Butiran hujan jatuh tepat di pipiku di sore yang basah di Februari itu. Refleks tanganku terayun hendak mengusapnya. Namun, tanganmu ternyata lebih cepat.
"Ih! Kesempatan ya...."
Aku pura-pura protes. Padahal senang bukan kepalang. Aku senang berada di dekatmu. Sangat dekat seperti ini. Dan ternyata, hanya hujan yang bisa membawamu sedekat itu kepadaku.
"Busyeet! Kamu tuh ya!" Kamu terkejut sebentar, lalu tertawa.
Lenganmu merengkuhku, memaksaku merapat ke badanmu. Sementara tanganmu yang satu lagi melindungi kepalaku. Kamu tak peduli akan dirimu sendiri yang kuyub disapu hujan.
Butiran hujan makin keras menepuk kita berdua sampai kita menemukan sebuah kaffe kecil sebagai tempat berteduh. Tuhan, bisikku usil, jangan hentikan hujan sore ini ya.... Aku menyukai setiap tetesnya. Aku menikmati kekawatiran di wajah pria di dekatku ini.
Pria yang tak pernah bilang "Aku sayang kamu", "Aku rindu kamu", ataupun sekedar memanggilku dengan sebutan "Sayang". Sekalipun aku merengek, kamu hanya tersenyum memamerkan lesung pipimu yang menggemaskan. Kalau aku sampai ngambek paling-paling kamu menambahkan dengan sebuah pelukan.
Padahal, kamu adalah penyair terkenal dengan puisi-puisi romantismu! Teman-teman sering mengaku iri. Iri akan keromantisan yang mereka pikir kunikmati setiap detiknya. Andaikan mereka tahu, pikirku kesal.
Anehnya, pria keras kepala seperti kamu ini bisa lebih gusar daripada diriku sendiri bila ada yang berbuat kurang baik padaku. Pria yang sama yang keras kepala seperti kamu ini bisa jauh lebih kawatir daripada diriku sendiri dan berubah protektif ketika aku sakit. Kamu juga, si pria keras kepala itu, -dengan caramu yang sambil lalu- bertanya tentang beberapa teman priaku. Hanya perasaanku sajakah, ataukah kamu tidak sekadar bertanya.
Inikah cinta buatmu. Atau apa?
Hujan membuat dadamu dekat denganku tapi tak bisa membuatku tahu apa isi hatimu.
"Pesan apa, Mbak?"
Aku mengerjab-ngerjabkan mata. Mengusir kenangan yang berputar bagaikan film di kepalaku. Butiran hujan deras menerpa jendela. Butiran yang akan selalu membuatku teringat padamu.
Di suatu pagi yang muram dalam butiran hujan, kamu memutuskan untuk menjawab panggilan Tuhanmu. Sakit yang kautahan sekian lama membawamu pergi. Sakit yang juga tak pernah mau kamu ungkapkan. Butiran hujan membawa dirimu, sakitmu, seluruh perasaanmu kembali kepadaNya. Andai kamu sempat tahu bahwa butiran hujan pagi itu ikut juga membawa repihan jiwaku....
Dan, seandainya engkau masih ada, bulan ini seharusnya kita berdua akan merayakan ulang tahunmu bersama-sama, seperti tahun lalu. Perih tiba-tiba menusuk ulu hatiku.
"Mbak, jadi pesan?" Teguran manis waitress kembali mengejutkanku.
"Oh iya, maaf, kopi hitam aja...."
Entah kenapa, kopi kesukaanmu yang kusebutkan dan bukannya moccachino kesukaanku.
Mungkin karena butiran hujan ini terlalu lekat dengan dirimu.
Mungkin karena aku hanya ingin menyembunyikan butiran hujan di hatiku.
***
Pekanbaru, 20 September 2014
Untuk mengenang segalanya,
Agnes Bemoe
Catatan: Kesamaan nama dan peristiwa hanya KEBETULAN yang tidak disengaja
Monday, 22 September 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment