Follow Us @agnes_bemoe

Monday 26 May 2014

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: BROKOLI vs SNACK KEMASAN

May 26, 2014 3 Comments
Judul Buku : Misteri Gua Purba
Serial          : Serial Misteri Favorit
Penulis       : Yovita Siswati
Ilustrator    : Indra Bayu
Editor         : Pradhika Bestari

Penerbit     : Penerbit Kiddo
Genre         : Fiksi Anak
Jumlah Halaman : 161 halaman



APA YANG DIHARAPKAN DARI SEBUAH CERITA MISTERI?
Sesuatu yang menegangkan sekaligus membetot urat ingin tahu pembaca. Pembaca dibuat merasa sudah tahu namun kemudian dikecoh dengan kenyataan yang jauh berbeda.  Pembaca dihipnotis dari plot ke plot sampai-sampai tidak merasa sedang membaca, melainkan mengalami sendiri. Pembaca dibawa melanglang buana ke pelbagai tempat eksotis dan merasa menjadi bagian dari tempat itu. Terakhir, ketika sampai pada halaman terakhir, pembaca ditinggalkan dalam perasaan “merana”, ingin lagi cerita itu berlanjut.

Inilah yang saya harapkan dari membaca sebuah cerita misteri. 
Syukurlah, itu pulalah yang saya dapatkan dari buku “Misteri Gua Purba” tulisan Yovita Siswati. Saya teringat novel-novel misteri anak favorit saya semasa kecil, “Lima Sekawan” oleh Enid Blyton. Setting lokasi Inggris kuno dengan kastil tua dan lorong bawah tanah, atau pulau terpencil dengan danau atau hutannya yang khas negeri empat musim, membuat saya terpukau. Petualangan Julian, Dick, Anne, dan Georgina sepupu mereka serta Timmy anjing George (panggilan untuk Georgina) di tempat-tempat itu tidak terlupakan.

Misteri Gua Purba membawa pembaca menjelajah daerah Yogyakarta: Godean, Kaliurang, sampai ke Wonosobo di Jawa Tengah. Bintangnya adalah gua-gua vertikal yang memukau di daerah Gunung Kidul! Bagas, Galuh, dan Mas Damar mau tak mau menyusuri tempat-tempat itu dalam usaha mereka memecahkan misteri harta karun peninggalan Perang Diponegoro.

Perang Diponegoro?
Ya, novel ini mengangkat Perang Diponegoro sebagai salah satu latar belakangnya. Imajinasi Yovita yang luar biasa mengangkat peristiwa hampir dua abad yang lalu itu menjadi hidup kembali. 
Dikisahkan, Bagas dititipi sebuah daluang (tabung bambu) berisi huruf Hanacaraka (Tulisan Jawa). Tulisan dalam daluang itu diduga mengacu pada harta karun berupa uang emas dalam Peristiwa Lagorok, peristiwa dikalahkannya pasukan Kapten Kumsius oleh pasukan Diponegoro di daerah Wonosobo tahun 1825. Ingin mengetahui kebenarannya, Bagas dan Galuh dengan dibantu Mas Damar memburunya sampai ke Gua Jomblang di Gunung Kidul. Ternyata mereka tidak sendirian. Ada pihak lain yang juga menginginkan harta karun itu.

Kedengaran klise? Tunggu sampai anda membaca sendiri “Misteri Gua Purba”. Seperti saya ingatkan di atas, pembaca yang sok tau (seperti saya, misalnya) bisa terkecoh mentah-mentah. Yovita tidak memberi kesempatan pada pembaca untuk membuktikan bahwa mereka benar. Yovita juga tidak memberi kesempatan pembaca untuk bernafas. Plot mengalir lancar sekali. Flawless. Tidak ada yang kedodoran. Bahasanya ringan, namun tetap berterima. Salut!

Lalu, saya harus menjura sedalam-dalamnya akan kepiawaian Yovita meramu unsur sejarah dan budaya dalam novel anak ini. Kebetulan, saya pribadi sangat suka pada sejarah dan budaya. Namun, saya rasa, bukan subyektitivitas ini yang membuat novel ini punya nilai lebih.


“Books are the carriers of civilization. Without books: history is silent, literature dumb, science crippled, thought and speculation at standstill. They are engines of change, windows on the world, lighthouses erected in the sea of time.” 

Demikian Barbara W. Tuchman, seorang sejarawan Amerika,  menjelaskan hubungan yang sangat dekat antara buku dan sejarah. Dengan ini saya rasa novel besutan Yovita ini telah melaksanakan tugasnya sebagai penerus peradaban. 

BROKOLI vs SNACK KEMASAN
Mengapa saya memberi judul seperti ini untuk resensi saya? 
Membaca ternyata mirip dengan makan. Makanan bisa saja disukai biarpun sama sekali tidak bergizi. Sebaliknya, ada yang dijauhi biarpun terbukti membuat badan lebih sehat. 

Akhir-akhir ini saya merasa prihatin terkait bacaan (novel) anak. Beberapa novel anak berkembang menjadi bacaan yang sangat digemari oleh pembaca (anak). Ketika saya mencoba ikut membaca, betapa terkejutnya saya. Banyak hal membuat saya hanya bisa terdiam. Bahasa yang jauh dari berterima. Isi cerita melulu tentang kemudahan dan menawarkan mimpi. Perjuangan hidup atau nilai-nilai lainnya kering maknanya. Apatah lagi “sekadar” plot atau teknik penulisan.

Memang, bila disuruh memilih antara snack kemasan dengan brokoli (atau sayuran dan buah-buahan), anak pasti memilih sncak kemasan. Rasanya gurih dan lezat di lidah. Tapi, siapapun tahu, snack kemasan tidak mengandung gizi yang cukup. Sebaliknya mengandung garam dan MSG yang kurang baik bagi kesehatan.

Sama juga seperti buku bacaan. Anak-anak cenderung memilih yang mudah dan ringan, yang cenderung memanjakan mimpi mereka tentang hidup. Namun, sama seperti snack kemasan yang menggembung tapi langsung kempis bila dibuka, buku-buku semacam itu belum memenuhi standar kebutuhan anak akan bacaan bergizi. Mengacu pada pendapat Barbara W. Tuchman di atas, buku-buku seperti itu belum mampu membawa pembacanya menuju suatu peradaban. 

Oleh karenanya, saya menyambut baik novel Yovita ini. Saya sudah membaca dua buku dari sekian buku Serial Misteri Favorit terbitan Penerbit Kiddo ini. Dua-duanya menawarkan nilai lebih yang belum saya temukan setelah saya harus melepaskan “Lima Sekawan” atau “Imung” – Arswendo Atmowiloto. Salut bagi kreator ide dan tentu saja kepada penulis yang mengeksekusi ide ini dengan sangat cantik. Apakah lantas buku ini menjadi membosankan karena “berat”? Tidak juga. Seperti yang saya sampaikan di atas, Yovita bercerita dengan asyik sekali. Tambahan lagi, ilustrasi-ilustrasi bernas yang dibuat oleh Indra Bayu membuat mata pembaca segar kembali.

Saya sangat menyarankan agar orang tua memilihkan buku ini untuk anak-anak mereka. Sekolah pun perlu punya koleksi buku ini di perpustakaan sekolah. Rekan penulis dan editor sebaiknya berlomba-lomba merancang karya yang bergizi semacam ini. Tuntutan pasar membuat kita semua lebih memilih bersikap pragmatis. Namun, kita juga ingat punya tuntutan moral kan?

***

Pekanbaru, 27 Mei 2014
Agnes Bemoe

Tuesday 13 May 2014

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: SEMBILAN CERITA

May 13, 2014 0 Comments
Judul Buku         : Dongeng untuk Nara
Penulis                 : Denny Ketip
Editor                 : Y. Wibowo
Penerbit                 : BE Press
Genre                 : Kumpulan Cerpen
Jumlah Halaman : 76 halaman, 13 X 19 cm
Tahun Terbit         : 2014



Hidup sehari-hari sesungguhnya narasi yang tak ada habisnya. 

