Oktober
2018 lalu, persisnya tanggal 31, saya mengunjungi Gua Maria Sendang Sriningsih
Klaten. Saya sedang ada urusan di Yogyakarta. Sebelumnya, dari Pekanbaru,
memang sudah saya niatkan mau ke Sendang Sriningsih Klaten.
Saya
punya hubungan yang sangat istimewa dengan Sendang Sriningsih. Dan koplaknya
saya, beberapa kali ke Yogyakarta, kok ya tak terpikir untuk kembali ke gua
Maria ini. Saya malah lebih sering ke Gua Maria Kerep Ambarawa.
Saya
lalu memutuskan, saat itu saya harus memilih Gua Sriningsih. Saya punya “hutang”
yang sangat besar pada Ibu Maria Sriningsih dan saya belum “membayarnya”.
SAYA DAN IBU MARIA SRININGSISH
Jadi,
tigapuluh tahun sebelumnya, tahun 1988, tiba-tiba saja saya mendapati bahwa
saya tidak bisa melanjutkan kuliah karena alasan biaya. Ibu saya sudah
mengkonfirmasikannya. Kakak saya sudah akan mencarikan saya kerja, pengganti
kuliah.
Pemandangan di Perjalanan Menuju Ke Sendang Sriningsih Klaten |
Oke
deh, mau bagaimana lagi. Saya sangat suka belajar. Saya suka kuliah. Namun,
bagaimana lagi kalau memang biaya tidak ada. Saya pun diam-diam mulai
mengepak-ngepak barang saya. Oh iya, saat itu saya tinggal di Asrama Syantikara
Yogyakarta dan kuliah di IKIP Yogyakarta.
Dengan
maksud untuk berpamitan, saya menemui suster pimpinan, Sr. Benedicte, CB. Saya tidak mau bercerita banyak sebenarnya,
tapi, kan ditanya alasannya kenapa keluar, jadi saya ceritakanlah kondisi saya.
Saya ingat, Suster Ben waktu itu hanya menyimak dan memberi kekuatan.
Ini
kata-kata Sr. Ben yang saya ingat sampai sekarang:
Jangan minta angin diredakan,
mintalah sayap yang kuat untuk mampu menghadapi badai.
Mungkin
Sr. Ben mengutip dari seseorang tapi tetap, saat itu saya sangat terbantu untuk
tidak down.
Sr.
Ben membolehkan saya menghabiskan sisa semester itu di Syantikara. Dan, saya
minta pada Suster untuk merahasiakan ini sampai saya benar-benar keluar. Okesip,
Suster setuju. Itu kalau tak salah di bulan-bulan Januari atau Februari 1988.
Datanglah
bulan Mei 1988.
Di
kampus para mahasiswa katolik IKIP Yogyakarta mengadakan acara ziarah ke
Sendang Sriningsih Klaten. Saya memutuskan untuk ikut. BUKAN, bukan untuk ‘ngalap
berkah’. Suwer. Saya hanya terpikir, itu mungkin terakhir kali saya berkumpul
dengan teman-teman katolik di kampus. Apa salahnya saya menikmatinya.
Saya
lupa tanggal persisnya, pokoknya kami, para mahasiswa katolik IKIP Yogyakarta
akhirnya pergi ke Sendang Sriningsih. Saya bersama Florentina dan Alexius,
teman sejurusan Bhs. Jerman. Waktu itu kami naik truk. Iya, truk, dari
Yogyakarta ke Klaten. Jalan masuk ke Gua Maria Sriningsih masih jalan tanah dan
gelap banget. Belum ada listrik dan lampu jalanan.
Oke
deh, pendek cerita, setelah mendaraskan Rosario dan mengikuti Jalan Salib,
sampailah kami di Gua Maria Sendang Sriningsih. Gua itu saat itu hanya
diterangi dengan obor. Oh ya, sewaktu mendaraskan Rosario, persis di peristiwa
ke-empat, Rosario saya putus. Dalam kegelapan saya tentu sulit menemukan
putusan Rosario itu. Dengan sedih saya bepikir, mungkin ini pertanda….
Nah,
sampailah kami di depan Gua Maria.
Saya
lihat, Florentina dan Alex langsung tekun berdoa. Ndilalah, saya kok malah kelu
ya. Orang Jawa bilang: ketenggengen. Sepertinya tak bisa bicara apa-apa. Tak
tahu harus berkata apa. Bahkan sekedar berdoa ‘nyuwun’ begitu pun kok ya tak terpikir oleh saya. Jadilah, saya
pulang dari Sendang Sriningsih relatif tidak ngomong apa-apa, apalagi nyuwun.
Murni rosarioan tok.
Balik
ke Yogyakarta dan waktu pun berlalu. Tak terasa sudah bulan Juni. Artinya
sebentar lagi nyawa saya di Yogykarta akan tercabut karena ujian semester sudah
dekat.
Lalu,
di suatu hari di bulan Juni yang cerah itu (hihihi…) Suster Ben berteriak-teriak
memanggil nama saya: “Beeem! Bemoe!” (Iya, di asrama saya dipanggil ‘Bemoe’,
padahal itu nama Bapak saya! Haduh, Susteeer!)
Suster tanya apakah saya mau kalau ditawari jadi guru. Saya sangka, ada tawaran untuk jadi
guru les. Jadi, saya bilang, mau. Suster tanya lagi, kalau tugasnya di
Sumatera, mau? Saya bingung. Jauh amat kasi les sampai ke Sumatera?
Ternyata,
ada seorang pastor, namanya P. dr. Johanes
Halim, Pr. Beliau ketua yayasan sebuah yayasan pendidikan katolik di Riau, namanya Yayasan Prayoga Perwakilan Riau.
Beliau ke Yogyakarta memang mencari guru/calon guru untuk yayasannya. Jadi,
tawarannya adalah sebuah ikatan dinas untuk saya; kuliah saya dibiayai lalu
saya nantinya bekerja untuk yayasan itu. Suster Ben menanyakan, apakah saya mau
kalau seperti itu.
Mau?
TENTU
SAJA saya mau!
Nah,
so the rest is history! Saya lulus, semuanya biaya kuliah dan biaya hidup
ditanggung oleh P. Johanes Halim. Saya berkarya di Yayasan Prayoga Perwakilan
Riau.
Sulit
untuk mengatakan mukjizat itu tidak ada hubungannya dengan Ibu Maria
Sriningsih.
Namun
demikian, dasar saya ini bebal dan dungu. Baru TIGAPULUH TAHUN setelah
peristiwa itu saya menyempatkan diri untuk menjenguk Ibu lagi di Sendang
Sriningsih. Padahal ada beberapa kali saya ke Yogyakarta. Kok saya malah ke
Kerep dan bukannya mendahulukan Sriningsih. Aduh, Ibu, maafkan saya. (Suwer,
saya merasa sangat malu dalam hal ini).
Jadi,
ketika ada urusan ke Yogyakarta (setelah dari UWRF di Bali) saya tekadkan ke Ibu
Maria di Sendang Sriningsih.
BERTEMU IBU LAGI
Tidak
hanya bertekad bertemu Ibu, saya tekadkan untuk hanya mau bilang TERIMA KASIH.
Tidak nembung, tidak yang lain-lain.
Maka,
saya pun menuju ke Klaten dengan menaiki taksi online.
Perjalanan saya ke Klaten saya ceritakan di sini: Orang Baik Di Mana-Mana
Perjalanan saya ke Klaten saya ceritakan di sini: Orang Baik Di Mana-Mana
Oh
ini toh Gua Maria Sriningsih!
Saya
baru lihat area itu dalam keadaan terang saat itu. Waktu dulu saya pergi kan
gelap gulita. Lokasinya tenang, hijau, sejuk, indah, ayem. Saya pun sujud di
depan Ibu, dan… lagi-lagi tak bisa ngomong apa-apa. Cuman bisa nangis…. Matur
nuwun, Ibu. Terima kasih. Pertolonganmu, perantaraan doamu, penyertaanmu, cinta
kasihmu yang menyelamatkanku dari drop-out
kuliah. Terima kasih telah menjadi Ibu bagiku di saat paling sulit dalam
hidupku.
PER MARIAM AD JESUM
Saya
tuliskan di blog ini dengan maksud untuk berbagi, siapa tahu ada yang sedang
membutuhkan kekuatan doa. Kepada Allah kita berdoa. Namun, Puji Tuhan, dalam
iman katolik, Allah menyediakan seorang ibu tempat kita bisa curhat dan mewek
dengan jeleknya, seperti kalau kita curhat pada ibu kita sendiri. Dia adalah
Ibu Maria. Ibu Maria mendengarkan semua keluh kesah anak-anaknya dan menghantarkannya
pada Yesus.
Saya
yakin, kisah saya ini bukan kisah pertama yang anda baca tentang penyertaan doa
Ibu Maria. Maka, jangan pernah ragu untuk datang kepadaNya melalui ibuNya, Ibu
Maria.
Selamat
menjalani Bulan Maria di bulan Mei 2019 ini. Per Mariam ad Jesum.
***
Pebatuan, 1 Mei 2019
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment