Seminggu yang lalu saya dimintai
oleh mantan guru Bahasa Indonesia SMA saya membuat format cerita anak. Saya
yakin sepuluh ribu persen, beliau lebih mampu membuatnya daripada saya. Namun
sebagai (mantan) murid yang baik, saya buatkan juga.
Berikut ini bukan teori karena saya
tidak punya secuil degree pun dalam
bidang penulisan cerita anak. Yang akan saya sampaikan adalah yang
sehari-harinya saya lakukan bila menulis cerita anak. Saya lebih sering menulis
cerita anak untuk pembaca target berusia 4 sampai 12 tahun. Maka, pada ruang
itulah saya berbicara.
UNSUR
INTRINSIK
Sama seperti cerita pada umumnya,
cerita anak juga dibangun atas adanya konflik,
karakter, alur, setting, tema, sudut pandang, gaya bahasa, serta amanat. Lalu,
apa bedanya dengan cerpen bukan anak-anak? Ary
Nilandari –seorang pakar cerita anak- punya istilah yang unik tentang ini.
Menulis cerita anak berarti penulis (yang biasanya sudah bukan anak-anak lagi)
harus bersedia “jongkok dan melihat dunia dari kaca mata anak”.
LILA MENCARI TETES AIR HUJAN
Agnes
Bemoe
Hari itu hujan turun deras sekali.
Brush! Brush! Brush! Begitu bunyinya. Tetes airnya berkelap-kelip di udara
sebelum jatuh menimpa tanah. Indah sekali! Namun, lama kelamaan tetes hujan
semakin sedikit. Tes! Tes! Tes! Lebih menyedikit lagi. Tik! Tik! Tik! Akhirnya
berhenti!
Lila terperanjat melihat air hujan
yang berhenti menetes. Ia berlari keluar dan melihat langit. Langit cerah.
Tidak berawan apalagi hujan.
Lila menunggu satu hari. Hujan tidak
turun. Dua hari, tiga hari, sampai satu minggu. Huh! Kemana perginya hujan?
Lila lalu memutuskan untuk mencari
Tetes Air Hujan.
Ia menempuh perjalanan panjang
sampai ke luar kota. Di tepi kota ada persawahan yang luas menghijau. Di sana
ia bertemu Orang-Orangan Sawah.
“Bapak Orang-Orangan Sawah, di
manakah Tetes Air Hujan?” Lila membungkuk dengan hormat.
“Di Gunung Ratu banyak air hujan,”
jawab Orang-Orangan Sawah.
Lila berjalan lagi. Kali ini ia
menuju ke Gunung Ratu. Ia bertemu Naga Ungu.
“Paman Naga, di manakah Tetes Air
Hujan?”
Naga Ungu menunjuk ke atas. “Di
atas awan ada Tetes Air Hujan,” serunya sambil menyemburkan api.
Lila minta tolong pada Datuk Angin
untuk membuatkan sebuah tangga menuju ke langit. Lila lalu memanjat tangga
angin itu. Di langit Lila bertemu Tuan Awan.
“Tuan Awan, di manakah Tetes Air
Hujan?”
Tuan Awan tertawa sambil
menempuk-nepuk perutnya yang gendut.
“Anak manis, tunggulah di rumahmu.
Tidak berapa lama lagi Tetes Air Hujan akan datang.”
Lila terdiam sejenak.
“Hmm… berapa lama aku harus
menunggu?”
“Hitunglah sampai enam kali Ibu
Bulan Purnama muncul di langit. Oke?”
Lila mengangguk-angguk senang. Ia
mencium pipi Tuan Awan lalu pamit pulang.
***
( “Hujan! Hujan! Hujaaan!” Gramedia Pustaka Utama,
2014)
Ilustrasi "Lila Mencari Tetes Air Hujan" oleh Clay Illustration |
Bagi orang dewasa, hujan berhenti
tidak menimbulkan rangsangan apapun dalam pikiran mereka. Namun, bagi anak-anak
yang sedang penuh dengan rasa ingin tahu, berhentinya hujan menimbulkan
pertanyaan besar dalam diri mereka: kemana si hujan. Melihat dunia dengan kaca
mata anak ini yang pertama-tama harus ditanamkan dan terus menerus dilatih.
Jangan sampai, kita menjejalkan ide orang dewasa dalam format cerita anak.
Cerita anak seharusnya menjadi kerajaan bagi dunia anak, dimana anak-anak
menjadi raja atau ratunya.
Dalam kaitannya dengan hal itu,
penggunaan bahasa menjadi amat penting. Kalimat pendek-pendek dan sederhana
(kalimat efektif) akan lebih menarik bagi anak. Bahasa yang efektif menjadi
tuntutan standar karena biasanya ruang untuk menulis juga dibatasi jumlah katanya.
Saya pribadi membatasi satu cerita hanya 500 kata, mengikuti beberapa lomba
yang pernah saya ikuti (termasuk Singtel
Asian Picture Book Award). Majalah Bobo dan Kompas Minggu Anak memberi
ruang 500 – 700 kata.
Kumpulan Kisah Santo Santa, Penerbit Genta (Imprint Penerbit BIP Gramedia), 2013 |
Yang paling penting (dan membuat
saya tergila-gila menulis cerita anak) adalah ruang imajinasi. Anak-anak yang
sehat dan cerdas pasti punya imajinasi yang “liar dan aneh” (pernah perhatikan
anak anda bicara sendiri dengan mobil atau bonekanya? Luar biasa sekali melihat
pikiran mereka yang melompat ke sana kemari dengan cetusan-cetusan ceritanya).
Kalau cerita yang kita tulis berada di bawah standar imajinasi anak, bisa
diduga anak (yang cerdas) akan bosan.
Pernah baca buku-buku cerita anak
karya Clara Ng? “Padi Merah Jambu”, misalnya? Atau buku-buku Roal Dahl?
“Charlie and The Chocolate Factory”? Atau serial “Pippi Langstrump”? Masa kecil
anda sangat luar biasa kalau sempat membaca buku-buku itu. Itu buku-buku yang
sangat memanjakan imajinasi anak-anak.
Menulis cerita anak memberi ruang pada
penulisnya untuk “berpikir secara liar” (sehingga buat saya sangat
menyenangkan). Saya bisa membuat tokoh berbentuk segi empat berwarna kuning
(ingat Sponge Bob?) atau saya bisa mengambil kecoa (binatang yang aslinya
menjijikkan itu) sebagai tokoh utama (Oggy and the Cockroaches). Ini privilege
yang tidak saya dapati ketika menulis cerita dewasa.
Menulis cerita anak juga berarti
harus terampil merajut amanat sehingga tidak terkesan menggurui, berkotbah,
apalagi indoktrinasi. Anak-anak yang cerdas tidak akan mau membaca
cerita-cerita seperti itu.
Buku saya "Nino, Si Petualang Ciik" diresensi oleh Majalah Bobo, 2014 |
BONEKA RASA JUS JERUK
Noni melap keringatnya. Matahari
bertambah panas. Suaranya juga habis karena berteriak-teriak dari tadi.
Diliriknya tempat jus jeruknya. Masih terisi penuh. Huh, Noni mengeluh dalam
hati. Dari tadi baru dua gelas yang terjual. Ternyata sulit sekali berjualan
jus jeruk. Apakah ini berarti boneka beruang impianku tidak bisa kudapatkan ya…
Noni bukan penjual jus jeruk. Ia
berjualan jus jeruk karena ia ingin punya uang. Dengan uang itu ia ingin
membeli sebuah boneka beruang yang dilihatnya di mall. Bila minta dibelikan,
pasti mama tidak akan setuju. Papa dan mama hanya akan membelikan buku atau
peralatan sekolah. Ketika itulah muncul ide di kepala Noni untuk berjualan jus
jeruk.
Mama dan papa memang tidak melarang
tapi mereka sempat mengingatkan bahwa berjualan itu tidak mudah.
“Papa dan mama tidak keberatan,
Noni. Tetapi, berjualan itu tidak mudah lho. Kamu harus menyiapkan jus
jeruknya. Kamu juga harus memperhitungkan baik-baik harganya berapa, supaya kamu
tidak merugi.”
“Harus siap mental juga, karena
tidak selalu jualan kita langsung laris…” sambung mama.
Noni teringat perkataan papa dan
mamanya itu. Ternyata, perkataan papa dan mama benar. Sudah sesiangan Noni
menyiapkan jualannya. Sesiangan pula ia sibuk menjajakan jus jeruknya.
Ternyata, hanya laku dua gelas.
Noni terduduk dengan lemas. Huh!
Ternyata berjualan itu memang tidak mudah, keluhnya. Terbayang kembali boneka
beruang yang besar dan lucu. Boneka itu nampak semakin jauh dari angan-angannya….
“Hai, Noni! Kamu berjualan apa?”
tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Noni. Ternyata itu adalah suara Tante Ningsih,
yang rumahnya tidak jauh dari rumah Noni.
“Jus jeruk, Tante. Enak, segar, dan
murah!” Noni jadi bersemangat. “Gulanya gula asli, Tante. Pasti manis dan
sehat!”
“Wah, wah, wah, pintar benar kamu
berpromosi!” Tante Ningsih tertawa. “Tante coba satu gelas deh….”
Dengan sigap Noni melayani
menuangkan satu gelas jus jeruk.
“Hm… segar!” Tante Ningsih meneguk
jus jeruknya sampai habis. “Apakah bisa dibungkus? Tante mau membelikan untuk
Tommy dan Heidi.”
“Bisa, Tante!” Kembali, dengan
sigap Noni membungkuskan jus jeruk pesanan Tante Ningsih.
Tante Ningsih membayar pesananannya
kemudian berlalu. Sementara itu, Noni menyimpan baik-baik uang dari Tante Ningsih
di sebuah kotak plastik. Sejenak, timbul kembali semangatnya. Ia
berteriak-teriak, menjajakan dagangannya.
Sampai sore, jus jeruk Noni
ternyata belum habis. Dengan kecewa, Noni mengemasi jualannya. Benar kata papa,
berjualan itu tidak mudah, pikir Noni masygul.
“Bagaimana hasilnya, Noni?” Tanya
mama.
Noni menghela napas.
“Tidak habis terjual Ma, walaupun
ada beberapa pembeli hari ini….”
“Wah, hebat itu! Kamu kan baru
pertama berjualan. Orang-orang kan belum banyak yang tahu bahwa ada yang berjualan
jus jeruk di sini.” Mama menghibur Noni.
Noni mengangkat bahu.
“Atau, kelihatannya kamu mau
berhenti saja, tidak jadi berjualan jus jeruk lagi?” tantang mama.
Noni terperanjat. Ia memang kecewa,
tetapi berhenti? Tentu tidak!
“Tidaklah Ma! Aku kan belum mulai,
kok mau berhenti!”
Mama tertawa mendengarnya.
Tiba-tiba terdengar suara telepon
bordering. Mama bergegas menuju meja telepon untuk menjawabnya.
Noni pun segera beranjak untuk
mencuci gelas-gelas yang tadi terpakai. Tiba-tiba terdengar suara mama di
belakangnya.
“Kejutan, Noni!”
Noni mengangkat kepalanya.
“Tadi Tante Ningsih ikut membeli
jus jerukmu ya?”
“Iya, Ma. Kenapa?”
“Tante Ningsih mau pesan 30 gelas
untuk besok sore. Kamu siap mengerjakannya?”
Noni terbelalak senang.
“Siaaa, Bosss!” serunya.
Sampai beberapa hari Noni masih
melanjutkan jualannya. Terkadang banyak pesanan, terkadang tidak ada. Tetapi
Noni tetap semangat. Lama kelamaan uangnya sudah cukup untuk membeli boneka
beruang yang besar dan lucu itu.
“Ayo, papa antarkan membeli
boneka,” ajak papa.
Noni menggeleng.
“Tidak, Papa. Terasa sulitnya
mencari uang, bahkan untuk lima ratus rupiah sekalipun. Aku tak mau membeli
boneka. Uangnya mau kusimpan saja…”
Mendengar ini, papa tertawa. Mama
memeluk Noni sambil mengusap kepalanya.
***
(Pernah dimuat di Kompas Minggu, Maret 2013)
Pesan entrepreneurship sangat kuat
di sini. Namun, pesan itu dirangkaikan dalam bentuk pengalaman Noni. Pembaca
dibiarkan merasakan dan mengambil kesimpuannya sendiri. Akan berbeda sekali
keasyikannya kalau diceritakan bahwa ayah dan ibu Noni berkotbah panjang lebar
mengenai entrepreneurship.
Ilustrasi "Bo dkk di Peternakan Kakek Ars" oleh InnerChild Std. |
BAGAIMANA
MEMULAINYA?
Ya mulai tulis saja ide yang sudah
ada di kepala. Kalau belum ada ide? Cari ide! Dari mana? Buka mata, lihat
sekeliling. Pendeknya, stop whining,
start writing.
Salah satu “teknik keledai” yang
bisa membantu adalah dengan membaca cerita orang lain dan mengadaptasinya.
Perhatikan, adaptasi ya, bukan plagiasi.
Ambil contoh cerita “Lila Mencari
Tetes Air Hujan” di atas. Ganti tokohnya (tokoh tidak harus manusia, bisa
hewan, bisa sayur mayor, bisa juga tokoh fantasi), ganti settingnya (menjadi
musim kemarau, misalnya), ganti konfliknya (menjadi mencari matahari,
misalnya). Susun menjadi cerita yang enak dibaca. Tentu saja, ini teknik yang
“sangat keledai”. Pada tahap tertentu anda akan sangat tertantang untuk tidak
lagi menggunakannya.
Cara lain adalah dengan menuliskan
sebanyak mungkin ide-ide yang muncul: tikus yang menjadi detektif, perjalanan
ke mars, negeri para peri yang diserbu raksasa, dan lain sebagainya. Perhatikan
ide mana yang langsung membuat anda tertarik. Mulailah menentukan tokohnya
(karakter), jalan ceritanya bagaimana, konfliknya bagaimana, dan seterusnya.
Lalu susun pelan-pelan menjadi cerita.
"Priscilla's Easter Eggs", ilustrasi oleh InnerChild Std. |
SELAMAT
BERKELANA DI DUNIA CERITA ANAK
Demikianlah serba sedikit yang saya
ketahui tentang menulis cerita pendek anak. Tentu jauh dari sempurna karenanya
saya akan senang sekali kalau teman-teman mau berbagi ilmu dengan saya.
Last
but not least, bila anda tidak pada posisi menulis
cerita, saya ajak anda untuk dukung cerita-cerita anak Indonesia dengan membeli
buku-buku pengarang Indonesia, memilih buku-buku yang imajinatif dengan pesan universal, serta tidak bosan dan
lelah membacakan cerita untuk ananda di rumah.
Cerita Anak saya di Majalah Bobo |
***
Pekanbaru, 22 Oktober 2016
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment