Follow Us @agnes_bemoe

Monday, 17 January 2011

MANAJEMEN SEKOLAH - Sebuah Refleksi Awal Tahun 2011

January 17, 2011 3 Comments
BUDAYA TERPECAH
Tulisan ini berangkat dari keluh kesah seorang teman (guru), yang tidak tahan atas perlakuan kepala sekolahnya. Menurutnya, kepala sekolahnya tidak menghargai mereka sebagai manusia. Tak sungkan kepala sekolah ini membentak guru-guru, atau mendakwa mereka tanpa terlebih dulu memeriksa kebenarannya. Kepala sekolah menganggap guru adalah para buruh, yang harus patuh segala perintah, bisa dipekerjakan untuk apa saja, dan bisa diberhentikan kapan saja.

Kepala sekolah bukannya hadir sebagai pengayom di antara para guru, malahan beliau membentuk klik antara orang-orang yang taat padanya dan yang tidak. Yang taat tentu saja mendapat banyak kemudahan, sedangkan yang tidak, bersiap-siap selalu mendapat dampratan dan dipersalahkan. Dan masih panjang lebar lagi keluh kesah kawan saya tentang kepala sekolahnya itu.

Ketika saya sarankan untuk mengkomunikasikannya dengan pihak yang lebih di atas, yakni yayasan, teman saya ini menolak. Kata teman saya itu, belajar dari pengalaman lalu-lalu, bila mau selamat lebih baik diam. Yayasan sebagai atasan kepala sekolah dianggapnya gagal tampil sebagai pengayom dan memberikan arahan yang benar. Sebaliknya, bukan hanya mempertahankan, yayasan malahan membela habis-habisan kepala sekolah seperti itu. Segala masukan yang dimaksudkan untuk memberi informasi yang benar dan seimbang tidak pernah diperhatikan.

Tidak hanya itu saja, pada suatu kesempatan lain, yayasan malahan mengangkat seorang guru yang terbukti mencuri dan tidak becus dalam bekerja sebagai kepala sekolah, hanya karena guru ini rajin mendekati pihak-pihak tertentu di yayasan. Hal ini mengikis habis rasa percaya guru pada pihak yayasan. Mereka tidak lagi percaya pada yayasan. Kondisi ini tentu menimbulkan atmosfir yang sangat negatif di yayasan secara keseluruhan, dan sekolah-sekolah secara khusus.

Keluhan teman saya ini segera membuat saya teringat pada salah satu bagian dalam buku The 8th Habit, karya Stepehen R. Covey. Institusi-institusi semacam ini, menurut Covey, disebut sebagai institusi yang memiliki budaya terpecah. Dalam institusi yang seperti itu rasa percaya sama sekali tidak tumbuh. Disebutkan juga bahwa dalam institusi seperti itu beberapa orang memilih untuk bermuka dua agar bisa selamat. Gambaran yang diberikan Covey ini cocok dengan kondisi yang dialami oleh teman saya itu di sekolahnya. Ia dan beberapa guru sudah tidak lagi memiliki rasa kepercayaan, bahkan sampai pada level yayasan.

Hal ini diperparah lagi dengan tidak adanya manajemen yang jelas dan profesional. Kepala sekolah menjalankan sekolah tanpa kemampuan manajemen yang baik bahkan yang paling dasar sekali pun; tanpa perencanaan, tanpa monitoring, tanpa supervisi, tanpa evaluasi. Sekolah berjalan begitu saja.

Tidak hanya tidak ada manajemen yang profesional, yang lebih memprihatinkan lagi: tidak ada kepemimpinan di dalamnya. Tidak ada orang dengan satu visi dan misi, mengajak orang lain untuk mencapai visi dan misi itu. Tidak ada orang yang menjadi teladan bagi penerapan nilai-nilai luhur. Tidak ada orang yang mengarahkan institusi menghadapi perubahan ke depan. Bila dalam bukunya Stepehen R. Covey menuliskan bahwa kebanyakan institusi mengalami permasalahan overmanaged dan underled, maka yang terjadi di sekolah dan yayasan ini mungkin lebih parah lagi: zero management and leadership!

Memang, sekolah tempat kawan saya bekerja itu sampai saat ini masih dianggap sebagai sekolah nomor wahid di lingkungannya. Inilah yang mungkin membuat para pengelolanya yakin bahwa cara yang dilakukannya selama ini adalah cara yang paling benar. Keberhasilan diukur berdasarkan indikator-indikator yang diambil dari data angka seperti prosentase kelulusan, nilai UN, jumlah siswa yang naik kelas, banyaknya jumlah murid, dll. Padahal, siapa pun tahu bahwa indikator-indikator itu sulit dijadikan acuan karena kecenderungannya yang mudah dimanipulasi sehingga dengan demikian cenderung juga menyesatkan. Indikator-indikator itu dijadikan acuan satu-satunya tanpa pernah dievaluasi kembali.

Di lain pihak, sekolah ini mungkin masih bisa mengklaim diri menjadi sekolah favorit. Tetapi sejatinya ini terjadi lebih karena faktor eksternal, dimana institusi lain sebagai pesaingnya ternyata jauh lebih buruk. Artinya, sekolah ini menjadi yang lebih baik di antara yang buruk, sehingga, orang tua sebagai pelanggan benar-benar tidak mempunyai pilihan lain. Mengutip dari pendapat Stepehen R. Covey: sekolah ini cuma unggul dalam persaingan lokal:

Anda bisa mengalami masalah serius yang sangat kronis di dalam sebuah organisasi, namun tidak menunjukkan tanda-tanda akut apa pun, karena beberapa organisasi tidak berkompetisi di sebuah pasar global yang ketat, mereka berkompetisi secara lokal atau di sebuah pasar yang terproteksi.

Dan situasi ini sebenarnya perangkap yang sangat halus, yang membawa institusi ini pada kejatuhan pelan-pelan. Segenap elemen dalam institusi terbuai dengan keberhasilan semu dan merasa tidak ada masalah. Karena tidak ada masalah, maka tidak ada yang perlu dirubah, apalagi diperbaiki. Lebih sering malah, orang yang berusaha membuka mata para petinggi institusi atas terjadinya suatu masalah malah didepak, dianggap provokator yang merusak “keberhasilan” yang dicapai selama ini.

Akan halnya dengan “perubahan”, institusi ini merasa sudah cukup mengadakan seminar-seminar tentang kepemimpinan lah, dll, tapi, realitanya, seminar itu hanya berhenti pada pelaksanaan seminarnya saja, tanpa ada tindak lanjut, apalagi rencana strategis dan sistematis ke depannya. Institusi ini merasa bahwa dengan memasang papan besar berisi visi, misi, bahkan mission statement di setiap ruang, berarti sudah melakukan segalanya. Akibatnya, sebenarnya tidak ada perubahan signifikan sekecil apa pun yang dicapai, selain situasi kemacetan laten pada titik status quo.

TANTANGAN DAN PARADIGMA YANG BENAR UNTUK MENGHADAPINYA
Dalam bukunya itu Stephen R. Covey menguraikan berbagai tantangan yang menghadang semua organisasi (termasuk sekolah) dalam hubungannya dengan pergeseran seismik global. Tantangan itu di antaranya adalah peningkatan kompetisi secara eksponensial, yang menyebabkan tak seorang pun bisa bertahan hanya dengan sekedar menyejajarkan diri dengan pesaing atau bahkan dengan mereka yang dianggap unggul, melainkan harus menyejajarkan diri dengan mereka yang termasuk dalam “kelas dunia”. Oleh karenanya kepuasan karena masih menjadi yang terbaik dalam skala lokal sebenarnya adalah kepuasan semu.

Untuk menghadapinya, Covey menyarankan bahwa organisasi harus mulai dilihat seperti manusia. Seperti manusia, organisasi juga memiliki 4 pilar penting, yakni jiwa, pikiran, tubuh, dan hati. Untuk bisa menjadi organisasi yang “sehat dan bahagia” maka keempat hal tersebut harus diperhatikan. Kebanyakan permasalahan timbul karena hanya satu faktor saja yang mendapat perhatian, sedangkan yang lainnya terabaikan. Apa akibatnya bila elemen-elemen ini diabaikan?

