Judul Buku : Misteri Gua Purba
Serial : Serial Misteri Favorit
Penulis : Yovita Siswati
Ilustrator : Indra Bayu
Editor : Pradhika Bestari
Penerbit : Penerbit Kiddo
Genre : Fiksi Anak
Jumlah Halaman : 161 halaman
APA YANG DIHARAPKAN DARI SEBUAH CERITA MISTERI?
Sesuatu yang menegangkan sekaligus membetot urat ingin tahu pembaca. Pembaca dibuat merasa sudah tahu namun kemudian dikecoh dengan kenyataan yang jauh berbeda. Pembaca dihipnotis dari plot ke plot sampai-sampai tidak merasa sedang membaca, melainkan mengalami sendiri. Pembaca dibawa melanglang buana ke pelbagai tempat eksotis dan merasa menjadi bagian dari tempat itu. Terakhir, ketika sampai pada halaman terakhir, pembaca ditinggalkan dalam perasaan “merana”, ingin lagi cerita itu berlanjut.
Inilah yang saya harapkan dari membaca sebuah cerita misteri.
Syukurlah, itu pulalah yang saya dapatkan dari buku “Misteri Gua Purba” tulisan Yovita Siswati. Saya teringat novel-novel misteri anak favorit saya semasa kecil, “Lima Sekawan” oleh Enid Blyton. Setting lokasi Inggris kuno dengan kastil tua dan lorong bawah tanah, atau pulau terpencil dengan danau atau hutannya yang khas negeri empat musim, membuat saya terpukau. Petualangan Julian, Dick, Anne, dan Georgina sepupu mereka serta Timmy anjing George (panggilan untuk Georgina) di tempat-tempat itu tidak terlupakan.
Misteri Gua Purba membawa pembaca menjelajah daerah Yogyakarta: Godean, Kaliurang, sampai ke Wonosobo di Jawa Tengah. Bintangnya adalah gua-gua vertikal yang memukau di daerah Gunung Kidul! Bagas, Galuh, dan Mas Damar mau tak mau menyusuri tempat-tempat itu dalam usaha mereka memecahkan misteri harta karun peninggalan Perang Diponegoro.
Perang Diponegoro?
Ya, novel ini mengangkat Perang Diponegoro sebagai salah satu latar belakangnya. Imajinasi Yovita yang luar biasa mengangkat peristiwa hampir dua abad yang lalu itu menjadi hidup kembali.
Dikisahkan, Bagas dititipi sebuah daluang (tabung bambu) berisi huruf Hanacaraka (Tulisan Jawa). Tulisan dalam daluang itu diduga mengacu pada harta karun berupa uang emas dalam Peristiwa Lagorok, peristiwa dikalahkannya pasukan Kapten Kumsius oleh pasukan Diponegoro di daerah Wonosobo tahun 1825. Ingin mengetahui kebenarannya, Bagas dan Galuh dengan dibantu Mas Damar memburunya sampai ke Gua Jomblang di Gunung Kidul. Ternyata mereka tidak sendirian. Ada pihak lain yang juga menginginkan harta karun itu.
Kedengaran klise? Tunggu sampai anda membaca sendiri “Misteri Gua Purba”. Seperti saya ingatkan di atas, pembaca yang sok tau (seperti saya, misalnya) bisa terkecoh mentah-mentah. Yovita tidak memberi kesempatan pada pembaca untuk membuktikan bahwa mereka benar. Yovita juga tidak memberi kesempatan pembaca untuk bernafas. Plot mengalir lancar sekali. Flawless. Tidak ada yang kedodoran. Bahasanya ringan, namun tetap berterima. Salut!
Lalu, saya harus menjura sedalam-dalamnya akan kepiawaian Yovita meramu unsur sejarah dan budaya dalam novel anak ini. Kebetulan, saya pribadi sangat suka pada sejarah dan budaya. Namun, saya rasa, bukan subyektitivitas ini yang membuat novel ini punya nilai lebih.
Demikian Barbara W. Tuchman, seorang sejarawan Amerika, menjelaskan hubungan yang sangat dekat antara buku dan sejarah. Dengan ini saya rasa novel besutan Yovita ini telah melaksanakan tugasnya sebagai penerus peradaban.
BROKOLI vs SNACK KEMASAN
Mengapa saya memberi judul seperti ini untuk resensi saya?
Membaca ternyata mirip dengan makan. Makanan bisa saja disukai biarpun sama sekali tidak bergizi. Sebaliknya, ada yang dijauhi biarpun terbukti membuat badan lebih sehat.
Akhir-akhir ini saya merasa prihatin terkait bacaan (novel) anak. Beberapa novel anak berkembang menjadi bacaan yang sangat digemari oleh pembaca (anak). Ketika saya mencoba ikut membaca, betapa terkejutnya saya. Banyak hal membuat saya hanya bisa terdiam. Bahasa yang jauh dari berterima. Isi cerita melulu tentang kemudahan dan menawarkan mimpi. Perjuangan hidup atau nilai-nilai lainnya kering maknanya. Apatah lagi “sekadar” plot atau teknik penulisan.
