When I find myself in times of troubles
Mother Mary comes to me
Speaking words of wisdom
Let it be
And in my hour of darkness
She is standing right in front of me
Speaking words of wisdom
Let it be
…
(The Beatles)
Bunda Maria versi Tiongkok karya Chu Kar Kui |
Dibesarkan di keluarga Flores –yang terkenal kental devosinya pada Bunda Maria- saya mengenal Bunda Maria jauh sebelum mengenal tetangga. Di bulan-bulan Mei dan Oktober setiap malam kami berdoa Rosario di rumah. Jadi, doa Rosario di rumah kami tidak bergantung pada lingkungan/kring. Karena masih kecil-kecil, ibu membagi dua doa Rosarionya; tiga peristiwa lalu keesokan harinya disambung dua peristiwa. Doa Rosario kami pun lengkap dengan nyanyian Maria dari Jubilate.
Namun, terus terang, sampai SMA saya belum jatuh hati pada ibu saya yang satu ini. Malahan, cenderung mengantuk dan bosan dengan pendarasan Rosario. Perkenalan saya lebih dalam dengan ibu justru “gara-gara” times of troubles dan hour of darkness. Ada banyak kisah sebenarnya. Izinkan saya membagi beberapa di antaranya.
Setelah bapak meninggal kehidupan ekonomi keluarga kami menjadi sulit. Waktu itu saya baru saja kuliah tahun pertama. Saya sudah sampai pada titik harus berhenti kuliah. Abang yang di Denpasar sudah berjanji akan mencarikan pekerjaan di sebuah Money Changer di Denpasar. Saya sudah mengepak barang. Saya ingat hanya bisa curhat pada Sr. Benedict, CB, suster kepala asrama saya di Yogyakarta.
Bulan Mei 1988 kebetulan ada acara ziarah ke Goa Maria Sendang Sri Ningsih, Klaten, bersama Persatuan Mahasiswa Katolik IKIP Yogyakarta. Saya ikut. Bukan, saya bukan maumengalap berkah. Saya hanya ingin memanfaatkan ini sebagai acara jalan-jalan yang terakhir dengan teman-teman. Saya ingat sekali Rosario yang saya bawa malah putus ketika pendarasan Rosario sampai di Peristiwa Keempat. Saya merasa itu pertanda buruk.Ya sudahlah, tidak kuliah juga tidak apa-apa, pikir saya. Padahal tentu saja saya sangat ingin kuliah!
Setelah sampai di depan Goa Maria Sendang Sri Ningsih, saya tidak bisa berdoa apa-apa. Suasana gelap gulita karena tidak ada listrik. Hanya obor atau lilin yang jadi penerang. Dalam gelap gulita saya hanya bengong memandang wajah ibu. Suwer, saya tidak merasakan apa-apa, entah sedih, kecewa, atau marah. Tidak meminta apa-apa. Tidakmewek. Tidak juga senang. Full bengong. Hampir pagi kami kembali ke Yogyakarta.
Akhir bulan Mei 1988 Suster Ben (panggilan untuk Sr. Benedict, CB) memanggil saya.
“Bem, jadi guru mau nggak?”
Catatan: Suster Ben dan teman-teman di Asrama Syantikara memanggil saya dengan nama “Bemoe”, padahal itu nama almarhum bapak saya… hihihi… *sambil ngelus dada*
“Suster, saya kan kuliah di IKIP. Tentu jadi guru!” Saya ingat menjawabi Suster Ben sambil tertawa-tawa.
Ternyata Suster Ben punya kabar lain. Sebuah yayasan pendidikan katolik di Riau membutuhkan guru. Baru-baru ini Pastor dr. Yohanes Halim, Pr, -ketua yayasannya- mendatangi Suster Ben dan menanyakan sekiranya ada mahasiswi yang mau bekerja di yayasan itu setelah lulus. Yayasan bersedia menanggung semua pembiayaan sampai lulus.
Mungkin kemampuan terbaik saya memang hanya bengong. Lagi-lagi, saya tidak bisa bicara atau berbuat sesuatu yang lain, selain… bengong! Singkat cerita, saya membongkar lagi bungkusan barang saya. Saya kuliah sampai tamat atas biaya dari Yayasan Prayoga Perwakilan Riau Daratan, bekerja selama tujuh belas tahun di yayasan tersebut dan tinggal selama hampir duapuluh satu tahun di Riau.
Tidak ada yang bisa mengubah keyakinan saya, bahwa ibulah yang mengantar saya menyelesaikan kuliah sekaligus mendapatkan pekerjaan.
Tidak hanya sekali itu saja saya merasakan tangan ibu terulur pada saya, saat saya membutuhkan. She is standing right in front of me. Tentu saja, ibu tetap bijaksana. Tidak semua permintaan saya disampaikan pada Puteranya (maklum, sering kali saya jugangelunjak… hehehe…). Tapi, saya bersyukur, sebab saya belajar tentang apa yang terbaik buat saya. Yang jelas, di saat saya merasa paling putus asa, PASTI ibu tidak akan diam saja.
Entah kapan saya jadi semakin akrab dengan ibu dan Rosario. Tidak hanya ketika sedang berada dalam kesulitan besar saja saya mengadu. Yang jadi kebiasaan tanpa saya sadari adalah mendaraskan “Salam Maria” begitu saja kalau sedang cemas. Terperangkap hujan di jalan, mencari doggies saya yang suka kabur, dalam pesawat yang tak kunjung berangkat, pulang malam sendirian, terperangkap lalu lintas Pekanbaru yang brutal, atau bahkan hal sesepele mencari tempat parkir yang ramah-sopir-“medan” bisa membuat mulut saya tanpa sadar mengucapkan serangkaian “Salam Maria”.
Terakhir kemarin, ketika saya menjalani akupunktur, saya mendengar dokter saya mengucapkan Basmallah sebelum menusuki saya dengan jarum, persis ketika saya sedang mendaraskan “Salam Maria”. Klop deh dok!
Mengenal ibu tidak membuat sayap problem-free. Tidak juga membuat saya jadi manusiatemptation-proof. Malah lebih sering saya menyadari betapa rapuh dan rentannya saya dihadapkan dengan serangkaian masalah dan godaan. Mengenal ibu tidak membuat hidup saya lebih ringan, lebih kaya secara finansial, lebih mudah mendapatkan apa yang saya inginkan atau hal-hal transaksional lainnya. Ingin sekali saya membuat definisi yang indah tentang hubungan saya dengan ibu. Tapi saat ini saya belum menemukan kata-katanya. Yang jelas, ibu menuntun saya untuk selalu tegar mengucapkan "Fiat Voluntas Tua" dalam setiap liku hidup saya.
Maria, ibunda Maria,
Di kakimu ku bersujud
Tatapmu begitu lembut dan teduh
Damai, damai di hatiku
…
(Leo Kristi)
***
Pekanbaru, 1 Mei 2014
Agnes Bemoe
No comments:
Post a Comment