Itu yang pertama saya rasakan setelah membaca sembilan cerita di buku kumpulan cerpen Denny Ketip ini. Sembilan cerpen di dalamnya menceritakan hal-hal “biasa” yang ada di sekitar kita. 

Ambil kisah pertama, “Mbah Diem”, yang mengambil konflik umum: bertabrakannya sistem kepercayaan tradisional dengan tsunami modernisasi. Di posisi manapun kita duduk sambil membaca cerita ini, di kafe dengan secangkir cappuccino atau di terminal bis antar kota antar provinsi, kita merasakan konflik yang mirip. Siapa yang tidak pernah merasakan kegamangan akibat perbenturan antara ruang tempat kita berasal dengan ruang kemana kita -mau tak mau- pergi?

Atau cerpen “Suatu Malam”. Cerpen ini menggambarkan romantisme kehidupan orang susah. Siapa dari kita yang tidak pernah bertemu dengan situasi yang mirip, atau bahkan mengalaminya sendiri? Me-reframe kondisi pahit menjadi manis. Duka menjadi indah. Loser goes to winner.

Sembilan cerpen ini seperti kamera. Memotret hidup sehari-hari apa adanya, lalu diproses begitu saja tanpa bantuan teknologi fotografi. Alamiah. 
Sembilan cerpen menyebar terserak tanpa satu pengikat. Namun, apa juga pentingnya suatu pengikat? Bukannya bisa saja jatuh pada aksesoris semata? Seperti bros di baju wanita, dipakai oke, tidak juga tidak apa-apa. 

Sembilan cerita, harus saya akui sebagian besarnya sangat saya nikmati. 
Favorit saya adalah “Sebait Puisi”. Cerita tentang seorang pria brengsek yang menemukan tambatan hatinya ketika ia sedang teruburu-buru dan berdoa asal-asalan di gereja. Ternyata, wanita yang digila-gilainya tak bisa dimilikinya karena wantia itu seorang biarawati.  Saya suka dengan cara penceritaannya yang lugas mengalir lancar. Tidak bertele-tele. Tidak juga menjual kecengengan a la orang yang sedang kasmaran. Walaupun demikian, saya bisa merasakan kekecewaan si aku waktu tahu ia tidak bisa memiliki wanita pujaannya. Isapan kretek yang dalam yang dilakukan si aku secara berulang kali sudah cukup mewakili perasaannya, tanpa perlu kata-kata panjang lebar. 

Cerita berikutnya “Mata Hatimu Menopang Tanganku” juga mencuri hati saya. Ceritanya sangat kuat dan menyentuh. Lagi-lagi memotret kehidupan sehari-hari yang penuh dengan ketidakmudahan tanpa berlebay-ria. Menurut saya, ini cerpen paling kuat di kumpulan cerpen ini. 

Sembilan cerita, memang tidak semuanya bisa saya pahami. Ada yang ilustrasinya terlalu panjang, menurut saya (Mbah Diem). Atau endingnya terlalu mudah (Satu Malam untuk Patra), masih menurut saya. Namun, saya juga tidak berpretensi bisa memahami semua yang saya baca. Saya tidak ingin subyektivitas berlebihan menguasai diri saya.
Yang secara obyektif mengusik saya adalah penerapan tata tulis setiap cerpennya. Saya pikir sembilan cerita ini memerlukan proses editing di bagian ini. 

Di luar itu semua sembilan cerita di kumcer “Dongeng untuk Nara” sangat beruntung karena terbungkus oleh kaver yang sangat menarik. Gambar bulu dalam gradasi warna cokelat sangat memancing imajinasi.

Akhirnya, saya rekomendasikan sembilan cerita ini untuk siapa saja yang suka melibatkan diri dalam hidup sehari-hari yang penuh cerita ini. Hidup sehari-hari sesungguhnya narasi yang tak ada habisnya. Sembilan cerita di “Dongeng untuk Nara” membuktikannya. 

***

Pekanbaru, 13 Mei 2014
Agnes Bemoe

Monday 5 May 2014

THE LUNATIC SIDE OF ME [TLSoM]: SWEET TEMPTATION (3)

May 05, 2014 0 Comments
Sumber Gambar: http://musikoyiq.blogspot.com/2013/06/kerispatih-kejujuran-hati-full-album.html


Kuakui aku memang cemburu
Setiap kali kudengar namanya kau sebut
Tapi ku tak pernah bisa
Melakukan apa yang seharusnya kulakukan
Karena memang kau bukan milikku

Suara serak Sammy Simorangkir menyergap, waktu aku masuk ke toko itu.
Astaga!
Apakah Sammy sedang mengejekku?
Bukan, bukan Sammy.
Apakah semesta sedang mengejekku?

Aku berputar-putar tak tentu arah di lorong toko
Sejenak lupa, untuk apa aku ke sana.

Sesungguhnya ku tak rela
Jika kau tetap bersama dirinya
Hempaskan cinta yang kuberi

Kugigit bibir. Membuang ngilu yang menohok perlahan.
Semesta bersorak di atas retakan hatiku.

“Ada yang bisa dibantu?”
Senyum manis adik Sales Promotion Girl mengagetkanku.
--- Ya, tolong carikan racun sekali tenggak.
Kubalas senyumnya sambil menyambar satu botol hand and body lotion terdekat.
“Merk XYZ sedang diskon. Tidak mau mencoba?” kembali adik SPG memamerkan senyum paling manisnya.
--- Bah! Aku tak peduli!
“Terima kasih, yang ini saja.”
Lagi-lagi aku bersembunyi di balik senyumku sendiri.

(Kejujuran hati yang tak mungkin dapat ku pungkiri)
(Keinginanku untuk kau tau isi di hatiku)

Kulirik smart phone-ku. Berharap ada denting halus pertanda pesan masuk. Berharap pesan itu darimu. Berharap kita berada di dunia, atau dimensi, atau kehidupan lain. Yang skenarionya tidak seperti ini.

Smart phone-ku hanya membisu. 

Di sini, hatiku makin ngilu


***

Pekanbaru, 5 Mei 2014
1:45

Catatan: petikan lagu diambil dari lagu "Kejujuran Hati"  oleh Kerispatih


THE LUNATIC SIDE OF ME [TLSoM]: SWEET TEMPTATION (2)

May 05, 2014 0 Comments
Photography by Agnes Bemoe


“Aku suka sejarah sih, pokoknya ilmu sosial,” jawabmu, waktu kutanya kenapa baca buku “The History of Christianity in East Sumatera”.
“Sama dong, aku juga suka sejarah. Sejarah, Anthropologi, pokoknya ilmu-ilmu sosial asal bukan Ekonomi.”

Kamu mengangkat kepalamu.
“Kita punya banyak kesamaan ya? Kayaknya yang kamu suka, pasti aku suka.”

Iya sih, jawabku dalam hati.
Kita sama-sama suka Anthony de Mello dan Henry P. Nouwen. Kita sepakat tentang seperti apa puisi, cerpen, atau novel yang bisa dinikmati. Kita juga sepakat tentang ketimpangan gender di masyarakat patrilineal. Musik kesukaan kita ternyata sama. 

Tidak heran, kalau kita bisa bicara –apa saja- sampai lupa waktu.

Kamu tahu kapan aku dongkol, dan buru-buru minta maaf. Membuat jengkelku langsung lumer tak berbekas. Sebaliknya, aku juga bisa menebak kalau kamu sedang bete dan tak ingin memperpanjang obrolan.

“Kok diam aja?”
“Eh iya, sorry, hehehe… Kamu bicara apa?” tanyaku, pura-pura dungu.
“Kita ini,” telunjukmu bergoyang-goyang bergantian menunjuk diriku lalu dirimu sendiri. “Punya banyak kesamaan ternyata.”

“Sedihnya, iya! Hahaha…!” Aku tertawa. Garing. Melirik cincin yang melingkar manis di jarimu.

------
Dear Lord, what the hell is the point of seeing someone we deeply connected with while eventually we have to let him go….
------

Kamu tertawa mendengar jawabanku.

Aku meraung mendengar tertawamu.

***

Pekanbaru, 5 Mei 2014
09:24

THE LUNATIC SIDE OF ME [TLSoM]: SWEET TEMPTATION (1)

May 05, 2014 0 Comments
Photograpy by Agnes Bemoe


Malam itu langit seperti dihinggapi jutaan kunang-kunang. 


Salah satunya muncul di depanku.
“Suka sama tulisanku?”
“Nggak,” aku membalik-balikkan bukumu, pura-pura acuh.
“Oh,”

Kulirik dirimu. Tak tahan juga melihat wajah tampanmu jadi kecewa.
“Nggak kok,” Aku memukulkan buku secara main-main ke lenganmu. “Aku suka.”

Wajahmu langsung berbinar. Senyummu mengembang, sambil pura-pura jengkel.
“Ah, ngerjain mulu!”
“Tapi, ada yang lebih aku suka.”
Lagi-lagi kamu terperanjat.
“Aku lebih suka sama penulisnya,” kataku, manja. Nekad. Tak tahu malu.

Kamu tersenyum.
Dan aku harus tanya pada sejuta bintang di antariksa, apa arti senyummu. Setiap bintang pasti punya jawaban berbeda.

“Eh, ceritamu tentang anjing kesayanganmu itu memang bener ya? Pinter ya? Aku dulu juga punya anjing. Lucu! Sayangnya mati, diracun orang….”

Aku kabur ke antariksa.

Untuk kesejuta kalinya, kamu dengan cerdik sekali mengalihkan pembicaraan. Dan aku, lagi-lagi, tidak punya kesempatan.

Sungguh, aku ingin buru-buru sampai ke antariksa! Meleburkan diriku bersama para bintang di sana.

Sambil berharap, suatu saat kamu akan melihatku pada malammu yang pekat. Lalu berkata:
“Bintang yang itu cantik sekali.”

Aku menunggu,
Bintang jatuh, satu persatu


***

Pekanbaru, 5 Mei 2014
08:37

Saturday 3 May 2014

MY (NOT SO) SMOOTH BABY STEPS

May 03, 2014 0 Comments
Terakhir nyupir pastinya tanggal 5 November 2013. Terakhir ke gereja adalah hari Minggu, 3 November 2013. Terakhir ikut misa Jumat Pertama, 1 November 2013. Setelahnya saya tewas dengan sukses.

Syukurlah, setelah dirawat, diterapi, dan ikut akupunktur kesehatan saya membaik. Saya bisa jalan lumayan jauh tanpa nyengir-nyengir kesakitan. Bisa duduk di kursi untuk jangka waktu 1 – 1,5 jam. Senang sih, namun, tentu saja saya masih punya target berikutnya: nyupir. Catatan: saya adalah supir keluarga :D

Setelah merasa agak baikan, sejak akhir April saya latihan nyupir. Pagi-pagi buta, keliling kampung, lalu balik lagi. Rasanya sih tidak ada kendala. Saya jadi pe-de ke gereja! Jumat Pertama bulan Mei adalah target saya.

Tanggal 1 Mei malam, saya tidak bisa tidur! Jiahh! Saya seperti anak kecil mau pakai baju baru di hari Natal keesokan harinya. Benar-benar tidak bisa tidur. Terbayang besoknya mau nyupir dan pergi ke gereja.

Jam setengah empat dini hari baru saya bisa tidur. 


Mau berangkat ke gereja, Jumat, 2 Mei 2014

Untungnya bisa bangun setengah jam setelahnya. Mandi, dan lain-lain… dan eng ing eeeng… war ich am Steuer!

