Bila teman-teman adalah pembaca
serial Novel Misteri karya Yovita Siswati yang diterbitkan oleh Penerbit Kiddo,
teman-teman pasti setuju: karakterisasi tokoh dalam novel-novel itu nendang banget. Tokoh-tokoh yang
dibangun Yovita Siswati (selanjutnya disingkat YS) unik dan meninggalkan jejak
fotografi di kepala pembaca. Dalam “Misteri Gua Purba” pembaca pasti langsung tersedot
oleh tokoh Galuh yang kriwil dan pecicilan. Sementara itu, Sari
yang suaranya cemengkring dan suka
sekali memakai pita kupu-kupu dalam “Misteri Kota Tua” pasti sulit dilupakan
oleh pembaca.
Tertarik dengan keterampilan YS mengukir
tokoh-tokohnya, saya mencoba mempelajarinya lewat cerita-cerita yang
ditulisnya. Super disclaimer:
tulisan ini adalah interpretasi saya atas cerita YS dan BUKAN keterampilan atau
ilmu asli YS. Karenanya, pasti akan ada banyak lubang, kelemahan, dan kecetekan
di dalam tulisan ini. Kelemahan itu saya anggap bagian dari proses belajar saya
dan saya akan sangat senang sekali seandainya ada yang bersedia menambahkan dan
memperbaiki.
FISIK,
NON-FISIK, DAN KEBIASAAN
Hal pertama dari karakterisasi YS
yang saya perhatikan adalah penamaan.
Nama-nama yang digunakan YS adalah nama-nama yang tidak terlalu umum di pasaran
buku/cerita anak Indonesia dan itu menjadikannya unik. Bagas, Galuh, Damar adalah nama-nama kejawa-jawaan di cerita “Misteri
Gua Purba”. Bisa dimengerti karena settingnya adalah Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Lalu, ada nama-nama semacam Danu,
Dodo, Beno, Seruni, Ira, atau Bagja
yang sepintas terdengar ‘biasa’ namun dalam ‘kebiasaan’-nya itu ada semacam keluarbiasaan
karena tidak terlalu terikut arus dengan nama-nama zaman sekarang. Setiap
pembaca pasti nyaman mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh tersebut.
Yang berikutnya adalah tanda-tanda
fisik pada setiap tokoh. Tanda-tanda fisik adalah sesuatu yang dipunyai sejak
lahir. Bagja berambut gimbal, Galuh berambut keriting, Ira badannya jangkung,
Danu berkaca mata dan berbadan kecil, atau Mira yang rambutnya sangat panjang.
Atau, tinggalkan sejenak tokoh-tokoh utama, kita lihat tokoh berikutnya yang
penggambaran fisiknya begitu lekat. Sebut misalnya Aki Uban di “Misteri Kota Tua” yang kurus kering dan tentu saja
rambutnya sudah putih semua. Atau, orang tua misterius yang bermata menonjol
keluar di “Misteri Kerajaan Kuno”.
Terkait dengan ciri-ciri fisik
adalah kebiasaan-kebiasaan si tokoh. Ingat Galuh yang suka jalan
melompat-lompat seperti kelinci (Misteri Gua Purba)? Atau Ira yang suka bicara
sambil mengebas-ngebaskan tangannya (Misteri Kota Topeng Angker)? Atau Seruni
yang punya gaya bicara yang kasar (Misteri Gurindam Makam Kuno)?
Selanjutnya, selain penggambaran
fisik, karakter juga bisa dibangun dengan tanda-tanda di luar bawaan lahir.
Kita ingat akan “Si Sepatu Ular” di “Misteri
Gua Purba”. Atau “Si Pipi Tarantula”
di “Misteri Kerajaan Kuno”, selain “Bang
Raung” yang suara raungannya membuat bulu kuduk berdiri di “Misteri
Gurindam Makam Kuno” atau “Embok Tua
Cerewet” yang suka menyanyi dan menandak-nandak serta super pemarah di “Misteri
Kota Topeng Angker”. Menggambarkan seseorang yang tidak diketahui namanya oleh
pembaca melalui ciri-ciri semacam ini membuat cerita menjadi sangat menarik
selain membantu pembaca mengingat si tokoh ini.
Yang terakhir adalah hobi dan
kebiasaan lain yang tidak melulu berupa hobi. Galuh yang pecicilan adalah
pembaca buku garis keras. Hobinya itu jelas membantu Bagas memecahkan misteri.
Seruni suka mencopet, biarpun ia mencopet agar bisa makan. Pak Bon dalam “Misteri
Kerajaan Kuno” punya kebiasaan unik: mengakhiri kalimatnya dengan peribahasa
yang malangnya peribahasa itu sama sekali lain artinya dengan yang ia maksud.
“… diejek sekarang tak apa, yang
penting nanti jadi orang besar. Seperti kata pepatah: sepandai-pandainya tupai
melompat pasti akan jatuh juga.” (Misteri Kerajaan Kuno, hal. 3).
Satu orang tokoh tidak hanya
memiliki satu ciri unik. Tidak jarang kita temukan seorang tokoh dengan
beberapa ciri. Sebut saja Seruni (Misteri
Gurindam Makam Kuno) yang hitam legam dan keriting (fisik), suka bicara kasar
(non fisik) dan suka memerintah selain
pencopet ulung (kebiasaan lain). Eksplorasi terhadap tokoh membuat tokoh tidak
sekedar lewat di kepala kita namun melekat erat seolah kita menonton filmnya di
bayangan kita.
Walaupun demikian, bila benar-benar
kuat, tokoh dengan satu ciri khas saja sudah langsung memikat pembaca. Saya
masih selalu teringat akan Pak Bon dengan ‘keterampilannya’ berperibahasa.
TIDAK
ADA TOKOH YANG TERLALU SEPELE UNTUK DIBERI POLESAN KARAKTER
Yang juga saya pelajari dari
karakterisasi YS di cerita-ceritanya adalah tidak ada tokoh yang terlalu sepele untuk diberi polesan karakter. Biarpun
contoh-contoh saya di atas kebanyakan terkait tokoh utama namun kalau
teman-teman membaca sendiri novel YS, teman-teman akan temukan bahwa
tokoh-tokoh pendamping pun selalu hadir dengan ukiran karakter yang kuat.
Membaca nama-nama “Bang Oding” dan “Bang Gopal” di “Misteri Gurindam Makam Kuno”,
kita tidak bisa melewatkan mereka tanpa membayangkan seperti apa orangnya.
Mereka bukan sekedar tokoh yang lewat di kepala kita namun menjadi “seseorang”
yang hidup.
Apakah tokoh baik otomatis memiliki
karakter/ciri baik yang sempurna? Dan sebaliknya? Syukurlah novel-novel YS
tidak menganut mahzab membosankan itu. Sebaliknya, pembaca sering dibuat
terkecoh dengan karakterisasi yang dibangun oleh YS atas tokoh-tokohnya bila
dihubungkan dengan moralitas si tokoh. Sebut saja tokoh “Pak Bon” atau “Topi
Tengkorak”, atau yang lebih abu-abu lagi adalah “Seruni”. Saya pribadi
berpendapat penokohan semacam ini membantu pembaca (anak) untuk belajar tentang
dirinya dan manusia di sekelilingnya.
SARANA
BELAJAR
Karakterisasi tokoh jelas membuat
cerita menjadi jauh lebih menarik. Tokoh-tokoh menjadi lebih hidup di kepala
kita. Selagi membaca, kita seperti bertemu langsung dengan para tokoh tersebut.
Saya sangat bersyukur disuguhi cerita-cerita yang menarik dengan penokohan yang
luar biasa. Bagi saya, ini adalah sarana belajar cara membangun tokoh, seperti
yang saya tuliskan di sini.
Setelah belajar, hasilnya mana
dong?
Ehem, saya tidak bisa menyebutkan
ini hasil belajar dari buku-buku YS karena kawatir malah menjatuhkan reputasi
YS. Namun jujur, saya banyak ‘mencontek’ cara YS menghidupkan tokoh-tokohnya. Saya
cuplikkan sedikit hasil belajar saya ya:
“Surya?”
Seorang
anak berbadan jangkung, berambut jagung, tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Ia
menjilati bibirnya sendiri seperti orang yang sedang gelisah. Wajahnya sih
seperti wajah orang Indonesia pada umumnya. Hidungnya malah terhitung pesek
untuk ukuran orang Kaukasia tapi rambutnya sangat pirang. Selain rambutnya yang
sangat pirang, kedua bola matanya juga sangat biru. Biru seperti birunya langit
yang cerah. Di salah satu telinganya ia mengenakan anting kecil bermata biru.
“Iya,
kenapa?”
Bagaimana menurut teman-teman? Thumb
up atau upside down? Hihihi…
Btw, Si Bule ini akan hadir di
novel anak terbaru saya, yang merupakan ‘the series-‘nya KOPRAL JONO (Yeay!) Tahu novel saya yang KOPRAL JONO ini kan?
Tentang seorang anak cacat bernama Surya dan pitbull liarnya? Kalau belum baca,
baca ya….
Aih, penutupnya kepanjangan. Ya
sudah, saya mohon pamit. Semoga tulisan ini bermanfaat!
Pebatuan,
10 Maret 2018
@agnes_bemoe
Wah... Terima kasih ulasannya.... Tadi sempat bertanya2... Gimana cara menghidupkan karakternya... Eh... Ada contohnya
ReplyDelete��
Sama-sama. Mudah-mudahan membantu ya :)
DeleteSaya suka tulisannya. Saya jadi banyak belajar, dan belajar, dan belajar. Terimakasih Mbak Agnes.
ReplyDeleteKita sama-sama belajar ya. Terima kasih sudah mampir dan maaf, baru terbaca sekarang komennya :)
DeleteAgnes Bemoe