Follow Us @agnes_bemoe

Thursday 22 April 2010

WASPADA BURNOUT


Mungkin saya termasuk orang yang terlambat mengenal kata “burnout” ini. Saya membacanya pertama kali dari Kompas Minggu, beberapa bulan yang lalu. Karena masih penasaran, saya gugling istilah ini di internet. Yang membuat terkejut adalah ketika saya mendapati bahwa ternyata profesi guru merupakan salah satu profesi yang rentan dengan gejala ini! Berikut dalam tulisan ini saya mencoba menyarikan kembali tulisan tentang burnout tersebut.

Burnout adalah istilah psikologis untuk menami suatu kondisi kelelahan jangka panjang dan disertai dengan berkurangnya minat. Burnout merupakan suatu respon terhadap tekanan pekerjaan yang membuat seseorang merasa tidak berdaya, putus asa, lelah, letih, dan frustrasi. Penyebabnya ditengarai adalah waktu bekerja yang ekstra panjang, beban tugas yang melampaui kapasitas individual, serta kurangnya waktu beristirahat yang berkualitas.

GEJALA
Burnout tidak terjadi dalam semalam. Oleh karenanya perlu dikenali gejala-gejalanya. Berikut ini adalah beberapa tanda bahwa seseorang terkena burnout:
  1. Rekan kerja terasa mengganggu. Seseorang yang terkena burnout menunjukkan tanda-tanda menjadi lebih rewel dan mudah marah saat menghadapi rekan kerja lain, yang biasanya memiliki hubungan akrab. Perlu diwaspadai karena kondisi tersebut barangkali lebih dari sekadar dinamika antarpribadi yang terjadi.
  2. Datang terlambat, pulang lebih awal. Bila seseorang karyawan yang biasanya rajin, selalu tepat waktu dan tidak pernah menyia-nyiakan waktu kerja, tiba-tiba menunjukkan gejala yang berbeda, maka kemungkinan ia sedang mengalami gejala burnout. Ia seolah-olah merasa tidak nyaman berada di sekolah.
  3. Bersikap apatis. Seseorang yang mengalami kejenuhan biasanya kehilangan motivasi untuk melakukan sesuatu, serta tidak memiliki kebanggaan ketika berhasil menyelasaikan suatu pekerjaan dengan baik. Ia juga merasa gagal, dan tidak memiliki hasrat untuk menghadapi tantangan padahal mungkin selama ini ia selalu bersikap penuh antusias. Ia sulit berkonsentrasi pada tugas-tugas dan merasa kewalahan dengan beban kerja.
  4. Kehilangan hubungan dengan rekan kerja. Orang yang sedang berada dalam kondisi burnout biasanya tidak lagi tertarik menjalin hubungan sosial dengan rekan kerja. Yang tadinya sering makan siang bersama, hang out di waktu luang, serta berpartisipasi dalam berbagai acara, sekarang kehilangan minat untuk bersosialisasi.
  5. Sakit fisik. Merasa lelah, sakit kepala, otot tegang, serta mengalami kesulitan tidur di malam hari. Tanda-tanda fisik ini merupakan indikator umum stres akibat pekerjaan, dan dapat berubah menjadi masalah fisik yang serius. Ia juga mengalami gangguan pencernaan, sakit kepala, dan jantung berdebar-debar.

BURNOUT PADA GURU
Seperti yang saya kemukakan di awal tulisan, profesi guru ternyata rentan sekali dengan burnout ini. Kebanyakan orang, sebelum mereka menjadi guru, mengira menjadi guru itu mudah. Tetapi, begitu mereka terjun dalam bidang ini, mereka menemukan bahwa tuntutan sebagai pendidik profesional di sekolah kadang sulit dan penuh tekanan. Tekanan-tekanan itu bisa berasal dari tuntutan penyelesaian administrasi, kemampuan mengelola kelas, tekanan dari atasan, sampai pada tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan gaji gurunya.

Sebagai seorang guru, saya mengakui bahwa tuntutan pembuatan administrasi sebagai guru ini tidak bisa dikatakan sedikit. Untuk mengajar satu bidang studi pada satu jenjang seorang guru harus membuat Program Tahunan, Program Semester, Silabus, dan RPP. Membuat Program Tahunan dan Program Semester tidak sulit. Namun, tidak demikian dengan pembuatan Silabus dan RPP. Guru harus merancang pembelajaran mulai dari hulu sampai hilir. Hal ini cukup merepotkan, minimal menyita waktu dan pikiran.

Guru juga harus mempunyai daftar nilai, yang berisi kumpulan nilai siswa. Tentunya itu didapatkan setelah selesai mengajar dan memberi ulangan. Artinya lagi, guru harus mempersiapkan serangkaian soal ulangan dan kemudian mengkoreksinya. Beberapa tahun yang lalu, guru hanya perlu mengadakan satu kali ulangan untuk mendapatkan nilai siswa untuk satu topik, namun, sekarang, seiring dengan diterapkannya KTSP, guru harus mengadakan beberapa kali belajar dan ulangan remedi untuk memperbaiki hasil belajar siswa. Itu berarti bahwa proses persiapan bahan mengajar, membuat soal, memberikan ulangan, dan mengoreksinya bisa terjadi berulang-ulang dan berulang-ulang untuk satu topik yang sama. Belum berhenti sampai di situ, seorang guru juga harus melengkapi dirinya dengan Analisis Hasil Belajar Siswa yang pengolahannya cukup rumit. Ini tentu saja dengan asumsi bahwa guru sudah punya Buku Kumpulan Soal dan Buku Daftar Nilai tadi.

Selain dari tuntutan administrasi, guru juga harus terampil mengelola kelasnya. Guru harus terampil berhubungan dengan siswanya. Di sinilah tantangan sering muncul. Terutama apabila guru belum terlalu berpengalaman atau belum memiliki kekuatan kepribadian. Tidak jarang malah guru menjadi bulan-bulanan siswa. Guru harus mengadapi sekian banyak siswa, dengan karakter yang berbeda-beda. Guru harus bisa tegas, namun di saat yang sama juga bisa tampil segar dan ceria. Guru dituntut untuk selalu menampilkan dirinya dengan sesempurna mungkin di depan sekian banyak siswanya. Situasi ini terkadang diperparah dengan banyaknya jumlah jam mengajar guru dalam sehari, sehingga dalam sehari mereka hanya berinteraksi dengan siswa, dan tidak sempat bersosialisasi dengan guru lain sebagai pelepasan. Mengelola kelas merupakan suatu pergumulan sendiri yang tidak ringan. Tidak jarang, seorang guru merasa gagal, bukan karena ia tidak mampu dalam bidang studi yang diajarkannya, tetapi karena ketidakmampuanya mengelola kelasnya.

Selanjutnya, atasan merupakan salah satu faktor pemicu burnout ini. Seorang guru akan merasa senang bekerja di bawah seorang kepala sekolah yang mengayomi, adil, responsif, dan bijaksana. Adalah neraka bagi guru bila kebetulan ia mendapatkan kepala sekolah yang memiliki perilaku yang sebaliknya. Ada saja kepala sekolah yang memperlakukan guru-guru dengan tidak baik, menganggap mereka hanyalah “pekerja”, sehingga tidak segan-segan mencerca, menghina, bahkan mempermalukan guru-gurunya. Ia tidak mampu tampil sebagai pemimpin yang bijaksana dan disegani, bahkan sebaliknya, diktator fasis.

Atasan-atasan (dalam hal ini kepala sekolah) yang mentah kepemimpinannya seperti ini yang tidak jarang menyumbangang tekanan yang tidak ringan bagi para guru. Seharusnyalah bila muncul permasalahan seperti ini, atasan dari kepala sekolahlah yang harus turun tangan. Namun, sayangnya, tidak semua atasan kepala sekolah punya cukup konsern pada guru-gurunya, termasuk pada kesehatan mental para gurunya. Seringkali mereka lebih memperhatikan banyaknya uang masuk, daripada kondisi guru-gurunya. Pandangan bahwa “guru harus puas karena sudah diberi uang/gaji” ini tidak hanya sangat melecehkan guru tetapi juga menyesatkan dalam hal penanganan permasalahan guru.

Tidak jarang juga, bila ada guru yang mencoba mengungkapkan aspirasinya berdasarkan pengalaman tidak menyenangkan di sekolah bersama kepala sekolahnya, bukannya mendapat tanggapan positif, tapi sebaliknya, malah dianggap tidak beretika, provokator, iri, pemecah belah, dan lain-lain, yang intinya sudah jauh sama sekali dari esensi permasalahannya. Tekanan pada guru bisa muncul karena rendahkan kualitas pemimpin di sekolah maupun institusi di atas sekolah.

Selanjutnya adalah tekanan “klise” para guru: penghasilan. Penghasilan yang minim seolah-olah melekat pada profesi yang satu ini. Banyak kita dengan kisah dari media massa mengenai para guru yang harus nyambi, karena penghasilannya sebagai guru tidak mencukupi. Sedihnya, terkadang pekerjaan sambilannya itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan profesinya sebagai guru, misalnya: tukang ojek, penjual kacang, bahkan pemulung…

PENCEGAHAN
Pencegahan atas burnout ini bisa dilakukan oleh individu maupun institusi. Untuk institusi, hal-hal berikut ini dapat dilakukan:
  1. Berkonsultasi dengan guru mengenai hal-hal, seperti pengembangan kurikulum atau perencanaan instruksional, yang berdampak langsung terhadap kelas mereka.
  2. Menyediakan sumber daya yang memadai dan fasilitas untuk mendukung para guru dalam praktek pengajaran.
  3. Memberikan deskripsi tugas dan harapan yang jelas.
  4. Menetapkan dan memelihara jalur komunikasi terbuka antara guru dan administrator untuk memberikan dukungan administratif dan umpan balik kinerja yang dapat bertindak sebagai penyangga stres.
  5. Memungkinkan untuk dan mendorong kegiatan-kegiatan pengembangan profesional seperti mentoring dan jaringan, yang dapat menimbulkan rasa keberhasilan dan yang lebih berkembang sepenuhnya identitas profesional bagi guru.

Bagi guru sendiri sebagai individu, burnout dapat diatasi dengan cara sebagai berikut:
  1. Guru perlu mengevaluasi kembali pilihannya sebagai guru. Jika guru merasa mengalami burnout terkadang ia harus mengambil keputusan apakah ia dapat atau ingin melanjutkan pekerjaannya sebagai guru. Pertimbangan tersebut hendaknya merupakan pertimbangan yang menyeluruh, termasuk juga mempertimbangan tentang kesempatan kerja, keuangan pribadi, serta tuntutan keluarga. Namun demikian, ia juga harus member perhatian pada kesehatan mentalnya.
  2. Guru juga harus berani mengurangi komitmen di tempat kerja dan di rumah serta belajar mengatakan tidak, terutama untuk tugas-tugas yang di luar batas kemampuan.
  3. Guru perlu mempelajari keterampilan mengelola stres. Melakukan pekerjaan yang tidak terlalu banyak tuntutan, ataupun meluangkan waktu untuk hobi. Guru juga perlu meluangkan waktu lebih banyak dengan teman sesama guru. Terkadang obrolan ringan di ruang guru dapat meredakan stress. Tidak lupa pula guru perlu meluangkan waktu lebih banyak dengan keluarga.
  4. Perbanyak istirahat dan mengkonsumsi makanan sehat.
  5. Pindah ke sekolah lain yang memiliki atmosfer yang lebih menyenangkan.

Burnout merupakan suatu gelaja kelelahan akut yang disebabkan kurang harmonisnya jumlah tekanan dengan kemampuan mengelola tekanan itu sendiri. Guru sebagai sebuah profesi ternyata sangat rentan dengan kondisi ini. Oleh karenanya, guru, selaku individu, perlu mempelajari langkah-langkah untuk mengurangi stress, perlu memahami benar apa tujuannya sebagai guru, dan harus berani mengevaluasi dan mengambil keputusan berkaitan dengan profesinya sebagai guru.

Institusi sebagai tempat guru berkarya hendaknya juga harus mulai merasa bertanggung jawab terhadap kesehatan mental para gurunya. Dengan ini semua diharapkan guru dapat bekerja dengan lebih maksimal, sehingga kualitas pengajaran dan pendidikan dapat ditingkatkan. (db)

Sumber:
http://www.ericdigests.org/2004-1/burnout.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Burnout_%28psychology%29
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2010/04/15/brk,20100415-240754,id.html
Mengenali Lima Gejala Job Burnout – Yulia Rahmawati – ehow.com

Sumber Gambar:
http://www.google.co.id/imglanding?q=angry teacher&imgur

Pekanbaru, 22 April 2010

3 comments:

  1. wah... baru sadar jadi guru itu ternyata tidak gampak ya... dulu pernah jd guru les privat, tp yg diajar kan beberapa org aja, lagi ga perlu bikin laporan macem2, yg penting anak2nya dapat nilai bagus n bisa pandai :D
    Tulisan yang sangat bagus dan menarik Mba :)

    ReplyDelete
  2. yang susah itu menjadi guru yg tidak pernah membosankan bagi murid2nya kali ya :) Ulasan yg bagus Bu Guru...tks a lot....^^

    ReplyDelete
  3. Bu Agnes,sy baru saja membaca tulisan ibu tentang Burnout ini..dan ternyata saja juga sedang mengalaminya..(walaupun sy bukan seorang guru :D )Semoga aja dengan membaca tulisan ibu ini dapat sedikit membantu saya mengatasi permasalahan sy.. Thanks Bu.. :)

    ReplyDelete