Jiwa:
Jika jiwa atau nurani terus menerus diabaikan, maka organisasi itu akan rentan terhadap masalah kepercayaan. Apa yang akan terjadi jika orang-orang diperlakukan atau bertindak dengan cara-cara yang berlawanan dengan hati nurani mereka? Pada suatu batas tertentu mereka tidak akan tahan, dan timbul rasa tidak percaya. Tingkat kepercayaan yang rendah adalah masalah kronis pertama yang dihadapi oleh semua organisasi. Gejalanya muncul dalam bentuk saling menikam dari belakang, pertengkaran, perasaan menjadi korban dan tak berdaya (viktimisme), sikap defensif, menyembunyikan informasi, serta komunikasi yang bersifat protektif dan defensif.

Pikiran:
Pikiran dalam sebuah organisasi sebenarnya adalah visi yang akan dicapainya. Bila sebuah organisasi mulai meninggalkan pikirannya, maka sama saja organisasi itu meninggalkan pondasi untuk memiliki visi bersama atau sistem nilai bersama. Dalam kondisi semacam ini orang-orang di dalamnya akan bertindak dengan berbagai agenda tersembunyi, bermain politik, dan mempergunakan kriteria yang berbeda di dalam pengambilan keputusan. Yang tumbuh adalah budaya yang ambigu dan kacau balau.

Tubuh:
Masalah ketiga adalah apabila organisasi mengabaikan disiplin dalam tubuh politik (struktur, sistem, proses), atau dengan kata lain tidak adanya dukungan pelaksanaan atau sistem di balik prioritas-prioritas yang harus dicapai. Saya ingat akan sebuah contoh kecil yang terjadi di sebuah yayasan. Disebutkan bahwa soal-soal ujian dibuat sesuai dengan standar yayasan. Namun kenyataannya tidak ada sistem yang jelas untuk mencapai standar itu. Bahkan secara konkrit standar yang mau dicapai seperti apa juga tidak pernah ada. Para guru disuruh membuat soal, dan ditentukan soal dari guru siapa yang akan menjadi soal yang diujikan untuk semua sekolah di yayasan itu. Namun, sama sekali tidak dilakukan pengujian akuntabilitas dan reliabilitas terhadap soal, artinya, kalau soal itu kebetulan dibuat oleh guru yang rajin dan soalnya baik, ya para siswa akan terukur secara baik. Tetapi lebih sering soal dibuat dengan acak-acakan, bahkan yang memalukan, dengan masih banyaknya kesalah sepele seperti salah tulis atau salah tata bahasa. Kedua soal itu akan sama-sama disebut sebagai soal yang sesuai “standar yayasan”, dan hasil ujian akan dipampangkan berdasarkan soal-soal itu. Ini merupakan contoh yang “kecil” dari sebuah ide besar untuk memperhatikan masalah tubuh. Contoh kecil ini menunjukkan pengabaian serius terhadap tubuh institusi.

Bila organisasi mengabaikan pentingnya tubuh maka akan tampak tidak adanya keselarasan atau disiplin yang dibangun ke dalam struktur, sistem proses, dan budaya organisasi. Bila paradigma mengenai kodrat manusia yang dimiliki oleh para manajer tidak lengkap dan tidak akurat, sistem-sistem yang mereka rancang –termasuk komunikasi, perekrutan, pemilihan, penempatan, akuntabilitas, imbalan dan kompensasi, promosi, pelatihan dan pengembangan, serta sistem informasi – tidak akan bisa memunculkan potensi terbesar dari orang-orang di dalamnya. Baik individu, tim, departemen maupun seluruh organisasi tidak akan selaras dengan misi inti, nilai-nilai, dan strategi organisasi tersebut. Hal ini akan menciptakan sebuah ketidakselarasan yang parah dengan para stakeholder di dalam maupun di luar institusi; siswa, orang tua, guru.

Ketidakselarasan ini akan muncul dalam ribuan wujud, menurunkan tingkat kepercayaan, dan meningkatkan intrik politik maupun persaingan tidak sehat. Peraturan akan menyisihkan akal sehat manusia karena saat segala hal tidak bisa ditangani lagi, para manajer akan merasa perlu untuk memperketat kontrol. Birokrasi, hierarki, aturan, dan regulasi seolah-olah merupakan hal yang bisa berperan sebagai penyangga untuk menunjang kepercayaan. Pengembangan manusia atau kepemimpinan akan dipandang sebagai hal yang lembek. Seperti barang, orang akan dianggap sebagai beban biaya, dan bukan investasi. Tuntutan untuk lebih banyak melakukan pengaturan dan pengendalian akan menjadi semakin beralasan dan menghasilkan sebuah kondisi ketergantungan pasif seperti “tunggu sampai diperintahkan” di dalam diri sebagian besar orang. Ada pemimpin, tapi lebih tampil sebagai perpanjangan tangan dari pemimpin yang lebih di atasnya lagi. Tidak hanya perpanjangan tangan, tetapi juga perpanjangan mulut, karena pemimpin seperti ini suka meng-copy paste perkataan pimpinan di atasnya. Ia sendiri tidak mempunyai ide apa-apa. Pemimpin seperti ini tampil dengan keyakinan bahwa segalanya tidak akan bisa berjalan kalau mereka tidak menggunakan pola “wortel dan cambuk”. Mereka lebih banyak mengontrol daripada memotivasi, bahkan menggunakan tangan besi kalau perlu. Sikap pasif memberi dasar untuk menerapkan motivasi eksternal dan pengontrolan memberi dasar untuk semakin meningkatkan sikap pasif. Padahal, pengontrolan tidak akan pernah bisa mengilhami karyawan untuk mencapai puncak kerja dan sumbangan terbaik yang muncul dari kedalaman hati dan gairah mereka. Sumbangan berdasarkan suara dan semangat tersebut hanya akan muncul jika mereka dipimpin secara tepat sampai mereka secara sukarela melakukannya.

Hati:
Sekolah yang mengabaikan hati tidak akan bisa menimbulkan gairah, tidak ada keterikatan emosional terhadap tujuan atau pekerjaan, tidak ada antusiasme, dan diri sendiri untuk melakukan sesuatu dengan sukarela atau komitmen di dalam organisasi. Hasilnya adalah ketidakberdayaan yang parah (disempowerment) pada diri orang-orang di dalam organisasi. Seluruh budaya organisasi akan mengalir tanpa harapan. Di sekolah banyak orang berusaha ngobyek, melamun, bosan, mencari-cari pelarian dari kenyataan sehari-hari, tertekan, marah, takut, apatis, pura-pura patuh, dan penjilat.

Inilah paradigma baru yang harus dimiliki oleh setiap organisasi termasuk sekolah. Pengabaian terhadap salah satu dari elemen organisasi ini akan mengakibatkan munculnya masalah kronis karena kegagalan: kualitas rendah, membengkaknya biaya, ketidakluwesan, merajalelanya sikap saling tuding, budaya saling menyalahkan. Di lain pihak, muncul gerakan “diam itu emas”, sikap pasif untukmenyelamatkan mereka dari PHK, atau bahkan budaya penjilat, karena atasaan hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar.

KEPEMIMPINAN TIPPING POINT
Hal yang kurang lebih senada disampaikan oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborgne dalam bukunya yang terkenal “Blue Ocean Strategy”. Menurut buku ini organisasi pada masa kini mengalami rintangan-rintangan, yakni: rintangan kongnitif: menyadarkan karyawan akan pentingnya perpindahan strategis; rintangan keterbatasan sumber daya; rintangan motivasi; dan rintangan politis. Dan, dalam kondisi seperti itu, yang disarankan oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborgne adalah adanya kepemimpinan tipping point. Lagi-lagi, faktor kepemimpinan ternyata menjadi titik penting, dan tidak bisa dianggap remeh.

Kepemimpinan tipping point pada dasarnya adalah kepemimpinan yang secara cerdas melihat peluang-peluang bagi pencapaian tujuan visi dan misi. Secara teknis kepemimpinan tipping point mengkonsentrasikan diri pada area pengaruhnya, memilih untuk menghadapi tantangan masif tidak dengan memberi respon yang sama masifnya, namun memfokuskan diri pada upaya mengindentifikasi dan kemudian memperbaiki faktor-faktor pengaruh.

Kepemimpinan tipping point tentu saja tidak hanya membutuhkan kecerdasan, tetapi yang lebih penting adalah moral dan nurani. Hanya moral dan nurani yang mampu membuat kepemimpinan tipping point teguh dan konsisten pada apa yang menjadi tujuan awal dari institusi. Moral dan nurani juga dibutuhkan, karena kepemimpinan tipping point ini harus kebal terhadap godaan egonya sendiri, yang dapat melencengkan jalannya institusi.

Kepemimpinan tipping point mengandaikan bahwa para pemimpin yang ditunjuk adalah orang-orang yang memiliki integritas, loyalitas, dan dedikasi, dan bukan sebaliknya: orang-orang yang punya masalah moral, orang-orang yang rajin mendekati dan memberi pujian pada atasannya, ataupun orang-orang yang hanya banyak bicara tanpa bisa bekerja apa-apa. Ini karena para pemimpin tipping point ini dituntut untuk menjadi penggerak pada unit kerjanya masing-masing (kingpin).

Saya teringat pada cerita seorang kawan saya di sebuah sekolah lain. Ia mengisahkan tentang kepala sekolah barunya yang berapi-api berkotbah tentang moralitas di depan para guru. Tentu saja para guru di belakangnya mentertawakannya, karena mereka tahu, ia memperoleh jabatannya dengan cara-cara yang jauh dari standar moral; menjegal, memanipulasi, dan melakukan agitasi. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan tipping point, pasti bukan pemimpin seperti ini yang dimaksud, karena jangankan menggerakkan unit kerjanya ke arah kebaikan, menjaga integritasnya sendiri sehingga meraup kepercayaan internal saja tidak bisa.

Moral dan nurani juga sangat dibutuhkan karena kepemimpinan ini harus membawa institusi menembus berbagai rintangan dengan berbagai godaan; diantaranya adalah rintangan politis, dimana institusi akan menghadapi intrik-intrik baik dari dalam maupun dari luar. Pemimpin yang baik tidak larut dalam intrik, atau bahkan menimbulkan intrik, melainkan dengan cerdas dan berdasarkan nurani yang kuat mengatasi intrik-intrik semacam ini. Hal ini mengasumsikan bahwa dalam dirinya sendiri ia tidak setuju akan intrik-intrik itu. Dalam organisasi ada saja pihak-pihak yang menjadi virus, dengan mengandalkan kemampuan agitasi, manipulasi, pembunuhan karakter, kolutif, dan sebagainya. Para pemimpin tipping point harus bisa membersihkan dirinya sendiri dari kecenderungan-kecenderungan semacam ini dan oleh karenanya mempunyai pijakan yang kuat untuk membersihakn virus-virus di organisasinya. Menurut istilah dalam buku “Blue Ocean Strategy”, pemimpin tipping point harus dapat membedakan mana malaikat dan mana iblis, ini mengandaikan bahwa pemimpin ini tahu benar apa kriteria malaikat dan apa kriteria iblis; semuanya diarahkan bagi kepentingan institusi, bukan ego pribadi.

PENUTUP
Tidak masuk akal bila sebuah institusi mengklaim diri sudah berhasil tanpa menceburkan diri dalam perubahan dunia yang sudah dan sedang terjadi. Dalam kondisi ini tindakan mencari pembenaran serta mengarang berbagai alasan bukan merupakan tindakan yang bijak dan cerdas. Refleksi besar-besaran, dan kemudian menyusun langkah berdasarkan motivasi yang lebih murni merupakan hal yang penting.

Fakor kepemimpinan sekali lagi menjadi faktor yang sama sekali tidak bisa dipermainkan. Resiko besar dengan harga yang sangat mahal akan dituai oleh organisasi-organisasi yang tidak memiliki kepemimpinan, kecuali bila para pengelolanya memang berniat menggiring institusi (sekolah/yayasan) pada kehancuran. (db)

Pekanbaru, 17 Januari 2011
Agnes Bemoe


Sumber:
Covey, Stephen R. The 8th Habit. 2005. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Kim, W. Chan. Blue Ocean Strategy (Strategi Samudra Biru). 2006. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta