bersikap kooperatif.

IV. MENGAPA ANAK MENENTANG?
Anak menentang karena ia merasa tidak didengar atau dipahami. Jadi, sediakan waktu untuk mendengar dan pahami apa yang anda dengarkan. Pahamilah bahwa di balik sikap menentangnya, apa perasaan terluka dan marah. Dengan berusaha mendengar dan memahami, guru tidak perlu membuang waktu dan menguras emosinya untuk marah-marah di kelas.

Sumber:
Severe, Sal. 2000. Bagaimana Bersikap pada Anak agar Anak Bersikap Baik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Gray, John. 2000. Children Are from Heaven. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

(Tulisan ini pertama kali disampaikan dalam forum Pendidikan dan Pelatihan Guru Baru SMP Santa Maria Pekanbaru, Agustus 2008)

MY TEACHERS AND ME…

April 14, 2010 0 Comments
Kalo ngomongin guru… ada buanyaaak sekali guru yang kuingat dengan penuh cinta dan hormat… ini beberapanya:

Aku tidak ingat guru TK-ku waktu aku sekolah di TK Santa Clara Surabaya. Mungkin karena aku juga nggak terlalu lama sekolah di situ. Aku baru ngeh punya guru waktu aku sekolah di TK Santa Maria Blitar. Aku suka sama satu bu Guru (maaaaf buuuuuu… lupa namanya…), karena menurutku dia cantik… hihihi… Mungkin karena aku masih kecil. Senang ato nggak masih karena penampilan fisiknya. Terus terang aku ingat, aku suka karena ibu guru itu pake lipstik warna merah. Menurutku saat itu, pakai lipstik itu cantik sekali….:)

Aku juga suka sama Suster… (aduuuuh, lagi-lagi lupa namanya…) soalnya selain lembuuut (kayaknya ga ada de guru TK-ku yang ga lembut), juga suka bagi-bagi gambar kudus… hehehehe…

Masuk ke SD, di SD Santa Maria Blitar, yang aku ingat adalah guru Kelas 1-ku: Bu Kamthi. Orangnya manis, lembut tutur katanya, tapi juga disiplin (biasa de.. disiplin jaman dulu: tangan dilipat de el el…. Hehehehe…). Tapi, aku ingat, aku dekeeeeet banget sama ibu ini. Aku sering diajak ke rumahnya, di daerah Bendogerit, naik dokar…. Wow! Ibu ini akhirnya menikah dengan orang Flores (eh, Kupang mungkin), apa karena terinspirasi oleh murid seperti aku yah… hahahahaha…..

Naik ke kelas III aku pindah ke Pasuruan, di SD Sang Timur Pasuruan. Aku inget banget, guru yang PUALING AKU SUKA: Ibu Sukeni!!!!!! Beliau guru kelas IV. Wes, pokok e semuanya aku suka, ngajarnya jelas dan enak, ramah tapi tegas, adil, disiplin, en tetep keibuaaaaaaaan banget! Belajar karesidenan-karesidenan di Jawa yang membingungkan tuh jadi menyenangkan, belajar sejarah juga ga kayak belajar sejarah, karena Ibu Sukeni ini seperti ndongeng aja…

Aku inget, pernah di pelajaran kesenian, kami disuruh nyanyi satu-satu. Aku nyanyi lagu ini:
IBU GURU KAMI, PANDAI SEKALI
PANDAI BERCERITA ASIK SEKALI
KAMI DIBIMBINGNYA DENGAN SETULUS HATI
JADI ORANG BERGUNA DI KEMUDIAN HARI…

Saat itu memang aku ingin menyanyikan lagu itu untuk Bu Sukeni.
Eh, suer, aku inget, Bu Sukeni agak terdiam, (entah terharu entah kupingnya sakit.. hihihihi…) , tapi trus aku disuruh nyanyi satu lagu lagi…

Sampai aku naik kelas, BAHKAN sampe aku SMP kalo ketemu dengan Bu Sukeni, aku masih suka teriak: BUU SUKENIIIIIIII………!

Di SD juga aku punya satu guru lagi yang aku suka. Guruku kelas VI: Bu Agatha Damai Christiah. Bu Christ aku manggilnya. Kalo bu Sukeni sudah berumur, nah kalo Bu Christ ini masih muda. Orangnya nyenengin, aku ngerasa sama kakakku aja (ups! Sok kenal sok deket!) Ato paling enggak sama Bibiku lah… Aku sering main ke rumah kontrakannya di daerah Jalan Niaga Pasuruan. Bu Christ-lah yang tahu aku ada bakat baca puisi, trus aku disuruh ikut Lomba Deklamasi se-Kabupaten Pasuruan, en ibu itu yang nglatih. Eh, juara lo… hehehehe…
Terakhir, ketika aku mau lulus, bu Christ juga harus pindah, karena calon suaminya ditugaskan di Ngawi, Jawa Tengah. Sampai beberapa lama aku masih surat-suratan sama Bu Christ. Aku inget, bahasa beliau tu puitiiiiiiiis banget… cocok sama aku…?
Kemudian aku SMP di SMP Adisucipto Pasuruan. Yang langsung aku suka adalah Pak Tono, guru Fisika dan Matematika. Sukanya karena: ga cuman cerdas en ngajarnya enak, tapi, Pak Tono ini ENGGAK PERNAH menolak pertanyaan sebodoh apapun! Malahan, dia ngasi waktunya untuk pertanyaan yang diluar pelajaran. Pernah, Andreas, temenku, nanya: “Pak, saya lebih gemuk daripada Sukanto. Tapi kok jerawat Sukanto lebih banyak? Kan saya yang lebih banyak lemak?”…?
Kalo kami ga tanya, dia yang giliran nanya. so keluarlah pertanyaan aneh-aneh:
“Kenapa tutup gelas kok suka lengket di gelas?”
“Kenapa seng kok dibuat bergelombang?”
“Kenapa kok kalo mobil direm mendadak, kita seperti terpelanting?”

Pertanyaan-pertanyaan “sederhana” yang tentu aja ga begitu sederhana buat kami saat itu…
Belajar sama Pak Tono, aku ngerasain enaknya belajar Fisika dan Matematika. Orang bilang guru mat or fis harus killer, ga tuh…! Pak Tono ga killer, en aku malah jadi jatuh hati sama Fisika en Matematika…
Waktu Pak Tono diterima jadi PNS, kami sama-sama nangis dan “demo”, minta Pak Tono ga pindah dari sekolah kami… hihihihi…. Pak Tono bilang: “Status saja yang berubah, yakni jadi PNS, tapi penugasan tetap di SMP Adisucipto…”…. Hwaaa… langsung bubar deh demonstrasinya…. Hahahahaha….

Satu lagi yang aku suka en aku hormati, yakni Bapak Kepala Sekolahku yang juga mengajar PMP (Pendidikan Moral Pancasila), namanya Bapak Yono (R.M. Yono Hadisiswoyo).
Beliau ngajar PMP bedaaa sekali sama guru lain: ga model hafalan. Malah, beliau ga suka kalo hafal plek! Satu hal yang aku SALUUUUUT berat, beliau lewat bidang studi PMP mampu merubah pola pikir kami tentang MUSYAWARAH dan MUFAKAT.

Aku tahunya waktu ada rapat OSIS. Biasanya kan, dalam rapat orang cenderung milih voting, apalagi kalo masih kecil-kecil kayak kami. Aku heran, kok, kakak-kakak kelasku ga mau voting, sedapat bisa musyawarah. TERNYATA, aku baru ngeh setelah diajar sama Pak Yono.. aku lupa gimana caranya, tapi beliau bener-bener mengarahkan kami untuk tidak terlena dengan voting, dan lebih memanfaatkan musyawarah. Dari situ aku SALUUUT berat! Apalagi sekarang aku tau, susahnya menanamkan NILAI pada anak… bener-bener deh…. Kalo ada kata yang setepat-tepatnya untuk menggambarkan kekagumanku pada bapak itu…

