Follow Us @agnes_bemoe

Wednesday 21 March 2018

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: Antara Bulan, Prasasti, dan Harta Karun

March 21, 2018 0 Comments
Judul: Misteri Batu Bertulis
Penulis: Yovita Siswati
Editor: Pradhika Bestari
Penerbit: Penerbit Kiddo
Tahun Terbit: 2017
Jumlah Halaman: 192



Selain meninggalkan jejak sejarah panjang kerajaan Hindu di Jawa Barat, Prasasti Batu Bertulis di Bogor ternyata meninggalkan jejak harta karun harta karun. Harta karun  ini langsung menjadi incaran para pemburu harta. Bagja dan Mira terjebak di pusaran perburuan harta ini gara-gara mereka tidak sengaja memasuki sebuah toko buku kuno persis saat para penjahat sedang berusaha merebut salah satu petunjuk utama menuju harta karun, sebuah buku kuno bertuliskan huruf Kawi.

Perburuan harta karun Prasasti Batu Bertulis di Bogor itulah yang dikisahkan di buku ini, dengan Bagja dan Mira (baca Misteri Kerajaan Kuno) sebagai tokohnya.

Seperti biasa Yovita Siswati sangat kuat plottingnya. Cerita mengalir lancar, logis, dan -yang terpenting untuk sebuah cerita misteri- tak tertebak. Saya sudah membaca tujuh cerita misteri karya Yovita. Tetap saja saya kesulitan mencari polanya. Setiap buku punya twist tersendiri.

Yang juga membuat buku ini menarik adalah setting sejarahnya yang detil dan mengambil posisi ujung tombak dalam cerita (bukan sekedar setting). Saya kagum sekali akan kemahiran Yovita merangkai fakta-fakta sejarah ini menjadi semacam petunjuk penting bagi diketemukannya harta karun. Yang mana ini tentu saja 'fiksi banget' tetapi saya sebagai pembaca tidak merasakan fiksinya. Seolah-olah yang saya baca benar-benar terjadi.

Pengenalan situs-situs purbakala melalui cerita menurut saya keren banget karena tidak terkesan dipaksakan. Pembaca akan membacanya karena itu kebutuhan cerita.

Kejeniusan Yovita tidak berhenti sampai di situ. Menggunakan Candrakala sebagai sebuah sandi? Wow! Saya angkat topi, membungkukkan badan, dan standing applause sekaligus untuk ini.

Kesemuanya itu tidak akan ada artinya kalau penulis tidak mampu mengeksekusi dengan penceritaan yang sesuai dengan pembaca target. Syukurlah, Yovita mahir sekali bercerita. Saya yakin, anak-anak akan sangat asyik membacanya. Sebagai 'mantan anak', saya ingat sangat terhanyut oleh cerita Lima Sekawan. Nah, buku Yovita Siswati ini tidak hanya 'menggantikan' posisi Lima Sekawan dalam hal keasyikannya tapi terlebih lagi membuat pembaca ikut menjelajah sisi-sisi Indonesia. Dan mengenal Indonesia inilah sisi yang keren sekali dari serial ini! Menurut saya, sangat perlu bagi anak-anak Indonesia untuk mengenal dan mencintai negaranya, termasuk sejarahnya.

Tidak ada yang bisa saya tambahkan untuk memperbaiki buku ini. Cover, ilustrasi, dan terutama cerita sudah oke banget menurut saya. Mudah-mudahan serial ini bisa ditambah jumlahnya dengan mengambil daerah-daerah lain di pelosok Indonesia.

Dengan yang sudah saya sampaikan di atas, saya rekomendasikan buku ini buat anak-anak Indonesia. Bacalah buku ini maka saya janjikan kalian akan mendapatkan pengalaman seru dan tak terlupakan. Orang tua yang terkasih, tolong pertimbangkan untuk mengkoleksi buku ini. Ini adalah investasi yang bagus sekali bagi kecerdasan anak-anak. Bapak-Ibu Guru, saya sarankan untuk memilih buku ini untuk dibahas dalam Program Literasi Sekolah. Buku ini adalah angin segar yang dibutuhkan oleh anak-anak Indonesia. Lima dari lima bintang!

