Beberapa
waktu yang lalu saya mendapat tugas menyeleksi sejumlah cerpen tiga paragraf (
#Pentigraf) di sebuah grup menulis. Di samping beberapa yang lemah, saya
membaca banyak cerpen yang bagus-bagus. Lalu, lama-lama, saya merasa menemukan
semacam pola pada cerpen-cerpen yang bagus itu. Ujung-ujungnya, saya bersyukur banget mendapat
tugas menyeleksi ini. Ini merupakan pengalaman pembelajaran buat saya. Nah, pengalaman
itulah yang saya tuangkan di sini.
Gambar diamil dari Google |
BEDA
ANTARA CERPEN, INFO/BERITA, KOTBAH, DAN CURHAT
Katakanlah,
empat orang mendapat ide tentang “kematian”. A membuatnya menjadi semacam
info/berita: tokoh bercerita tentang teman masa kecilnya, dari awal pertemanan
sampai temannya kemudian meninggal. B membuatnya menjadi semacam renungan
tentang kematian diakhiri dengan pesan tentang kehidupan. C membuatnya menjadi semacam
luahan perasaannya tentang kematian orang terdekatnya. Dalam konteks menulis
cerpen, ketiga jenis tulisan di atas tidak terlalu menarik dibaca. Yang bergaya
info/berita terasa kering, tidak ada lompatan emosional yang ditunggu pembaca.
Yang bergaya kotbah terasa (maaf) memuakkan. Toh ada banyak penulis renungan
yang lebih bagus dan enak dibaca kalau kita memang ingin membaca renungan. Yang
bergaya curhat membuat pembaca kelelahan karena merasa “ditumpahi” cerita.
Tidak ada alur, tidak ada plot, terkadang (seringnya) dengan bahasa yang tidak
efektif a la curhat, belum lagi biasanya ‘lebay’ secara emosional.
D
mengambil ide “kematian” kemudian memikirkan “bagaimana saya membuatnya menjadi menarik”. Ia menyusun alur,
menyusun plot, membentuk karakter, menentukan konfliknya, memikirkan endingnya,
memikirkan kata-kata yang akan ditulis apakah cukup tepat atau tidak, dan
seterusnya seperti yang disarankan teori-teori penyusunan cerita.
EKSEKUSI
IDE
Saya
rasa, tujuan untuk membuat menjadi
menarik inilah yang membedakan. Ada banyak penulis berhenti pada menulis,
titik. Pokoknya menulis, tanpa peduli apakah tulisannya menarik untuk dibaca
atau tidak. Penulis cerpen memikirkan dengan cermat eksekusi atas ide yang didapatnya. Ia mengolah ide sedemikian rupa
sehingga tulisannya jadi semacam hidangan yang lezat dan bukan sekedar kumpulan
beras, lauk mentah, dan bumbu-bumbu (lalu mengharap pembaca mengunyah sendiri).
Ia memulai dengan efisien (tidak
bertele-tele). Ia bercerita dengan lancar dan memikat. Ia menggiring pembaca
pada ending yang sedap.
Bicara
tentang eksekusi, mengandaikan ada proses wajib yang dilalui penulis. Proses
itu bernama rewriting (membaca dan
menulis ulang): setelah mendapat ide dan menuliskannya, penulis membaca kembali
sambil memperbaiki tulisannya. Seringnya ini perlu dilakukan berulang-ulang
sampai penulis benar-benar puas akan hasilnya.
TATA
TULIS YANG DISIPLIN
Selain
eksekusi yang memikat, saya mendapati bahwa cerpen-cerpen yang asyik dibaca
ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya salut pada penulis
yang menulis dengan tertib seperti ini. Kata Sutardji Calzoum Bachri: “seindah-indahnya
bahasa, akan rusak juga bila dipakai oleh orang yang tak peduli dan lalai.”
Bahasa Indonesia itu bahasa yang indah dan unik. Yang mengaku penulis
seharusnya lebih getol mempertahankannya ketimbang merusaknya.
Apakah
Bahasa Indonesia yang baik dan benar lantas membuat tulisan kaku? Tidak tuh. Dalam konteks seleksi #Pentigraf
ini baca saja tulisan Tengsoe Tjahjono, Krismariana Widyaningsih, atau Wrini
Harlindi. Ini hanyalah tiga orang di antara banyak penulis yang menulis dengan
tertib dan tulisannya enak dibaca. Ada penulis yang memilih gaya jenaka dalam
menulis dan mampu menulis dengan tertib tanpa bersembunyi di balik alasan
kejenakaan (gokil). Coba baca tulisan Theresia Anik Soetaryo atau Fidelis R.
Situmorang.
PENUTUP
Sekali
lagi saya bersyukur mendapat tugas menyeleksi cerpen-cerpen ini. Terpapar
dengan bacaan yang bagus dan menarik membuat saya seperti bersekolah dengan
gratis. Namun demikian, “kunyahan” saya tentang cerpen yang bagus ini adalah
yang paling tepat untuk “pencernakan” saya. Saya yakin, teman-teman pembaca
punya “kunyahan” tersendiri yang lebih baik untuk diri teman-teman sendiri.
Yang penting, tetap semangat menulis. (db)
Pembatuan, 30 Juni 2016