Penulis : Denny Ketip
Editor : Y. Wibowo
Penerbit : BE Press
Genre : Kumpulan Cerpen
Jumlah Halaman : 76 halaman, 13 X 19 cm
Tahun Terbit : 2014
Hidup sehari-hari sesungguhnya narasi yang tak ada habisnya.
Itu yang pertama saya rasakan setelah membaca sembilan cerita di buku kumpulan cerpen Denny Ketip ini. Sembilan cerpen di dalamnya menceritakan hal-hal “biasa” yang ada di sekitar kita.
Ambil kisah pertama, “Mbah Diem”, yang mengambil konflik umum: bertabrakannya sistem kepercayaan tradisional dengan tsunami modernisasi. Di posisi manapun kita duduk sambil membaca cerita ini, di kafe dengan secangkir cappuccino atau di terminal bis antar kota antar provinsi, kita merasakan konflik yang mirip. Siapa yang tidak pernah merasakan kegamangan akibat perbenturan antara ruang tempat kita berasal dengan ruang kemana kita -mau tak mau- pergi?
Atau cerpen “Suatu Malam”. Cerpen ini menggambarkan romantisme kehidupan orang susah. Siapa dari kita yang tidak pernah bertemu dengan situasi yang mirip, atau bahkan mengalaminya sendiri? Me-reframe kondisi pahit menjadi manis. Duka menjadi indah. Loser goes to winner.
Sembilan cerpen ini seperti kamera. Memotret hidup sehari-hari apa adanya, lalu diproses begitu saja tanpa bantuan teknologi fotografi. Alamiah.
Sembilan cerpen menyebar terserak tanpa satu pengikat. Namun, apa juga pentingnya suatu pengikat? Bukannya bisa saja jatuh pada aksesoris semata? Seperti bros di baju wanita, dipakai oke, tidak juga tidak apa-apa.
Sembilan cerita, harus saya akui sebagian besarnya sangat saya nikmati.
Favorit saya adalah “Sebait Puisi”. Cerita tentang seorang pria brengsek yang menemukan tambatan hatinya ketika ia sedang teruburu-buru dan berdoa asal-asalan di gereja. Ternyata, wanita yang digila-gilainya tak bisa dimilikinya karena wantia itu seorang biarawati. Saya suka dengan cara penceritaannya yang lugas mengalir lancar. Tidak bertele-tele. Tidak juga menjual kecengengan a la orang yang sedang kasmaran. Walaupun demikian, saya bisa merasakan kekecewaan si aku waktu tahu ia tidak bisa memiliki wanita pujaannya. Isapan kretek yang dalam yang dilakukan si aku secara berulang kali sudah cukup mewakili perasaannya, tanpa perlu kata-kata panjang lebar.
Cerita berikutnya “Mata Hatimu Menopang Tanganku” juga mencuri hati saya. Ceritanya sangat kuat dan menyentuh. Lagi-lagi memotret kehidupan sehari-hari yang penuh dengan ketidakmudahan tanpa berlebay-ria. Menurut saya, ini cerpen paling kuat di kumpulan cerpen ini.
Sembilan cerita, memang tidak semuanya bisa saya pahami. Ada yang ilustrasinya terlalu panjang, menurut saya (Mbah Diem). Atau endingnya terlalu mudah (Satu Malam untuk Patra), masih menurut saya. Namun, saya juga tidak berpretensi bisa memahami semua yang saya baca. Saya tidak ingin subyektivitas berlebihan menguasai diri saya.
Yang secara obyektif mengusik saya adalah penerapan tata tulis setiap cerpennya. Saya pikir sembilan cerita ini memerlukan proses editing di bagian ini.
Di luar itu semua sembilan cerita di kumcer “Dongeng untuk Nara” sangat beruntung karena terbungkus oleh kaver yang sangat menarik. Gambar bulu dalam gradasi warna cokelat sangat memancing imajinasi.
Akhirnya, saya rekomendasikan sembilan cerita ini untuk siapa saja yang suka melibatkan diri dalam hidup sehari-hari yang penuh cerita ini. Hidup sehari-hari sesungguhnya narasi yang tak ada habisnya. Sembilan cerita di “Dongeng untuk Nara” membuktikannya.
***
Pekanbaru, 13 Mei 2014
Agnes Bemoe
No comments:
Post a Comment