***

Pebatuan, 22 Maret 2018
@agnes_bemoe

Monday 19 March 2018

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: Rendang, Laut, Buku, Sekolah, dan Makkah

March 19, 2018 0 Comments
Judul: HATTA Aku Datang Karena Sejarah
Penulis: Sergius Sutanto
Editor: Agus Hadiyono
Penerbit: Qanita (PT Mizan Pustaka)
Jumlah Halaman: 364 hal.
Tahun Terbit: Edisi Kedua, Cetakan I, Januari 2018


Drs. Muhammad Hatta sering kita baca dalam buku-buku sejarah. Kita kenal beliau sebagai tokoh utama pergerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks itu kita melihat Hatta sebagai orang besar, tokoh besar, sosok yang seolah-olah tak terjangkau karena kebesarannya. Lalu, bagaimana Hatta sebagai manusia? Apa harapan dan impiannya? Apa kerinduannya? Apa kecemasan dan ketakutannya? Bagaimana dia semasa kecil? Bagaimana percintaannya? Dan lain-lain pertanyaan yang sekiranya membuat Hatta menjadi manusia yang hangat dan hidup di benak kita. Inilah yang disusun oleh Sergius Sutanto dalam novelisasi biografi Bung Hatta yang diberi judul "HATTA Aku Datang Karena Sejarah" ini.

Sergie memplot novelnya seturut lima keinginan Hatta: Mekkah, sekolah, buku, laut, rendang, yang dengan cerdik dibuat menjadi terbalik. Di atas rel inilah kisah berjalan, dimulai dengan masa kecil Atta (panggilan untuk Hatta) di Bukittinggi sampai pada zaman kemerdekaan.

Sejak halaman pertama saya sudah menyukainya karena seperti harapan saya Hatta muncul sebagai manusia, bukan super hero dalam buku sejarah atau biografi. Saya rasa ketrampilan berbahasa penulisnya berperan besar dalam 'memanusiakan' sosok Hatta. Sergie terampil sekali menyadur fakta-fakta sejarah menjadi cerita. Beberapa puisi yang diselipkan membuat novel biografi ini menjadi lembut dan manis. Semakin ke belakang, cerita semakin menghanyutkan. Seolah-olah saya sedang membaca kisah yang seratus persen fiksi.

Tidak hanya terampil menyadur fakta, Sergie juga terampil memproyeksikan tokoh Muhammad Hatta sehingga nilai-nilai yang selama ini melekat pada beliau mendapatkan penegasan latar belakangnya. Ambil contoh sikap hemat penuh integritas yang selama ini kita (saya) tahu lewat buku sejarah. Bagaimana Hatta bisa terbentuk sebagai pribadi yang seperti itu dapat kita runut dari halaman depan ketika Atta kecil menerima didikan Pak Gaek dan Siti Saleha. Mereka adalah kakek dan ibunda Bung Hatta. Proyeksi yang tepat ini membuat tokoh Hatta muncul sangat inspiratif di sepanjang buku tanpa si tokoh perlu berkotbah tentang dirinya atau karyanya.

Selain salut akan kemampuan Sergie merangkai kata, saya juga salut akan kuatnya riset di belakang novel ini. Kekuatan riset ini terasa sekali karena saya sebagai pembaca tidak hanya disuguhi hal-hal umum tentang Bung Hatta yang sudah kita ketahui. Ini membuat saya sebagai pembaca terpuaskan rasa ingin tahunya (intelectually entertained).

Cover baru menurut saya jauh lebih keren daripada cover lamanya. Cover yang baru ini lebih kuat karakternya.

Tentu saja tak ada gading yang tak retak tapi tidak banyak yang bisa saya katakan tentang kekurangan novel ini. Kalaupun ada, itu dalam skala kecil yang tidak terlalu mengganggu. Mengambil POV Orang Ketiga Serba Tahu, di beberapa tempat penulis sempat tergelincir untuk menulis biografi dan bukan novel. Ini terasa sekali di bagian kemelut sekitar/sesaat sebelum proklamasi. Kemudian, ada beberapa gesture Bung Hatta yang akan lebih asyik kalau sudah diceritakan dari awal: kesukaannya akan kopi, misalnya, sehingga tidak terlalu membingungkan ketika di penjara di Belanda Bung Hatta 'menceracau' tentang kopi.

Ada juga beberapa kesalahan ketik, misalnya kalimat langsung diletakkan di luar tanda kutip, yang membuat pembaca harus mengulang-ulang baca untuk memahaminya.

Namun demikian, seperti saya katakan, kekeliruan kecil itu tidak ada apa-apanya berbanding kedalaman novel ini. Salut berat buat penulisnya yang mau bertungkus lumus di genre ini. Salut juga buat penerbitnya, tentu saja. Novel ini adalah bahan bacaan yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia di masa sekarang. Bung Hatta berjuang untuk meraih kemerdekaan. Sekarang banyak pihak hendak merusak kemerdekaan Indonesia dengan memaksakan ideologi mereka. Karenanya, saya sangat merekomendasikan novel yang sudah dicetak ulang ini untuk dibaca oleh semua saja. Novel ini bukan sekedar bacaan, ini adalah tuntunan. Bintang 4 dari 5 buat HATTA Aku Datang Karena Sejarah.

***

Pebatuan, 20 Maret 2018
@agnes_bemoe

Friday 9 March 2018

BELAJAR MEMBANGUN KARAKTER TOKOH LEWAT NOVEL MISTERI KARYA YOVITA SISWATI

March 09, 2018 4 Comments

Bila teman-teman adalah pembaca serial Novel Misteri karya Yovita Siswati yang diterbitkan oleh Penerbit Kiddo, teman-teman pasti setuju: karakterisasi tokoh dalam novel-novel itu nendang banget. Tokoh-tokoh yang dibangun Yovita Siswati (selanjutnya disingkat YS) unik dan meninggalkan jejak fotografi di kepala pembaca. Dalam “Misteri Gua Purba” pembaca pasti langsung tersedot oleh tokoh Galuh yang kriwil dan pecicilan. Sementara itu, Sari yang suaranya cemengkring dan suka sekali memakai pita kupu-kupu dalam “Misteri Kota Tua” pasti sulit dilupakan oleh pembaca.
Tertarik dengan keterampilan YS mengukir tokoh-tokohnya, saya mencoba mempelajarinya lewat cerita-cerita yang ditulisnya. Super disclaimer: tulisan ini adalah interpretasi saya atas cerita YS dan BUKAN keterampilan atau ilmu asli YS. Karenanya, pasti akan ada banyak lubang, kelemahan, dan kecetekan di dalam tulisan ini. Kelemahan itu saya anggap bagian dari proses belajar saya dan saya akan sangat senang sekali seandainya ada yang bersedia menambahkan dan memperbaiki.

FISIK, NON-FISIK, DAN KEBIASAAN
Hal pertama dari karakterisasi YS yang saya perhatikan adalah penamaan. Nama-nama yang digunakan YS adalah nama-nama yang tidak terlalu umum di pasaran buku/cerita anak Indonesia dan itu menjadikannya unik. Bagas, Galuh, Damar adalah nama-nama kejawa-jawaan di cerita “Misteri Gua Purba”. Bisa dimengerti karena settingnya adalah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Lalu, ada nama-nama semacam Danu, Dodo, Beno, Seruni, Ira, atau Bagja yang sepintas terdengar ‘biasa’ namun dalam ‘kebiasaan’-nya itu ada semacam keluarbiasaan karena tidak terlalu terikut arus dengan nama-nama zaman sekarang. Setiap pembaca pasti nyaman mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh tersebut.
Yang berikutnya adalah tanda-tanda fisik pada setiap tokoh. Tanda-tanda fisik adalah sesuatu yang dipunyai sejak lahir. Bagja berambut gimbal, Galuh berambut keriting, Ira badannya jangkung, Danu berkaca mata dan berbadan kecil, atau Mira yang rambutnya sangat panjang. Atau, tinggalkan sejenak tokoh-tokoh utama, kita lihat tokoh berikutnya yang penggambaran fisiknya begitu lekat. Sebut misalnya Aki Uban di “Misteri Kota Tua” yang kurus kering dan tentu saja rambutnya sudah putih semua. Atau, orang tua misterius yang bermata menonjol keluar di “Misteri Kerajaan Kuno”.
Terkait dengan ciri-ciri fisik adalah kebiasaan-kebiasaan si tokoh. Ingat Galuh yang suka jalan melompat-lompat seperti kelinci (Misteri Gua Purba)? Atau Ira yang suka bicara sambil mengebas-ngebaskan tangannya (Misteri Kota Topeng Angker)? Atau Seruni yang punya gaya bicara yang kasar (Misteri Gurindam Makam Kuno)?
Selanjutnya, selain penggambaran fisik, karakter juga bisa dibangun dengan tanda-tanda di luar bawaan lahir. Kita ingat akan “Si Sepatu Ular” di “Misteri Gua Purba”. Atau “Si Pipi Tarantula” di “Misteri Kerajaan Kuno”, selain “Bang Raung” yang suara raungannya membuat bulu kuduk berdiri di “Misteri Gurindam Makam Kuno” atau “Embok Tua Cerewet” yang suka menyanyi dan menandak-nandak serta super pemarah di “Misteri Kota Topeng Angker”. Menggambarkan seseorang yang tidak diketahui namanya oleh pembaca melalui ciri-ciri semacam ini membuat cerita menjadi sangat menarik selain membantu pembaca mengingat si tokoh ini.
Yang terakhir adalah hobi dan kebiasaan lain yang tidak melulu berupa hobi. Galuh yang pecicilan adalah pembaca buku garis keras. Hobinya itu jelas membantu Bagas memecahkan misteri. Seruni suka mencopet, biarpun ia mencopet agar bisa makan. Pak Bon dalam “Misteri Kerajaan Kuno” punya kebiasaan unik: mengakhiri kalimatnya dengan peribahasa yang malangnya peribahasa itu sama sekali lain artinya dengan yang ia maksud.
“… diejek sekarang tak apa, yang penting nanti jadi orang besar. Seperti kata pepatah: sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga.” (Misteri Kerajaan Kuno, hal. 3).