Memang, bila disuruh memilih antara snack kemasan dengan brokoli (atau sayuran dan buah-buahan), anak pasti memilih sncak kemasan. Rasanya gurih dan lezat di lidah. Tapi, siapapun tahu, snack kemasan tidak mengandung gizi yang cukup. Sebaliknya mengandung garam dan MSG yang kurang baik bagi kesehatan.
Sama juga seperti buku bacaan. Anak-anak cenderung memilih yang mudah dan ringan, yang cenderung memanjakan mimpi mereka tentang hidup. Namun, sama seperti snack kemasan yang menggembung tapi langsung kempis bila dibuka, buku-buku semacam itu belum memenuhi standar kebutuhan anak akan bacaan bergizi. Mengacu pada pendapat Barbara W. Tuchman di atas, buku-buku seperti itu belum mampu membawa pembacanya menuju suatu peradaban.
Oleh karenanya, saya menyambut baik novel Yovita ini. Saya sudah membaca dua buku dari sekian buku Serial Misteri Favorit terbitan Penerbit Kiddo ini. Dua-duanya menawarkan nilai lebih yang belum saya temukan setelah saya harus melepaskan “Lima Sekawan” atau “Imung” – Arswendo Atmowiloto. Salut bagi kreator ide dan tentu saja kepada penulis yang mengeksekusi ide ini dengan sangat cantik. Apakah lantas buku ini menjadi membosankan karena “berat”? Tidak juga. Seperti yang saya sampaikan di atas, Yovita bercerita dengan asyik sekali. Tambahan lagi, ilustrasi-ilustrasi bernas yang dibuat oleh Indra Bayu membuat mata pembaca segar kembali.
Saya sangat menyarankan agar orang tua memilihkan buku ini untuk anak-anak mereka. Sekolah pun perlu punya koleksi buku ini di perpustakaan sekolah. Rekan penulis dan editor sebaiknya berlomba-lomba merancang karya yang bergizi semacam ini. Tuntutan pasar membuat kita semua lebih memilih bersikap pragmatis. Namun, kita juga ingat punya tuntutan moral kan?
***
Pekanbaru, 27 Mei 2014
Agnes Bemoe
Serial : Serial Misteri Favorit
Penulis : Yovita Siswati
Ilustrator : Indra Bayu
Editor : Pradhika Bestari
Penerbit : Penerbit Kiddo
Genre : Fiksi Anak
Jumlah Halaman : 161 halaman
APA YANG DIHARAPKAN DARI SEBUAH CERITA MISTERI?
Sesuatu yang menegangkan sekaligus membetot urat ingin tahu pembaca. Pembaca dibuat merasa sudah tahu namun kemudian dikecoh dengan kenyataan yang jauh berbeda. Pembaca dihipnotis dari plot ke plot sampai-sampai tidak merasa sedang membaca, melainkan mengalami sendiri. Pembaca dibawa melanglang buana ke pelbagai tempat eksotis dan merasa menjadi bagian dari tempat itu. Terakhir, ketika sampai pada halaman terakhir, pembaca ditinggalkan dalam perasaan “merana”, ingin lagi cerita itu berlanjut.
Inilah yang saya harapkan dari membaca sebuah cerita misteri.
Syukurlah, itu pulalah yang saya dapatkan dari buku “Misteri Gua Purba” tulisan Yovita Siswati. Saya teringat novel-novel misteri anak favorit saya semasa kecil, “Lima Sekawan” oleh Enid Blyton. Setting lokasi Inggris kuno dengan kastil tua dan lorong bawah tanah, atau pulau terpencil dengan danau atau hutannya yang khas negeri empat musim, membuat saya terpukau. Petualangan Julian, Dick, Anne, dan Georgina sepupu mereka serta Timmy anjing George (panggilan untuk Georgina) di tempat-tempat itu tidak terlupakan.
Misteri Gua Purba membawa pembaca menjelajah daerah Yogyakarta: Godean, Kaliurang, sampai ke Wonosobo di Jawa Tengah. Bintangnya adalah gua-gua vertikal yang memukau di daerah Gunung Kidul! Bagas, Galuh, dan Mas Damar mau tak mau menyusuri tempat-tempat itu dalam usaha mereka memecahkan misteri harta karun peninggalan Perang Diponegoro.
Perang Diponegoro?
Ya, novel ini mengangkat Perang Diponegoro sebagai salah satu latar belakangnya. Imajinasi Yovita yang luar biasa mengangkat peristiwa hampir dua abad yang lalu itu menjadi hidup kembali.
Dikisahkan, Bagas dititipi sebuah daluang (tabung bambu) berisi huruf Hanacaraka (Tulisan Jawa). Tulisan dalam daluang itu diduga mengacu pada harta karun berupa uang emas dalam Peristiwa Lagorok, peristiwa dikalahkannya pasukan Kapten Kumsius oleh pasukan Diponegoro di daerah Wonosobo tahun 1825. Ingin mengetahui kebenarannya, Bagas dan Galuh dengan dibantu Mas Damar memburunya sampai ke Gua Jomblang di Gunung Kidul. Ternyata mereka tidak sendirian. Ada pihak lain yang juga menginginkan harta karun itu.
Kedengaran klise? Tunggu sampai anda membaca sendiri “Misteri Gua Purba”. Seperti saya ingatkan di atas, pembaca yang sok tau (seperti saya, misalnya) bisa terkecoh mentah-mentah. Yovita tidak memberi kesempatan pada pembaca untuk membuktikan bahwa mereka benar. Yovita juga tidak memberi kesempatan pembaca untuk bernafas. Plot mengalir lancar sekali. Flawless. Tidak ada yang kedodoran. Bahasanya ringan, namun tetap berterima. Salut!
Lalu, saya harus menjura sedalam-dalamnya akan kepiawaian Yovita meramu unsur sejarah dan budaya dalam novel anak ini. Kebetulan, saya pribadi sangat suka pada sejarah dan budaya. Namun, saya rasa, bukan subyektitivitas ini yang membuat novel ini punya nilai lebih.
“Books are the carriers of civilization. Without books: history is silent, literature dumb, science crippled, thought and speculation at standstill. They are engines of change, windows on the world, lighthouses erected in the sea of time.”
Demikian Barbara W. Tuchman, seorang sejarawan Amerika, menjelaskan hubungan yang sangat dekat antara buku dan sejarah. Dengan ini saya rasa novel besutan Yovita ini telah melaksanakan tugasnya sebagai penerus peradaban.
BROKOLI vs SNACK KEMASAN
Mengapa saya memberi judul seperti ini untuk resensi saya?
Membaca ternyata mirip dengan makan. Makanan bisa saja disukai biarpun sama sekali tidak bergizi. Sebaliknya, ada yang dijauhi biarpun terbukti membuat badan lebih sehat.
Akhir-akhir ini saya merasa prihatin terkait bacaan (novel) anak. Beberapa novel anak berkembang menjadi bacaan yang sangat digemari oleh pembaca (anak). Ketika saya mencoba ikut membaca, betapa terkejutnya saya. Banyak hal membuat saya hanya bisa terdiam. Bahasa yang jauh dari berterima. Isi cerita melulu tentang kemudahan dan menawarkan mimpi. Perjuangan hidup atau nilai-nilai lainnya kering maknanya. Apatah lagi “sekadar” plot atau teknik penulisan.
Memang, bila disuruh memilih antara snack kemasan dengan brokoli (atau sayuran dan buah-buahan), anak pasti memilih sncak kemasan. Rasanya gurih dan lezat di lidah. Tapi, siapapun tahu, snack kemasan tidak mengandung gizi yang cukup. Sebaliknya mengandung garam dan MSG yang kurang baik bagi kesehatan.
Sama juga seperti buku bacaan. Anak-anak cenderung memilih yang mudah dan ringan, yang cenderung memanjakan mimpi mereka tentang hidup. Namun, sama seperti snack kemasan yang menggembung tapi langsung kempis bila dibuka, buku-buku semacam itu belum memenuhi standar kebutuhan anak akan bacaan bergizi. Mengacu pada pendapat Barbara W. Tuchman di atas, buku-buku seperti itu belum mampu membawa pembacanya menuju suatu peradaban.
Oleh karenanya, saya menyambut baik novel Yovita ini. Saya sudah membaca dua buku dari sekian buku Serial Misteri Favorit terbitan Penerbit Kiddo ini. Dua-duanya menawarkan nilai lebih yang belum saya temukan setelah saya harus melepaskan “Lima Sekawan” atau “Imung” – Arswendo Atmowiloto. Salut bagi kreator ide dan tentu saja kepada penulis yang mengeksekusi ide ini dengan sangat cantik. Apakah lantas buku ini menjadi membosankan karena “berat”? Tidak juga. Seperti yang saya sampaikan di atas, Yovita bercerita dengan asyik sekali. Tambahan lagi, ilustrasi-ilustrasi bernas yang dibuat oleh Indra Bayu membuat mata pembaca segar kembali.
Saya sangat menyarankan agar orang tua memilihkan buku ini untuk anak-anak mereka. Sekolah pun perlu punya koleksi buku ini di perpustakaan sekolah. Rekan penulis dan editor sebaiknya berlomba-lomba merancang karya yang bergizi semacam ini. Tuntutan pasar membuat kita semua lebih memilih bersikap pragmatis. Namun, kita juga ingat punya tuntutan moral kan?
***
Pekanbaru, 27 Mei 2014
Agnes Bemoe