Follow Us @agnes_bemoe

Wednesday 3 September 2014

Hujan

"Aah...! Hore! Hiyaa!"
Temanku itu melompat-lompat kegirangan. Wajahnya sumringah dihiasi senyum lebar hampir memenuhi seluruh mukanya. Tingkahnya sudah sama persis dengan anak-anak kecil di bawah sana yang sedang asyik mandi hujan.
Anak-anak berkulit tembaga, bertelanjang dada, lari kesana kemari menendangi genangan air. Mencipratkannya pada temannya sambil berteriak a la Indian maju perang.

"Hiyaaa! Kenaa! Hahaha...!" Temanku ikut-ikutan berteriak. Seolah-olah dia yang ikut main hujan-hujanan. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.

"Kamu kenapa sih, kok cemberut? Cheer up, man!" Temanku memandang sekilas ke arahku, lalu kembali menikmati permainan hujan anak-anak. Solah ia tidak mau ketinggalan sedetik pun moment seru di depannya. Seolah-olah dia sedang nonton pertandingangan sekelas World Cup.

"Apa yang di-cheer up-in?"

"Kita. Mereka." Temanku menunjuk dadanya sendiri lalu menunjuk anak-anak itu dengan pandangan seolah-olah ia sedang berbicara dengan seorang debil.

Aku langsung jatuh kasihan padanya. Temanku ini memang terkenal naif.
"Sadarlah, my man! Kita ini hanya hujan buatan, bukan sebenar-benar hujan. Kita sengaja dibuat oleh manusia yang pintar agar bumi tidak kering.

Dan, anak-anak yang kau banggakan itu hanya akan memujamu selagi hujan yang sebenarnya tidak turun.

Akan ada waktunya hujan yang asli benar-benar turun. Butirannya jauh lebih deras, lebih segar, lebih menantang untuk dimainkan. Saat itu, mereka bahkan tidak ingat pernah ada hujan buatan macam kita. Kita hanya pengganti, my man. Sepanjang yang kutahu, tidak pernah ada manusia menunggu hujan buatan. Jadi, apa yang akan di-cheer up-kan dengan jadi pengganti?"

Temanku itu terdiam. Lama sekali.
Aku lega. Bersyukur telah melindunginya dari perasaan ge-er yang terlalu dalam. Aku tak mau ia terluka.

"Mungkin memang aku egois." Katanya kemudian, dengan sangat pelan. Aku mengangguk, menepuk-nepuk bahunya.

"Aku tidak melakukannya untuk kebahagiaan mereka. Aku melakukan untuk diriku sendiri. Sekali dalam hidupku, aku ingin dianggap berarti."

Kali ini, aku tak berani menepuk bahunya.

***

Kamar 600D RS Santa Maria Pekanbaru
4 September 2014
08:30

No comments:

Post a Comment