Satu orang tokoh tidak hanya memiliki satu ciri unik. Tidak jarang kita temukan seorang tokoh dengan beberapa ciri. Sebut saja Seruni (Misteri Gurindam Makam Kuno) yang hitam legam dan keriting (fisik), suka bicara kasar (non fisik) dan suka memerintah  selain pencopet ulung (kebiasaan lain). Eksplorasi terhadap tokoh membuat tokoh tidak sekedar lewat di kepala kita namun melekat erat seolah kita menonton filmnya di bayangan kita.
Walaupun demikian, bila benar-benar kuat, tokoh dengan satu ciri khas saja sudah langsung memikat pembaca. Saya masih selalu teringat akan Pak Bon dengan ‘keterampilannya’ berperibahasa.

TIDAK ADA TOKOH YANG TERLALU SEPELE UNTUK DIBERI POLESAN KARAKTER
Yang juga saya pelajari dari karakterisasi YS di cerita-ceritanya adalah tidak ada tokoh yang terlalu sepele untuk diberi polesan karakter. Biarpun contoh-contoh saya di atas kebanyakan terkait tokoh utama namun kalau teman-teman membaca sendiri novel YS, teman-teman akan temukan bahwa tokoh-tokoh pendamping pun selalu hadir dengan ukiran karakter yang kuat. Membaca nama-nama “Bang Oding” dan “Bang Gopal” di “Misteri Gurindam Makam Kuno”, kita tidak bisa melewatkan mereka tanpa membayangkan seperti apa orangnya. Mereka bukan sekedar tokoh yang lewat di kepala kita namun menjadi “seseorang” yang hidup.
Apakah tokoh baik otomatis memiliki karakter/ciri baik yang sempurna? Dan sebaliknya? Syukurlah novel-novel YS tidak menganut mahzab membosankan itu. Sebaliknya, pembaca sering dibuat terkecoh dengan karakterisasi yang dibangun oleh YS atas tokoh-tokohnya bila dihubungkan dengan moralitas si tokoh. Sebut saja tokoh “Pak Bon” atau “Topi Tengkorak”, atau yang lebih abu-abu lagi adalah “Seruni”. Saya pribadi berpendapat penokohan semacam ini membantu pembaca (anak) untuk belajar tentang dirinya dan manusia di sekelilingnya.  

SARANA BELAJAR
Karakterisasi tokoh jelas membuat cerita menjadi jauh lebih menarik. Tokoh-tokoh menjadi lebih hidup di kepala kita. Selagi membaca, kita seperti bertemu langsung dengan para tokoh tersebut. Saya sangat bersyukur disuguhi cerita-cerita yang menarik dengan penokohan yang luar biasa. Bagi saya, ini adalah sarana belajar cara membangun tokoh, seperti yang saya tuliskan di sini.
Setelah belajar, hasilnya mana dong?
Ehem, saya tidak bisa menyebutkan ini hasil belajar dari buku-buku YS karena kawatir malah menjatuhkan reputasi YS. Namun jujur, saya banyak ‘mencontek’ cara YS menghidupkan tokoh-tokohnya. Saya cuplikkan sedikit hasil belajar saya ya:

“Surya?”
Seorang anak berbadan jangkung, berambut jagung, tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Ia menjilati bibirnya sendiri seperti orang yang sedang gelisah. Wajahnya sih seperti wajah orang Indonesia pada umumnya. Hidungnya malah terhitung pesek untuk ukuran orang Kaukasia tapi rambutnya sangat pirang. Selain rambutnya yang sangat pirang, kedua bola matanya juga sangat biru. Biru seperti birunya langit yang cerah. Di salah satu telinganya ia mengenakan anting kecil bermata biru.
“Iya, kenapa?”

Bagaimana menurut teman-teman? Thumb up atau upside down? Hihihi…
Btw, Si Bule ini akan hadir di novel anak terbaru saya, yang merupakan ‘the series-‘nya KOPRAL JONO (Yeay!) Tahu novel saya yang KOPRAL JONO ini kan? Tentang seorang anak cacat bernama Surya dan pitbull liarnya? Kalau belum baca, baca ya….
Aih, penutupnya kepanjangan. Ya sudah, saya mohon pamit. Semoga tulisan ini bermanfaat!



Pebatuan, 10 Maret 2018
@agnes_bemoe