Apalagi, kalo kuperhatikan, Pak Yono ini kalo masuk kelas, yang pertama kali beliau lakukan adalah: merapikan meja guru, kalo taplak kisut dikebaskannya, vas diletakkan dengan rapi…. Wees pokok e ruapi pol!!! Kemudian dia nyapa dulu anak-anaknya, ga sekedar nyapa basa basi gitu… tapi ditanyanya: tadi barusan belajar apa? Gimana? Bisa enggak? Cape enggak? So, biarpun beliau Kepsek, beliau ga pernah sok jaim or sok galak. Beliau memang tipe cool (maklum produk asli Jawa Tengah), tapi ga jaim. Aku ngerasa aku lebih banyak HORMATnya dari pada takutnya…. Sama beliau memang aku nggak deket dalam pengertian bisa haha-hihi gitu, tapi suer, sampe sekarang aku mengingat beliau dengan HORMAT sekali…
Waktu aku menang Juara I Lomba Karya Tulis Tingkat Kabupaten Pasuruan, dan kemudian lagi Juara I Tingkat Propinsi Jawa Timur, wah, beliau keliatannya banggaaaaaa banget… aku diajak keliling ke semua kelas, en dicrita-critakan bahwa aku juara blah blah blah… wheh! So pasti aku yang memang dari sononya narsis ini seneng banget…:D

Kelas II pertengahan aku pindah ke Waikabubak, Sumba Barat. Satu setengah tahun di situ, kayaknya aku dan guruku saling merasa sama-sama biasa… aku tergolong biasa buat mereka, mereka juga untukku.

Sekarang, setelah aku jadi guru, aku baru bisa merasa SALUT, atas niat, upaya, kehendak baik para guruku di Sumba, dengan situasi dan kondisi yang serba terbatas, mereka sepertinya ga menganggap itu masalah… Terutamanya aku salut sama kepsekku Bapak Josep Pea Wutun, B.A. Aku merasa, beliau orang yang sangat punya visi tentang pendidikan. Ini kelihatan pada saat beliau member pengarahan kepada kami. Jarang sekali ada yang seperti ini…

Next, lulus SMP aku sekolah di SMA Cor Jesu Malang.
Banyak guru yang aku suka, malah kayaknya lebih banyak guru yang aku suka daripada yang aku ga suka. Bener, bukan karena sekedar sentimentil bernostalgi… no no no no!

Di Kelas I aja: aku suka bu Ani (guru Mat) karena lembut, keibuan, en ngajarnya juelasssss banget! Aku suka pak Tengsoe (Sastra, Bahasa Indonesia): soalnya kuanggap revolusioner untuk ukurang guru jaman itu. En aku suka yang begitu. APALAGI aku suka sastra… Baru kali ini aku ngeliat guru bahasa Indonesia ngerti sastra…. So, enak banget mengunyah-ngunyah bahasa dan sastra dengan Pak Tengsoe. Bu Susi (ngajar mat): biarpun “dingin”, tapi ga sok or jahat. Nerangkannya uenak! Logikanya lancar dan jelas. Pak Paul (?) guru Fisika, juga aku suka, karena ngajarnya yang enak, jelas, dan komunikatif banget. Bu … (aduh, kok lupa ya…) yang ngajar bahasa Inggris: aku suka dia karena bahasa Inggrisnya yang oke punya, en tipe soal ulangan dia; dia bilang “Nomor 1 itu kalian bisa karena kalian belajar/menghafal, dan nomor 2 itu karena kalian menganalisa”. Whew.. buatku itu sangat menantang…
Pak Pudiarjo yang ngajar Ekonomi… aku inget dia bilang: saya sudah besar, saya beri garis-garis besarnya, nah, kalian masih kecil, kalin cari garis-garis kecilnya… hehehehe….

En, so pasti guru yang ngikutin kami sampe lulus: Pak Pur, guru sejarah. Wah, boleh dibilang, beliau ini diam-diam kujadikan role model ku dalam ngajar. Sejarah dari ujung dunia mana juga dia tau.. ga pernah bawa buku ke kelas, semua ada di kepalanya! Humoris, tapi juga tegas.. Suka nyebelin, karena ulangannya cuman dua nomor, dua-duanya esai: itu juga mentok-mentok nilainya 5! Nilai 2 juga ga segen beliau kasi….:|
Dulu kami merutuk-rutuk, sekarang baru aku tau, bernalar dan berlogika tu memang perlu dilatih. Nalar dan logika kami saat itu memang di level 2! Hihihihihihi….

Satu lagi, guru yang aku suka: Pak Wahyudi. Guru Melukis. Aku suka karena beliau ngajarin banyak teknik ngelukis, yang sekarang kalo aku lagi suntuk, kupraktekkan…. Lumayan, suntuk ilang…. (biarpun temen-temenku suka ga ngerti aku nglukis apa… hahahahaha…)

Last but not least, aku suka sama Sr. Marietta, OSU, Kepsekku. Beliau memang ga ngajar. Tapi, beliau ngasi retret orientasi kepada kami di kelas I. Aku suka karena beliau ga cuman cerdas, tapi gimana ya… tegas, sekaligus menyenangkan… Sama beliau aku jatohnya kagum berat. Beberapa program beliau aku contek untuk kupraktekkan.. (ga papa ya sTer…)

Satu hal yang paling aku inget sampe detik ini… waktu aku kelas I aku sebenernya agak minder, soale temen-temenku tajir-tajir en dari kota-kota besar se Indonesia. Tapi, aku seneng banyak hal dan banyak ikut kegiatan ekskul. Salah satunya teater (yang dibimbing oleh Pak Tengsoe). Waktu ada perpisahan kelas III, teater sekolah nampil, aku ikut juga nampil. Pas kebetulan, vocal grup kelasku yang jadi juara lomba vocal grup ditampilkan. Aku juga ikut vocal grup.
Beberapa hari setelah malam perpisahan itu, aku ketemu sama Sr. Marietta di lorong sekolah. Bukan ketemu sih, tapi Suster lagi jalan di lorong sekolah gitulah…
Tau-tau, waktu ngeliat aku, Suster bilang:
“Agnes, bakatmu banyak. Kembangkan!”

Huik!! Kaget aku, kepsekku tau namaku! Itu aja udah bikin buanggaaaanya minta ampun! Apalagi dia tahu aku en encouraged me. Aku yang “cuman” dari kota kecil en biasa-biasa aja ngerasa jadi istimewaaaaaaa kali….:)
Tentu aja saat itu aku malah bengong kayak kambing ompong…. Sekakarng, baru aku tahu maknanya ekskul de el el… bukan “hura-hura” en nghabisin waktu, apalagi sarana cari duit buat sekolah, tapi ada empowering didalamnya. Seandainya sekolah menyadari hal ini…?

Waktu kuliah, dosen memang ga sedekat guru ya.. tapi, tetap aja ada yang aku suka berat. Salah satunya bu Wening namanya. Beliau bilang: “jangan ragu-ragu menjadikan murid-murid sebagai eksperimen” dalam pengertian yang baik. Artinya, mengajarlah dengan kreatif! Inovatif! Aku suka itu….

Sekarang, aku sendiri jadi guru… Just for your information: kakekku guru, ibuku guru. Mungkin udah hukum “karma” aku jadi guru… hihihihihi….

Aku ga tau aku guru yang gimana… tapi, sebisa mungkin hal-hal menyenangkan dan bermanfaat yang kudapat dari guru-guruku itu mau kuteruskan sama murid-muridku.. Mungkin dengan itu aku bisa ngucapkan TERIMA KASIH buat guru-guruku… hal yang ga bisa kulakukan langsung di hadapan mereka sekarang…

Semoga mereka semua selalu diberikati Tuhan. Amin.

Pekanbaru, 25 November 2009
11:03

FUN TEACHING WITH JIGSAW TEACHING MODEL

April 14, 2010 0 Comments

Last month I decided to apply a teaching-model called "Jigsaw". I thought it was pretty fun. I didn't feel exhausted, and my students learn without realizing that they were learning something.

I was teaching Reading Comprehension, and the theme was NATURE AND ENVIRONMENT. Well. I'm teaching 9th grade.

These are the steps:
1. I devided the class into groups containing 4 students. There are 9 groups. These are called "Core Group"
2. Each group is given an assignment, containing 4 tasks. Actually, the tasks are about the reading's content. Each people in the group does ONLY one task. So, people number one does task one, people number two does task two, etc.
3. I give them about 15 minutes to do the tasks.
4. After that, all people number one in each group gather together. So do all people number two, three, and four. There will be 4 groups containing 9 members. These are called "Expert Group".
5. In this group, each member should discuss the correct answers of the task. I give them 30 minutes for the groups to make discussion.
6. Next, each student in Expert Group get back to Core Group, and they explain their friends about the task.
7. Finally, the Core Group should make a report.
8. In the next meeting, I give them a test about the reading.

But, I have to confess one thing: I think the lesson activity can go well because the beautiful students I have this year! They are really nice and get involved in the activities. It makes the teaching-learning much much more easier. Thanks to you!

Well, they're only steps. But, what reliefs me a lot is that my students tell me that they like the kind of teaching-learning they've just made. I think, it's worthy to try :)

August 2009

KEPEMIMPINAN YANG UPTODATE

April 14, 2010 0 Comments
KEPEMIMPINAN SEKOLAH SELAMA INI
Dengan segala hormat terhadap beberapa sekolah yang telah berupaya keras dalam mengembangkan institusinya, harus diakui dengan besar hati, bahwa beberapa sekolah lainnya masih lambat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan terkini, baik dalam hal kepemimpinan, manajemen, ataupun dalam hal isu-isu kependidikan sendiri, yang seharusnya menjadi keahlian sebuah institusi pendidikan.

Pada saat dunia dan institusi-institusi lainnya telah berkembang dan matang dengan suatu perkembangan baru, masih ada saja sekolah yang baru tahu atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang isu tersebut. Contohnya dalam hal manajemen dan kepemimpinan. Masih banyak sekolah yang menerapkan pola kepemimpinan/manajemen lama, seperti terpusatnya kepemimpinan pada sosok kepala sekolah. Tidak ada pengorganisasian, tidak ada pendelegasian, tidak ada diskusi untuk membicarakan sesuatu. Kepala sekolah mengatur semua urusan, dari hulu ke hilir. Dan yang lebih memprihatinkan, masih ada saja sekolah yang dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki visi tentang kependidikan.

Pada beberapa sekolah, terjadi bahwa penunjukkan kepala sekolah dilakukan oleh institusi di atasnya, misalnya yayasan. Beberapa pertimbangan pragmatis, seperti pengamanan kepentingan orang-orang di dalam yayasan menjadi pertimbangan penunjukkan kepala sekolah. Dampaknya, tujuan utama yakni pendidikan seringkali diturunkan prioritasnya di bawah tujuan mengamankan kepentingan seseorang ataupun sekelompok orang. Untuk kepentingan sesaat dan sangat pragmatis itu, tidak jarang ditunjuk orang-orang yang tidak punya visi kependidikan.
Dengan tidak dimilikinya visi kependidikan ini, orientasi pengembangan sekolah tidaklah diletakkan pada esensi pendidikan, melainkan lebih ke kosmetika-kosmetika pendidikan. Kepala sekolah lebih getol membentuk kelompok-kelompok ilmiah, untuk persiapan olimpiade ini itu, ketimbang menyediakan sarana, waktu dan perhatian untuk kegiatan-kegiatan yang bisa membina lebih banyak anak, misalnya olah raga atau seni. Kepala sekolah juga lebih suka membangun taman, misalnya, daripada membeli buku untuk kekayaan perpustakaan. Membangun taman diangap lebih memberikan daya jual bagi sekolah daripada membeli buku yang malah dianggap pemborosan.

Karena kurangnya visi kependidikan ini jugalah, yang kemudian membuat cara pandang terhadap guru dan murid menjadi jauh berbeda. Guru bukanlah dijadikan aset sekolah, sebagai ujung tombak untuk tercapainya tujuan pendidikan. Guru diturunkan derajatnya hanya menjadi pekerja-pekerja di sekolah itu. Sebagai pekerja, guru dianggap sudah diberi gaji, oleh karenanya guru harus bekerja sesuai dengan tuntutan kepala sekolah. Guru, dalam kacamata seorang kepala sekolah yang tidak punya visi, tidak lebih adalah orang bayaran.

Tidak jarang, kita temukan, kepala-kepala sekolah yang enggan mengirimkan gurunya untuk pelatihan, karena pelatihan-pelatihan semacam itu dianggap hanya menghabiskan biaya. Kalaupun guru mau ikut pelatihan tersebut, guru harus menggunakan biaya pribadi.
Karena menganggap guru adalah orang bayaran, kepala sekolah tidak segan-segan mendamprat, mencaci, bahkan menghina guru yang dianggapnya tidak bekerja sesuai dengan perintahnya. Tidak jarang, perbuatan-perbuatan yang jauh dari pantas ini dilakukan di depan orang lain, entah guru lain, orang tua murid, atau bahkan anak murid sendiri, yang mana lebih menambah luka hati seorang guru. Ini karena kepala sekolah yakin para guru itu derajatnya jauh di bawahnya. Dan karena kepala sekolah merasa diri sebagai penguasa yang berhak melakukan apa saja terhadap para bawahannya.

Kepala-kepala sekolah yang tidak memiliki visi kependidikan cenderung bekerja untuk kepentingan pribadi/prestise pribadi daripada kebaikan sekolah/yayasan. Yang terpenting bagi kepala sekolah seperti ini adalah apakah kepentingannya sudah terpenuhi, tidak perduli apakah kepentingan itu bermanfaat untuk pendidikan di sekolah atau tidak. Ini persis seperti yang diungkapkan oleh Ken Blanchard dan Phil Hodges dalam buku mereka “Lead Like Jesus”, yakni “Hati yang didorong oleh kepentingan sendiri melihat dunia dengan membawa keyakinan “memberi sedikit, mengambil banyak”. Orang dengan hati yang didorong oleh kepentingan diri sendiri menempatkan agenda, keamanan, status dan kepuasan diri sendiri lebih tinggi dari pada urusan oran yang terkena akibat dari pikiran dan tindakan mereka.” (Lead Like Jesus, P. 51)
Mereka juga biasanya tidak punya inisiatif. Inisiatif lebih sering datang dari otorita yang lebih atas lagi. Kepala sekolah seperti ini sebenarnya tidak lebih pekerja bagi otorita yang lebih di atasnya, walaupun kemudian berlagak sebagai penguasa tunggal di sekolahnya. Kepala sekolah tidak berani mengambil resiko atas inisiatif yang diambilnya, oleh karenanya lebih baik tidak berinisiatif. Bila muncul tantangan atas inisiatif itu, dengan mudahnya kepala sekolah dapat mengatakan bahwa itu sudah menjadi keputusan yayasan/ataupun otoritas lain di atasnya.
Hakekat kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Namun pada kepala sekolah yang tidak memiliki keutamaan ini, kesempatan sebagai kepala sekolah dianggap sebagai sebuah legitimasi untuk menguasai orang-orang di bawahnya. Kepala sekolah dianggap sebagai penguasaan. Implikasinya unsur mengontrol sangat kuat, lebih kuat daripada unsur membina. Seorang pemimpin sejati memandang kekurangan bawahannya sebagai bagian dari kekuarangannya sendiri, dan secara bijaksana mengajak bawahannya untuk memperbaiki diri. Seorang pemimpin sejati memiliki kewibawaan untuk melakukan itu. Tetapi kepala sekolah yang berlaku sebagai penguasa lebih senang berlaku sebagai polisi: getol mencari/mencatat sampai sedetil-detilnya kesalahan/kekurangan bawahan. Lebih senang mendapati anak buahnya dalam keadaan bersalah, lebih puas kalau bisa menangkap basah, daripada berupaya menciptakan atmosfer yang kondusif bagi anak buahnya untuk bekerja. Tidak jarang, kepala sekolah seperti ini tega memasang beberapa guru sebagai “telik sandi” untuk mengawasi sesama rekannya, dan menerima informasi-informasi dari “mata-matanya” ini. Kepala sekolah tidak peduli, bahwa hal itu menimbulkan perpecahan dan ketidakpercayaan di antara sesama rekan kerja. Yang terpenting bagi kepala sekolah seperti ini adalah ia bisa mengontrol bawahanya, dia tidak perduli pada rusaknya atmosfer kerja yang kondusif.
Kepala sekolah seperti ini juga tidak memiliki dan tidak peduli pada ketrampilan-ketrampilan manajerial, tidak punya kemampuan mendelegasi, karena mereka tidak percaya anak buahnya bisa melaksanakan kerjanya. Setiap langkah anak buahnya akan dipantaunya, untuk memastikan apakah perintahnya telah dijalankan. Parahnya lagi, kepala sekolah seperti ini hanya bisa menyuruh, dan memberi tuntutan bahwa suruhannya terlaksana dengan baik. Jarang sekali mereka sendiri bisa melakukannya dengan baik atau bahkan lebih baik. Sama juga jarangnya dengan mereka tampil sebagai orang yang bisa diajak berdiskusi untuk membicarakan sesuatu. Mereka takut kewibawaan mereka berkurang kalau mengajak diskusi para stafnya.
Mereka sangat peka terhadap wilayah kekuasaannya. Mereka ketakutan kekuasaannya berkurang kalau mereka mendelegasikan pekerjaan kepada para stafnya. Dalam pandangan mereka, kekuasaan harus mutlak di tangan mereka. Semua keputusan, sampai pada hal-hal teknis yang sangat remeh temeh pun harus keluar dari mulut mereka. Tidak segan keluar dari mulut mereka: “Saya kepala sekolah di sini, bukan Pak A atau Bu B. Sayalah yang mengambil keputusan.”

Mereka suka menjilat ke atas dan menekan ke bawah. Memberi gambaran begitu bagusnya kepada atasannya untuk menyenangkan hati atasan, dan untuk mempertahankan posisi. Padahal di saat yang sama menginjak dan menindas orang-orang yang dianggap bawahannya. Atasan yang cerdas biasanya tidak mudah dikelabuhi seperti ini. Namun demikian, tidak jarang, bahwa atasan kepala sekolah terdiri dari orang-orang yang lebih suka dijilat, dan menerima lapora ABS, daripada mengecek langsung ke lapangan.

Dalam hal keuangan, sekolah dijalankan seperti menjalankan toko, orientasi pada jumlah uang yang masuk, semua pengeluaran yang tidak langsung menghasilkan laba, akan dianggap sebagai expense. Tidak jarang kita temukan kenyataan bahwa kegiatan bina iman, rekoleksi, atau retret di sekolah katolik, malah dianggap menghabiskan dan menghambur-hamburkan biaya. Sama juga nasibnya dengan kegiatan pembinaan guru, ataupun pembelian buku-buku pustaka.

TANTANGAN KEPEMIMPINAN KINI
Pola kepemimpinan seperti yag disebutkan di atas sudah tidak cocok lagi jaman sekarang ini. Ini karena ada beberapa perkembangan dalam dunia pendidikan yang membutuhkan reaksi yang tepat dan cerdas dari pala pelaku pendidikan.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa memimpin sebuah institusi pendidikan katolik membutuhkan tanggung jawab lebih. Ini karena diyakini bahwa institusi pendidikan ini adalah juga perpanjangan tangan Tuhan untuk menyampaikan kabar baikNya kepada umat manusia. Kalimat ini tidak boleh berhenti sebagai jargon saja, tetapi harus dihayati oleh setiap pemimpin. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh gereja makro harus juga dihayati sebagai tantangan bagi institusi pendidikan katolik.

Selain itu, akhir-akhir ini kita juga diingatkan, secara khusus oleh Steven R. Covey dalam bukunya “The 8th Habit” bahwa dunia tanpa kita sadari mempunyai kecenderungan untuk berubah. Zaman manusia dengan para pekerja pengetahuannya sudah mulai ditinggalkan. Di masa mendatang, manusia-manusia yang bijaksanalah yang survive. Kita sedang memasuki abad kebijaksanaan. Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnyalah menjadi yang pertama dalam menyadari hal ini. Kepala sekolah sebagai pimpinannya seharusnya menjadi motor penggeraknya.

Di Indonesia sendiri, dunia pendidikan baru-baru ini disentakkan dengan disahkan UU BHP. Terlepas dari kontroversinya, mau tidak mau UU yang sudah disahkan ini harus dijalankan. Ini merupakan sebuah tantangan yang tidak ringan bagi institusi pendidikan.

KEPEMIMPINAN YANG SESUAI
Supaya tidak lagi menjadi institusi yang selalu ketinggalan dalam menghadapi isu-isu dan perubahan-perubahan terkini, maka sekolah membutuhkan kepala sekolah yang benar-benar memiliki visi kependidikan. Kepala sekolah yang memahami benar tentang pendididkan, memiliki gambaran yang benar untuk mengarahkan dan mengelola sekolahnya sehingga benar-bebar menjadi tempat pendidikan. Kepala sekolah yang mencurahkan seluruh energinya untuk mewujudkan gambaran tersebut.

Dalam institusi pendidikan katolik, referensi kepemimpinan seharusnyalah pada Sang Teladan Utama, Yesus. Dalam “Lead like Jesus” Ken Blanchard dan Phil Hodges kembali menegaskan bahwa pemimpin yang baik adalah yang melayani dan bukan minta dilayani. Kalimat ini sudah sering kali kita baca melalui Kita Suci. Namun, tidak dapat dipungkiri, relevansinya masih tak tertandingi. Pemimpin yang melayani diri sendiri bereaksi terhadap segala hal yang terjadi pada mereka. Jika Anda berkata sesuatu kepada mereka atau melakukan sesuatu yang menyinggung kesombongan atau ketakutan mereka, mereka memberikan reaksi. Mereka tidak banyak berpikir tentang atau mempertimbangkan kepentingan terbaik dari orang lain atau hubungan mereka. Mereka melihat sesuatu dari posisi mereka sendiri dan kadang-kadang membayangkan diri mereka pada posisi orang lain. Orang yang sombong atau penuh rasa takut cepat melakukan penlaian, cepat melakukan serangan, dan cepat menarik tanggung jawab atas kesalahan dan lamban memuji. Pemimpin sebagai pelayan, sebaliknya, merespons terhadap segala sesuatu yang terjadi terhadap mereka. Sebelum bertindak, mereka selalu mengambil langkah mundur, bahkan satu atau dua langakah, dari emosi sesaat dan menerapkan nilai tertentu untuk mengecek situasi yang tidak sesuai dengan keingan untuk melayani kepentingan umum. Mereka cepat mendengarkan, lamban menilai, lamban marah, dan cepat berbalik memuji orang lain.
Ken Blanchard juga mengingatkan bahwa keutamaan pemimpin ada dalam kematangan karakter personalnya. Sama seperti Yesus yang memulai karyanya dengan menempa dirinya sendiri, sebelum memilih murid-muridnya. Dengan itu, seorang pemimpin diharapkan bisa menjadi pemimpin yang personal transformasional (p. 26). Selanjutnya, Ken Blanchard dan Phil Hodges mengusulkan empat hal yang harus dikembangkan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, yakni memimpin dengan hati, kepala, tangan, dan kebiasaan (P.40)
Selain itu buku “The 8th Habit” yang ditulis oleh Steven R. Covey, mengingatkan bahwa ada perubahan yang mau tidak mau harus diakui sedang terjadi. Yakni perubahan menuju abad kebijaksanaan. Seorang pemimpin menurut Covey, tidak harus seseorang yang menjadi atasan di suatu institusi. Siapa saja dalam dalam institusi itu bisa mengembangkan kemampuan kepemimpinannya. Semua orang diajak untuk menemukan suara hatinya sebagai sebuah anugerah dan kemudian mengilhami orang lain untuk menemukan suara hati mereka. Inilah yang menurut Covey, tantangan paling berat bagi seorang pemimpin.

Dan, tantangan terbaru yang harus dihadapi oleh institusi-institusi pendidikan di Indoensia adalah dengan terbitnya UU BHP. UU ini secara drastis telah merubah konfigurasi pengelolaan/kepemimpinan di yayasan dan kemudian sekolah. Dengan adanya UU ini, kepala sekolah harus benar-benar menjadi institusi yang otonom dan mandiri. Bila sebelumnya, kepala sekolah hanya menjadi pelaksana dari kebijakan dan keputusan yayasan, maka kini, kepala sekolah harus mengambil alih semua pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh yayasan. Sekolah-sekolah yang telah membiasakan diri dengan atmosfer yang efektif yang diciptakan bersama antara pimpinan dan seluruh karyawannya tidak akan terlalu kesulitan menghadapinya.

PENUTUP
Perkembangan dalam dunia pendidikan berlangsung begitu cepat, sejalan juga dengan perkembangan yang terjadi pada dunia pada umumnya. Penyintas bagi perubahan-perubahan ini adalah mereka-mereka yang mampu beradaptasi secara cerdas, bukan hanya untuk kepentingan sesaat, tetapi untuk suatu kepentingan yang jauh lebih panjang. Bahkan untuk kepentingan terlaksananya karya Allah di tengah dunia.

Sosok strategis dalam menyikapi perubahan-perubahan ini adalah kepala sekolah. Oleh karenanya, sudah saatnya kepala sekolah dikondisikan menjadi motor penggerak, untuk mencapai visi dan misi pendidikan di sekolah. Sudah saatnya kepala sekolah menjadi orang yang paling up-to-date di institusinya. (db)

Pekanbaru, 25 Mei 2009

(Dimuat di Majalah EDUCARE Edisi Oktober 2009)