Teringat zaman kecil dulu dapat sepeda baru. Langsung tancap gas dengan tidak tahu dirinya… hihihi! Catatan: 40 km/jam itu sudah termasuk ‘tancap gas’ buat sopir seperti saya. Woohoo! Perjalanan rumah ke sekolah lalu ke gereja tidak ada kendala. Pinggang saya juga tidak sakit. Tidak ada ngilu yang menjalar di tungkai saya. Yess!!

Setelah parkir, saya turun dari Lulu (nama mobil saya). Waktu menjejakkan kaki di jalan aspal, astaga, kaki saya rasanya lemeeeeeessss sekali! Ringan seperti kapas! Hampir saja saya terduduk. Untung cepat-cepat pegangan pada Lulu. Setelah inhale-exhale, saya coba jalan lagi. Agak oyong, tapi syukurlah, tidak sakit!


Selfie bersama Maria Bunda Segala Bangsa di Paroki Santa Maria a Fatima Pekanbaru

Saya ikuti misa Jumat Pertama bulan Mei dengan penuh semangat. Duduk dan berdiri beberapa kali dalam waktu berdekatan mungkin masih terlalu berat buat saya. Di akhir misa saya merasakan “Si Nyuut” di pantat atas. Ga papa… pikir saya. Not a big deal. Kalau memang tidak kuat sama sekali, bisa minum obat. Dokter membolehkan minum obat pereda sakit kalau memang sakitnya tidak tertahankan lagi. Selama ini obat itu jarang saya minum. Minum terakhir waktu pergi ke akupunktur hari pertama.
Saya masih sempat sowan ke Bunda Maria dan ber-selfie ria di sana. Terlalu girang membuat saya alay… hahaha…!




Pulangnya, lalu lintas di depan Gereja Santa Maria a Fatima Pekanbaru sudah padat. Catatan, jalan di depan gereja dipakai oleh pemerintah kota Pekanbaru sebagai pasar tumpah. Jam segitu masih ada beberapa penjual yang menggelar dagangannya persis di mulut gerbang gereja. 

Saya menjalankan Lulu dengan pe-de. Saya sudah melewati jalan ini ratusan kali. Tadi waktu masuk dengan kepadatan lalin dan kekacauan pasar yang kurang lebih sama pun saya berhasil sampai di pelataran parkir gereja.

Tapi astaga, kenapa pagi ini kendaraan padat sekali di depan gereja? Seperti biasanya, semuanya tidak ada yang mau kalah. Dalam rangka mencari jalan itu saya memelipirkan Lulu agak ke kiri sambil maju pelan-pelan.
Saya sedang sangat berkonsentrasi ketika terdengar teriakan:
“HWOIII!! Berhenti kaakk!!”
Saya melirik spion. Astaga! Beberapa pria sudah meneriaki saya dari luar  Lulu. What happened?
This was what happened.

Lulu sudah melindas gundukan sayur jualan salah seorang abang itu. Mak! Matilah saya! Benar-benar saya tidak memperhitungkan gundukan sayur waktu memelipirkan Lulu. Saya buka kaca jendela.
“Maaf, bang!” teriak saya. 
Lalu menunggu, siapa tahu si abang penjual sayur ini minta ganti atau apa. Si abang memandang saya dengan wajah kesal. Ya iyalah! Lalu dia menghela napas dalam dan menunjukkan wajah “Ya sudahlah…!” Mungkin pikirnya, mau kugibas juga ini ibuk ini tak akan balik sayurku jadi segar! Ia lalu jongokok untuk merapikan sayurannya yang telindas Lulu. Aduh, remuk hati saya melihat sayur yang hancur itu.
“Jalan, kak! Lanjut!” kata teman si ito partiga bawang itu.
Saya menaikkan kaca jendela Lulu dan mulai berjuang lagi mencari celah untuk keluar ke jalan raya.

Well, insiden di hari pertama mencoba nyupir lagi. Mungkin maksudnya biar saya juga tidak over pe-de kali ya? Soalnya dari rumah saya bergaya seperti jagoan F 1 aja! Oke deh, God, noted. Messaged received

Dalam perjalanan pulang, saya berkendara dengan lebih “tahu diri”. Menyetir pelan-pelan sambil mendengarkan The Bee Gees menyenandungkan "First of May" . Syukurlah, saya sampai ke rumah dengan selamat.

Hari itu, 2 Mei 2014, Jumat Pertama dalam Bulan, saya dapat berkat banyak sekali: bisa nyupir, bisa ikut misa, dan dapat “jeweran” dari Tuhan… hehehe....

After all, I nailed it down! My (not so) smooth baby steps went down in history!

***

Pekanbaru, 4 Mei 2014
Agnes Bemoe

Baca link-link berikut untuk mengetahui penyakit yang sebelumnya saya derita:
Please, Jangan Tiru Kebodohan Saya!
Saya? Depresi?

Thursday 1 May 2014

IBU

May 01, 2014 0 Comments
When I find myself in times of troubles
Mother Mary comes to me
Speaking words of wisdom
Let it be

And in my hour of darkness
She is standing right in front of me
Speaking words of wisdom
Let it be
(The Beatles)

Bunda Maria versi Tiongkok karya Chu Kar Kui


Dibesarkan di keluarga Flores –yang terkenal kental devosinya pada Bunda Maria- saya mengenal Bunda Maria jauh sebelum mengenal tetangga. Di bulan-bulan Mei dan Oktober setiap malam kami berdoa Rosario di rumah. Jadi, doa Rosario di rumah kami tidak bergantung pada lingkungan/kring. Karena masih kecil-kecil, ibu membagi dua doa Rosarionya; tiga peristiwa lalu keesokan harinya disambung dua peristiwa. Doa Rosario kami pun lengkap dengan nyanyian Maria dari Jubilate.

Namun, terus terang, sampai SMA saya belum jatuh hati pada ibu saya yang satu ini. Malahan, cenderung mengantuk dan bosan dengan pendarasan Rosario. Perkenalan saya lebih dalam dengan ibu justru “gara-gara” times of troubles dan hour of darkness. Ada banyak kisah sebenarnya. Izinkan saya membagi beberapa di antaranya.

Setelah bapak meninggal kehidupan ekonomi keluarga kami menjadi sulit. Waktu itu saya baru saja kuliah tahun pertama. Saya sudah sampai pada titik harus berhenti kuliah. Abang yang di Denpasar sudah berjanji akan mencarikan pekerjaan di sebuah Money Changer di Denpasar. Saya sudah mengepak barang. Saya ingat hanya bisa curhat pada Sr. Benedict, CB, suster kepala asrama saya di Yogyakarta.

Bulan Mei 1988 kebetulan ada acara ziarah ke Goa Maria Sendang Sri Ningsih, Klaten, bersama Persatuan Mahasiswa Katolik IKIP Yogyakarta. Saya ikut. Bukan, saya bukan maumengalap berkah. Saya hanya ingin memanfaatkan ini sebagai acara jalan-jalan yang terakhir dengan teman-teman. Saya ingat sekali Rosario yang saya bawa malah putus ketika pendarasan Rosario sampai di Peristiwa Keempat. Saya merasa itu pertanda buruk.Ya sudahlah, tidak kuliah juga tidak apa-apa, pikir saya. Padahal tentu saja saya sangat ingin kuliah!

Setelah sampai di depan Goa Maria Sendang Sri Ningsih, saya tidak bisa berdoa apa-apa. Suasana gelap gulita karena tidak ada listrik. Hanya obor atau lilin yang jadi penerang. Dalam gelap gulita saya hanya bengong memandang wajah ibu. Suwer, saya tidak merasakan apa-apa, entah sedih, kecewa, atau marah. Tidak meminta apa-apa. Tidakmewek. Tidak juga senang. Full bengong. Hampir pagi kami kembali ke Yogyakarta.

Akhir bulan Mei 1988 Suster Ben (panggilan untuk Sr. Benedict, CB) memanggil saya. 
“Bem, jadi guru mau nggak?”
Catatan: Suster Ben dan teman-teman di Asrama Syantikara memanggil saya dengan nama “Bemoe”, padahal itu nama almarhum bapak saya… hihihi… *sambil ngelus dada*
“Suster, saya kan kuliah di IKIP. Tentu jadi guru!” Saya ingat menjawabi Suster Ben sambil tertawa-tawa.
Ternyata Suster Ben punya kabar lain. Sebuah yayasan pendidikan katolik di Riau membutuhkan guru. Baru-baru ini Pastor dr. Yohanes Halim, Pr, -ketua yayasannya- mendatangi Suster Ben dan menanyakan sekiranya ada mahasiswi yang mau bekerja di yayasan itu setelah lulus. Yayasan bersedia menanggung semua pembiayaan sampai lulus.

Mungkin kemampuan terbaik saya memang hanya bengong. Lagi-lagi, saya tidak bisa bicara atau berbuat sesuatu yang lain, selain… bengong! Singkat cerita, saya membongkar lagi bungkusan barang saya. Saya kuliah sampai tamat atas biaya dari Yayasan Prayoga Perwakilan Riau Daratan, bekerja selama tujuh belas tahun di yayasan tersebut dan tinggal selama hampir duapuluh satu tahun di Riau.

Tidak ada yang bisa mengubah keyakinan saya, bahwa ibulah yang mengantar saya menyelesaikan kuliah sekaligus mendapatkan pekerjaan. 

Tidak hanya sekali itu saja saya merasakan tangan ibu terulur pada saya, saat saya membutuhkan. She is standing right in front of me. Tentu saja, ibu tetap bijaksana. Tidak semua permintaan saya disampaikan pada Puteranya (maklum, sering kali saya jugangelunjak… hehehe…). Tapi, saya bersyukur, sebab saya belajar tentang apa yang terbaik buat saya. Yang jelas, di saat saya merasa paling putus asa, PASTI ibu tidak akan diam saja. 

Entah kapan saya jadi semakin akrab dengan ibu dan Rosario. Tidak hanya ketika sedang berada dalam kesulitan besar saja saya mengadu. Yang jadi kebiasaan tanpa saya sadari adalah mendaraskan “Salam Maria” begitu saja kalau sedang cemas. Terperangkap hujan di jalan, mencari doggies saya yang suka kabur, dalam pesawat yang tak kunjung berangkat, pulang malam sendirian, terperangkap lalu lintas Pekanbaru yang brutal, atau bahkan hal sesepele mencari tempat parkir yang ramah-sopir-“medan” bisa membuat mulut saya tanpa sadar mengucapkan serangkaian “Salam Maria”. 
Terakhir kemarin, ketika saya menjalani akupunktur, saya mendengar dokter saya mengucapkan Basmallah sebelum menusuki saya dengan jarum, persis ketika saya sedang mendaraskan “Salam Maria”. Klop deh dok!

Mengenal ibu tidak membuat sayap problem-free. Tidak juga membuat saya jadi manusiatemptation-proof. Malah lebih sering saya menyadari betapa rapuh dan rentannya saya dihadapkan dengan serangkaian masalah dan godaan. Mengenal ibu tidak membuat hidup saya lebih ringan, lebih kaya secara finansial, lebih mudah mendapatkan apa yang saya inginkan atau hal-hal transaksional lainnya. Ingin sekali saya membuat definisi yang indah tentang hubungan saya dengan ibu. Tapi saat ini saya belum menemukan kata-katanya. Yang jelas, ibu menuntun saya untuk selalu tegar mengucapkan "Fiat Voluntas Tua" dalam setiap liku hidup saya. 

Maria, ibunda Maria,
Di kakimu ku bersujud
Tatapmu begitu lembut dan teduh
Damai, damai di hatiku
(Leo Kristi)

***

Pekanbaru, 1 Mei 2014
Agnes Bemoe