Hujan Bulan Juni. Sapardi Djoko Damono
MEINE WELT
October 31, 2015
0 Comments
Menyusuri lorong toko buku itu dengan pinggang menggigit -iya, aku terlalu pede menggotong sendiri beberapa potong buku yang barusan kupilih- kutemukan buku itu. Hujan Bulan Juni. Sapardi Djoko Damono.
Kuraih kumpulan puisi bergambar butiran hujan itu. Lalu, semuanya berkelebatan menyerbu kepalaku.
Waktu itu, hari serasa jadi sahabat terbaik kita. Aku menikmati menit demi menitnya, berada di sisimu, dekat denganmu.
Kulingkarkan tanganku di lenganmu, berharap selalu sedekat itu denganmu. Berharap engkau tak akan pernah jauh dariku.
Menyusuri lorong toko buku, mencari buku kesukaanmu. Hujan Bulan Juni. Sapardi Djoko Damono. Lantas kau memilih dengan sangat hati-hati, satu dari sekian buku itu. Mengamati, menelisik, membolak-balik, lalu kembali mengamati. Engkau ingin buku itu dalam kondisi sempurna.
Herannya, aku yang biasanya tak sabaran, kali itu malah geli dalam hati melihat tingkahmu (iya, aku takut tertawa beneran. Takut kau tersinggung). Jujur, aku malah "menikmati" kecerewetanmu memilih buku.
Akhirnya, kau temukan juga salah satu copy yang menurutmu paling sempurna. Satu copy yang mirip dengan yang sedang kupegang sekarang. Hujan Bulan Juni. Sapardi Djoko Damono.
Lalu aku tersadar. Aku tidak sedang bersamamu. Kita berjauhan. Hati kita berjauhan. Sangat jauh. Pertengkaran yang buruk memisahkan kita.
Dan, seperti buku Hujan Bulan Juni, aku adalah copy yang penyok di sana-sini, penuh bercak dan bintik di tiap lembarku, kusam di kaverku. Tidak heran, kau tidak kembali dan memasukkanku di keranjang belanjamu. Kali ini aku tidak bisa menahan geli. Aku menggigit tangisku.
Tanpa sadar, kuraih telepon genggamku dan memeriksanya. Berharap ada pesan darimu. Ponselku bisu. Menatapku kelu.
Tiba-tiba lewat sepasang kekasih di belakangku. Mereka saling berbisik, kemudian tertawa. Si gadis melingkarkan tangannya ke lengan kekasihnya. Mereka kembali tertawa.
Sesuatu menusuk ulu hatiku. Sepertinya mereka menertawakan kami: aku dan lamunanku.
Kuletakkan kembali buku itu. Hujan Bulan Juni. Sapardi Djoko Damono. Kutinggalkan toko buku itu.
Di luar ternyata hujan. Hujan hari terakhir bulan Oktober.
Engkau tak akan ada lagi di hari-hari di depanku. Di hujan ataupun cerahku. Beberapa kali pesan singkatku tak kau balas. Teleponku pun tak berjawab. Aku ingin minta maaf. Aku menghancurkan semuanya. Aku berniat memperbaikinya. Namun, tampaknya kesempatanku sudah habis. Maka, aku harus belajar menyusur hari tanpa dirimu.
Kudekap erat "Hujan Bulan Juni", novel Sapardi Djoko Damono yang sudah lama kujanjikan untukmu, dan baru sempat kubeli tadi.
Kurasakan hujan memburamkan mataku. Menyesakkan dadaku.
Kugigit bibirku. Menembus hujan di depanku.
***
Pembatuan, 31 Oktober 2015
@agnes_bemoe
Kuraih kumpulan puisi bergambar butiran hujan itu. Lalu, semuanya berkelebatan menyerbu kepalaku.
Waktu itu, hari serasa jadi sahabat terbaik kita. Aku menikmati menit demi menitnya, berada di sisimu, dekat denganmu.
Kulingkarkan tanganku di lenganmu, berharap selalu sedekat itu denganmu. Berharap engkau tak akan pernah jauh dariku.
Menyusuri lorong toko buku, mencari buku kesukaanmu. Hujan Bulan Juni. Sapardi Djoko Damono. Lantas kau memilih dengan sangat hati-hati, satu dari sekian buku itu. Mengamati, menelisik, membolak-balik, lalu kembali mengamati. Engkau ingin buku itu dalam kondisi sempurna.
Herannya, aku yang biasanya tak sabaran, kali itu malah geli dalam hati melihat tingkahmu (iya, aku takut tertawa beneran. Takut kau tersinggung). Jujur, aku malah "menikmati" kecerewetanmu memilih buku.
Akhirnya, kau temukan juga salah satu copy yang menurutmu paling sempurna. Satu copy yang mirip dengan yang sedang kupegang sekarang. Hujan Bulan Juni. Sapardi Djoko Damono.
Lalu aku tersadar. Aku tidak sedang bersamamu. Kita berjauhan. Hati kita berjauhan. Sangat jauh. Pertengkaran yang buruk memisahkan kita.
Dan, seperti buku Hujan Bulan Juni, aku adalah copy yang penyok di sana-sini, penuh bercak dan bintik di tiap lembarku, kusam di kaverku. Tidak heran, kau tidak kembali dan memasukkanku di keranjang belanjamu. Kali ini aku tidak bisa menahan geli. Aku menggigit tangisku.
Tanpa sadar, kuraih telepon genggamku dan memeriksanya. Berharap ada pesan darimu. Ponselku bisu. Menatapku kelu.
Tiba-tiba lewat sepasang kekasih di belakangku. Mereka saling berbisik, kemudian tertawa. Si gadis melingkarkan tangannya ke lengan kekasihnya. Mereka kembali tertawa.
Sesuatu menusuk ulu hatiku. Sepertinya mereka menertawakan kami: aku dan lamunanku.
Kuletakkan kembali buku itu. Hujan Bulan Juni. Sapardi Djoko Damono. Kutinggalkan toko buku itu.
Di luar ternyata hujan. Hujan hari terakhir bulan Oktober.
Engkau tak akan ada lagi di hari-hari di depanku. Di hujan ataupun cerahku. Beberapa kali pesan singkatku tak kau balas. Teleponku pun tak berjawab. Aku ingin minta maaf. Aku menghancurkan semuanya. Aku berniat memperbaikinya. Namun, tampaknya kesempatanku sudah habis. Maka, aku harus belajar menyusur hari tanpa dirimu.
Kudekap erat "Hujan Bulan Juni", novel Sapardi Djoko Damono yang sudah lama kujanjikan untukmu, dan baru sempat kubeli tadi.
Kurasakan hujan memburamkan mataku. Menyesakkan dadaku.
Kugigit bibirku. Menembus hujan di depanku.
***
Pembatuan, 31 Oktober 2015
@agnes_bemoe