Follow Us @agnes_bemoe

Saturday 22 June 2024

Menyikapi AI

 



"Gadis berkebaya Siti Julaika... 


Setiap bulan menabung bersama

Untuk sebuah rumah cinta

Ketika lahir anak pertama

Mereka sudah tidak bekerja

Pabrik gula kurangi tenaga kerja

Mesin-mesin telah tiba..." 


Yang nenek-nenek (atau kakek-kakek) mungkin familiar dengan lagu Franky & Jane ini. Lagu ini berkisah tentang buruh pabrik gula. Di akhir lagu dikisahkan mesin-mesin pengolah tebu didatangkan. Biarpun tak diceritakan di dalam lagu, pendengar mengerti bahwa Siti Julaika dan buruh yang lain kehilangan pekerjaan. 


Dan zaman semakin maju, semua sektor digatikan dengan mesin. Tenaga manusia diganti mesin. Semua pihak -termasuk yang dirugikan- pelan-pelan menerima kenyataan itu. 


Lalu, datanglah AI. Merunut sejarahnya AI bukan barang baru. Namun, sepertinya baru belakangan ini digunakan secara lebih umum. 


AI secara ringkas adalah mesin pintar yang bisa berpikir sendiri layaknya manusia. Salah satu karakter AI adalah dia mengambil kepintarannya dari DATA YANG SUDAH ADA. Dia memang bisa menyesuaikan data tersebut sesuai kebutuhan tapi dia akan 'bego' atau keliru kalau tidak ada data sama sekali atau datanya keliru. --> Mudah-mudahan saya tidak keliru meringkas profil AI ini. 


Saya langsung saja ke penggunaan AI untuk bidang kepenulisan. 


Dalam kepenulisan AI bermanfaat untuk membantu penulis dalam hal pembetulan tata bahasa, mencari kata yang tepat, mendapatkan persamaan kata yang lebih canggih, dll, yang sejatinya sudah banyak juga dilakukan oleh penulis (paling tidak, saya) dengan memanfaatkan Google dll. 


Sampai pada batas ini saya sangat setuju bahwa AI memang membantu. 


Ternyata, kemampuan AI 'membantu' penulis tidak hanya sampai di situ. AI bisa menuliskan ISI buku asalkan kita memberikan kata kunci yang tepat dan, itu tadi, data tentang isi yang kita harapkan tersedia di si AI ini. 


Di sinilah saya mulai tidak cocok dengan AI. 


Itu berarti AI bisa mencari ide, alur cerita, tokoh, setting, konflik, intinya dari hulu ke hilir dan menyusunnnya menjadi sebuah cerita. Si 'penulis' tinggal ' tambah-tambahi sendikit'. Syaratnya hanyalah point-point yang di atas itu SUDAH ADA sebelumnya. 


Kalau sudah ada sebelumnya, berarti seorang (atau sekian orang) penulis BENERAN sudah pernah menuliskannya (dan dia unggah di dunia maya). Karya atau potongan karya penulis beneran inilah yang diolah ulang oleh AI menjadi cerita baru. 


Oke, baik, sebelumnya, untuk ide, memang tidak ada ide yang baru di bawah matahari. Saya setuju. Selama ini ketrampilan seorang penulis diuji dari caranya mengeksekusi ide. Nah, sekarang eksekusinya pun diserahkan ke mesin. Si mesin MENGAMBIL dari yang sudah ada, yang dibuat oleh penulis manusia, yang kemudian dia olah lagi sesuai permintaan pemakai AI. 


Seperti saya katakan tadi, di titik inilah saya mulai mempertanyakan penggunaan AI.

Apakah ini tindakan yang benar? Menyerap karya (atau potongan karya) yang sudah ada lalu mengolahnya lagi?  Apakah fair bagi penulis beneran yang karyanya 'menginspirasi' si AI? 


AI tidak hanya mengganti tangan dengan mesin. Bukan semacam penggantian canting dengan mesin cap. Bukan sekadar mengganti tangan pak tani dan kerbau dengan traktor. Bukan penggantian secara teknis. AI menggantikan seluruh proses pikir (belum lagi olah bathinnya) yang unik milik manusia (penulis). AI menggantikan penulis (beneran). 


Siapa saja bisa jadi penulis. Penulis AI. 

Mungkin-mungkin, (amit-amit, jangan), penerbit bakalan tak butuh penulis (beneran). Sudah ada AI. 

Atau masyarakat tak butuh penerbit/tak butuh buku beneran. Kalau ingin dihibur dengan bacaan, bikin saja sendiri. 


Apakah saya takut tersaingi? Ya! 

Banyak yang berpendapat (termasuk saya dulu), kemampuan mesin pastilah tak secanggih otak manusia.

Dengan kemampuannya mencari, menggolah data dan 'berpikir secara kretif' untuk menyusun data  tidak butuh waktu lama bagi AI untuk bisa memproduksi tulisan yang keren dan luwes, terutama karena asupan data di dunia maya juga tidak tampak akan terhenti. 


Saya belum punya contoh dalam bidang kepenulisan tapi beberapa waktu yll di AS heboh penipuan via telefon. Si suara di telefon plek ketiplek suara orang yang kita kenal (keluarga, teman, dll). Ternyata itu suara produksi AI. AI dengan kecerdasannya punya potensi untuk memperbaiki dan menyempurnakan 'karyanya'. 


Kembali ke topik kita. 


Ada juga yang berpendapat situasi ini akan menguntungkan bagi penulis (beneran). Penulis beneran akan semakin kompetitif sehingga hanya penulis yang karyanya benar-benar disukai yang bertahan. Buku pun demikian. Buku akan menjadi barang yang adiluhung, yang akan menaikkan nilai ekonomisnya. 


Jujur, untuk konteks masyarakat Indonesia saya lebih suka buku menjadi barang yang merakyat. Terjangkau dan banyak dibaca. Bukan elitis. Buku, dalam hemat saya, masih jadi sarana pencerdasan, asupan gizi bagi pikiran, selain tentu saja hiburan. Kalau dibuat menjadi barang elit, wah....  


Saya yakin akan ada banyak orang yang membela AI ini. Saya memilih jalur yang lain. Bila sampai pada bantuan teknis di kepenulisan (koreksi tata bahasa, dll) saya mendukung. Namun bila lebih dari itu, berat bagi saya memberikan dukungan bagi AI. 


Bagi saya dalam kepenulisan AI ini:

1. Tidak benar secara moral karena secara tidak langsung mengambil karya orang lain (hm... belum kalau kita lihat sisi plagiasi yang super mengerikan sebelum ada AI)

2. Tidak etis karena menggantikan nyaris seluruh proses pikir manusia. 

3. Tidak adil bagi penulis yang karyanya terambil. Tidak adil bagi penulis yang memang serius mau menulis dengan baik. 


Rasanya kita perlu bicarakan dulu baik-baik tentang AI ini. 


Menolak AI sama sekali? Jelas tidak bisa. Inilah situasi terkini yang dihadapi. Hanya saja, saya berharap akan ada pengaturannya atau apapun bentuknya yang mengatur penggunaan AI ini. 


Jujur tulisan ini berangkat dari iklan di fb yang menawarkan penulisan buku dalam waktu satu hari dengan menggunakan AI. Ekses semacam inilah yang sebaiknya kita hindari. Memanfaatkan teknologi, sementara normanya belum jelas, dan malah secara terang-terangan mempromosikannya. Ayolah, mau jadi apa dunia perbukuan kita? Budaya baca belum tercapai, budaya menulis juga masih begitu-begitu saja. Malah kebiasaan nyontek dan mentalitas instan yang disuburkan.


Pebatuan, 4 Juni 2024

Agnes Bemoe 

No comments:

Post a Comment